“Pertandingan selesai, tidak ada pemenang.” Komentator menyambut acara lagi setelah keheningan dan keributan secara bersamaan dengan kekuatan yang menekan kami semua. Penonton berseru kecewa juga beberapa langsung pergi meninggalkan stadion. Begitu juga pasukan fraksi teror malam. Mereka sama sekali tidak melanjutkan perdebatan, langsung pergi seolah tidak terjadi apapun
“Rika, temui teman-teman mu. Aku akan berbicara dengan kalian semua setelah keributan ini ku selesaikan sebelum makan siang.”
“Aku tidak peduli kapan kau akan menyelesaikannya.” Aku menyahut sesaat ia akan melangkah pergi, Yeriko berhenti sejenak sembari menarik nafas lega.
“Rika, umur ku tidak beda jauh dengan kalian. Aku terpaksa melakukan ini semua demi rakyat ku juga demi kalian, Sehingga aku tidak akan peduli jika kebencian kepadaku adalah efek sampingnya. Aku harap kalian datang ke markas bawah tanah saat makan siang, aku ingin mengucapkan terimakasih.” Dia pergi tanpa melirik ku sedikit pun. Aku menatap bahunya yang lebar perlahan menjauh. Bahu yang menanggung beban umat manusia di kota ini. Aku paham kenapa dia harus mengambil keputusan ini, mungkin aku bisa membuka sedikit pola pikir ku untuk menerima kehadirannya.
Singkat cerita aku menemui penjaga dan menyuruh mereka melepas sangkar hitam yang mengurung Freya dan Luna. Pertemuan haru setelah beberapa hari, luna datang lalu memelukku
“Omong-omong sejak kapan Luna sembuh?” Aku melepaskan pelukan erat dan bertanya singkat kepada Cedric.
“semalam.” Ucap Freya.
“Begitu ya...” Sesaat aku mengingat seseorang. “Eh Elsa bagaimana kabarnya?”
Wajah Cedric langsung murung. Aku menatapnya khawatir, apa sesuatu terjadi kepada mereka pada malam itu.
“Cedric, apa yang terjadi?” tanya ku perlahan. Masih memperhatikan matanya yang goyah.
“Elsa, gugur dalam tugas. Dia tidak mengatakan kepada ku jika ia terkena racun saat kami berusaha meloloskan diri.”
Demi mendengar itu membuat ku kaget menutup mulut. Masih tidak percaya apa yang terjadi, masih tidak percaya itu semua terjadi dalam semalam.
“Aku sangat menyesal menerima permintaan itu.” Dengus Cedric memukul tiang besi di kanannya.
“Lebih baik kita balik, kita akan mengunjungi kuburan nya nanti.”
“iya.” Yang lain mengangguk. Kami segera pergi meninggalkan stadion bersama pasukan fraksi hukum.
***
Hal pertama yang kulakukan sesampainya di penginapan adalah mandi. Tubuhku menyengat karena tidak mandi beberapa hari sejak terakhir kali kami melakukan misi itu. Begitu air hangat menyentuh kulitku, rasanya semua ketegangan dan kotoran yang menempel terlepas. Mandi kali ini tidak lama, hanya sekitar 30 menit. Bahkan Freya bisa lebih lama, hingga satu jam. Sementara itu, Cedric
di luar terus berteriak menyuruh kami cepat-cepat keluar. Dia memang cerewet, padahal laki-laki.
“Freya, cepatlah, atau kami tinggal!” teriak Cedric dengan nada putus asa.
“Sabarlah, sebentar lagi,” sahut Freya dari dalam kamar mandi.
“Hey, terakhir kali kau bilang begitu 20 menit lalu!”
“Oh iya kah?” jawabnya polos, seolah itu hal biasa.
“Kau ini, apa tidak disiplin huh!”
“Iya-iya, sabar, 5 menit lagi aku keluar. Menyebalkan,” dengus Freya.
Aku tidak bisa menahan tawa. Tawa itu pecah begitu saja, membuat Luna dan Cedric menoleh ke arahku.
“Kenapa?” tanyaku setelah berhenti tertawa, merasa heran dengan perhatian mereka yang tiba-tiba.
“Apa yang terjadi? Jarang aku melihatmu tertawa, Rika,” kata Cedric dengan rasa penasaran.
“Ya, karena kalian lucu,” jawabku singkat, sambil menyeka air mata yang keluar karena tertawa.
“Apa hanya itu?” tanya Luna, tampak sedikit curiga.
“Mungkin, karena akhir-akhir ini hidup terasa lebih berat bagiku. Jadi saat aku melihat kalian, rasanya ingin tertawa bahagia,” kataku jujur, merasakan kelegaan yang langka.
Cedric dan Luna menatapku sayup, bibir mereka perlahan tersenyum. Canda tawa pecah kembali, tidak ada yang lucu sebenarnya, tapi kami tertawa terbahak-bahak seperti orang gila.
Waktu berlalu begitu saja. Menunggu Freya siap-siap seperti menunggu artis papan atas berdandan. Cedric akhirnya menyerah, lelah meneriaki Freya untuk cepat-cepat
Kami berjalan kaki sekitar 20 menit menuju markas utama. Dalam perjalanan, Luna banyak bertanya, terutama tentang misi kami sebelumnya. Dia ingin tahu tentang target kami, perkembangan kekuatanku yang pesat, dan tentang Cedric yang egois saat itu. Kami menceritakan semuanya, hanya untuk mengisi perjalanan.
“Bagaimana menurutmu, Rika?” tanya Luna tiba-tiba.
“Tentang apa?” tanyaku, sedikit bingung.
“Tentang Yeriko.”
“Kenapa?” aku kembali bertanya, masih bingung.
“Tentang sikapnya. Aku merasa dia tidak seburuk itu.”
“Hm? Kau tahu apa, kan kau tidak sadarkan diri.”
“Ya, kau tidak salah sih, tapi walaupun tidak sadar, pendengaranku masih berfungsi.”
“Oh iya kah?” Aku baru tahu fakta itu.
“Jadi kau mendengar ceritaku saat menjenguk?” tanya Freya.
“Aku mendengarnya, walau hanya beberapa yang kuingat. Namun, yang paling tidak ku sangka tentang Yeriko. Aku baru pertama kali bertemunya setelah terbangun, akhirnya selalu mendengar kalian membicarakan Yeriko itu jahat dan apapun sikap buruk manusia seolah padanya. Aku merasa itu tidak, karena sesekali aku mendengar percakapan dokter yang merawatku setiap beberapa jam. Mereka selalu berkata kalau Yeriko selalu menyuruh merawatku dengan baik tanpa kekurangan, bahkan sesekali dia datang menjenguk bersama dokter.”
Suasana hening sebentar, langkah kaki tetap berlanjut. Sekali lagi aku menunduk, menghadap jalan, memikirkan apa yang Luna katakan.
“Bukankah itu hal biasa?” tanyaku.
“Entahlah, aku tidak merasa itu hal yang umum. Karena aku tidak sering mendapatkan perhatian dari orang yang tidak ku kenal.”
“Bukankah idol selalu mendapatkan perhatian?” tanya Freya dengan nada menggoda.
“Ya kau benar Freya, tapi aku tidak pernah mendapatkannya.”
“Huh? Bagaimana bisa?” tanyaku dengan wajah terkejut. Bagaimana bisa seorang idol jenius mendapatkan perhatian yang begitu sedikit?
“Bukan seperti yang kalian pikirkan. Hidupku hanya mendapatkan perhatian jika aku harus berpura-pura sehat dan bahagia. Namun berbeda jika aku di belakang layar, aku sangat kesepian. Saat sakit, tidak ada yang boleh menjengukku kecuali manajer dan rekan kerja. Tidak sekalipun aku merasa punya teman, sahabat, atau bahkan pacar. Kontrakku sangat mengekang privasiku.”
“Kalau tahu begitu kenapa di tanda tangani? Aku yakin banyak agensi lain yang mau menerima, kan?” tanyaku.
Luna menggeleng pelan sembari menatapku. Bibirnya berusaha tersenyum, namun aku bisa melihat kesedihan yang tersembunyi di matanya.
“Tidak semudah itu. Lagipula, tujuan kontrak itu juga untuk melindungiku. Hanya mereka, agensi yang kupercaya. Walau terlihat menyakitkan, kontrak itu yang melindungiku selama ini,” jelasnya dengan suara halus. Terkadang aku melihatnya seperti gadis kecil yang polos, tapi sekarang dia terlihat seperti remaja pada umumnya.
“Jangan dipikirkan, itu hanya masa lalu. Lagipula aku sudah bahagia bersama kalian,” katanya sambil tersenyum lebar, meski aku tahu senyum itu menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Seharusnya kami yang menghibur dirinya, tapi sekarang dia justru berusaha menghibur hati kami.
“Kau benar-benar seorang idol, Luna,” ucap Cedric sembari menatapnya lembut, seperti tatapan seorang ayah kepada gadis kecilnya.
“Luna, Freya, Rika,” lanjut Cedric, menatap kami bergantian. “Mari berjuang hingga kita keluar dari tempat ini dan mewujudkan impian yang selama ini tidak tercapai.”
Aku tersenyum malu, menatap matanya. Bagaimana sosok ayah yang selama ini kudambakan.
“Ya-ya, ayo jalan cepat, aku juga lapar ini,” Freya menyerobot barisan dan berjalan cepat di paling depan.
“Tu-tunggu woi,” seru Cedric.
Perjalanan kami berlanjut. Sesekali canda tawa memenuhi cerita dalam perjalanan hingga menit-menit berlalu. Kami tiba tepat di depan pintu masuk markas bawah tanah.
“Kami diundang Yeriko,” Cedric berbicara kepada penjaga itu lalu membawa kami menuju ruang makan. Aku sempat ingin bertanya kepada Cedric kenapa perlu dikawal empat penjaga seperti ini—aku merasa seperti menjadi tahanan lagi.
Sesampainya di ruang makan, aku tahu ini bukan ruang makan, ini adalah ruang rapat saat kami bertemu pertama kali. Aku mulai merasa ada yang aneh. Dari luar ruangan itu tidak terlihat ke dalam isinya karena ditutupi tembok dan teknologi kedap suara.
“Ayo masuk,” Cedric membuka pintu dan menyuruh kami masuk. Dia tampak tidak peduli apa yang terjadi selanjutnya, terlihat dari raut wajahnya yang santai.
Yeriko berdiri di hadapan kami.
“Jadi apa tujuanmu, Yeriko?” aku langsung menegurnya, tapi bukan sapaan yang bagus untuk pertemuan di ruang rapat ini. Yang benar saja ini ruang rapat yang sama, di mana makanannya?
“Ini bukan ruang rapat saja. Ini adalah ruang makan juga.” Yeriko menekan tombol di bawah meja bundar yang memanjang. Sesuatu keluar dari atas dan bawah, membentuk meja makan mewah, seperti meja makan di restoran bintang lima. Yang lebih mengejutkan adalah melihat sekelompok orang dengan nampan dan piring besar berisi daging ayam, sayuran, dan kentang. Terlihat mewah dan enak.
“Silakan makan, makanan ini bukan buatan robot chef seperti di apartemen kalian, ini murni buatan tangan manusia.”
Aku mengangguk, belum sempat memasukkan makanan ke mulut, aku melirik Cedric sejenak. Dia juga mengangguk dan memasukkan suapan pertama. Apa tidak ada yang curiga dengan racun di makanan ini?
“Rika, santai saja, hari ini aku hanya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan juga permintaan maaf, tidak ada racun di makanan itu aku jamin.” Yeriko lagi-lagi membaca isi pikiranku. Dia mulai membuatku tidak nyaman. Sebenarnya apa tujuan dia mengundang kami makan siang?
“Lalu apa tujuanmu? Mungkin kita bisa bicara sembari makan.” Lagi-lagi dia membaca pikiranku. Untungnya, dengan cahaya lilin di meja serta lampu redup di atas kepala kami, suasana menjadi lebih tenang. Aroma lilin aromatik itu juga membuatku rileks.
“Kau ingin tahu apa yang terjadi pada arena gladiator?” tanyanya dengan nada serius.
Seruan Yeriko membuatku menegak ludah. Dia lagi-lagi seperti membaca pikiranku. Apa di dunia ini banyak yang bisa membaca pikiran orang lain?
“Tenanglah, di kota ini hanya ada dua orang yang bisa membaca pikiran. Salah satunya aku,” katanya dengan tenang.
Mataku melotot kaget. Aku menyadari satu orang lagi yang bisa melakukannya. Tidak sadar, aku mengucapkan namanya.
“Dan yang kedua adalah pemimpin Teror Malam.”
“Kau sudah bertemu dengannya?” Wajah Yeriko terlihat kaget sesaat. Aku mengangguk sekali.
“Kalau begitu, kau sudah tahu seberapa kuatnya dia.” Yeriko mengambil satu suapan ke mulut, melanjutkan makan sebentar lalu aku menjawab.
“Iya,” jawabku singkat, merasa sedikit canggung.
“Baiklah, kita selesaikan makanan. Sepertinya tidak ada perbincangan santai yang terlintas sekarang.” Ucap Yeriko melanjutkan menghabiskan jatah makanannya. Begitu juga kami berempat. Hingga tanpa sadar, kami menghabiskan makanan dengan cepat tanpa pembicaraan apa pun. Semuanya terasa canggung. Hingga akhirnya Yeriko memecah keheningan.
“Baiklah, sebelum ke pembahasan utama, yang ingin saya sampaikan adalah permintaan maaf.” Aku kaget mendengar ucapannya. Orang seperti dia bisa meminta maaf?
“Terserah apa yang kalian pikirkan, tapi beginilah yang seharusnya kuputuskan. Maaf untuk kejadian arena gladiator, maaf untuk membuat Cedric menghadapi temannya sendiri dan maaf telah menjadikan Luna sebagai taruhan.”
Apa yang terjadi dengan Yeriko? Kenapa dia jadi lembek begini? Aku jadi prihatin. Apa sebenarnya dia tidak seburuk itu?
“Cedric mungkin sudah tahu detailnya, aku sudah membicarakan itu dengannya. Tapi aku akan beritahukan lagi terutama pada kalian berdua, Freya dan Rika.”
Aku mengangguk sekali, fokus mendengarkan. Dia berhenti sejenak, menaikkan satu kaki ke kursi, menyilangkan kakinya. Dengan kedua tangan mengepal menopang bahu.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22