“Hey cepat bangun!” seseorang berteriak di sampingku, menendang keras kursiku hingga aku terjatuh ke lantai. Rasa sakit di sisi tubuhku langsung menyadarkanku. Aku terbangun seketika, bingung dan linglung. Sepertinya aku tertidur karena obat tidur. Apa karena asap aneh itu?
“Apa yang kalian lakukan, cepat buka ikatannya!” suara perintah itu membuatku semakin terjaga. Adrenalin mulai mengalir dalam tubuhku, meski kepala masih terasa berat.
“Baik, sebentar,” jawab seseorang. Aku merasakan sentuhan tangan di pergelangan dan pergelangan kaki, membuka ikatan yang mengekangku. Begitu bebas, aku segera memegang kepala yang terasa berdenyut nyeri. Pusing menghantamku, membuatku terhuyung ketika mencoba berdiri.
“Hey, cepat pakai suit armor ini,” seorang wanita menyerahkan setelan armor kepadaku. Matanya terlihat khawatir meski wajahnya berusaha tampak tenang.
Aku menatap armor itu dengan bingung dan enggan. “Kalian bertiga pergilah, aku akan membantunya dan berjaga supaya dia cepat,” kata wanita itu, mengusir dua pria yang bersamanya. Mereka menurut, meninggalkan ruangan pengap ini.
Dengan perasaan berat dan kebingungan, aku mulai mengenakan armor itu dengan bantuan wanita tersebut. Dia membantu dengan cekatan, tapi tetap saja aku merasa tidak nyaman. Setiap kali dia memasang satu bagian, aku bisa merasakan kehangatan tangannya, namun dia tetap diam, tidak memberikan penjelasan apa pun.
Setelah selesai, aku merasa seperti tahanan perang. Wanita itu memasang ekspresi simpati yang samar, sementara di belakangku, seorang pria menodongkan senjata. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, selain mengikuti perintah mereka.
Kami berjalan melewati lorong-lorong gelap selama lima menit, menaiki beberapa anak tangga. Cahaya menyentuh kornea mataku saat kami keluar dari bawah tanah kantor walikota. Aku mencoba mengingat setiap detailnya, mungkin saja aku bisa kembali untuk menjemput Freya. Namun, kekhawatiran menyelimutiku sejak tadi. Aku tidak berani menanyakan tentang Freya kepada prajurit yang menahan kami.
“Kau, cepatlah jalan.” Suara perintah itu kembali terdengar, kasar dan tanpa empati.
“I-iya,” jawabku dengan nada gemetar, segera mengikuti mereka keluar dari kantor walikota. Di halaman belakang, barisan truk terbang lapis baja milik militer menunggu. Mereka menyuruhku naik, dan aku hanya bisa menurut. Aku tidak tahu akan dibawa ke mana. Truk ini penuh dengan prajurit bersenjata lengkap. Tidak ada celah bagiku untuk melarikan diri. Di belakangku, beberapa truk dan penjaga berjalan di jalur yang sama, membentuk konvoi.
Selama 15 menit perjalanan, hening menyelimuti truk. Akhirnya, konvoi ini berhenti. “Cepat turun! Tidak ada yang menyuruhmu menumpang santai,” teriak seorang prajurit. Rasa kesal meluap dalam diriku. Aku ingin membalasnya, tapi kutahan niat itu. Aku tidak tahu keberadaan Freya atau bahkan kondisinya. Aku tidak ingin mengambil risiko yang membahayakan Freya, mungkin saja dia jadi sandera.
Saat turun, pandanganku langsung tertuju ke depan. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Bukankah ini stadion yang telah kosong karena ledakan Evolvera? Lalu kenapa menjadi ramai dengan teriakan di tribun? Bahkan sebelum memasuki pintu utama, suara penonton berseru ria terdengar keluar.
Bukan itu saja yang membuatku heran. Di kanan dan kiri, penuh peralatan tempur faksi teror malam. Beberapa prajurit elite berjaga dengan perlengkapan yang sangat canggih.
“Cepat jalan!” dorongan kasar itu kembali menghantam punggungku.
“Ugh,” keluhku, kesal. Mereka kasar sekali, mendorongku terus-menerus. Sekarang ke mana lagi mereka akan membawaku? Sepertinya kami masuk bukan dari pintu utama penonton, tetapi dari pintu VIP. Melewati lorong terang dengan keramik marmer yang indah di bawah kakiku. Stadion ini tidak terlihat kumuh dari dalam.
Lorong ini juga terdengar sepi dan kedap suara, padahal tepat di bawah tribun. “Langsung ke ruangan ketua faksi,” perintah prajurit di kananku kepada rekannya yang berjaga di depan lift. Pria itu segera menekan tombol menuju lantai tertinggi, tempat VVIP menonton pertandingan bola.
“Kenapa gadis itu dibawa bertemu ketua faksi?” tanya rekannya, melirik ke arahku dengan curiga. Percakapan mereka terdengar samar di telingaku,
“Tidak tahu, mungkin saja ketua faksi ingin membunuhnya dengan tangannya sendiri.”
“Itu bagus, aku tidak ingin mengotori tangan membunuh wanita, hahaha.”
“Ha-ha-ha, kau benar.”
“Nah, lift sudah terbuka.”
“Ayo cepat masuk, ketua faksi tidak punya waktu!” Lagi-lagi pria itu mendorongku masuk hingga hampir terbentur ke dinding lift.
Aku mengatupkan gigi, mencoba menahan marah dan rasa takut yang terus berkecamuk. Sepintas pintu tertutup, dua prajurit menjaga di kanan dan kiriku. Aku benar-benar tak punya cara untuk melarikan diri. Aku harus menghadapinya, atau mungkin Freya dalam bahaya jika aku kabur. Pikiranku terus dipenuhi bayangan Freya, cemas akan nasibnya.
Pintu lift terbuka, dan pria itu menolak aku keluar lift dengan kasar. Penjaga yang lain menangkap kedua lenganku, menggiringku turun ke lantai dasar.
“Ketua faksi, maaf mengganggu tontonan Anda. Gadis yang Anda suruh menghadap telah tiba,” salah satu dari prajurit itu berbicara kepada seseorang. Sosok itu duduk sekitar dua meter di hadapanku, di atas sofa panjang menghadap dinding kaca besar yang menyaksikan sesuatu di bawah sana.
Suara yang terdengar tidak asing menyambut, “Lepaskan dia, tidak ada yang berbahaya dari gadis itu.”
“Baik, Ketua.” Kedua prajurit itu melepaskan genggamannya, kembali ke posisi berjaga di antara dua lift.
Aku termangu diam, takut salah langkah. Ini bukan situasi yang menguntungkan bagiku. Jika salah berbicara atau bergerak, mungkin aku akan ditikam kedua prajurit berbadan kekar tadi.
“Kenapa tidak berbicara? Bukankah kau banyak bertanya dan sering berteriak semalam?”
Semalam? Tunggu—aku benar-benar tidak salah dengar, apa itu adalah seseorang yang menginterogasi aku kemarin malam.
“Kenapa? Kau tidak percaya?”
Dia lagi-lagi membaca pikiranku. Aku tidak percaya ada kekuatan seperti itu, tetapi dia terlalu sering untuk dikatakan hanya menebak.
“Baiklah, mari kujelaskan situasinya.” Dia berdiri dari kursinya, tangan kanannya memegang secangkir gelas dengan minuman anggur di dalamnya. Ia berbalik, secarik cahaya silau masuk menyilaukan mata sesaat. Hingga pandanganku kembali jelas, seketika aku tidak bisa berekspresi lagi. Atau lebih tepatnya aku tidak bisa mengontrol emosiku lagi. Sosok di depanku membuatku langsung marah jika mengingatnya.
“Kenapa? Kau kaget atau ingin membalas dendam tentang malam itu di ruang interogasi?”
Aku mendengarnya bukan karena ingin, tetapi terpaksa. Aku mengepalkan tangan berusaha meredakan emosiku. Pria di depanku dan tadi malam yang menginterogasi adalah ketua faksi teror malam, itu berarti dia sudah mengetahui aku lebih dalam lagi. Aku harus mencari informasi dari mulutnya untuk mencari solusi sekarang.
Pria di hadapanku dengan jasnya tampak tidak mungkin bisa kulawan walau dengan kekuatan. “Dimana Freya?” tanyaku berusaha tetap tegar.
“Freya? Hmmm.”
“Apa yang kau lakukan dengannya, huh!” gawat aku tidak mengendalikan emosiku. Aura kemarahanku keluar begitu saja menekan atmosfer. Tetapi tak sedikit pun dia peduli, dia berbalik menghadap pertandingan.
“Dia di sana, apa kau melihatnya?”
“Apa maksudmu?” Aku mendekat ke jendela. Melihat ke atas kanan, beberapa orang terkurung dengan jeruji besi di sana. Seperti hewan yang akan diperdagangkan dan di antara orang-orang itu ada Freya yang terduduk menunduk sedih dengan rambut kusut dan penuh lebam.
“Kau ini, APA YANG KAU LAKUKAN!” aku membentak ke arah ketua faksi itu. Tidak peduli siapa pun dia dan apa posisinya. Ini jelas keterlaluan. Aku tidak bisa membiarkan keluarga baruku diperlakukan tidak manusiawi begini.
“Kau ingin menyelamatkannya, kan?” dia bertanya tanpa menatapku, masih memperhatikan pertandingan di bawah sana.
“Iya, jadi cepat lepaskan dia!” Aku merasa jantungku berdetak semakin cepat, tangan dan kaki gemetar karena marah dan takut. Freya terlihat begitu lemah dan terluka, dan aku tidak bisa membiarkannya seperti itu.
“Huh?” dia tertawa kecil. “Melepaskan pencuri tanpa menghukum, bukankah kau warga patuh aturan? Kenapa aku harus melepaskanmu dan tidak memberikan efek jera?”
Aku meneguk ludah, merasakan ketegangan yang semakin mencekik. Dia benar, aku tidak melawannya. Dia sama pandainya dengan Yeriko dalam hal merangkai kata-kata yang memojokkan.
“Tetapi aku akan memberikan keringanan. Kau bisa menyelamatkan Freya,” ucapnya sambil menatapku dengan tatapan licik. Bola matanya bersinar terkena cahaya pagi, seolah menambah intensitas ancaman yang dia lontarkan.
“Katakan,” aku memaksakan suara keluar dari tenggorokanku yang kering.
“Kau hanya perlu menang dalam pertarungan ini dan Freya akan selamat.”
“Mengikuti pertandingan di bawah sana?” tanyaku memastikan, meskipun hatiku sudah tahu jawabannya.
“Iya, hanya perlu menang dan Freya akan lepas dari kematian hari ini.”
“Kalau begitu kami akan pergi dan bebas?” Harapanku muncul sekejap, namun segera pupus ketika dia kembali tertawa, seolah-olah perkataanku adalah lelucon.
“Lepaskan? Kau kira dengan berbuat satu hal kau bisa menyogokku untuk melepaskanmu.” Suaranya dingin, matanya menatapku keras. “Dengarkan baik-baik, aku hanya melepaskan kalian dari kematian hari ini dan tidak akan melepaskan kalian dari penjara.”
Sekali lagi aku meneguk ludah, merasakan ketidakpastian yang menusuk. Ini keputusan yang harus kuambil. “Jelaskan aturan mainnya,” tanyaku setelah membulatkan tekad.
“Baiklah, akan kujelaskan detailnya.” Dia kembali duduk di sofanya. Pertandingan di bawah berakhir, dan komentator berteriak memberikan seruannya. Arena bola berubah menjadi arena gladiator.
“1. Senjata digunakan bebas. Semua kekuatan bebas, tidak ada batasan atau aturan.
2. Ini arena gladiator, membunuh atau dibunuh. Tidak ada kemenangan jika salah satu belum terbunuh.
3. Jika salah satu pihak kalah maka hadiah yang dipertaruhkan akan jadi milik pemenang dan kasus kali ini adalah manusia yang menjadi taruhannya, salah satunya adalah Freya.”
Mataku bergetar, tekadku mulai goyah. Bagaimana pun, aku tidak pernah membunuh seseorang selama ini. Bagaimana mungkin aku bisa membunuh orang lain? Bahkan melukai seseorang terkadang menyimpan rasa sakit di batinku.
“Kau mendengarku kan? Aku tidak punya waktu menjelaskan, pertarunganmu akan dimulai 10 menit lagi jadi pergilah dari ruangan ini.”
“Jika aku kalah?” tanyaku keras, suasana seketika lengang.
“Kalian berdua akan bertemu Tuhan.”
Aku meneguk ludah untuk ketiga kalinya, tenggorokanku kering. Tanganku bergetar dan kaku. Aku gugup atau takut—aku tidak bisa membedakannya.
“Penjaga, bawa dia dan berikan perlengkapan terbaik serta senjata yang dia perlukan.”
“Baik, Tuan.” Seorang penjaga maju, menangkap lenganku dan menarikku masuk ke lift untuk kembali ke lantai dasar.
Saat pintu lift hendak tertutup, ketua faksi bersuara seolah memperingati, “Rika, kau akan mengambil keputusan sulit dalam hidupmu. Jangan membuatku kecewa dengan memberikan contoh yang buruk. Aku lelah mengatur pertandingan ini.”
Pintu lift tertutup dan terbuka kembali di lantai dasar. Beberapa prajurit beriringan membawaku menuju pintu masuk lapangan. Di sana, seorang wanita yang sama membantu memakaikan armor suit tadi menunggu.
“Nak, senjata apa yang kau inginkan?” Wanita itu bertanya lembut, seolah ia simpati. Aku menunduk, masih merenungi nasibku sebelum akhirnya prajurit pria di sebelahku membentak.
“Apa yang kau pikirkan, cepat pilih!”
“Uh, aku bisa menggunakan panah dan pisau kecil.”
“Kau butuh berapa pisau?”
“Berikan aku empat saja.”
Tanpa banyak tanya lagi, prajurit itu segera menyediakan yang kubutuhkan. Mulai dari armor tambahan hingga busur serta anak panah. Pisau kecil juga mereka sediakan. Semuanya sudah lengkap.
Komentator kembali berseru, memberikan semangat kepada penonton pertandingan. Aku mendengar lawannya adalah faksi hukum—kalau begitu tidak akan payah, kan? Kualitas faksi hukum buruk dalam hal bertarung.
“Semuanya, mari kita sambut petarung ketiga dari faksi teror malam dari tribun timur, seorang wanita yang tangguh dan cantik dengan kemampuan memanahnya yang hebat, Riiikaaaa!” Komentator berseru, memeriahkan acara gladiator.
Pintu mulai terbuka, dan aku melangkah keluar, menginjak rumput yang kering dan gersang. Rasanya seperti melangkah ke dunia lain. Pandanganku tertuju ke bangku-bangku penonton yang penuh sesak. Teriakan dan sorakan mereka menyertai tiap langkahku, seperti gelombang suara yang menghantamku tanpa henti. Begitu banyak orang yang menonton aksi keji ini. Aku tidak paham kenapa manusia-manusia yang katanya cinta perdamaian ini ingin melihat darah seseorang. Perasaan mual menjalar di perutku, tapi aku berusaha menahannya.
“Berikutnya!” suara komentator kembali bergema di seluruh stadion, membuat penonton diam memperhatikan siapa yang akan muncul dari tribun faksi hukum. “Petarung ketiga dari faksi hukum dari tribun Utara, seorang pria yang berbadan besar dan gagah dengan kemampuan tangan kosong, Cedriiiic!”
Demi mendengar seruan itu, aku langsung menoleh ke arah tribun lawanku. Itu benar-benar mengejutkan dan bisa dibilang merusak seluruh rencana yang baru saja terpikirkan.
“Rika?” Cedric menatapku dengan senyumnya yang hangat. Tapi kali ini, senyum itu tidak memberikan rasa nyaman seperti biasanya. Sebaliknya, itu membuat hatiku semakin berat.
“Cedric, kenapa bisa?” tanyaku, suaraku bergetar. Pertemuan ini tidak bagus untukku. Jantungku berdetak kencang, rasa panik mulai merayap.
“Aku tidak tahu jika lawannya—” Cedric mulai berbicara, tapi aku memotongnya.
“Tidak, Cedric. Cepat, kita harus selesaikan,” desakku, berharap dia mengerti situasinya secepat mungkin.
“Apa maksudmu?” wajahnya menunjukkan kebingungan, tetapi aku tidak punya waktu untuk menjelaskan.
Sesaat kemudian, komentator kembali berseru, “Kedua petarung harap mundur masing-masing 10 langkah.”
Kami mematuhi perintah itu dan segera mundur, memberikan jarak satu sama lain. Jarak yang tidak hanya fisik, tapi juga emosional. Komentator melanjutkan, “Mari kita lihat taruhannya. Dari sisi faksi hukum, taruhannya adalah Luna, petarung tipe ilusi.”
Lagi-lagi, seruan yang membuatku terbelalak. Ini bukan berita bagus, malah semakin memperparah keadaan. Aku bukannya tidak senang mendengar Luna telah sembuh, tetapi aku tidak senang dia dijadikan taruhan.
“Lalu di sisi faksi teror malam, memberikan taruhannya adalah Freya, seorang healer.”
“Rika, kenapa?” Aku yakin itu maksud Cedric sesaat dia menatapku. Walau suaranya tidak kudengar, gerak mulutnya mengatakan demikian.
Kami sama-sama tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ini bukanlah pertarungan yang kami inginkan, dan sekarang terjebak dalam rencana seseorang. Bagaimana mungkin caraku menang dari sini?
Hatiku berat, setiap detik terasa seperti beban. Aku tidak ingin melukai Cedric, apalagi membunuhnya. Tapi taruhannya terlalu besar, nyawa Freya dan Luna di tangan kami. Keputusan yang sangat sulit. Kami harus menemukan cara untuk mengakhiri ini tanpa kehilangan siapa pun.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22