Read More >>"> Evolvera Life (Episode 28) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Evolvera Life
MENU
About Us  

“Aku ingin kalian menjadi pengawal pribadi ku sampai masa ini selesai. Aku berjanji akan memberikan biaya hidup yang baik kepada kalian sebagai imbalan setimpal.”

“Kau, kau ingin kami jadi budak—“ aku hampir berteriak, tapi Cedric segera menahanku.

“Rika, tahan. Ini kesempatan yang tepat untuk kita ambil. Sebentar lagi kita akan mengarungi lautan dan kita perlu uang besar untuk perjalanan jangka panjang. Uang logam sulit ditemukan sekarang, makanya kita harus menerima ini untuk mengganti credits yang tidak berguna,” Cedric menjelaskan dengan nada tegas namun penuh pertimbangan.

Yang lain juga setuju, dan aku menatap mereka bergantian, terpaksa ikut mengiyakan. Aku harap ini tidak lebih buruk dari menjaga Yeriko sialan itu di dalam markas.

“Aku akan pergi secara langsung untuk negosiasi tiga hari lagi. Persiapkan diri kalian,” perintahnya.

“HUUUUUH!!! Kau gila, bagaimana pemimpin bisa pergi ke ladang ranjau seperti itu? Kau akan berperang, huh,” Freya jelas-jelas protes, suaranya penuh kekhawatiran. Ini misi berbahaya bagi kami untuk mengawal orang yang jelas tidak bisa bertarung.

“Tidak adakah yang bisa dijadikan diplomat di tempat ini?” Cedric menambahkan dengan nada penuh solusi.

“Tentu ada, tapi ini tugas yang hanya bisa kuselesaikan. Aku tidak ingin perang ini meletus jika aku salah mengambil keputusan,” jawabnya dengan tegas.

“Baiklah, serahkan kepada kami,” Cedric memberi hormat dari kursinya. Lihatlah sekarang, dia lebih mirip hewan peliharaan Yeriko kotor itu.

“Baiklah, kembali ke tempat. Kalian bisa bebas selama satu hari mendatang. Surat akan dikirimkan ke apartemen kalian jika mendapatkan jadwal pertemuan mendadak.”

“Baik,” Cedric menjawab tegas.

Aku hanya diam, Freya dan Luna juga. Entah mengapa Cedric terlihat begitu bahagia menerima tugas ini. Apa karena Yeriko adalah mantan menteri? Lalu kalau iya, memang kenapa? Bukan tugas kami menjaga pejabat, kan? Lagian tugas Cedric seharusnya melindungi orang lemah, bukan seseorang yang berkuasa seperti dia. Sejak dulu aku tidak mengerti jalan pemikiran pemimpin negeri ini.

***

Waktu berlalu, kami menyempatkan berkeliling kota sebelum matahari tenggelam dan sampai di apartemen setelah matahari benar-benar tenggelam. Aku, Freya, dan Luna memutuskan untuk mandi lebih dulu lalu menyusul ke ruang makan, sementara Cedric mempersiapkan makan malam hari ini di ruang makan.

Saat aku sendirian dalam toilet, pikiran ku sering melayang entah ke mana. Kadang memikirkan apa yang harus kulakukan beberapa jam atau hari ke depan, terkadang mengingat lelucon Freya dan Luna, dan juga memikirkan Cedric.

“Aaaaaargh, kenapa si Cedric itu harus mirip abangku sih? Aku jadi sulit menerima kenyataan nantinya,” aku mendengus kesal menatap cermin. Aku menyibukkan diri merapikan rambut panjang yang tergerai masih lembab.

“Apa hanya itu cara satu-satunya menyelamatkan dunia ini?” Aku berpikir sejenak, masih melanjutkan menyisir rambutku yang basah. “Kalau aku menyerah karena suatu alasan nantinya, apakah aku akan merelakan dunia ini tiada begitu saja?” sejenak terdiam, kepala ku menunduk, rambutku tergerai jatuh ke bawah.

“Apa diriku di masa depan bisa datang sekali lagi untuk menjawab pertanyaan ku?” Aku memandang cermin kosong di depan, lampu kuning remang menerpa wajah membuatku tampak terpantul cantik di dalam cermin.

“Bagaimana jika perang itu meletus? Apa ini juga bagian dari rencananya?” Aku terdiam sejenak kali ini. “Ah, sudahlah.”

"Seharusnya aku bergegas bersiap."

Tok-tok-tok!.

Tuh kan, Freya sudah siap. Aku harus cepat menyelesaikan rambutku yang basah.

“Iya, sebentar Freya, aku segera menyusul. Kalian duluan saja.”

“Oke-oke.”

Aku harus segera menyelesaikan rambutku. Beberapa menit berlalu, dan aku sudah selesai dengan celana pendek dan kaos putih kesukaanku. Sejujurnya apartemen ini sepi. Saat aku keluar sendirian dan menutup pintu, pandanganku hanya tertuju kepada lorong sunyi yang panjang. Cahaya lampu redup membuat bayangan panjang di dinding, menambah suasana mencekam.

“Tidak ada hantu, ayolah jalan biasa saja,” aku berusaha meyakinkan diri, tetapi napasku mulai menderu di lorong yang sunyi itu.

"Rikaaaaa!!!"

“Huh?” Aku menoleh ke belakang. Ini aneh. Barusan aku merasa mendengar namaku dibisikkan, suara itu seolah datang dari balik dinding yang lembab.

“Mungkin angin,” aku memutuskan melanjutkan langkah, tapi kali ini udara terasa dingin, naik drastis. Napasku mengeluarkan kepulan uap putih seperti asap.

"Tunggu aku..."

“Siapa di sana?” Aku menoleh lagi ke belakang, tetapi tidak ada siapapun di sana. Ini jelas bukan hanya firasatku saja. Ada sesuatu yang memantauku dari balik kegelapan.

"Tunggu 12 malam..."

“Lagi.” Aku mendengar suara bisikan itu menggema di lorong yang sepi. Langkahku berhenti lagi, bulu tanganku berdiri. Jelas menakutkan. Seharusnya hantu tidak ada, kan?

Aku segera berbalik dengan cepat dan berteriak lantang di lorong yang sunyi.

“Keluarlah, atau ku paksa keluar.”

"Jawabanmu akan terjawab...."

“Baiklah jika memaksa.” Aku memejamkan mata, bersiap mengeluarkan kalimat perintah kekuatan.

“Imagination: Pathography.”

Wajahku pucat seketika, tanganku gemetar, keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku. Ini sangat jelas.

“Tidak ada siapapun di sekitar lorong.”

Aku menelan ludah, berbalik lalu berlari sekencang-kencangnya.

“Hantuuuuuuu!”

***

“Heh Rika, kau kenapa?” Luna menyahut, melihatku berkeringat, masuk lari ke dalam ruang makan yang terang.

“Rika, kau dikejar siapa?” Freya menimpali.

“Ha-hantu!”

Puhtt, “Ha-ha-ha.” Mereka tertawa serentak mendengar ucapanku. Aku yang masih terengah-engah tidak peduli langsung duduk dan meminum segelas air yang diberikan Cedric. Airnya terasa dingin, menenangkan tenggorokanku yang kering.

“Heh Rika, mana ada hantu di zaman sekarang.” Luna masih mengejekku.

“Adaaaa, lagian kalau tidak percaya tidak usah dibahas.”

“Ha-ha-ha, oke-oke, mari makan, Rika.” Cedric melerai kami.

“Iya, nanti hantunya tidak jadi ngejar kamu karena kurusan.” Freya masih menimpali masalah yang sama, dia juga ikut tertawa bersama Luna. Cedric hanya tertawa kecil sembari menghidangkan menu hari ini, aroma ikan bakar memenuhi ruangan, memancing selera makan kami.

“Hari ini kita makan ikan bakar sambal matah khas Bali,” ucap Cedric, wajahnya tersenyum hingga lesung pipi terlihat. Itu sangat menggemaskan. Melihat senyumnya, ketakutan yang tadi menghantuiku perlahan memudar.

Aku meraih peralatan makan dan jatah makananku. Mencoba suapan pertama masuk ke mulut. Rasa gurih ikan dan pedasnya sambal matah langsung meledak di lidahku.

“Huuummm! Ini enak banget,” aku tersenyum lanjut mengambil suapan kedua.

“Iya benar, ikan ini lembut seperti meleleh di dalam mulut,” Luna menambahkan daftar suka. Lalu Freya—dia hanya diam saja, aku yakin dia mau berekspresi seperti kami, tapi rasa gengsinya terlalu tinggi di hadapan Cedric. Ciri-ciri pasangan muda yang malu-malu.

“Cedric, ngomong-ngomong, kenapa kau bisa masak seenak ini?” Aku memecah kesunyian di meja makan. Setidaknya kali ini kami harus membahas hal yang normal-normal saja.

”Aku sejak kecil hidup di keluarga susah, salah satu cara kami survive adalah memasak untuk pelanggan. Aku sejak SD diajarkan cara masak, hingga SMA kemampuanku di atas rata-rata anak SMA untuk masalah dapur.”

“Begitu ya, kalau aku tidak bisa masak sih, paling hanya masak telur dan sayur. Itupun karena aku terlahir di keluarga kaya, sehingga yang memasak makanan ku harus pembantu.”

“Enaknya.” Aku merasa iri dengan kehidupan Luna.

“Hah, enak gimana?”

“Iya enak, dari kecil sudah seperti ratu, lalu SMP sudah masuk IKN 48, menjadi idol jenius, pasti makanannya enak-enak.”

“Iya sih, aku tidak bisa mengelak tentang itu, tapi tidak semuanya enak. Aku benar-benar tidak bebas, bahkan tentang makanan. Banyak makanan pemberian dibuang, banyak juga makanan yang dilarang demi menjaga kesehatan kulit serta performa ku di panggung idol.”

Aku terdiam prihatin. Itu jelas menyakitkan, menjadi seseorang yang paling dekat dengan kebebasan itu sendiri namun, kebebasan itu terkunci untuk dirinya. Aku tak bisa membayangkan betapa sulitnya hidup dengan segala aturan ketat seperti itu, walaupun terlihat gemerlap dari luar.

“Tapi bagaimanapun hidupmu tetap menyenangkan, kan?”

“Iyap, maka itu aku ingin tetap hidup untuk menjadi idol baru di dunia ini.”

“Waaah itu bagus.” Aku terkesima dengan semangatnya. Rasanya semangatnya menular padaku, seakan memberikan harapan bahwa kami semua bisa menemukan jalan kami masing-masing.

“Kalau kamu, Rika?”

Aku menoleh kembali, sebelum melanjutkan suapan.

“Apa?”

“Tujuanmu hidup.”

“Aku... aku belum tahu tujuan ku.”

“Oh iya kah, aku pikir kau bisa menemukannya di party ini atau mungkin selama perjalanan kita ke depannya.”

“Aku harap begitu.” Kepalaku mendongak naik, menoleh ke Cedric yang berada di sebelah kananku. Aku tersenyum malu, pipiku memerah tanpa bisa kucegah.

“Apa yang terjadi di antara kalian?” Freya mengagetkanku, nadanya menggoda.

“Ah, tidak ada apa-apa.” Aku segera melanjutkan makan, berusaha menutupi kegugupanku dengan menghabiskan jatah makananku.

Beberapa menit berlalu, kami berjalan bersama menuju lorong kamar. Rasa takutku terhadap hantu di lorong ini masih menghantui, sesekali aku bersembunyi di balik tubuh Freya atau Luna, merasa sedikit lebih aman.

Sesampainya di depan kamar, aku langsung masuk, menutup pintu, dan lompat ke tempat tidur. Rasanya tempat tidur adalah satu-satunya tempat yang memberikan sedikit rasa aman.

“Lihatlah, begitu ketakutannya dia.” Ejek Freya dari luar. Mereka tertawa sebentar, tapi aku tidak peduli, kelelahan dan rasa takut membuatku hanya ingin segera tidur.

Namun, meskipun aku bergegas tidur, tetap saja aku tidak bisa. Pikiran tentang hantu membuatku meringkuk ketakutan di balik selimut. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa hantu itu tidak ada lagi.

“Hantu itu tidak ada lagi kan,” bisikku pada diri sendiri, mengintip dari balik selimut. Ruangan ini masih memiliki cahaya remang dari lampu tidur, memberikan sedikit rasa tenang, meskipun ketakutan masih mengintai di sudut-sudut pikiranku.

Beberapa jam berlalu, dan aku tetap tidak bisa tidur hingga jam 12 malam. Suasana semakin menyeramkan, derit yang tidak kukenali membuat kamar menjadi lebih mengerikan. Suhu udara tiba-tiba menurun, menjadi sangat dingin hingga napasku mengeluarkan kepulan uap panas membentuk asap.

“Meow.”

“Waa!” aku kembali menutup wajahku dengan selimut. Suara itu mengejutkanku.

“Meow.”

“Kucing?” Aku memberanikan diri mengintip dari balik selimut.

“Eh iya, kucingku, Oren.” Aku beranjak dari kasur, mengusap-usap bulunya yang lembut, mencoba mencari ketenangan.

“Meow.” Kucing itu tiba-tiba mengeong keras, cakarnya keluar dari balik bantalan kakinya, matanya menatap ke satu titik di ruangan.

“Kamu kenapa, Oren?” tanyaku, cemas.

“Meow! Meow!” tingkahnya semakin membuatku takut, dia mengeong semakin keras dan cepat seolah menyuruhku pergi secepatnya.

Tiba-tiba, sesuatu yang lebih menakutkan terjadi. Suara yang sama dengan yang di lorong tadi terdengar lagi.

“Rikaaa!”

“Suara itu lagi.” Aku memberanikan diri berbalik menatap ruangan yang remang.

“Aku bisa menghentikan waktu!” suara itu bergema di kepalaku.

“Huh, siapa kau?” tanyaku dengan suara gemetar.

“Esensi ke 4.”

Apa maksudnya esensi ke 4? Siapa dia? Apa itu nama atau sebuah lokasi?

“Apa yang kau pikirkan, Rika?”

“Tunjukkan wujudmu, aku akan menerima untuk berdiskusi.” Tanpa sengaja aku berteriak. Namun ada sesuatu yang aneh, orang-orang di sekitarku tidak bangun. Mereka seolah tidak mendengar suaraku.

“Ha-ha-ha, kau lucu Rika. Mungkin kita bisa menjadi teman sementara waktu.”

Teman? Aku akan meladeni dia sementara waktu. Mungkin bisa tahu dia siapa.

“Apa untungnya untukku?”

“Aku akan memunculkan bentuk fisikku di hadapanmu.”

Aku menelan ludah, ini jelas jebakan, tapi aku perlu informasi. Bisa saja dia mata-mata fraksi teror malam.

“Baiklah, kita jadi teman.”

“Ha-ha-ha.” Tawanya terasa dingin, menggema di kamar ini. Aku tidak tahu apakah Cedric dan yang lain bisa mendengarkan tawa kencang itu. Bersamaan dengan tawa menggema, udara di sekitar menjadi lebih dingin, tulangku terasa seperti akan membeku, kabut aneh muncul menutupi pandanganku.

Aku segera mundur menjauh dari kabut yang mendadak muncul. Namun tidak ada yang terjadi sampai kabut itu memudar.

“Rika, sedang berteman denganmu.”

“Huh?” suaranya dari belakangku.

“Hei, aku di sini, di bawah!” Aku berbalik menatap ke bawah. Menatap kucingku, Oren.

“Apa itu kau, Oren?” tanyaku, merasa kebingungan dan sedikit takut.

“Oren? Apa nama kucing ini Oren? Selera namamu buruk sekali.”

“HUAWAAA!!!” Aku tersungkur jatuh karena mendadak mundur, kaget mendengar suara itu. Suara gadis kecil yang belum puber, tidak mungkin berasal dari kucingku.

“Ka-kau kenapa bisa bicara?” tunjukku pada kucing itu dengan nada kaku dan gemetar.

“Huh.” Kucing itu berjalan mendekat, tatapannya seakan mengerti kebingunganku. “Bukankah kau mau jadi teman ku? Jadi, inilah keuntungan yang kumaksud tadi.”

“Tu-tunggu, kau seekor kucing?” tanyaku dengan suara bergetar.

“Tidak, aku bukan hewan atau kucing,” jawabnya tenang.

Aku memperbaiki posisi dudukku, menatap kucing itu dengan serius, mencoba mencerna situasi yang mustahil ini.

“Tapi kau berjanji untuk menunjukkan bentuk fisikmu, kan?” tanyaku, masih berharap ada penjelasan logis.

“Lah, ini kan bentuk fisik. Aku tidak bilang akan menunjukkan bentuk asli ku.”

Iya, benar juga ya, eh— kalau bentuk fisik palsu adalah kucing, lalu bentuk aslinya apa?

“A-apa kau hantu?” tanyaku, mulai panik.

“Hantu? Apa itu sejenis arwah yang biasa kalian sebut?”

“Kurasa seperti itu.”

“Hm, mungkin kau bisa mendefinisikan diriku sebagai mahluk halus. Kesan arwah tidak cocok untukku, apalagi hantu, aku tidak datang untuk menakut-nakuti.”

Ya, tidak datang menakuti, tapi tetap saja seram kalau mendengar suara aneh di lorong. Apalagi sekarang kucing berbicara.

“Mungkin aku mengerti kenapa kau bisa masuk ke kucingku. Tapi bukan itu pertanyaanku sekarang.”

“Kau ingin tahu apa tujuan ku, kan?”

Aku mengangguk mengiyakan, jantungku masih berdetak cepat.

“Hmmm, sebenarnya ada banyak, tapi tujuan utama ku hanya ingin berkenalan. Tidak seperti mitos kalian tentang mahluk kuntilanak dan yang lain, aku hanya datang untuk berkunjung. Rasanya menyenangkan juga punya teman di esensi ke tiga.”

“Mungkin sekalian menjawab rasa penasaranmu.”

Apa yang dia bicarakan? Apa esensi yang dia sebut dari tadi? Lalu apa hubungannya dengan kuntilanak? Apa dia benar-benar makhluk seperti itu?

“Teman punya pertanyaan lain?” tanyanya, matanya berkilat aneh di dalam gelap.

“Ada,” jawabku, mencoba mengendalikan rasa takut.

“Tanyakanlah, selagi aku bisa mengakses tubuh kucing ini.”

“Jika kau benar makhluk halus seperti yang kupikirkan, kenapa beberapa puluh tahun ini cerita tentang kalian semakin memudar?”

“Cerita?” Dia berdengung memikirkan sesuatu. “Ouh, mungkin yang sering kalian sebut hantu dan penampakan apapun itu atau kejadian mistis lainnya?”

Aku mengangguk. Tiba-tiba ia tertawa. Tawanya nyaring seperti tawa anak kecil, tubuh kucing itu telentang terlihat tertawa.

“Kenapa?” tanyaku, merasa malu ditertawakan.

“Kalian ini esensi ke-3, memang selalu lucu. Itulah yang membuat kami sering muncul dan mengganggu.”

“Jadi kalian tidak muncul lagi karena bosan?”

“Iya itu benar tapi kurang lengkap, lebih tepatnya esensi ke-3 sudah menjadi mahluk cerdas 1.0. Itu membuat kami selalu bosan melihat reaksi netral kalian terhadap sesuatu.

“Sehingga pada akhirnya layanan menakut-nakuti dan Siaran antar dimensi di putus. Tidak ada hal menarik di esensi ke-3.”

Aku menelan ludah, tenggorokan kering karena udara dingin. Sampai kapan dia akan pergi, tapi aku juga penasaran untuk semua perkataannya. Seolah sengaja memancingku terus bertanya.

“Baiklah, aku akan pergi teman. Kamu akan beku jika aku berlama di sini.”

“Tu-tunggu sebentar, aku punya satu pertanyaan terakhir!” teriakku, panik dan penasaran bercampur aduk.

Kucing itu berbalik menghadapku sebelum akhirnya masuk ke dalam kabut yang mulai menebal. Garis-garis es mulai terbentuk di lantai dan kaca, membuat suasana semakin mencekam.

“Baiklah, katakan,” ucapnya.

Aku menelan ludah, merasa gundah tapi bertekad. “Bagaimana cara menyelesaikan permasalahan pohon imajiner?”

Sejenak suasana hening, tubuh kucing itu mematung. Udara di sekitar semakin dingin, menusuk tulang-tulangku seperti ribuan jarum. Garis-garis es yang tadi samar kini semakin tebal, merayap di lantai seperti akar yang menjalar.

“Teman, dari mana engkau tahu tentang pohon imajiner?” suaranya terdengar lebih berat, lebih dingin. “Baiklah, aku tidak masalah bagaimana kau bisa tahu tentang itu, esensi ke-3 sudah pantas mengetahuinya. Namun, dari mana engkau tahu tentang permasalahan yang terjadi di pohon imajiner?”

Dinginnya udara seakan menekan seluruh tubuhku. Suhu udara turun drastis, hingga kulitku mulai luka terkena bekuan es. Keringat dingin membasahi keningku dan langsung membeku di tempat.

“Aaaa itu, aku pernah dengar kisah dari orang tuaku. Mungkin sejenis legenda, aku tidak tahu apakah itu benar jadi aku tanyakan sekalian. Tidak masalah, kan?” ucapku sambil memaksakan senyum, berusaha menutup kebohongan dengan harapan tidak memperburuk situasi. Aku bisa merasakan dingin yang semakin menyesakkan, membuat nafas terasa berat.

“Huh, itu tidak benar, tapi ku lupakan pertanyaan bodohmu barusan.”

Perlahan, udara mulai menghangat kembali. Aku menghela nafas lega meski masih terasa sesak. “Baik, terimakasih jawabannya, saya puas.”

Sesaat sebelum ia pergi meninggalkan tubuh kucingku, ia menatap lurus padaku. Meskipun hanya dengan tatapan kucing, aku bisa merasakan ketegangan dan kewaspadaan yang terpancar. Seolah aku sekarang berada dalam jangkauannya dan dia bisa melakukan apapun padaku.

Kabut kembali menebal, suara terakhirnya menggema di ruangan, seolah ia berada di banyak tempat sekaligus. “Rika, belum saatnya dirimu mengetahui apa yang semesta rencanakan. Ikuti saja benang takdir yang kusut, kamu hanya perlu memilih ingin melewati yang mana.”

Kabutnya kembali menipis, udara menghangat. Detik jam kembali terdengar normal. Aku terengah-engah, masih merasakan bekas dingin yang menusuk hingga tulang. Tubuh kucingku terbaring lemah di atas lantai pualam.

Aku mendekat, mendekap tubuhnya yang dingin perlahan hangat di dalam pelukanku. Perlahan kakinya mulai bergerak, tangannya menyusul, suara “meow”-nya membuatku lega.

Malam itu menjadi malam terdingin yang pernah kurasakan. Hingga tanpa sadar, tubuhku terbaring di atas lantai dingin, meringkuk tidur bersama kucingku yang mulai hangat. Kelelahan dan ketakutan bercampur aduk, menutup malam yang penuh misteri dan ketegangan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • silvius

    Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.

    Comment on chapter Episode 22
  • silvius

    Halo pembaca. Ini merupakan novel pertama saya. Saya sangat senang jika mendapatkan kritikan atau saran atau mungkin hal bagus yang membangun. Mari bersama membangun komunitas terbaik. Terimakasih telah membaca dan memberikan tanggapan yang jujur

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Nyanyian Laut Biru
2001      708     9     
Fantasy
Sulit dipercaya, dongeng masa kecil dan mitos dimasyarakat semua menjadi kenyataan dihadapannya. Lonato ingin mengingkarinya tapi ia jelas melihatnya. Ya… mahluk itu, mahluk laut yang terlihat berbeda wujudnya, tidak sama dengan yang ia dengar selama ini. Mahluk yang hampir membunuh harapannya untuk hidup namun hanya ia satu-satunya yang bisa menyelamatkan mahluk penghuni laut. Pertentangan ...
Anak Magang
45      42     1     
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
Pertualangan Titin dan Opa
3027      1181     5     
Science Fiction
Titin, seorang gadis muda jenius yang dilarang omanya untuk mendekati hal-hal berbau sains. Larangan sang oma justru membuat rasa penasarannya memuncak. Suatu malam Titin menemukan hal tak terduga....
Cute Monster
621      346     5     
Short Story
Kang In, pria tampan yang terlihat sangat normal ini sebenarnya adalah monster yang selalu memohon makanan dari Park Im zii, pekerja paruh waktu di minimarket yang selalu sepi pengunjung. Zii yang sudah mencoba berbagai cara menyingkirkan Kang In namun selalu gagal. "Apa aku harus terbiasa hidup dengan monster ini ?"
CHERRY & BAKERY (PART 1)
3621      890     2     
Romance
Vella Amerta—pindah ke Jakarta sebagai siswi SMA 45. Tanpa ia duga kehidupannya menjadi rumit sejak awal semester di tahun keduanya. Setiap hari dia harus bertemu dengan Yoshinaga Febriyan alias Aga. Tidak disangka, cowok cuek yang juga saingan abadinya sejak jaman SMP itu justru menjadi tetangga barunya. Kehidupan Vella semakin kompleks saat Indra mengajaknya untuk mengikuti les membuat cu...
Yu & Way
899      474     28     
Romance
Dalam perjalanan malamnya hendak mencari kesenangan, tiba-tiba saja seorang pemuda bernama Alvin mendapatkan layangan selembaran brosur yang sama sekali tak ia ketahui akan asalnya. Saat itu, tanpa berpikir panjang, Alvin pun memutuskan untuk lekas membacanya dengan seksama. Setelah membaca selembaran brosur itu secara keseluruhan, Alvin merasa, bahwa sebuah tempat yang tengah dipromosikan di da...
HOME
259      187     0     
Romance
Orang bilang Anak Band itu Begajulan Pengangguran? Playboy? Apalagi? Udah khatam gue dengan stereotype "Anak Band" yang timbul di media dan opini orang-orang. Sampai suatu hari.. Gue melamar satu perempuan. Perempuan yang menjadi tempat gue pulang. A story about married couple and homies.
Khalisya (Matahari Sejati)
2405      816     3     
Romance
Reyfan itu cuek, tapi nggak sedingin kayak cowok-cowok wattpad Khalisya itu hangat, tapi ia juga teduh Bagaimana jika kedua karakter itu disatukan..?? Bisakah menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi..?? Semuanya akan terjawab disini. Ketika dua hati saling berjuang, menerobos lorong perbedaan. Mempertaruhkan hati fan perasaan untuk menemukan matahari sejati yang sesungguhnya &...
Dunia Gemerlap
19085      2791     3     
Action
Hanif, baru saja keluar dari kehidupan lamanya sebagai mahasiswa biasa dan terpaksa menjalani kehidupannya yang baru sebagai seorang pengedar narkoba. Hal-hal seperti perjudian, narkoba, minuman keras, dan pergaulan bebas merupakan makanan sehari-harinya. Ia melakukan semua ini demi mengendus jejak keberadaan kakaknya. Akankah Hanif berhasil bertahan dengan kehidupan barunya?
Code: Scarlet
21698      4058     15     
Action
Kyoka Ichimiya. Gadis itu hidup dengan masa lalu yang masih misterius. Dengan kehidupannya sebagai Agen Percobaan selama 2 tahun, akhirnya dia sekarang bisa menjadi seorang gadis SMA biasa. Namun di balik penampilannya tersebut, Ichimiya selalu menyembunyikan belati di bawah roknya.