Bum! Cedric memukul pria itu dengan telak, membuatnya terhempas dua langkah ke belakang. Aku melihat kesempatan itu dan langsung mengambil tindakan.
“Imagination: Binding Chain!” seruku dengan penuh konsentrasi.
Cring! Cring! Rantai-rantai berkilauan muncul dari udara, melilit tubuh pria itu dan membuatnya tak bisa bergerak. Freya segera meraih Elsa dan membawanya lari dari situasi berbahaya. Misi penyelamatan selesai, tetapi sekarang kami harus menghadapi pria ini dan mencari cara untuk kabur secepatnya.
“Kalian lumayan juga, tapi ini belum ada apa-apanya,” pria itu berkata sambil menyeringai. Dia melompat dan memukul lantai dengan keras.
Bum! Kami terhempas oleh gelombang energi dari pukulannya. Rasanya seperti dihantam palu godam. Aku terhuyung-huyung, berusaha tetap berdiri.
“Dia sebenarnya Hyper tipe apa?” gumamku, melihat gerakannya yang begitu cepat dan kuat.
Flash! Dalam sekejap, dia sudah berada di sebelah kananku, siap memberikan pukulan.
Bum! Pukulan berdentum, berhasil kutangkis dengan kedua tangan yang menyilang, namun tetap membuatku terdorong jauh. Tubuhku terasa sakit, tetapi aku harus bertahan.
Dia bergerak lagi, kali ini mengincar Cedric.
Flash! Satu tendangan terarah ke kepala Cedric seperti atlet taekwondo. Cedric berhasil menepisnya beberapa kali, namun pria itu terus menyerang tanpa henti. Satu sleading ke bawah, Cedric melompat, menghindari hantaman.
Bum! Pukulan ke bawah mengenai lantai yang kosong. “Kau cukup kuat ya,” ucap pria itu, suaranya penuh ejekan.
Flash! Lagi-lagi, dia menghilang dan muncul kembali dengan gerakan yang sangat cepat. Aku hampir tidak bisa mengikuti gerakannya.
Bum! Pukulan pertama berhasil ditangkis Cedric, tetapi pukulan kedua—Bum!—lebih kuat. Cedric tidak bisa menangkis, pukulan pertama hanyalah tipuan. Cedric terhempas, terpelanting dan menjebol tembok.
“Ini belum berakhir, anak muda!” Pria itu melompat setinggi dua meter ke arah Cedric yang masih terkapar. Di tangan kanannya, pisau kecil siap menusuk keras ke bawah.
Aku tidak bisa membiarkannya. Dengan cepat aku berlari, berharap sempat menghentikannya. “Imagination: Shield!” seruku dengan seluruh kekuatan.
Cring! Pisau itu tertahan oleh perisai imajinasiku, tetapi itu tidak menghentikannya. Serangan berikutnya datang dari kanan, tendangannya mengenai telak perut kananku.
“Achk,” aku mendesah kesakitan, merasakan sakit yang tak tertahankan di perutku. Rasanya seperti dunia berputar.
Pria itu berbalik, menatap ke arah Elsa dan Freya. “Berikutnya kalian berdua,” katanya dengan suara mengerikan.
Aku melihat Cedric berusaha bangkit meskipun susah payah. Tubuhnya masih bisa berdiri tetapi tidak tegak. “Kalian pergilah, aku akan menahannya sendirian,” seru Cedric, suaranya penuh determinasi.
“Mau menjadi pahlawan? Kalian kira ini novel romantis huh!” pria itu bergerak cepat, sekarang berada di belakang Elsa dan Freya, bersiap mengirimkan pukulan.
Tanpa sadar, tubuhku bergerak dengan sendirinya. “Imagination: Chains Bind!”
Cring! Cring! Rantai-rantai kembali muncul, membelenggu seluruh tubuh pria itu. Gerakannya tertahan sekejap, tetapi aku tahu ini belum berakhir. Dia masih bisa keluar dan membunuh. Kemampuan ini tidak akan bertahan lama lagi.
Keputusan harus diambil. Aku tahu apa yang harus dilakukan, meskipun itu berarti pengorbanan. “Cedric, bawa pergi Elsa dan Freya!” teriakku dengan suara yang bergetar.
Cedric masih menatap pria itu, tubuhnya bergetar. “Apa yang kau pikirkan lagi, cepat!” teriak ku menyuruhnya pergi.
Track! Rantai mulai retak.
Di saat-saat terakhir, sesaat sebelum Freya hendak meraih tangan Cedric, rantai-rantai yang menahan pria itu putus. Pria itu segera lepas dari genggaman rantai, melanjutkan pukulannya dengan kecepatan dan kekuatan luar biasa.
Bum! Freya terpukul tepat di kepala, tubuhnya terhempas lima meter dan jatuh keras di lantai pualam. Darah mengalir dari kepalanya, dan dia langsung pingsan. Jantungku berdegup kencang, panik menyerbu pikiranku, tetapi aku tahu tidak ada waktu untuk merasa takut.
“Imagination: Chains bind!” Aku berteriak lagi, berusaha membelenggu pria itu sekali lagi dengan rantai imajinasiku.
Cring! Cring!
Rantai-rantai kembali muncul, melilit tubuh pria itu. Dia terlihat semakin marah, matanya penuh kemarahan saat dia berteriak, “Lagi-lagi!”
“Elsa, tolong bawa Cedric pergi, seret saja dia. Dua orang harus selamat,” seruku dengan tegas, meski dadaku terasa sesak karena ketegangan.
“Tidak, jangan. Aku bisa menghabisinya,” balas Cedric, suaranya penuh tekad. Dia masih ingin berdebat di tengah situasi seperti ini.
“Apa kau gila, Cedric? Aku sangat menghormatimu dan aku memang menentang pengorbanan, tetapi kali ini berbeda. Jika kita semua tertangkap, siapa yang akan melapor?” Aku menatap Cedric dengan tegas, berharap dia mengerti bahwa ini bukan saatnya untuk heroisme yang sia-sia.
Aku kembali menatap Elsa. “Elsa, bawa dia pergi, cepat!”
Elsa mengangguk dan segera menarik Cedric keluar dari arena pertarungan. Saat itu, aku menyadari sesuatu yang penting—10 prajurit yang tadinya hanya menonton pertarungan kini mulai bergerak.
“Apa yang kalian lakukan, prajurit bodoh? Cepat tangkap orang-orang itu!” teriak pria itu. Dia masih berusaha melepas belenggu rantai.
“Aku tidak akan membiarkan mereka gagal!” Aku berteriak, mengerahkan seluruh kekuatanku. “Hiyaaaaaa!”
Cring-cring!
10 prajurit juga ikut terantai, meski hanya di kaki dan tangan. Mereka mungkin tidak sekuat pria itu, tetapi tetap berbahaya jika dibiarkan lepas.
Namun, energi dalam tubuhku terasa semakin menipis. Aku bisa merasakan kekuatan rantai-rantaiku mulai melemah. Ayolah, Cedric, aku mohon, berlarilah dengan kakimu kali ini. Aku yakin kau bisa membawa kami kembali.
“Argh!” Pria itu berteriak, auranya menekan atmosfer sekitarnya.
Crack!
Rantai yang melilit pria itu mulai retak dan akhirnya pecah. Satu per satu, rantai yang lain juga lepas. Para prajurit mulai bergerak mengejar, dan pandanganku mulai menggelap. Tubuhku bergetar hebat, dan rasa sakit di seluruh tubuhku semakin menjadi.
“Kenapa gadis kecil? Kau sudah merepotkan kami dan sekarang ingin tidur?” Suara pria itu terdengar di dekatku, penuh ejekan dan kemenangan.
Sisa-sisa tenaga terakhirku digunakan untuk mencoba tetap sadar, tetapi aku tahu bahwa ini mungkin akhir bagiku. Kesadaran perlahan menghilang, dan semuanya menjadi gelap.
***
“Rika, bangun!” Suara itu terdengar samar-samar, tetapi aku bisa mendengarnya. Suara Freya?
“Rika, bertahanlah.” Suaranya semakin jelas, dan pandanganku mulai membaik. Tetapi semuanya masih gelap, apakah ini neraka?
“Rika, buka matamu.” Suaranya terdengar penuh rintihan. Aku berusaha keras membuka mataku, dan akhirnya melihat Freya di hadapanku. Apakah aku selamat?
“Akhirnya, kau bangun,” kata Freya sambil menyeka pipinya yang basah oleh air mata.
“Di mana ini?” tanyaku dengan suara lemah, tubuhku masih terasa sakit.
“Di penjara, aku tidak tahu persis di mana. Tetapi ini seperti di bawah tanah.”
“Masih ada penjara bawah tanah di abad 21?” aku berusaha bergurau, meski tidak terlalu lucu. Freya tersenyum kecil, tapi kekhawatiran di matanya tetap terlihat jelas.
Aku mencoba duduk, tapi rasa sakit di perut kananku terasa menusuk. “Aah!” aku mendesis, merasakan tulang rusuk yang sepertinya retak.
“Hati-hati, Rika. Meskipun aku sudah memperbaiki sebagian besar lukamu, tetapi bisa saja luka itu terbuka lagi nanti,” kata Freya dengan cemas.
Aku mengangguk pelan, berusaha menenangkan diriku. “Iya, Freya.” Aku memandangnya dengan penuh kasih. “Terimakasih.”
Burk!
“Rika, itu penjaga. Jangan meladeni mereka.”
“Mereka ngapain?” tanyaku dengan sedikit gugup.
“Memberi makan.”
Dua laki-laki penjaga datang, membawa nampan besi dengan makanan ala penjara. Tempe dan tahu dengan sambal terasi serta kuah kaldu dengan nasi keras. Seorang penjaga menatapku dengan heran. Dia terlihat kaget.
“Sudah sadar ya? Aku akan mengambilkan satu nampan lagi untukmu,” katanya sebelum pergi, meninggalkan rekannya yang berjaga. Freya menyuruhku makan lebih dulu, tapi aku menolak. Sekali lagi dia menyuruhku dengan melotot kesal, dan aku terpaksa menerimanya. Sebenarnya, aku merasa tidak enak makan dan mengambil jatahnya, tetapi nanti juga dia bisa ambil jatahku.
“Rika, kau harus sering-sering jujur ke dirimu sendiri. Lihatlah tubuhmu, masih penuh lebam dan pasti perlu tenaga untuk meregenerasi luka. Walau kau Hyper kuat pun tetap butuh makanan di kala sakit,” ucap Freya bagai seorang dokter.
Aku mengangguk pelan dan mulai makan. Setiap suapan terasa berat, bukan karena rasa makanannya, tapi karena pikiran-pikiranku yang berkelindan, memikirkan nasib kami di sini. Lima menit kemudian, penjaga yang sama datang membawa nampan berisi makanan dan lauk yang sama. Kali ini Freya yang makan. Jatahnya hampir habis. Aku sengaja makan dengan lambat, menunggu Freya.
“Cepat habiskan, Rika. Kau tidak ingin kurus kering kan?” Ucapnya dengan sedikit tertawa. Aku memasang wajah cemburut, berusaha menikmati makananku meski dengan hati yang berat.
Setelah masing-masing jatah nasi sudah diberikan dan air minum juga sudah disediakan di dalam penjara, suasana sedikit lebih tenang. Ini tidak seburuk yang kukira tentang penjara, tetapi tetap saja status kami sebagai tahanan perang di sini menambah beban mental.
“Freya,” panggilku, memecah keheningan. Aku tidak tahu ini jam berapa dan penjaga sedang lengah. Walaupun aku tidak berpikir untuk keluar, mentalku sedang buruk.
“Kenapa?” tanyanya, menatapku sembari bersandar di dinding.
“Freya, berapa hari kita di penjara ini?”
“Entahlah. Aku tidak bisa menghitungnya. Aku juga malas menghitung.”
“Kau tidak bosan menungguku bangun?”
“Bosan, sangat malah. Terasa sangat sepi penjara ini. Entah berapa lama waktu kuhabiskan. Pokoknya kesepian.”
“Tumben kau sentimental begini? Apa akhir-akhir ini moodmu buruk atau ada sesuatu yang mengganggu?” tanya Freya memastikan.
“Ah tidak-tidak. Aku hanya bingung dengan tujuanku.”
“Baiklah, aku akan meladeni deep talk ini.”
Ucap Freya membuat aku tersenyum malu. Sejenak, aku merasa membuat sesuatu yang lucu dan memalukan.
“Hey-hey, kau kenapa menutup wajah?” tanya Freya memperhatikanku. “Kau menangis?” tanyanya sekali lagi.
“Tidak, aku hanya malu.”
“Huh, kenapa?”
“Aku malu berbicara hal-hal aneh tentang perasaanku.”
“Oh.” Hening sejenak kemudian dia melanjutkan. “Rika, jika kita mati hari ini kau tidak menyesal?”
“Menyesal? Tidak kurasa.” Ucap ku.
“Kalau aku sih menyesal.”
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Itu karena dunia ini sudah berubah.”
“Iya, aku tahu itu, lantas?” alisku naik satu.
“Dunia ini sudah berubah, tidak ada yang membangunkanmu di pagi hari, tidak ada yang menunggu pulang di malam hari, tidak ada yang melarangmu pergi ke mana pun. Disebut apa itu? Kesepian atau kebebasan.”
“Kenapa nanya balik, lagian itu kan perkataan filsafat,” tanyaku heran, masih mengangkat satu alis.
Freya tertawa kecil, namun suaranya terasa getir. “Terkadang, aku merasa kita seperti tokoh dalam novel, terus-menerus mencari makna di tengah kekacauan. Aku tahu, ini terdengar klise.”
“Jadi, apa hubungannya dengan kalimat filsafat tadi?” tanyaku, mengangkat satu alis, menatap Freya dengan penuh tanya.
“Ada hubungannya, karena jawaban ku ada di situ. Jadi menurut mu gimana?” jawab Freya, menantang.
“Menurutku?” Freya mengangguk. Aku berpikir keras, mencoba memastikan maksudnya. “Entah lah, aku tidak yakin. Namun, aku pasti akan menjawab kesepian.”
“Nah, itu jawabanmu. Tetapi aku berbeda, akhirnya akan menjawab itu kebebasan.”
“Terus? Apa hubungannya sama pertanyaan ku?” tanyaku lagi, semakin penasaran.
“Itu karena aku, tidak ingin kesepian setelah mati.”
Pandangan ku tertunduk. Itu pandangan yang aneh untuk menatap dunia sekarang, kan? Atau aku yang merasa dunia terasa sepi sekarang. Aku kesepian sekarang dan tempat keluarga ku berkumpul adalah keramaian buat ku.
“Freya.” Aku mencoba menyampaikan perasaanku.
“Shttt!” Freya tiba-tiba menutup mulutku dengan tangan.
Aku menutup mulut, mengikuti isyarat Freya. Ada seseorang yang datang.
“Tidur, ayo pura-pura tidur atau mereka akan membentakmu nanti,” bisiknya.
Tanpa disuruh dua kali, aku segera mengambil posisi tidur terbaik. Segera menutup mata dan perlahan suara langkah kaki itu mendekat. Aku merasakan detak langkahnya, lebih dari dua orang.
“Kau tau tidak?” salah satu penjaga berbicara dengan suara rendah.
“Tau apa?” sahut penjaga lainnya.
“Tentang kristal komet itu. Pimpinan berencana mengubahnya menjadi mata cincin.”
Kristal komet? Apa itu benda yang kami cari? Hatiku berdebar mendengar pembicaraan mereka.
“Oh itu aku dengar, berita itu viral di pasukan inti. Aku juga nanti dapat satu dan kau juga, kan?”
“Iya, tapi masih bingung gunanya cincin itu buat apa?”
“Entahlah, dari rumor yang ku dengar dari penjaga kristal, kristal biru bercahaya itu memiliki energi yang besar. Katanya cukup mengambil satu potongan kecil bisa membuatmu tambah kuat.”
“Benarkah? Bukannya begitu hanya para petinggi yang mendapatkannya?”
“Seharusnya begitu, apalagi potongannya tidak segede itu. Lagi-lagi hanya harapan palsu, ha-ha-ha.”
Mereka tertawa dan terus melanjutkan cerita. Aku dan Freya terpaksa pura-pura tidur hingga benaran ketiduran.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22