“Pada malam yang sama saat kalian melakukan misi, Cedric tiba bersama Elsa. Tubuh mereka penuh luka, aku segera menyuruh hyper tipe penyembuhan untuk melakukan tindakan medis. Keesokan harinya, seseorang dari prajurit perbatasan membawakan surat kepadaku. Berupa surat pernyataan atas tawanan yaitu kalian berdua. Di situ juga tertulis kesepakatan untuk jalur negosiasi. Aku terpaksa menyetujuinya, Cedric juga berkata demikian, namun ada syarat yang mengharuskan mereka berdua bertemu di ronde yang sama dan imbalan untuk fraksi hukum adalah gencatan senjata dalam beberapa waktu.”
Sekarang aku mengerti mengapa semua ini bisa terjadi dan bukan sebuah kebetulan. Pemimpin fraksi Teror Malam itu sangat licik dan cerdik. Sekarang aku tidak bisa menganggap remeh lawan fraksi hukum, mereka juga pasti mengincar kami berempat.
“Lalu tentang Elsa?” Freya membuka kembali percakapan yang hening sekejap. Yeriko tertunduk sebentar sebelum akhirnya menjawab, begitu juga Cedric di sebelahku. Wajahnya tampak sedih dan kesal.
“Saat dirawat, dia terkena racun yang tidak kami kenali. Dokter berkata gejalanya mirip dengan peristiwa Evolvera. Jadi dokter menduga itu adalah gejala evolusi tingkat lanjut.”
“Evolusi tingkat lanjut?” sahutku penasaran.
“Iya, namun dokter berkata itu tidak alami. Bisa dibilang seseorang memberikannya sebagai racun pada senjata atau benda tajam. Aku sendiri tidak mengerti kenapa ada yang berpikir demikian.”
“Sepertinya aku tahu sesuatu,” Freya memotong pembicaraan, semua mata tertuju kepadanya.
“Apa maksudmu, Freya?” tanya Cedric.
“Ini hanya dugaan, tapi ini masuk akal. Ini mungkin ada hubungannya dengan senjata rahasia yang mereka jaga selama ini.”
“Bagaimana kau bisa yakin sedangkan kalian tidak berhasil melihat isinya?” tanya Yeriko mencoba menggali informasi lebih dalam.
“Itu karena kami mendengarnya dari penjaga penjara. Mereka mengatakan sesuatu tentang kristal komet.”
“Hah, iya aku ingat,” sahutku memotong pembicaraan. “Mereka kalau tidak salah mengatakan sebuah kristal komet yang dapat memberikan kekuatan besar pada pemakainya.”
“Apa itu sejenis senjata atau perlengkapan?” tanya Cedric menatapku penasaran.
“Mungkin sejenis perlengkapan. Karena yang kudengar itu dijadikan sebuah cincin,” jawab Freya dengan pasti.
Kalimat itu membuat suasana ruangan mendadak tegang. Semua mata kembali menatap Yeriko, yang tampak lebih serius daripada sebelumnya.
“Gawat bagaimana?” tanya Luna, nadanya penuh kekhawatiran.
“Jika yang kalian katakan itu benar, maka senjata yang membunuh Elsa adalah cincin kristal komet itu.” Yeriko menatap Freya dengan tajam. “Benarkan, Freya?”
Freya mengangguk pasti. Jika kedua orang pintar ini sudah berkata demikian, maka itu pasti sangat mungkin. Aku merasakan jantungku berdetak lebih kencang.
“Sejauh ini yang bisa disimpulkan adalah kekuatan cincin itu bisa membuat seseorang mengalami evolusi kedua. Mungkin ia akan mendapatkan kekuatan lebih besar, namun jika gagal, hasilnya akan seperti Elsa,” lanjut Yeriko dengan suara yang penuh kepedihan.
“Bagaimana bisa mereka membuat senjata seperti itu?” tanya Cedric, nada suaranya menunjukkan campuran antara keheranan dan kemarahan.
“Aku juga tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Yang terbenam di pikiranku adalah bagaimana caranya bertahan dari evolusi kedua,” jelas Freya, pandangannya menerawang jauh.
“Freya benar. Bertahan dari evolusi pertama saja sudah sangat sulit. Bahkan sangat menyakitkan. Aku masih ingat tiap bagian di kulitku yang terasa panas,” sahut Yeriko sambil membayangkan kondisi saat itu. Freya, Cedric, dan Luna menganggukkan kepala setuju, mengingat betapa sakitnya gejolak evolusi.
Namun, ada yang berbeda dari tanggapanku. Tentang rasa sakit itu, aku tidak merasakan apa pun saat gejala evolusi. Apa ini ada hubungannya dengan pohon imajiner itu? Pikiranku berputar penuh dengan pertanyaan.
“Tentang hal itu, kami akan selidiki nanti. Terima kasih untuk misi ini dan sangat disayangkan harus menghilangkan satu nyawa berharga.” Yeriko kembali menunduk sesaat, menandakan rasa hormat dan penyesalan, sebelum melanjutkan topik.
“Langsung ke topik yang baru, tentang pohon imajiner,” katanya. Akhirnya, ini topik yang paling ingin kutanyakan.
“Pertama-tama, kalian harus tahu apa itu pohon imajiner. Beberapa waktu lalu, aku berkunjung ke bagian perpustakaan. Di situ terdapat beberapa hasil penelitian yang berhasil diselamatkan sebelum data digitalnya dihilangkan. Juga beberapa buku tua,” jelas Yeriko dengan nada penuh pengetahuan.
“Kau membaca semuanya secepat itu?” tanya Freya, suaranya takjub.
“Iya, walau hanya sekilas, tapi aku paham garis besarnya,” jawab Yeriko dengan tenang. Aku menelan ludah lagi karena penasaran. Tenggorokanku terasa kering, terlalu banyak yang ingin kutahu hingga malas meminta tambahan air.
“Pohon imajiner itu bukan pohon fisik. Itu hanya konteks kerangka acuan untuk sesuatu yang bersifat bercabang.”
“Aku tidak mengerti,” sahut Luna dengan wajah bingung.
“Wajar untukmu tidak tahu, Luna. Teori ini sudah lama ditinggalkan karena dianggap tidak terbukti bertahun-tahun hingga akhirnya hanya sebatas konsep filosofi,” jawab Yeriko sabar.
“Hey Yeriko, bisakah kau menjelaskan lebih mudah dimengerti?” tanyaku. Aku merasa bahwa semua ini terlalu abstrak dan sulit dipahami.
“Huh,” Yeriko menepuk jidatnya. “Simpelnya, ini mirip dengan pohon keluarga. Memiliki banyak cabang yang saling terhubung. Konsep ini juga mirip dengan pohon keputusan, pohon klasifikasi, pohon sintaksis. Mirip seperti pohon pada umumnya secara nyata, yaitu setiap cabang akan terhubung pada dahan yang lebih besar.”
Aku mengangguk, penjelasannya kali ini lebih mudah dipahami.
“Namun itu jika kita membahas dalam bahasa atau filosofi kenapa istilah pohon imajiner tercipta. Setelah kucari lebih detail, sepertinya ada teori yang berkaitan langsung dengan pohon imajiner.”
“Fisika kuantum,” sahut Freya, membuatku kaget juga takjub. Dia memang pintar dalam hal beginian.
“Freya benar. Ini berhubungan dengan fisika kuantum namun dalam bentuk kosmologis.”
“Bisa jelaskan lebih rinci?” tanya Cedric, matanya menunjukkan ketertarikan yang mendalam.
“Tentu. Intinya, aku punya dua teori yang menjadi patokan. Pohon imajiner hanya konsep teoritis untuk menggambarkan situasi alam semesta yang terjadi saat ini, atau pohon imajiner itu ternyata benar-benar ada secara fisik.”
“Jika dia ada dalam bentuk fisik, maka pohon itu ada di mana?” tanyaku penuh penasaran.
Yeriko tidak bergeming sekejap, sebelum akhirnya Freya menyahut.
“Dia tidak berada di dimensi yang kita tempati.”
“Kau jenius, Freya,” jawab Yeriko dengan nada mengagumi. “Itu juga teori pendukungnya tentang keberadaan pohon itu.”
“Bentar-bentar, aku tidak paham nih,” ujar Luna sambil memegang kepalanya dengan kedua tangannya, berlagak seperti orang sakit kepala.
“Kesimpulannya, pohon itu benar ada dalam bentuk fisik, namun tidak berada di dimensi kita yang sekarang. Atau, teori kedua, pohon itu hanyalah konsep filosofis dan kerangka acuan untuk kondisi alam semesta kita sekarang.”
Aku merasa perlu memahami lebih jauh, jadi aku mengangkat tangan. “Satu pertanyaan dariku.”
“Silakan,” sahut Yeriko.
“Apa kegunaan pohon itu jika benar-benar ada secara fisik?”
Yeriko kembali diam sejenak sebelum akhirnya menjawab. Sepertinya dia memilih kata-kata yang mudah dipahami oleh kami, yang tidak terlalu paham konsep rumit ini. “Jika itu ada secara fisik, maka pohon itu adalah pusat alam semesta. Pohon itu yang mengatur pergerakan setiap dunia yang kita tidak ketahui, termasuk dunia kita juga terdapat di dalamnya. Setiap cabangnya mewakili setiap semesta yang terbentuk. Hanya itu yang bisa kusimpulkan. Sebagian besar pengetahuan telah hilang. Beberapa tim ekspedisi juga sedang kukerahkan untuk mencari sisa-sisa buku fisik di kota ini, bahkan jika perlu ke kota utama.”
“Jika yang mau kau katakan tentang bentuk fisik, maka itu lebih tidak masuk akal. Akan sebesar apa pohon itu?” bantah Freya.
“Ya, kau benar. Aku tidak bisa menyangkalnya. Kita kekurangan informasi, makanya aku membuat teori filosofis sebagai bentuk adaptasi dari celah yang salah,” jawab Yeriko sambil menghela napas.
Freya terdiam, mengangguk sekali, lalu bersandar ke kursi. Suasana hening kembali, setiap orang memikirkan sesuatu tentang pohon itu. Tentang misteri yang disampaikan oleh diriku dari masa depan. Juga tentang alasan mengapa diriku—
“Kalian akan pergi ke Pulau Jawa, kan?” Yeriko kembali memecah hening.
“Iya, kenapa Tuan?” jawab Cedric dengan alis yang terangkat satu.
“Begini saja, sebenarnya aku ingin melepaskan kalian. Namun, bantulah aku dengan satu hal,” kata Yeriko, suaranya penuh harap.
“Tentang apa?” tanyaku, memastikan tindakan licik apa yang dia akan perbuat.
“Saat kalian meninggalkan Kalimantan, pergilah ke Pulau Jawa dan bertemu dengan petinggi di sana. Siapapun itu, dan katakan kepada mereka untuk membuat persatuan yang baru.”
“Huh? Tugas apa lagi itu? Tidak akan,” bantah Freya sambil membanting meja.
“Aku tahu itu berat, tapi beginilah cara satu-satunya menyelamatkan dunia. Kalian ingatkan pesan dari Rika masa depan?”
Kami mengangguk. Pikiranku melayang kembali ke pesan itu, betapa mendesaknya misi ini.
“Maka dari itu, mohon bantuannya. Hanya kalian yang bisa kupercaya untuk membawa pesan ini.”
“Baiklah, aku setuju,” ujarku tanpa ragu. Freya, Luna, dan Cedric langsung menatapku, mereka kaget aku menyetujui sepihak.
“Kupikir tidak ada salahnya,” tambahku, menatap mereka bertiga dengan tenang. Cedric, yang lebih mendengarkan, langsung menatap serius Yeriko.
“Jadi, kapan kami bisa pergi dengan aman?” tanyanya.
“Setelah kami membereskan Fraksi Teror Malam. Tapi jika kalian memaksa pergi, aku menyarankan untuk tidak bodoh melakukannya. Mereka pasti akan menyerang perbatasan dalam waktu dekat. Perang besar akan bergejolak sebentar lagi.”
“Iya, kami tahu. Kami sudah terlibat terlalu dalam,” dengus Freya, melipat tangannya. Dia mulai bosan sepertinya. “Jadi ada yang ingin kau sampaikan lagi? Aku seharusnya istirahat sekarang.”
“Tidak ada. Kalian bisa pulang. Jika ada keperluan, prajurit kami akan memberitahukan seperti biasa.”
“Baiklah, ayo pulang, Cedric,” kata Freya sambil berdiri dari kursinya dan segera berbalik membuka pintu. Aku menyusul begitu juga Luna, dan terakhir Cedric. Dia menundukkan kepala sesaat, hanya aku yang melihatnya, mengucapkan terima kasih yang sangat mendalam.
Kami melangkah keluar ruangan dengan perasaan campur aduk. Satu bagian dari diriku merasa lega karena ada harapan untuk mengatasi semua ini. Namun, satu bagian lain merasa cemas menghadapi tantangan besar yang menanti di depan. Aku tahu, apapun yang terjadi, kami harus tetap bersama dan saling mendukung untuk melewati semuanya.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22