"Mari kita lanjutkan pertandingannya. Dalam hitungan ketiga," komentator kembali berseru, memberikan aba-aba. Penonton mulai mengikuti dengan antusias.
"Satu..."
Bagaimana ini, apa aku harus menyerang? Jantungku berdegup kencang. Keringat dingin mulai membasahi pelipisku.
"Dua..."
Cedric menatap mataku, dia juga terlihat bingung. Aku bisa melihat keraguan yang sama di wajahnya.
"Tiga, gladiator dimulai!" teriak komentator, dan penonton bersorak kegirangan.
Tanpa disangka-sangka, Cedric melesat cepat ke arahku. Aku langsung memasang kuda-kuda, berusaha menahannya.
Bum!
Pukulan Cedric berhenti hanya satu senti dari wajahku. Aku bisa merasakan angin dari tinjunya.
"Rika, ayo pura-pura bertarung. Kita bicarakan situasinya sembari bertarung!" bisiknya dengan cepat. Aku mengangguk, segera mengikuti arah pertarungan seolah sedang bermain drama aksi. Tidak ada satu pun pukulan yang benar-benar mengenai kami. Kami bergerak dengan hati-hati, merencanakan setiap gerakan agar tidak saling melukai.
"Bagaimana sekarang?" tanyaku di tengah pertarungan.
"Aku akan mengalah," jawab Cedric.
Pilihan bodoh apa ini? "Kau ingin membuat kami bertiga mati?" Aku terdiam sesaat, mencoba menenangkan pikiran. "Lebih baik aku yang mati."
Demi mendengar itu, Cedric mundur menjauh dariku. Dia menatapku lamat-lamat, matanya bergetar. "Kau bercanda?"
"Tidak Cedric, aku serius. Bunuhlah aku." Kami menghentikan pertarungan sejenak. Penonton bersorak, menyuruh kami melanjutkan.
"Ini tentang nyawa, jangan kau permainkan Rika!" dia membentakku barusan. Membuatku merasa sedih dan putus asa. Sepertinya inilah keputusan sulit yang dimaksud ketua faksi.
"Cedric, kita dijebak. Lebih tepatnya, aku dijebak."
"Maka kita keluar bersama-sama." Suaranya membuat hatiku bergetar. Tapi itu hanya omong kosong. Entah mengapa aku merasa seperti itu kali ini.
"Tidak ada cara lain, permainan ini tidak akan berakhir sebelum salah satu dari kita mati."
"Tidak akan, pasti ada jalan keluarnya."
Aku menghela napas panjang, memasang kuda-kuda bersiap melanjutkan pertarungan. "Cedric, jika kau tidak ingin membunuhku, maka aku harus membuatmu membunuhku."
Aku melompat tinggi, mengambil anak panah dari kantung panah di punggung. Membidik dan menembak. "Barrier: One side!"
Tak! Tak! Tak! Tiga anak panah berhasil ditepis. Barrier-nya semakin kuat. Kalau begitu aku harus membuatnya lebih terdesak.
Aku mendarat tepat di atas barrier-nya, kemudian melompat kembali tepat berada di belakang Cedric. "Aku tidak main-main Cedric, jadi cepatlah bunuh aku jika kau tidak ingin kami bertiga mati."
Cedric berbalik. Sesaat sebelum ia membalik badan bersiap menerima serangan, aku sudah siap dengan rantai-rantaiku. "Imagination: chain knife!"
Keempat pisaunya bergerak menggunakan rantai bagai belalai. Bergerak cepat menusuk dari belakang. Cedric yang menyadari langsung melompat salto di udara. Tapi dia lupa, aku tidak bercanda. Jika dia tidak membunuhku, maka caranya adalah dengan membuat nalurinya terpaksa membunuhku.
Rantaiku bergerak ke atas. Perlahan otakku membelit, membayangkan setiap objek yang kukendalikan. Sulit tapi harus kulakukan. Sakit juga menyiksa tapi harus kulakukan. "Aku punya alasan untuk mati kali ini."
Tack!
Rantai itu tertahan sesuatu. Itu Cedric dengan barrier-nya. Penonton bersorak takjub melihatnya, merasakan ketegangan yang sama seperti yang kurasakan. Aku mengerutkan kening, melihat Cedric mulai serius menanggapi.
"Ini belum berakhir," gumamku dengan dingin. Aku mengangkat kedua tanganku setinggi kepala, merasakan kekuatan mengalir melalui rantai-rantai yang melayang di udara. Ujung bilah rantai berbalut udara, siap menghancurkan apapun yang menghadangnya.
"Coba tahan kali ini," tantangku. Rantai-rantai itu meluncur turun dengan kecepatan tinggi. Cedric berlari menghindari, tetapi aku tahu dia tidak bisa menghindari semuanya.
Bum!
Rantai pertama menghantam tanah, menciptakan ledakan debu.
Bum!
Rantai kedua berhasil dihindari dengan salto di udara, menghantam tanah dengan keras. Cedric berhasil menangkap rantai ketiga dengan tangan kosong, membuat penonton berseru kagum.
Tapi Cedric melupakan rantai terakhir. Rantai itu sekarang tepat di belakangnya, memutar tubuhnya memberikan pukulan ledakan.
BUM!
Cedric terhempas sepuluh meter dari ledakan. Aku hampir ingin berteriak sesaat, khawatir dengannya, tapi ini bukan saatnya untuk ragu.
"Cedric, seriuslah, jangan menahan dirimu," teriakku, suara ku penuh dengan ketegangan.
"Argh," Cedric berusaha bangkit dengan kedua tangannya bergetar. Itu bukan getaran karena kesakitan, tetapi karena keraguan.
"Kapten!" Aku memanggilnya, mencoba menarik perhatiannya. Kepalanya mendongak, menatap mataku. Matanya melebar, penuh kekhawatiran.
"Kapten, aku mohon turuti keegoisan ku kali ini." Air mataku tumpah, sesaat sebelum melepaskan kekuatan terakhirku.
"Imagination..." aku menutup mata, masuk ke mode fokus tertinggi. Di dalam kegelapan, aku membayangkan kekuatan yang lebih besar, rantai yang lebih kuat. Kali ini harus meyakinkannya.
"Stone hands!" aku berteriak. Retakan-retakan muncul di dinding arena, perlahan terkelupas dan melayang di hadapanku, membentuk dua tangan raksasa. Kekuatan ini menguras sisa-sisa tenagaku.
"Argh!" Aku berusaha menahan rasa terbakar di kepalaku. Sangat sulit untuk fokus, membayangkan setiap sisi bentuk dari kedua tangan batu yang kubuat.
"Rika hentikan, kau hanya akan membuat dirimu tersiksa!" Cedric berteriak, menggetarkan hatiku. Membuatku perlahan ragu, ingin menuruti perkataannya. Tapi aku menolak. Ini bukan saatnya peduli tentang siksaan sesaat. Orang-orang di hadapanku, orang-orang yang telah membuatku mempertanyakan tentang arti kehidupan lagi. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Aku kembali berdiri tegap, memasang kuda-kuda. Kedua tanganku di sisi pinggang kanan dan kiri mengepal. Kedua tangan batu itu juga sama mengepal di sisi kanan dan kiri. Kemudian aku berteriak, melepaskan tinju ke depan.
"Hiyaaaaaa!"
Kedua tangan batu itu melesat kencang. Cedric telah memasang barrier kokoh satu sisi.
Bum! Bum! Kedua pukulan itu mendorong Cedric sepuluh meter. Barrier-nya tidak pecah, tapi itu cukup menyakitkan untuk ditahan.
Serangan berikutnya, kedua tangan batu berpencar dari kanan dan kiri, bersiap memberikan pukulan gelombang kedua.
Bum! Bum!
Cedric menahannya kanan dan kiri, satu lengan dengan barrier menahan satu tinju batu. Tubuhnya hampir terjepit.
Bum! Dua tinju itu beradu, membentuk kepulan debu. Cedric berhasil melompat sebelum tinju itu meremukkan tubuhnya.
"Kau tidak akan bisa lari!" Aku mengangkat satu tangan mengarah langsung ke arah Cedric yang melayang jatuh. Sesaat kembali menutup mata. Kalimat perintah kekuatan terucap.
"Imagination: chain shackles."
Cring-cring! rantai keluar dari telapak tanganku, terbang menuju Cedric. Dalam sesaat tubuhnya terkekang rantai. Tidak bisa bergerak. Ia jatuh ke tanah, tubuhnya tersungkur dengan wajah menyentuh tanah. Aku berjalan maju mendekat, sesaat dia berteriak menyuruhku berhenti namun tidak kuhiraukan. Aku terus mendekat.
"Cedric, akhiri hidupku sekarang."
"TIDAK!!!" teriaknya. Membuat hatiku hancur.
Tanganku gemetar, emosi menggelegak dalam dada. "Cedric, ini satu-satunya cara. Kita harus memilih siapa yang hidup dan siapa yang mati. Aku... aku tidak bisa melihat mereka menderita lebih lama. Freya, Luna... mereka semua bergantung padaku. Tolong, lakukan ini demi mereka."
Cedric menggeleng, air mata mengalir di wajahnya. "Rika, aku tidak bisa... aku tidak bisa membunuhmu."
Aku berlutut di depannya, memegang wajahnya yang basah oleh keringat dan air mata. "Cedric, jika kau tidak melakukannya, kita semua akan mati. Aku... aku sudah memutuskan. Ini adalah pengorbananku untuk mereka. Tolong, jadikan pengorbananku tidak sia-sia."
Cedric menatapku dengan mata penuh rasa sakit. "Rika, aku... aku tidak bisa...”
Dengan tangisan terakhir, aku mendengar suaranya, penuh kesedihan dan ketegasan. “Maafkan aku, Rika.”
Kini giliranku menangis, air mata membasahi rumput yang kering. Suaraku parau, memelas, memohon dengan segenap hati. “Aku mohon.” Sekali lagi aku memohon dengan tangan terkurung di dada, berharap dia menerima permintaanku yang egois ini.
“Kau kira akan selesai dengan membunuh, huh!” Cedric membentakku lagi, kata-katanya terasa seperti duri yang menusuk hati.
“Kita sudah dijebak, Rika, sadarlah!” Bentakan itu membuat hatiku hancur berkeping-keping. Cedric tidak mengerti penderitaanku, dia tidak bisa mengerti walau hanya sejengkal perasaanku.
“Sadar, Rika! Jangan egois!” Mendengar kata-katanya, aku tanpa sadar mengepalkan tangan semakin kuat, air mata semakin deras mengalir, membasahi pipiku. Suaraku parau menjawab, “Jadi aku harus apa? Aku harus bagaimana?” Aku terisak, suara tangisanku semakin keras. “Aku tidak tahu harus bagaimana, aku tidak bisa membunuh diriku sendiri, dan aku tidak mungkin membunuh kapten.”
“Rika...?” Cedric memanggilku, suaranya melemah.
“Kapten, berikan aku jawaban dan tuntun aku.” Aku memohon dengan putus asa. Cedric diam, terjebak dalam riuh suasana. Tidak ada jawaban, tidak ada petunjuk, hanya keheningan yang menyesakkan.
“Aku tidak punya jawaban.” Ucapnya sambil menatap mataku sekali, lalu memalingkan pandangannya. Keputusasaan melanda hatiku. Tanpa sadar aku mengatakan sesuatu yang buruk tentangnya. “Kau egois, kapten, kau egois!”
“Maaf, aku yakin pasti ada jalan keluarnya.” Jelasnya dengan nada ragu. Aku menatapnya dengan amarah yang membara, kemudian mundur perlahan sambil menutup mulutku. Air mata terus tumpah, membasahi tanah.
“Aku benci kau, kapten, sangat benci.” Aku mengangkat tanganku, mulai menutup mata dan kembali fokus membentuk satu tinju beton. Niatku jelas: mengakhiri hidupku sendiri. Walau aku ragu, walau aku takut, walau akan terasa sangat menyakitkan. Namun, setidaknya Freya, Luna, dan Cedric bisa hidup bahagia berkat pengorbananku. Mereka pasti akan lebih baik tanpa kehadiranku.
“Apa yang kau lakukan, Rika!” Cedric berteriak, berusaha melepaskan rantai yang membelenggunya. Teriakannya terus menggaung, memintaku berhenti, tapi aku tidak menghiraukannya. Perlahan aku mundur, berusaha menjauh dari pandangannya. Aku tidak ingin darahku mengotori wajahnya.
Tinju raksasa itu sudah berada 15 meter tepat di atas kepalaku. Kapan pun aku siap, aku akan memutus energi dan tinju itu akan jatuh, meremukkan badanku. Aku menoleh ke arahnya sekali lagi. “Cedric, terima kasih atas semuanya.”
“Rikaaaa!” Cedric berteriak keras, suaranya penuh dengan kepedihan dan ketakutan. Aku memutuskan energi, tinju itu jatuh bebas. Dalam dua detik, semua akan berakhir.
Dalam detik-detik terakhir itu, dunia seakan berhenti. Aku merasakan dinginnya angin yang menerpa kulitku, suara teriakan Cedric yang semakin menjauh. Ada perasaan tenang yang aneh mengalir melalui diriku. Aku menutup mata, bersiap menghadapi akhir.
Bum!
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22