Satu hari setelah peristiwa gladiator. Hari ini kami memutuskan untuk mengunjungi makam seseorang. Makam yang menyelamatkan nyawa kapten dan juga nyawa kami semua secara tidak langsung. Meskipun hanya sesaat, kehilangan itu terasa begitu menyakitkan, seperti luka yang tak pernah sembuh sepenuhnya.
“Freya, cepatlah! Bagaimana bisa kau jadi seorang dokter kalau lambat begini!” teriak Cedric dari depan pintu kamar. Lagi-lagi, seperti biasa di pagi hari, Freya terlalu lama menghabiskan waktu untuk mandi. Setidaknya itu menurut Cedric. Bagiku, Freya hanya mandi dengan waktu yang normal.
“Oh iya, omong-omong, bunga untuk ditabur sudah ada, kan?” tanyaku kepada Luna. Dia yang bertugas mengumpulkan bunga.
“Huh?” jawabnya dengan alis yang terangkat, terlihat bingung.
“Kau lupa?” tanyaku dengan nada sedikit memarahi, melotot ke arah Luna. Dia mengangguk kaku, wajahnya memerah. Aku menepuk dahiku, merasa frustrasi karena ini akan membutuhkan waktu lagi.
“Cedric, Luna lupa petik bunganya di lapangan kemarin!” teriakku untuk memberitahu.
“Kalau begitu kita akan mampir sebentar memetiknya nanti,” jawab Cedric dengan nada datar, mencoba tetap tenang.
“Hehehe, maaf ya, Rika,” ucap Luna sambil mengacak-acak rambutnya sendiri dengan malu. Aku mengangguk tersenyum, segera memberikan keranjang kosong untuk ia pegang. Sebenarnya, aku tidak marah karena itu hal biasa. Terlalu banyak terjadi dan terlalu lelah setiap hari, apalagi kami berdua anak remaja dan Luna yang termuda. Wajar jika ia lalai dengan tanggung jawabnya.
20 menit berlalu, setelah Cedric berteriak hampir setiap 5 menit, selalu tidak bisa mengingatkan Freya untuk cepat bersiap. Akhirnya, kami pergi bersama. Melalui jalan raya, berjalan di tengah jalan atau di pinggir area pejalan kaki. Semuanya bebas sekarang. Tidak ada yang akan memarahi, tidak ada yang akan membunyikan klakson atau menabrakmu jika berjalan terlalu ke tengah.
Semua kendaraan telah rusak, kendaraan listrik tidak begitu tahan dengan EMP yang dikeluarkan komet itu sebelumnya. Yah, setidaknya dunia ini tidak seburuk itu untuk mereka yang selalu terkekang oleh aturan kota, termasuk masalah hidup yang terus menghantui. Pekerjaan berat dan makan dengan gaji sedikit layaknya budak.
Argh, lagi-lagi aku selalu berkomentar hal beginian dalam pikiran ku. Sekarang bukan saatnya memikirkan sesuatu yang tidak harus ku komentari. Aku tidak peduli apakah dunia ini cocok untuk mereka yang membangkang. Tidak ada yang baik untuk dunia ini bahkan tidak ada bedanya dengan sebelumnya, selain bangunan rusak dan jalanan kota yang terasa lebih sepi di pagi hari.
“Oh iya, omong-omong, Elsa dimakamkan di mana?” tanya Freya, memecah perdebatan di dalam otak ku.
“Dia ada di kuburan umum kota ini, di perbatasan,” Jawab Cedric.
“Kau bercanda?” Freya kaget mendengar nya. Ya, aku juga begitu. Sangat aneh untuk membuat kuburan di antara perbatasan.
“Huh,” Cedric menghela nafas sebelum menjawab dengan nada santai. “Kuburan itu sudah ada sejak kota ini belum memiliki nama sebagai kota industri.”
“Kenapa mereka tidak memindahkan atau membuka lahan baru?” tanyaku penasaran.
“Aku juga bertanya hal yang sama kepada Yeriko ketika ia ingin melakukan upacara penguburan Elsa. Namun, jawabannya cukup untuk ku terima,” kata Cedric.
“Dia jawab apa memangnya?” tanyaku semakin penasaran.
“Kota ini, antara fraksi hukum dan teror malam. Ada satu tempat yang tidak boleh terjadi perselisihan atau bisa dibilang zona netral,” jawab Cedric.
“Jadi tempat itu—” sahut Luna ikut memikirkan perkataan Cedric.
“Iya, tempat itu adalah lahan pemakaman umum di antara perbatasan dua fraksi,” jelas Cedric.
“Aneh betul kota ini, mereka menjadikan kuburan sebagai zona netral,” sahut Freya hendak tertawa tapi dia menahannya.
“Iya, aku setuju. Maksudnya aneh saja. Kenapa tempat orang-orang mati berkumpul justru tempat yang paling dilindungi dua fraksi, sampai-sampai jadi zona netral,” tambahku, mencoba memahami logika yang aneh ini.
“Mungkin itu yang kalian pikirkan, tapi aku mengerti pemikiran orang-orang itu,” kata Cedric dengan nada bijaksana, seolah mencoba meredakan ketidakpastian kami.
“Mereka hanya ingin seseorang yang telah tiada di dunia yang kejam dan berisik ini setidaknya mendapatkan ketenangan di tempat ia terkubur.”
“Begitu ya...” jawabku sambil meneruskan langkah. Walau perkataan Cedric menambah pertanyaanku tentang kota ini, tentang sifat manusia, dan tentang pemimpin-pemimpin mereka. Mereka ada di bidak yang mana, jahat atau baik? Atau mungkin mereka adalah dua-duanya, bidak baik dan jahat secara bersamaan.
“Kita sudah sampai,” ucap Cedric. Kami berhenti di depan lapangan yang penuh bunga. Pemandangan itu begitu memukau.
“Aku tidak tahu kalau bunganya akan sebanyak ini,” ujar Freya takjub, begitu juga aku.
“Ayo memetiknya!” seru Luna dengan gembira, berlari dan mengambil tiap helai bunga mawar dengan hati-hati.
“Kau yakin ini bukan punya siapapun, Cedric?” tanya Freya memastikan.
“Iya juga, apa tidak ada yang punya tanah ini? Bukankah tanah di kota ini sangat mahal dan sedikit, jadi pasti ada yang punya, kan?” tambahku.
Cedric tersenyum sambil memetik tiap helai bunga dengan hati-hati. Sosoknya tersiram cahaya pagi, suaranya terdengar lembut seperti angin musim semi.
“Tenanglah, aku kenal pemilik tempat ini. Dia adalah orang yang dulu tim ku selamatkan.”
“Lalu?” tanyaku, ingin tahu lebih banyak.
“Tempat ini sudah diserahkan ke pihak kota sebagai tanah wakaf. Ia pernah berpesan kepada ku, dan setiap perkataan nya selalu kuingat. Kakek tua itu berkata kepada ku dan rekan-rekan di kondisinya yang lemah, ‘Jagalah kebun bunga kakek, kakek tidak tahu akan mati kapan. Tidak ada yang akan merawatnya, aku hanya kakek tua sekarang, bergerak pun sudah susah payah. Jadi kakek mau tanah ini diwakafkan untuk kota. Kakek ingin semua orang bisa menikmati tiap aroma nektar bunga-bunga mawar ini. Tidak peduli siapa yang akan mengambilnya suatu saat nanti sebagai hiasan.’”
“Kakek tua itu hanya ingin semua orang bahagia, dan ia ingin bunga ini suatu saat nanti akan menjadi penghilang rindu setiap orang.”
Aku tertegun menatap bunga mawar putih di hadapanku. Terlihat indah dan menawan, ditambah kisah di balik kebun megah ini.
“Kenapa manusia itu selalu aneh,” gumamku dengan malas, sambil memetik beberapa helai daun.
“Kenapa kau selalu bertanya hal-hal aneh sih, padahal kita ini manusia juga,” kata Luna dengan nada kesal. Dia tampak lucu jika kesal, pipinya mengembung sangat imut, ingin sekali ku cubit.
“Biarkan dia bertanya, justru aneh jika seorang seniman jenius tidak mempertanyakan pertanyaan aneh,” sahut Cedric, membuat Freya tertawa mendengarnya. Aku tidak peduli dan tetap melanjutkan memetik bunga.
Waktu berlalu dengan cepat, 10 menit kami habiskan untuk mengumpulkan sekuntum bunga merah, putih, dan kuning untuk ditaburkan di atas makam. Dari lapangan bunga, tidak jauh ke perbatasan, hanya butuh 15 menit untuk tiba di TPU. Suasananya begitu sepi layaknya kuburan pada umumnya. Tidak ada pembatas antara dua fraksi, semua makam digabung layaknya pemakaman kota pada umumnya. Hanya ada sekelompok tentara dari kedua fraksi yang berjaga di pos perbatasan.
Namun, di dalam area makam, suasana seolah damai. Benar-benar terasa tenang, bahkan kicauan burung menjadi latar suara yang indah.
“Kau takut, Luna?” tanya Freya yang memperhatikan tingkah laku Luna yang aneh sejak masuk ke kuburan.
Luna menggeleng tegas. “Tidak, justru rasanya aneh. Kenapa aku merasa di kuburan ini lebih menenangkan jiwa ku daripada di luar kuburan,” katanya sambil memperhatikan sekitar. Terlihat ratusan batu nisan berbaris rapi. Luas kuburan ini beberapa puluh hektar. Aku menoleh menatap Cedric. “Cedric, di mana kuburannya?” tanyaku memastikan arah. Kami tidak bisa berlama-lama di sini. Apalagi mencoba bernostalgia dengan masa suram tentang kematian.
“Di area sana, sepertinya.” Cedric menunjuk ke arah pohon beringin besar yang tumbuh di kanan kuburan. Aku mengangguk dan segera mengikuti langkahnya, begitu pula yang lain. Jalan-jalan setapak di antara batu nisan terlihat bersih dan kokoh, seolah ada seseorang yang merawatnya dengan penuh dedikasi, lebih terawat dari pada jalanan kota atau bahkan fasilitas kota lainnya.
“Sebenarnya apa yang dipikirkan orang-orang,” gumamku pelan.
Cedric yang mendengar gumamanku menatapku lagi. Aku bisa mendengar helaan napasnya, seperti tanda kebosanan terhadap keluhanku. Mungkin aku memang lebih banyak bicara akhir-akhir ini.
“Di sana, tiga batu nisan di kanan sebelah pohon beringin,” seru Cedric sambil menunjuk arah makam itu.
Tanpa perlu diberitahu dua kali, kami segera mengambil jalan setapak di kanan. Batu nisan itu terlihat bersih, seolah ada yang merawatnya akhir-akhir ini. Ya, mungkin itu juga karena baru dimakamkan beberapa hari lalu. Sayangnya, kami tidak bisa mengikuti acara pemakamannya.
Cedric berhenti tepat di depan makam. Di belakangnya, kami bertiga, aku, Luna, dan Freya. Luna membawa setumpuk bunga yang kami petik sebelumnya.
“Maaf kami telat datang, Elsa,” ujar Cedric dengan penyesalan yang mendalam.
“Banyak hal yang terjadi, aku tidak tahu apakah kau mendengarnya dari bawah sana atau tidak, tapi kami sudah secepatnya berkumpul di tempat ini,” ucap Cedric, melangkah lebih dekat ke sisi makam.
Aku mengikuti langkahnya, berdiri di samping makam. “Aku tidak tahu harus menyampaikan apa,” kataku di hadapan batu nisan dengan nama, tanggal lahir, dan tanggal kematian tertulis di atasnya.
“Entah lah,” sahut Freya dengan intonasi rendah. “Rasanya terlalu singkat, aku tidak tahu harus berekspresi apa. Rasanya sedih tapi juga bingung,” sambungnya.
Di saat kami bingung dengan apa yang kami rasakan, Cedric maju lebih dekat, kemudian mengambil posisi jongkok dan mulai membersihkan beberapa daun.
“Biar kubantu,” ucap Freya segera menundukkan badan dan membersihkan beberapa daun kering.
Aku dan Luna ikut membantu pada akhirnya, hingga makam benar-benar bersih. Luna menaburkan bunga sebagai tanda penghormatan.
Kami kembali berdiri, Cedric masih menunduk menghadap makam. Walau tanpa suara, aku seolah mendengar penyesalannya.
“Tidak hanya kalian,” Cedric tiba-tiba berbicara, suara penyesalannya terdengar bergetar. “Aku juga bingung. Sangat bingung, kenapa seseorang seperti dia menolongku? Kenapa seseorang yang baru saja kutemui rela mengorbankan nyawanya untuk orang yang tidak ia kenal sepenuhnya?
“Kita bahkan tidak mengenalnya lebih dari identitas umum. Tentang perasaannya bersama kita dalam misi atau bahkan tentang keputusan malam itu.
“Namun, Freya, Rika, Luna. Apa seseorang dengan mudahnya menghilangkan nyawa untuk sesuatu yang baru saja ia temukan?” Cedric mengangkat kepalanya lalu berbalik menatap kami. Matanya sayup berkaca-kaca. Tidak ada air mata yang jatuh, walau sehelai pun. Tidak ada garis wajah kusut, hanya ada ketegasan.
“Di saat-saat terakhirnya, dia berpesan kepada ku. Di tempat ia terbaring dengan tubuh hampir membiru keseluruhan. Bahkan aku masih mengingat wajahnya.”
“Dia berpesan apa?” tanya Luna. Cedric tersenyum membalas.
“Mati itu jika benar-benar tidak ada seorang pun yang mengingat tentang dirinya.”
Kami terdiam sejenak sebelum Freya menyahut dengan suara yang bergetar. “Sekarang aku menyadarinya. Walau singkat, saat ini kita masih mengingat detail tingkah lakunya, wajahnya, suaranya, rambutnya, matanya, tatapannya, dan pengorbanannya.”
Aku tersenyum kecil, air mata jatuh membasahi pipi. Tidak hanya aku, Luna dan Freya tanpa sadar air mata mereka telah mengalir lebih dulu.
“Padahal aku sudah berjanji untuk tidak menangis lagi,” gumamku sambil mengusap air mata di pipi. Hingga kata-kata terakhir dari Cedric berhasil memecah tangisku.
“Sosoknya yang singkat bisa memberikan kita banyak pelajaran dan sekarang dia tidak benar-benar mati. Kita masih mengingatnya, maka dia akan hidup walau di hati dan pikiran kita.”
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22