Pagi tiba, tanpa ada yang peduli tanggal atau bulan berapa. Orang-orang terlalu sibuk untuk melihat kalender dan mencatatnya setiap hari. Tidak ada yang perlu dijadwalkan selain bertahan hidup di kota setengah mati ini. Di peradaban setengah hidup ini.
Walaupun tidak ada catatan hari atau kegiatan, kehidupan harus tetap berjalan. Begitupun kami, dua hari setelah misi pertama kami.
Hari ini, kami kembali ke kantor Yeriko. Kantor pemimpin besar Fraksi Hukum. Fraksi yang membagi kota ini menjadi dua: Fraksi Teror Malam dan Fraksi Hukum. Setidaknya yang kutahu tentang kedua fraksi ini adalah hanya persaingan politik dan kekuasaan. Tidak ada masyarakat yang begitu peduli kepada siapa pun pemimpin mereka sekarang.
“Jadi apa yang terjadi?” tanya Freya dengan nada kesal. Bagaimana tidak kesal, kami dijemput paksa oleh prajurit pagi-pagi buta, katanya ada misi darurat.
“Santai lah, aku hanya ingin memberikan kalian misi,” jawab Yeriko, masih duduk di kursinya yang megah.
“Aku sudah tahu itu, tapi kenapa tidak berikan kami misi siang hari atau sore saja? Ini pagi-pagi jam lima dipanggil,” gerutu Freya.
"Huh," Yeriko menghela nafas panjang. Dia berdiri dari kursinya dan mengambil sebuah dokumen dari lemarinya.
"Apa itu?" tanyaku penasaran.
Yeriko tertawa kecil. "Kau memang selalu penasaran, ya."
"Hm."
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Tidak perlu menghujatku di dalam pikiran, katakan saja aku demokratis."
"Serah."
Yeriko kembali tertawa. Dia seperti menikmati momen-momen kekesalanku setiap saat. Pria yang aneh. Dia kembali duduk di kursinya, menaruh dokumen yang ia ambil dari lemari di atas mejanya.
"Kalian mendekatlah," ujarnya.
"Kenapa?" tanya Freya heran.
"Mendekat, ada yang ingin kusampaikan."
Kami saling tatap dan segera mendekat ke meja Yeriko. Dia membuka dokumen, sebuah gulungan kertas.
"Ini apa?" tanyaku.
"Kalian ini banyak tanya ya. Lihat, Cedric tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari tadi."
"Dia? Itu karena dia bodoh mempercayai orang seperti mu," ucap Freya dengan wajah sinisnya.
"Aku lagi yang salah," tambah Cedric.
"Sudah-sudah, lihat yang ditulis di sini. Kalian bisa membaca, kan?"
Kami mengangguk. Itu hanya sebuah kertas tua dan berdebu dengan tulisan yang tidak rapi, seolah ditulis dengan buru-buru. Isi kertas itu berbunyi:
'Ini laporan dari Prajurit Sela, aku telah menemukan sesuatu yang mencurigakan di kantor wali kota. Para prajurit menjaganya dengan ketat. Aku sudah menilai benda itu dan berbentuk seperti kristal dengan kekuatan besar (sisanya tidak terbaca)'
"Apa ini laporan misi?" tanya Cedric, akhirnya dia berbicara.
"Iya," jawab Yeriko singkat.
"Sepertinya dia menulis ini dengan sisa-sisa tenaganya. Apa dia dibunuh?" tanya Freya.
"Benar."
"Jadi apa yang harus kami lakukan dari dokumen ini?" tanyaku memastikan.
"Mudah, kalian hanya perlu menyusup ke kantor wali kota dan melaporkan dengan rinci apa yang kalian lihat."
Kami bertiga terdiam. Itu jelas membuat kami kaget. Bagaimana bisa dia mengirimkan prajurit pemula untuk langsung pergi melawan bos terakhir?
"Kalian tidak perlu melawan siapapun. Kalian hanya perlu menyusup di malam hari dan lihat apa yang mereka simpan di sana," lanjut Yeriko membuat seolah semuanya terdengar mudah. Freya yang tidak tahan langsung membentak meja.
“Aku yakin yang paling pintar di sini itu kau, tapi kenapa sekarang kau terdengar paling bodoh. Sialan Yeriko!” kutuk Freya dengan amarah yang terselubung dalam suaranya. Yeriko hanya membalikkan pandangannya, mendengus kesal, lalu menarik nafas lega.
“Kalian tidak akan bertiga saja,” katanya dengan nada tenang, “Aku akan memberikan kemudahan. Di sini ada Hyper tipe ilusi yang mirip dengan Luna, rekan kalian. Aku harap dia bisa membantu banyak, jadi pergilah dari kantorku.”
“Kau ini—“ Freya hampir melompat dari tempatnya untuk memukul Yeriko, tapi Cedric dengan sigap menarik bahunya, menghentikannya. “Tenanglah, kita harus menerima ini,” katanya dengan suara yang lembut tapi tegas.
Pagi ini dimulai dengan hujan. Udara kota yang biasanya sesak kini terasa lebih segar, sementara teriakan penderitaan mulai tertutup suara rintik hujan. Pemandangan kumuh kota ini tetap sama, meskipun hujan menerpa. Kami terjebak di markas bawah tanah, menunggu waktu berlalu.
Suasana hening di antara kami bertiga. Waktu pelaksanaan misi sudah ditentukan, dimulai jam 11 malam. Itu berarti masih ada 13 jam lagi. Tidak banyak yang bisa kami lakukan di kamar tamu. Cedric memilih untuk tidur, mempersiapkan diri untuk nanti sore. Sementara Freya masih termenung, diam menghadap langit-langit ruangan.
Aku menoleh ke arah Freya, mencoba mengajaknya berbicara. “Freya,” panggilku dengan suara yang malas.
“Hm?” jawabnya singkat.
“Akhir-akhir ini melelahkan ya.”
“Iya,” jawabnya seolah tidak peduli.
“Apa kita tidak bisa keluar dari tempat ini?” tanyaku dengan nada yang sama. Pikiran penuh dengan pertanyaan.
“Kita akan segera pergi, Rika.” Freya masih menatap langit-langit ruangan.
“Kalau kita pergi dari sini, kita akan kemana?” tanyaku lagi.
“Ke Jakarta, itu kan tujuan kita.” Freya mengubah posisinya dari telentang di sofa menjadi telungkup, menghadapku yang sedang duduk menatap lurus ke pintu.
“Apa yang sebenarnya ingin kau tanyakan?” tanya Freya dengan nada yang malas.
Aku menunduk, merapatkan kaki yang dingin. “Apa kita akan selamat kali ini?”
Freya tersenyum, mungkin hendak tertawa mendengar kalimatku yang mendadak. “Tidak tahu, memang kenapa?”
“Aku dilema. Jika saja itu akhirnya, apa aku senang atau sedih menghadapinya.”
“Kenapa harus dilema? Itu bukan sesuatu yang harus kau pikirkan sekarang, kan?”
Aku menggeleng pelan. Masih menunduk. “Ini penting buatku. Jika aku mati, maka akan sedih kehilangan kalian. Dan jika aku mati, maka aku juga senang bertemu keluarga di surga.”
Suasana hening sejenak.
“Kau mempercayai surga, Rika?”
“Iya, memang kenapa?”
“Menurutmu surga itu seperti apa?”
“Seperti apa ya, aku tidak pernah bisa membayangkannya. Yang pasti lebih indah dari dunia ini, kan?”
“Apa tujuan manusia ke surga hanya untuk keindahan?”
“Aku tidak memikirkannya. Aku hanya berpikir itu tempat yang tenang sekarang.”
Freya kembali berbaring, menghadap atap ruangan. Tangannya diangkat seolah menggapai sesuatu. “Tuhan, kau percaya dia itu ada?”
“Kenapa tiba-tiba tanya begitu?” Aku menoleh, menatap rambutnya yang tergerai. Tangannya masih terangkat, seolah-olah ingin menggapai sesuatu.
“Kau percaya surga, kan? Kalau begitu otomatis percaya Tuhan ada, kan?”
Aku mengangguk, kembali menunduk. Suara ku malas. “Entahlah, aku tidak tahu. Jika Tuhan ada, kenapa dia memberikan dunia ini kepada kita?”
“Jadi kau menyalahkan Tuhan?”
“Aku tidak tahu. Aku ingin menyalahkan-Nya, tapi tetap saja aku yang salah. Dunia ini punya dia, kan? Aku juga tidak bisa protes.”
“Menurutku Tuhan itu ada,” tambah Freya.
“Kau percaya surga itu ada?” tanyaku pelan, mendengarkan lebih jauh.
“Tidak, aku tidak percaya surga itu ada. Ilmu pengetahuan tidak bisa menjelaskannya, tetapi keberadaan Tuhan bisa dijelaskan ilmu pengetahuan.” Freya menjawab dengan keyakinan dalam suaranya, membuatku merasa semakin bingung.
“Begitu ya, kau orang yang menarik, Freya.” Aku mencoba mencerna kata-katanya, meski hati ini terasa semakin berat.
Freya tertawa kecil, nada tawanya penuh kehangatan yang anehnya menenangkan. “Semua orang di sini adalah orang yang menarik, Rika.”
“Semua?” tanyaku, masih berusaha memahami.
“Iya, tentu. Semua orang yang bertahan hidup di dunia ini punya cerita menarik. Karena kita berada di titik terburuk peradaban manusia.”
Aku menarik napas panjang, merasakan beban yang menekan dada. “Menarik seperti apa selain melihat keluarga mati di hadapan masing-masing?” Air mata mulai mengalir membasahi pipiku, semakin erat memeluk pangkuanku sendiri.
Freya menatapku dengan penuh empati. “Semuanya akan meninggalkan kita, Rika, bahkan sains sudah tahu itu sejak berabad-abad lalu.”
“Aku paham jika konsep perpisahan itu pasti. Tetapi kenapa harus secepat dan bersamaan.” Suaraku mulai goyah, penuh dengan kepedihan yang tak tertahankan.
“Rika...” Freya memanggil namaku dengan lembut, seolah berusaha menenangkan.
“Aku lelah, hidup tanpa perasaan di dunia ini. Baru beberapa bulan sudah seburuk ini hidupku, bagaimana ke depannya. Aku hanya ingin mati lebih cepat, ini bukan tempatku kan?” Kata-kata itu keluar dari mulutku dengan penuh keputusasaan.
Freya merangkak mendekat dan memeluk bahuku. “Rika, tenangkan dirimu,” bisiknya di telingaku. Aku masih menunduk, menatap jari-jari kaki yang gemetar.
“Aku lelah, Freya. Aku bingung, Freya. Memilih mati lebih cepat atau lebih baik hidup tanpa perasaan.” Kata-kataku semakin penuh dengan rasa putus asa.
“Rika, kamu masih punya perasaan itu kok. Kalau tidak ada, mana mungkin bisa dilema tentang hidup dan mati.”
“Tapi ada yang kurang—.” Aku hampir tak mampu menyelesaikan kalimatku.
“Tidak, Rika. Tidak ada yang kurang. Kamu hanya butuh sesuatu untuk mengisi hati yang kosong itu. Luka lama tidak mungkin sembuh secepat itu kan.” Freya mengusap rambutku, membiarkan aku menangis dalam pangkuannya. Perlahan, aku merasakan beban itu sedikit demi sedikit terlepas.
“Apa yang kalian lakukan di situ?” suara Cedric tiba-tiba memecah keheningan, membuat aku dan Freya tersentak
“Sejak kapan kau bangun?” tanyaku, mencoba menenangkan diri.
“Barusan, hoaaah,” Cedric menguap lebar, mengusap kotoran mata. “Rika, kamu tidur duluan, biarkan kami berjaga setelah itu gantian.”
Aku mengangguk, segera berdiri dan mengambil posisi tidur di atas sofa. Rasanya beban di hatiku perlahan hilang. Setelah menangis beberapa menit, ada sedikit lega yang mengisi hati. Hingga akhirnya dengan mudahnya aku tertidur lelap.
***
Waktu berlalu, sudah menunjukkan pukul 5 sore. Ketika aku terbangun dari tidur, telingaku menangkap percakapan tiga suara. Salah satunya tidak aku kenali. Aku segera duduk, sesekali mengusap mata yang masih setengah mengantuk.
“Eh, Rika, sudah bangun,” suara yang tidak kukenali menyapa. Aku memalingkan wajah ke kiri, menatap sosok perempuan tinggi dengan postur ideal layaknya model, rambut kuning tergerai panjang.
“Siapa?” tanyaku, lalu memalingkan pandangan ke arah Freya di kanan.
“Dia yang dibicarakan Yeriko,” jawab Freya singkat.
Aku mengangguk pelan, lalu kembali menatap perempuan itu. “Oh iya, nama ku Elsa. Salam kenal, Rika,” ucapnya dengan senyum lebar.
“Salam kenal, namaku Rika, pengguna kekuatan imagination.”
“Wow, kekuatan apa itu terdengar keren.” Elsa berkata dengan semangat. Tingkahnya mirip Luna, tetapi lebih bersemangat dan ceria. Bahkan lebih berisik.
Cedric datang di tengah percakapan, bertepuk tangan dua kali. “Baiklah semuanya, mari berkenalan resmi dan sebutkan tipe kekuatan kalian.”
“Boleh dari aku duluan ya. Sekali lagi biar resmi, hahaha,” Elsa memotong pembicaraan, wajahnya penuh antusias.
“Silakan, Elsa.”
“Namaku Elsa, pekerjaan lamaku model busana. Aku jarang tampil di televisi atau koran atau majalah, tetapi aku sering tampil di radio. Oh iya, untuk kekuatanku adalah ilusi pemikat dan suara.”
“Gimana cara kerjanya?” tanya Cedric, penuh rasa ingin tahu.
“Seperti ini.” Elsa mendekatkan dirinya ke Cedric. Ia memainkan bibirnya bagai sedang menggoda, sedangkan Cedric tidak berkutik, matanya tidak berhenti menatap langsung ke arahnya.
“Hey, apa yang kau lakukan!” Freya mendorong Elsa menjauh.
“Santai-santai, yang tadi itu contoh ilusi pemikat,” jawab Elsa sambil tertawa kecil.
Aku menelan ludah, merasa ngeri membayangkan kemampuan itu disalahgunakan. “Lalu, yang terakhir?”
Elsa tersenyum misterius. “Rahasia, kalian akan tahu sendiri nanti saat menjalankan misi.”
“Tidak bisa, kau harus memberitahukan sekarang—” Freya mulai protes, tapi Cedric segera menghentikannya.
“Freya, ini bukan saatnya berdebat,” katanya tegas.
Freya menarik napas panjang dan menenangkan diri. Kami melanjutkan perkenalan sebelum bersiap-siap untuk malam ini. Persiapan fisik dan mental adalah kunci, dan kami tahu betul apa yang akan kami hadapi. Senjata, makanan, dan combat suit sudah siap. Sekarang saatnya menjalankan misi.
***
Pukul 11 malam, kami berada di wilayah kekuasaan faksi teror malam. Suasana begitu mencekam, horor terasa di setiap sudut jalan. Kota ini sunyi dan sepi, hanya beberapa penjaga terlihat berpatroli. Elsa mengatakan bahwa wilayah ini memberlakukan jam malam yang ketat untuk membatasi pergerakan. Itu adalah cara jitu mereka untuk mendeteksi penyusup, karena siapapun yang berkeliaran dianggap sebagai mata-mata.
“Sekarang bagaimana?” bisik Freya dengan cemas. Kami baru saja mencapai perbatasan, tapi penjagaan sudah sangat ketat. Hampir setiap jalan dipenuhi kelompok penjaga bersenjata.
“Kita tunggu sebentar sampai mereka pergi,” jawab Cedric dengan suara tenang namun tegas.
“Kapten Cedric, aku punya rencana tapi kita harus cepat-cepat,” kata Elsa, menarik perhatian kami.
“Katakan,” ujar Cedric, memusatkan perhatian padanya.
“Aku akan memancing mereka dengan suara, lalu kita bisa melewati mereka,” jelas Elsa.
“Kau gila! Bagaimana bisa membuang satu orang di awal seperti ini?” protesku dengan keras, merasa rencana itu berisiko.
Elsa tersenyum lembut, lalu menjelaskan. “Bukan begitu, aku akan menunjukkan caranya dan ini pasti berhasil.” Dia menatap Cedric, meminta persetujuan.
Cedric berpikir keras, mempertimbangkan setiap kemungkinan. Dia mendengus kesal. “Tidak ada cara lain. Lakukan segera.”
“Kami hanya perlu lari, kan?” Freya bertanya sambil bersiap.
“Iya. Tapi tunggu sebentar.” Langkah kami terhenti ketika Elsa meminta kami menunggu. Tangannya teracung ke depan, secarik cahaya ungu gelap keluar dari tangannya menyelimuti tubuh kami bertiga.
“Illusion: Silencer!” Elsa mengucapkan kalimat perintah kekuatan dengan tegas.
“Apa ini?” Cedric mengecek tubuhnya, tidak ada perubahan apapun yang terlihat.
“Sekarang gerakan kalian tidak akan bersuara sedikit pun, jadi larinya sekencang mungkin saat waktunya tiba,” jelasnya.
“Benarkah?” Aku menggerakkan kaki, menghentakkannya sesekali ke tanah. Benar-benar tidak bersuara. Ini kekuatan yang sangat berguna.
“Sekarang tahap utamanya.” Kali ini, Elsa menutup matanya, memegang lehernya, dan mengucapkan kalimat perintah kekuatan perlahan. “Illusion: Sound Point.”
“Aaaaaaaa!” Elsa tiba-tiba berteriak, membuat kami kaget setengah mati.
“Hey, apa yang kau lakukan!” Freya hampir memukulnya.
“Kau gila? Kita bisa—”
“Ketahuan? Tidak akan, lihat mereka datang ke titik lain,” potong Elsa, menunjuk ke arah para penjaga yang mulai bergerak menjauh dari kami.
Aku menghela napas lega, tapi tetap waspada. “Kita harus cepat.”
“Apa kau memindahkan suara?” tanya Cedric, mencoba menebak.
"Tepat sekali, kapten. Kau sungguh hebat ya, sudah kuat, sabar, bijaksana, dan yang terpenting pintar menganalisis situasi. Tidak seperti mereka yang lain,” Elsa memuji dengan senyum nakal.
“Hey!” Freya protes, tapi Cedric menghentikannya dengan tatapan tegas.
“Sudah-sudah, sekarang saatnya kita pergi sebelum mereka kembali,” seru Cedric, segera berlari di antara bangunan. Kami menyusul di belakang, tidak boleh terpisah. Sesekali kami berhenti untuk memastikan keadaan hingga tiba tepat di depan halaman besar kantor wali kota.
Dari balik tembok kecil dengan pagar besi, kami memantau situasi.
“Hanya ada dua pintu, satu pintu belakang dan satu di depan kita,” jelas Freya sambil menunjuk arah.
“Kita juga tidak bisa masuk dari belakang. Penjaga pasti sama ketatnya dengan di depan,” tambah Cedric, wajahnya mengeras memikirkan solusi.
Di saat kebingungan melanda, Elsa lagi-lagi memberikan saran cemerlang meski terdengar menyeleneh. “Aku akan melakukannya,” katanya dengan mantap.
“Melakukan apa?” Freya menatap Elsa dengan ragu.
“Sudah, jangan banyak tanya. Kalian bertiga langsung bergerak ketika aku beri aba-aba,” Elsa berjalan mendekati pos penjaga dengan langkah anggun. Terdapat prajurit penjaga dengan senjata laras panjang dan rompi yang segera menatapnya, mengacungkan senjata.
“HEY, BERHENTI SAMPAI DISITU!” Suaranya tegas memperingatkan, tapi Elsa tidak menghiraukan. Kemampuannya telah aktif.
“Kalian butuh hiburan? Tegang sekali sepertinya,” suaranya menjadi lebih imut dan menggoda, terus mendekat dengan langkah anggun. Matanya menatap langsung lawan jenis. “Kalian butuh hiburan kan? Mendekatlah,” godanya sekali lagi. Prajurit itu dengan mudahnya menurut, menurunkan senjata. Keempat prajurit lumpuh dalam ilusi, tergoda kecantikan Elsa.
“Ini memang dibenarkan ya?” tanyaku, merasa canggung.
“Tidak ada yang tidak boleh di medan perang, Rika,” jawab Cedric tanpa ragu.
Kami memperhatikan selama satu menit, menunggu aba-aba. Pandangan keempat prajurit itu teralihkan, dan titik buta pertahanan terbuka jelas. Elsa memberi aba-aba, jari tangannya bergerak-gerak menyuruh maju.
“Ayo!” bisik Cedric.
Kami segera berjalan dengan pelan melewati gerbang tanpa ketahuan. Elsa masih merayu keempat prajurit hingga kami berhasil masuk ke dalam ruangan kosong. Setelahnya, Elsa segera membuat pingsan keempat prajurit itu.
Cedric berkomentar ngeri melihatnya, “Sungguh besar tipu daya wanita.”
Hendak membuatku tertawa, tapi aku juga wanita. “Ayo,” seru Elsa.
“Tahan, kita perlu mengecek sesuatu. Rika, lakukan pengecekan,” perintah Cedric.
Aku mengerti dan segera menutup mata, mengucapkan kalimat perintah kekuatan. “Imagination: Pathography.” Kekuatan ini memungkinkan aku menyensor area sekitar, menyiksa bayangan di dalam pikiranku. “Lima belas orang menyebar berjaga di tiap lorong, tetapi ada satu titik yang dijaga ketat, sekitar sepuluh orang berjaga di sana,” laporku setelah selesai. Aku mulai terbiasa memakai kekuatan ini, tidak sering sesak napas atau sakit kepala seperti dulu.
“Sekarang bagaimana?” tanya Freya, wajahnya bergantian menatap kami bertiga.
“Kita hanya perlu melihat, tidak perlu mengambil. Kalau begitu, hanya perlu menyusup tanpa bertarung,” jawab Elsa.
Cedric menatap lantai, sesekali menggerakkan jarinya seolah menggambar sesuatu. “Aku juga menginginkan ini, tetapi kita harus menyiapkan kemungkinan terburuk. Jadi sekarang kita harus cari rute tercepat,” tambah kapten, kembali menatap kami bertiga. “Kita harus saling dekat dan jangan terpisah. Apapun yang terjadi, jangan biarkan salah satu terpisah.”
Kami mengangguk, menatapnya dengan yakin. Setelah pembicaraan singkat dan mengatur strategi, kami memutar arah ke kiri. Di sana terdapat lubang ventilasi yang bisa kami gunakan untuk menyusup ke dalam. Yeriko dulu pernah tinggal di tempat ini, jadi dia tahu beberapa trik masuk dan masih menyimpan denah ruangan.
Di dalam lorong ventilasi, udara terasa sesak dan panas. Setiap napas yang kuambil terasa seperti menghirup api. Kami merangkak dengan hati-hati, mengikuti Cedric yang memimpin di depan. Saat kami hampir sampai di titik terbaik, Cedric menyuruh kami berhenti.
“Rika,” bisiknya, singkat namun jelas.
Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut, aku mengerti tugas yang harus kujalankan. Menutup mata, aku membisikkan kalimat perintah kekuatan, “Imagination: Pathography.” Bayangan-bayangan mulai terbentuk di dalam pikiranku.
“Ada dua penjaga yang sudah menjauh, tetapi mereka pasti akan kembali ke lorong ini,” kataku dengan mata masih tertutup, mencoba merasakan setiap detail.
“Jadi sekarang waktunya?” tanya Cedric.
“Kita harus menunggu sepuluh detik, kapten,” jawabku, merasakan waktu berjalan lambat.
“Apa mereka orang-orang kuat ya?” Elsa berbisik, memecah keheningan yang tegang. Freya, yang berada tepat di depannya, mendesis, menyuruhnya diam.
“Sekarang!” bisik Cedric dengan tegas.
BUM! Cedric langsung memukul penutup ventilasi dengan kekuatan penuh, membuka jalan bagi kami. Kami melompat ke bawah, mendarat dengan mulus. Kemampuan Elsa membuat suara pendaratan kami jadi tak terdengar. Kami segera berlari menuju lorong tempat orang-orang berkumpul. Aku yakin di situlah tempat mereka menyimpan sebagian besar rahasia pada surat itu.
“Rika, di depan ada persimpangan. Kita akan kemana?” tanya Cedric sambil berlari.
“Kanan!” seruku, memastikan arah yang benar.
“Oke, ayoo!” Cedric bersemangat terus berlari sekencang mungkin. Langkah kaki kami yang senyap membuat perjalanan terasa lebih mudah. Penjaga sedang lengah di lorong yang kami lewati. Ini akan menjadi misi yang mudah, pikirku, hingga kami hanya perlu waktu lima menit untuk menemukan lokasi benda itu disimpan.
“Semuanya sembunyi!” Cedric segera mengambil ancang-ancang bersembunyi di balik tembok kecil. Di depan kami ada sepuluh pria, dijaga dengan ketat, dan hanya ada satu pintu menuju ruangan itu.
“Penjagaan mereka terlalu ketat,” desis Freya, kesal.
“Elsa, kau bisa mencoba sesuatu?” Cedric menoleh ke Elsa.
“Aku tidak tahu, semakin banyak target, semakin sulit,” jawab Elsa ragu.
“Jadi tidak bisa ya,” Cedric menghela napas.
“Tidak ada yang bilang tidak bisa, aku akan mencobanya,” Elsa menatap Cedric, meyakinkan.
“Kau yakin?” Cedric tampak khawatir.
“Aku tidak ingin siapapun terluka, jadi jika tidak bisa kami akan segera membantu,” kata Cedric.
Elsa mengangguk, segera berdiri dan keluar dari balik tembok dengan langkah anggun menggoda. Wajahnya yang cantik dan suaranya yang memikat mulai bekerja.
“Hai laki-laki ku, sedang apa?” tanyanya dengan nada menggoda.
“Siapa kau, berhenti di situ!” teriak salah satu penjaga, memperingati.
“Kenapa kalian? Aku hanya ingin bermain,” Elsa melangkah lebih dekat.
“Semuanya bersiap, wanita ini gila!” salah satu penjaga memperingatkan yang lain.
“Hey-hey, baiklah aku berhenti. Aku hanya ingin bermain dengan kalian, tahu kan yang kumaksud?” Elsa memainkan bibirnya dengan godaan yang mematikan. Penjaga itu mulai terpengaruh, senjata mereka turun satu per satu.
“Nah jadi turun kan senjatanya dan—”
“Dan apa?” sebuah suara memotong dengan tajam. Aku mengintip dari balik tembok, melihat seorang pria berdiri di belakang Elsa. Dia tidak terpengaruh oleh kemampuan Elsa.
“Wah-wah, kenapa sayang?” Elsa mencoba tetap tenang.
“Kau tidak akan bisa mempengaruhi ku. Berhentilah bersandiwara, dan kalian yang di sana, cepat keluar atau aku perlu menghabisi wanita di depan ku?” Pria itu mengacungkan pisau tempur, mengancam dengan tegas.
Demi mendengar ancaman itu, aku hendak keluar memastikan keadaan Elsa, tetapi Cedric menahanku. Dari gelengan kepalanya, tampaknya ada sesuatu yang harus dia pastikan terlebih dahulu. Pria yang menjadi lawan Elsa sekali lagi berteriak, menyuruh kami keluar. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi dengan jelas, tetapi suasana semakin tegang dan berbahaya.
“Kau mau melawan ku?” ucap pria itu, menantang. Senjata keluar dari sakunya, hanya sebuah pisau tempur, tetapi cukup untuk menimbulkan bahaya besar.
“Cih, pria ini sudah gila, dia tidak mengharapkan dunia yang indah sama sekali, pantas saja ilusi ku tidak berpengaruh.” Suara Elsa bergema di ruangan yang remang, penuh dengan ketegangan.
Slash!
Hampir saja, hanya sedikit lagi, leher Elsa pasti terpotong. Gerakan pria itu cepat dan tepat meskipun keadaan ruangan minim cahaya. Rasanya jantungku hampir berhenti melihatnya.
“Kau tidak akan lari,” ancam pria itu dengan suara dingin.
Flash! Bum!
Elsa tersungkur jatuh ke lantai pualam, tubuhnya remuk dengan satu tendangan brutal. Terluka parah, dia berusaha untuk bangkit, tapi pria itu lebih cepat. Dia berdiri di atas Elsa, menghunjamkan tatapan mautnya ke arah kami yang masih bersembunyi.
“3 detik, jika kalian tidak memutuskan untuk menunjukkan diri, aku akan membunuh wanita jalang ini.”
“1...” Suaranya bergema di ruangan. Aku menatap Cedric dan Freya, meminta keputusan. Freya menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. Cedric mendesah kesal, wajahnya tegang.
“2...” Pisau itu semakin dekat dengan leher Elsa, bersinar di bawah cahaya yang redup. Siap menusuk setelah hitungan terakhir.
“3...” Detik terasa seperti abad, dan kami tahu kami harus bertindak sekarang.
“Nol! Matilah!”
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22