“Dimana ini,” pikirku pertama kali setelah bangun di ruangan yang gelap dan pengap. Tempat ini lebih mirip ruang berdebu seperti gudang rumahku dulu. Aku tidak melihat sepucuk cahayapun. Aku mencoba menggerakkan tangan dan kaki, namun keduanya terasa terikat kuat. Dengan hati yang keluh, aku berbisik, “Kenapa harus diikat sih.”
Ruangan itu begitu hening, seolah waktu berhenti. Aku menunggu hampir setengah jam, mencoba memastikan kesadaranku benar-benar kembali. Kebosanan dan keputusasaan mulai menghantui pikiranku, membuatku menghela napas panjang. Aku takut akan dibiarkan mati dan membusuk di sini. Namun, tiba-tiba terdengar suara derit pintu yang memekakan telinga. Suara asing menyambutku.
“Wah, kau sudah bangun, gadis kecil? Aku baru saja bertemu temanmu. Dia lebih cepat bangun dan keras kepala, jadi sedikit darah mengucur deh,” suara itu datang bersamaan dengan suara ketukan sepatu yang terasa bergema di seluruh ruangan. Aku mencoba melihat ke kanan dan ke kiri, tetapi gelapnya ruangan menghalangi pandanganku. Lalu, aku merasakan napas hangat di telinga kiri—kemudian ia berbisik.
“Kenapa meronta? Marah? Hm.” Bisikannya terasa begitu menggelikan di telinga hingga membuat tubuhku merinding, mata ku melebar dengan kornea yang mengecil. Aku marah sekarang. Ia berjalan di sebelahku dan berhenti tepat di hadapan wajahku, terus memajukan wajahnya sembari membungkuk.
“Apa yang kau inginkan dan apa yang kau lakukan dengan Freya, huh?” teriakku dengan suara serak dan nafas yang tidak beraturan. Dia tampak begitu menikmati wajahku yang memucat ini.
“Wah, semangatmu luar biasa ya. Itu sudah dua pertanyaan dan kau berharap aku menjawabnya?”
“Jawab, berengsek!” teriakku sekali lagi, kali ini lebih kencang.
Wajah tirusnya tertawa membentuk cekung pipi. Tawanya kecil tapi jahat. “Sudah-sudah, jangan teriak nanti gedung ini runtuh loh.”
“Bagaimana jika kita langsung ke inti cerita saja?”
“Berhenti mengatakan yang tidak ku mengerti!” Aku sedikit berteriak dengan suara serak.
“Kekuatanmu adalah imajinasi. Kau seharusnya tahu imajinasi itu seluas apa yang kumaksud.”
“Aku tidak mengerti maksudmu, jadi cepat lepaskan aku dan lepaskan Freya!” Aku benar-benar tidak peduli dengan ucapannya. Aku terus mencoba membuka ikatan dari tangan ku yang sepertinya hanya diikat sebuah tali tambang kecil. Dengan tatapan sayu, aku memalingkan wajahku darinya, berharap dia akan menyerah saat aku mengacuhkannya, tetapi dia hanya terus mengoceh dan mulai mengungkit masa lalu.
“Kau keras kepala ya, baiklah. Mari kita mulai cerita ini sedikit lebih panjang. Tentu ini cerita terakhirmu jadi tidak masalah kan.”
Aku menatapnya kembali, dengan perasaan bingung dan syok. Apa maksud perkataan akhir tadi?
“Kamu pura-pura tidak mengerti atau memang sengaja tidak mau mengingat persis empat tahun lampau, seniman genius.”
Itu mengejutkan, mataku sampai membesar karena kaget. Lagi-lagi seseorang dengan jas aneh dan rambut jingkrak ini mengetahui masa lalu ku. Aku memalingkan wajah dari sosok wajah tirus itu.
“Aku tidak peduli jika kau tahu masa lalu ku.” Aku menjawab dengan tangan yang meringkuk berusaha melepaskan ikatan dan berpikir untuk memukulnya sekarang.
“Ha-ha-ha-ha-ha-ha.” Ia kembali tertawa lepas bak penjahat dalam anime yang kutonton. Ia tampak persis seperti penjahat. Ia berbalik menatapku.
“Kau itu, masih saja menyalahkan dirimu, Rika?”
“Apa yang kau maksud,” tanyaku heran, mata yang melebar sedikit penasaran. Apa ia bisa membaca pikiranku? Sekarang dia akan menjadi semakin menyebalkan.
“Kejadian beberapa tahun lalu, tepatnya 20 Maret tahun 2057, tower BUMN terbakar dan membubarkan seluruh pameran seni tingkat nasional dan kau kehilangan adikmu serta seorang kakak ditemukan tewas di antara api.”
Aku kembali menatapnya, berteriak kesal. “CUKUP!” Aku tidak mau dia mengungkit terlalu dalam ingatan yang ingin kulupakan. “Sebenarnya apa yang kau inginkan? Tubuhku? Hah?” Aku berteriak dengan serak basah. Dengan mata berlinang air mata aku tidak sengaja menyudutkan kata-katanya.
Pria itu kembali berbicara setelah tenang selama tiga menit berdiri diam di depanku. Wajahnya yang tirus terlihat lebih menyeramkan dalam kegelapan ini.
“Sudah tangisannya?” tanyanya dengan nada mengejek.
“Huh, kau ini...” Ingin rasanya aku memukulnya jika saja aku bisa. Amarah mendidih di dalam diriku, tetapi aku terikat terlalu erat untuk bergerak.
Sekarang ia berjalan memutari ku entah apa tujuannya. Apa yang ingin dia ketahui dariku? Apa dia tahu sesuatu yang lain? Aku merasa seolah-olah dia bisa membaca pikiranku.
“Apa yang sebenarnya ingin ku cari,” gumamnya, menirukan pertanyaanku yang hanya ada dalam pikiranku. “Kau ingin aku cepat menjawab, baiklah. Sebenarnya yang kuinginkan darimu adalah kekuatan tanpa batas.”
Sontak aku bertanya dengan hati yang penuh tanda tanya, “Apa yang kau maksud, kekuatan apa yang bisa kau raih dari ku?”
“Seberapa bodohnya kau sekarang,” ia tertawa jahat, tawanya menyeramkan dan beringas di telingaku. “Kau benar-benar menutup imajinasi itu selamanya ya.”
“Berhenti memutar-mutar, cepat katakan intinya,” bentakku dengan suara serak, penuh kemarahan yang tertahan.
“Baiklah, sabar sebentar. Aku hanya ingin bermain permainan kata.” Dia mengatakan demikian setelah apa yang ia lakukan. Dia benar-benar penjahat utama dalam kisah ini. Aku tidak mendengarkan satu pun perkataan yang amat panjang darinya hingga satu kalimat yang membuatku kembali mendengarkannya.
“Jangan bebani dirimu dengan rasa bersalah.”
Aku seperti paham maksud dari kata-kata barusan. Tapi seolah ada sesuatu yang menolak ku untuk mengetahui sesuatu. Apa itu perasaanku atau pikiranku? Aku hanya berdebat dalam hati sembari melihat wajahnya yang terus tersenyum lebar dengan giginya yang putih dan rapi.
“Rika, kenapa kau menghilang tanpa jejak setelah kejadian itu, bahkan dikabarkan meninggal. Apa yang sebenarnya terjadi di benakmu?”
Kejadian itu, aku mengingatnya—kejadian empat tahun lalu tepatnya 20 Maret 2057, sebuah kebakaran terhebat pada tahun itu bahkan pada abad ini—kebakaran tower BUMN yang menelan 40 korban meninggal dan 200 dinyatakan luka-luka. Terdengar mengada-ada, tapi begitulah faktanya. Saat itu begitu ramai, termasuk dengan hadirnya pengunjung masyarakat bawah dan elite untuk melihat pameran seni nasional ke-25. Aku merupakan undangan yang berpartisipasi mewakili daerah Kalimantan. Aku memang bukan asli orang sini, aku adalah orang rantauan dari Sumatra Utara.
Kalau mengingat secara rinci akan sulit, yang kuingat hanyalah ketika aku keluar dengan orang tuaku bersama petugas pemadam kebakaran. Aku ingat ayahku mencari kakak dan adik perempuanku yang berumur enam tahun saat itu. Kakak perempuanku lebih muda satu tahun dari abangku. Ia tampak bisa diandalkan sebagai seorang perempuan, namun ia menghilang tanpa jejak pada kejadian kebakaran tragis itu.
Aula utama gedung dikepung asap hitam tebal, petugas pemadam kebakaran berusaha masuk mengecek orang-orang, dan pada akhirnya mereka tidak ditemukan hingga gedung itu mulai retak sehingga operasi pencarian dihentikan saat api terus menyambar ke atas.
Hingga dua hari setelah kejadian, kami mendapatkan telepon dari petugas penyidik—kakak dan adikku dinyatakan tewas terpanggang dengan posisi kakakku yang merangkup adikku berusaha melindungi dari api. Sejak saat itu aku merasa ini adalah perbuatanku, ini adalah kesalahanku—kalau aku tidak hadir saat itu mungkin keluarga kami masih lengkap.
Beberapa hari aku berdiam di kamar dan memutuskan untuk membakar semua alat lukis dan karyaku, berusaha membuang jauh-jauh yang berhubungan dengan seni dan imajinasi. Hingga saat ini aku merasa itu adalah hukuman terbaik yang pernah kuterima.
Kemudian sejak saat itu orang tua ku memutuskan untuk pindah jauh dari pusat kota. Aku memutuskan mengganti namaku, merubah tampilan luarku, cara bicara, dan tujuan hidupku. Saat SMA, aku memilih masuk sekolah biasa saja—tidak terkenal, bahkan tidak terlintas sedikit pun di benakku untuk menyukai dunia seni lagi hingga saat ini.
***
Ruang itu hening sebentar, semua kejadian itu terlintas cepat dalam kepalaku. Bahkan dengan jelas. Pria licik itu bertepuk tangan, suaranya menggema di ruangan. Senyumnya lebar dan dia menghela napas panjang.
“Masa lalumu sungguh suram, aku tahu sekarang kenapa kekuatan itu tidak membawa mu kepada potensi penuhnya.” Aku menganga, tidak mengerti. Kekuasaan apa yang dia maksud? Dia melanjutkan, “Aku akan melatihmu untuk mengeluarkan potensi terbesar dari kekuatan itu.”
Aku bertanya dalam hati, apa maksudnya? Kekuatan ini bisa berkembang, begitu? Lagi-lagi, seolah tahu apa yang ingin kutanyakan, dia selalu lebih dulu menjawab.
“Aku akan melatihmu dengan kuas dan kanvas, namun, jika itu nihil maka bersiaplah dengan cara yang keras.” Dia mengatakan itu dengan yakin, matanya sombong menatap serius. Dari kursi ini, aku bisa melihat bahunya yang lebar dan berwibawa dengan blazer biru gelap dan celana dengan warna yang sama.
“Jangan berani-beraninya kau!” Aku menolak tegas. Bagaimana mungkin aku menerima tawaran musuhku sendiri, bahkan aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Freya di luar ruangan ini.
“Kenapa?”
“Tidak ada alasan bagiku untuk menerima. Kau bahkan menyiksa Freya, kan!”
“Ha-ha-ha.” Dia tertawa licik. “Apa salah satu bakatmu jadi komedian? Lucu sekali jika kau bertanya demikian.” Dia berjalan ke belakangku. Mataku berusaha mengikuti gerakannya, mengawasi setiap jarinya.
“Hey-hey, coba pikirkan kenapa kalian tertangkap. Kalian yang mencari masalah lebih dulu dan apa salahku menghukum pencuri?”
“Kau juga akan melakukan hal yang sama, kan, ketika menemui pencuri di rumahmu? Pasti akan memukul keras pencuri itu dengan kursi. Jadi, mengapa kau marah jika aku melakukannya dengan temanmu.”
“Apa kau!” pria ini sangat licik, dia mempermainkan kata-kata. Walaupun aku tahu memang ini salah kami, tetap saja kesal rasanya. “Awas saja dia terluka sedikit pun, aku akan membunuhmu,” ancamku dengan tatapan bengis.
Lagi-lagi dia tertawa. Dia kembali berjalan dan berdiri di depanku. Entah apa maunya pria ini, bahkan aku tidak tahu siapa dia. Apakah dia petinggi faksi atau seorang integrator? Tetapi dari tadi dia hanya mengeruk informasi tidak penting.
“Aku bingung kenapa orang sepertimu justru bergabung dengan faksi politik itu. Bukankah kau benci jajaran pemerintah?”
“Iya, memang kenapa?”
“Kenapa tidak berpikir dua kali untuk menerima tawaranku? Kalian juga akan selamat dan mungkin akan mendapatkan tawaran bagus.”
Aku menghela napas, jelas pria ini memaksa. Nada bicaranya menurun seolah ingin aku mendengarkannya. “Terserah apa katamu, aku benci dengan pemerintah itu faktanya, tetapi aku benci dengan kalian juga. Kalian sama saja dengan mereka.”
Pria itu nyengir sesaat, gigi putihnya terlihat. “Sama, kau kata? Jangan pernah katakan itu lagi.” Berjalan ke samping kananku. “Kami bukan jajaran politik biasa, kami ini memiliki tujuan mulia yang tidak dipikirkan si bodoh itu.”
“Aku tahu kok, kau dan temanmu pernah hampir dianiyaya anggota ku, tetapi di faksi hukum kau mengira orang seperti itu tidak ada?” Dia kembali ke depanku, menatap ke bawah.
“Aku sama denganmu, Rika. Keluargamu rusak karena konflik internal politikus dan keluargaku rusak karena pemerintah yang tidak becus mengatasi masalah. Kita sama-sama benci satu hal, hanya saja berbeda cerita.”
“Keluargamu terancam karena persaingan politik saat itu dan gedung BUMN yang terbakar itu merupakan rahasia umum para petinggi politik,” ujarnya dengan nada dingin.
Aku terdiam, kata-katanya mengiris ingatanku yang paling dalam. “Lalu, keluargaku mati karena ketimpangan sosial yang tidak pernah diatasi pemerintah. Mereka yang membuat keluargaku terbunuh oleh orang-orang miskin, ini yang membuat ku benci dengan kalangan bawah tidak berotak,” lanjutnya.
Jantungku berdegup kencang, tapi aku tidak menunjukkan ketakutan. “Jadi apa tujuanmu mengatakan itu?”
Dia kembali tertawa, seolah setiap kata yang keluar dari mulutku adalah lelucon baginya. “Kau bahkan tidak terkejut mendengar fakta kejadian kebakaran itu. Kau memang jenius. Apa kau sudah mengetahuinya sejak lama, huh?”
Aku tidak langsung menjawab. Pria ini jelas memancingku, baru memulai mengorek informasi yang sebenarnya. “Iya, jika iya, bagaimana kau akan membunuhku?”
“Serius? Kau luar biasa. Justru sebaliknya, aku ingin menjanjikan kalian kehidupan yang indah. Orang seperti mu berharga buat kami, jangan takut untuk keluar dari belenggu faksi hukum.”
Aku mendengus kesal, mulai tidak tahan dengan pembicaraan ini. Dia pikir aku tidak akan berani menolak. Meski aku tidak menyayangi nyawaku, aku punya prinsip. “Cukup,” bentakku. “Katakan intinya, apa hanya itu yang ingin kau katakan?”
“Iya,” angguknya.
“Huh, kalau begitu katakan tujuan faksi hukum yang sebenarnya.”
Dia memutar arah jalannya kembali ke belakang kursiku. Langkah kakinya terdengar jelas, setiap detik yang berlalu menambah kecemasanku. “Baiklah, ku katakan saja ya,” suaranya terdengar riang ceria, seolah dia bukan sosok pria menyeramkan.
Dia berbisik untuk kedua kalinya, kata-katanya menggelikan dan menyeramkan. “Tujuan utama kami, genosida.”
Seluruh tubuhku bergetar, merinding, rasanya ingin mual, bulu kudukku berdiri. Ini lebih menakutkan daripada melihat pocong secara langsung. Mataku terbelalak mendengar akhir kalimatnya. Tubuhku hendak meronta menghentikannya. Itu perbuatan terburuk yang mungkin terjadi. Aku yakin dia tidak bercanda tentang rencananya.
“Karena kau sudah tahu, tidak ada gunanya lagi nyawamu. Jadi selamat tidur nyenyak.” Langkah kakinya perlahan menghilang dan menjauh, kemudian decit pintu terdengar bergema di ruangan—aku ditinggal sendiri lagi di sini.
Beberapa detik kemudian gas tidur memenuhi ruangan tertutup ini. Aku berusaha menahan napas, tapi sampai kapan aku bisa bertahan? Hanya butuh 30 detik sebelum aku tertidur, kehilangan kesadaran untuk kedua kalinya.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22