Satu hari setelah status darurat militer dicabut, kondisi kota kembali tampak aman. Setidaknya, itulah yang terlihat oleh orang awam. Kenyataannya, kota ini—maksudku, fraksi ini—lebih buruk kondisinya dari yang ku kira. Perasaan gelisah tak bisa kuabaikan. Di balik ketenangan yang semu, ada ancaman yang terus mengintai.
“Hari ini aku akan memberikan kalian misi pertama. Kapten Lilyfa akan menemani kalian,” kata Yeriko dengan nada tegas. Begitulah kami mendapatkan tugas pertama kami. Pagi-pagi sekali, kami dipanggil ke kantornya untuk menerima perintah. Karena ini misi pertama kami, Coach Lilyfa akan memimpin jalannya misi.
“Jadi tugas kita hanya memantau situasi, Coach?” tanya Cedric pada Lilyfa.
“Panggil aku kapten jika di luar jadwal latihan,” jawabnya tegas.
“Baik, Kapten,” seru Cedric.
“Sebenarnya, tugas ini lebih dari sekadar memantau. Hanya saja Tuan Yeriko selalu menjelaskan tugas seolah itu adalah misi yang mudah.”
“Apa maksud Kapten?” tanyaku dengan penasaran.
“Walaupun namanya misi pemantau, tugas kita sebenarnya adalah memastikan tidak ada kekacauan atau sesuatu yang menyebabkan itu semua,” jelas Lilyfa dengan serius. Aku mengangguk, mencoba memahami situasinya.
“Tidak perlu dipikirkan terlalu dalam. Kalian hanya perlu fokus pada apa yang ada di depan mata kalian. Cukup perhatikan tiap detailnya untuk laporan nanti,” lanjutnya.
“Siap, Kapten,” seru kami bertiga serentak.
Perjalanan kami lebih mirip seperti patroli biasa, tetapi ada tiga titik wajib yang harus kami datangi. Yeriko telah menerima laporan kegiatan mencurigakan di beberapa titik tersebut, termasuk laporan pembunuhan. Jadi, kami hanya bertugas memantau titik-titik itu dari jauh.
Empat puluh menit berkeliling sebelum akhirnya tiba di titik pertama. Kapten Lilyfa memberikan aba-aba dengan tangannya untuk berhenti. Jantungku mulai berdetak lebih cepat, antisipasi membuat setiap langkah terasa lebih berat.
“Ini titik pertama. Kalau tidak salah, di dalam surat misi tertulis tempat ini sering terdengar suara teriakan beberapa waktu belakangan,” jelas Freya dengan berbisik.
“Apa kita perlu mengeceknya, Kapten?” tanya Cedric.
“Tunggu lima menit. Aku ingin melihat sesuatu,” jawab Kapten Lilyfa dengan mata yang tajam mengawasi sekeliling.
Lima menit berlalu dengan tegang. Tidak ada apapun yang keluar masuk dari titik itu. Tempatnya ada di dalam gang sempit, membuat kami tidak bisa melihat langsung apa yang terjadi di sana. Rasa takut mulai merayapi pikiranku.
“Rika, cek mereka,” perintah Kapten Lilyfa kepadaku.
“Ta-tapi Kapten, itu...”
“Tidak ada apa-apa. Kau hanya perlu berpura-pura lewat di depan gang itu, lalu melirik sedikit ke kiri,” tegasnya.
“Baik, Kapten.” Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Kaki-kakiku gemetar saat berjalan pelan di atas trotoar. Tepat di depan gang, mata ku melirik kaku. Rasa dingin menjalari tulang belakangku.
“Rika, apa yang kau lihat?” seru Kapten Lilyfa.
Namun, aku tidak bisa menjawab seruannya. Seluruh tubuhku membeku. Di dalam gang itu, aku melihat sesuatu yang mengerikan. Tubuh-tubuh tergeletak, beberapa di antaranya hilang bagian tubuhnya seperti digigit sesuatu. Darah mengalir membasahi lantai gang. Bau busuk memenuhi hidungku, membuatku ingin muntah.
Cedric dan yang lain datang menghampiri, wajah mereka berubah pucat saat melihat apa yang kulihat. Freya hampir muntah, dan Kapten Lilyfa menatap jijik. Cedric menatap kaku, tidak percaya dengan apa yang ada di depan matanya.
“Kalian, berbicaralah! Apa yang terjadi?” Kapten Lilyfa mengeluarkan pedang tipisnya, menodong langsung seorang wanita berbaju kusut dengan wajah penuh darah. Di tengah lorong, terdapat enam mayat tergeletak, beberapa bagian tubuhnya hilang seperti digigit sesuatu. Di antara yang tersisa, hanya perempuan itu yang masih hidup.
“Katakan secepatnya!” perintah Kapten Lilyfa dengan nada mengancam.
Wanita itu hanya menatap kami dengan kosong. Tidak ada jawaban, hanya tatapan hampa yang penuh penderitaan.
“Tidak berguna.” Kapten Lilyfa mengeluarkan alat komunikasi dari kantungnya. “Di sini Kapten Lilyfa dari regu Alaya, cepat datang ke persimpangan bunga mawar, ganti.”
“Baik, Kapten Lilyfa. Regu bantuan akan segera ke lokasi, copy.”
“Sekarang bagaimana, Kapten?” tanya Cedric.
“Kita hanya menunggu regu bantuan. Kita tidak berurusan dengan kasus ini, dan hey, Rika, jangan pergi ke sana, atau kau bakal jadi tersangka,” tegas Kapten Lilyfa.
“Ah, baik, maaf Kapten.” Untung saja aku tidak jadi menyentuhnya, walau ragu dan takut, rasa penasaran ku hampir membuatku melakukannya. Dadaku masih berdebar-debar, rasa penasaran beradu dengan ketakutan yang nyata.
Sepuluh menit berlalu, dan akhirnya regu bantuan tiba. Kami segera melanjutkan perjalanan ke titik kedua. Di sana, diduga ada perdagangan ilegal, menurut informasi dari kertas misi. Perjalanan terasa lambat, setiap langkah membawa ketidakpastian.
“Perdagangan ilegal itu, mungkin kah perdagangan manusia?” tanyaku, mencoba memecah keheningan yang menggelayut di udara.
“Iya, bisa dibilang begitu,” jawab Kapten Lilyfa singkat.
“Lalu jika bukan itu, apalagi?” tanyaku lagi, mencoba mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.
“Banyak barang yang bersifat ilegal menurut hukum di wilayah fraksi hukum,” jawabnya lagi, kali ini dengan nada sedikit lebih sabar.
“Contohnya?” tanyaku dengan polos, penasaran dengan apa yang mungkin kami hadapi.
“Kau ini banyak tanya ya,” jawab Kapten Lilyfa dengan nada sedikit mengomel. Aku segera menundukkan kepala, merasa sedikit bersalah.
“Aku suka orang seperti mu, tidak masalah banyak bertanya tetapi jangan berlebihan nanti semua orang jengkel,” lanjutnya, membuatku merasa sedikit lega.
Aku mengangguk, masih tertunduk. Suara langkah kaki kami bergema di jalanan yang sepi.
“Sebenarnya barang ilegal itu tidak hanya seperti narkoba, tapi juga senjata api dan item yang bahkan kita tidak pernah tahu ada di dunia ini sebelumnya,” Kapten Lilyfa melanjutkan penjelasannya demi ku. Nada suaranya tegas namun mengandung keprihatinan.
“Item? Apa itu berhubungan dengan Evolvera?” tanyaku lagi, kali ini dengan nada lebih serius.
“Aku tidak tahu, anggota ku tidak pernah menemukan bukti kuat dengan item yang berhubungan dengan ledakan itu. Tapi aku yakin item bernilai tinggi seperti itu ada di zaman ini,” jawabnya sambil menggeleng.
“Mungkinkah itu perlengkapan dengan kemampuan khusus?” tanya Cedric, ikut penasaran.
“Entah, aku tidak tahu. Tapi jika perlengkapan dengan kemampuan seperti yang kita gunakan itu hanya sebuah teknologi kan. Tetapi yang ku yakini itu berbeda,” jawab Kapten Lilyfa.
“Tidak ada benda seperti itu. Kalau pun ada, itu jelas menentang fisika,” sahut Freya dengan tegas.
“Bukankah kekuatan kita selama ini juga menentang hukum alam?” tanya Cedric, suaranya penuh rasa ingin tahu.
“Tidak, jelas itu tidak benar. Kemampuan Hyper itu datangnya dari evolusi kode genetik di dalam tubuh. Itu mirip dengan mengapa beberapa hewan terlihat punya kemampuan bertahan hidup yang unik,” jelas Freya panjang lebar.
“Begitu ya, mungkin aku tahu kenapa kalian dipilih oleh Tuan Yeriko secara langsung,” gumam Kapten Lilyfa.
“Kami terpaksa,” dengus Freya. Kapten Lilyfa tertawa kecil, suasana sedikit mencair.
“Kita tunda dulu perbincangan ini, sebentar lagi kita akan memasuki pasar satu-satunya yang masih aktif di wilayah Fraksi hukum,” ujar Kapten Lilyfa, matanya menatap tajam ke depan.
“Ini kan pasar yang kita kunjungi sebelumnya,” jelas Freya, suaranya penuh kebingungan.
“Iya, aku juga mengingatnya,” sahutku. “Emangnya apa yang salah dari pasar ini? Kami tidak melihat ada yang aneh selain aktivitas dagang pada umumnya di pasar tradisional.”
Kapten Lilyfa menggeleng. “Itulah yang membuat kita datang ke sini, ayo bergerak sedikit merenggang.”
Tanpa disuruh dua kali, kami melakukannya. Kami berjalan dengan berjaga jarak, berusaha terlihat seperti pembeli biasa. Pakaian kami yang sederhana membantu menyamarkan identitas kami sebagai petugas. Rasa tegang tetap ada, meski kami berusaha santai.
“Lihat di sana, ada beberapa orang bertopi terlihat berkumpul-kumpul,” bisik Freya.
“Mari kita pantau saja. Jika mencurigakan, kita akan mengikutinya diam-diam,” jawab Kapten Lilyfa.
Kami mengangguk dan segera kembali melebarkan barisan. Suasana pasar terasa aneh, meski orang-orang terlihat sibuk dengan transaksi mereka, canda tawa, dan anak-anak yang berlarian di antara kerumunan. Semua ini terasa seperti sebuah sandiwara besar, seolah tidak ada yang memikirkan kesedihan dunia ini.
“Hey, cepat serahkan pajaknya!” Seorang pria menarik perhatian ku. Mereka adalah kelompok yang tadi. Empat pria bertopi hitam dengan kaos dan celana jeans penuh lubang, tampak mencurigakan.
“Apa mereka preman?” tanya Freya, suaranya berbisik namun tegang.
Aku mengangguk mengiyakan, masih memantau dari jauh, merasakan adrenalin mulai mengalir di nadiku.
“Pakaian apa yang mereka gunakan, itu gaya berpakaian 100 tahun lalu kan? Celana koyak-koyak dengan topi yang tidak jelas arahnya. Mereka kira itu keren?” Freya tersenyum sinis menahan tawanya, mencoba mengurangi ketegangan.
“Kapten, bisakah kita membantu?” tanya Cedric, matanya tak lepas menatap keempat preman pasar itu. Tangannya mengepal seolah siap untuk melayangkan pukulan.
“Jangan, sudah ku katakan sebelumnya kan? Kita ini hanya mengamati, jangan mencoba-coba mengeksekusi,” Kapten Lilyfa menjawab tegas, menahan semangat Cedric.
“Tapi wanita tua itu diganggu,” Cedric memprotes, suaranya penuh emosi.
“Tidak ada waktu, Cedric. Ada hal yang lebih penting,” balas Kapten Lilyfa, suaranya dingin tapi tegas.
Cedric hanya diam menatap keempat preman itu. Aku bisa merasakan perasaan Cedric, jiwanya seperti penegak hukum yang adil. Situasi ini adalah ujian bagi kami.
“Rika, di sana, lihatlah!” tunjuk Freya, mataku menyipit untuk melihat lebih jauh.
“Mereka?” tanyaku, suaraku gemetar.
“Sepertinya. Kapten, apa mereka orangnya?” seru Freya, matanya menatap intens pada sekelompok orang yang tampak mencurigakan.
“Kita ikuti mereka, ayo!” Kapten Lilyfa memerintahkan, suaranya penuh urgensi.
Aku mengangguk segera, bergerak tanpa disuruh dua kali, begitu pula dengan Freya. Tetapi Cedric berbeda.
Bum!
“Ledakan?” seru Kapten Lilyfa, suaranya penuh kekhawatiran.
“Cedric di mana?” tanya Freya, memalingkan pandangannya dari target.
“Cedric di sana!” teriak ku, menunjuk ke arah Cedric yang tengah terlibat perkelahian dengan keempat preman itu.
Suara dentuman tadi berasal dari Cedric. Dia memulai perkelahian dan membuat pasar jadi ribut. Sebagian pedagang histeris, berteriak ketakutan. Suasana pasar yang tadinya sibuk kini penuh kekacauan.
“Bantu Cedric!” teriak ku, suara ku penuh dengan kepanikan. Freya segera menyusul Cedric, namun langkah ku berhenti saat Kapten Lilyfa memanggil kami.
“Kalian berdua, hentikan!” perintah Kapten, suaranya tegas dan tak terbantahkan.
Aku menoleh dengan kebingungan, hatiku bergejolak antara keinginan untuk membantu Cedric dan kewajiban untuk mematuhi perintah.
“Jangan menambah masalah, biarkan dia menyelesaikannya sendiri. Dia memutuskan kehendaknya sendiri, itu berarti tanggung jawab sendiri,” Kapten Lilyfa melanjutkan, nadanya dingin namun penuh kewibawaan.
“Tapi—” aku mencoba memprotes, namun Freya menahan bahuku. Dia menggelengkan kepala, menyuruhku setuju dengan perintah kapten.
Ya, meski kami tidak membantu, Cedric mungkin bisa menang walau empat lawan satu. Namun, masalah sekarang adalah membereskan kekacauan yang terjadi.
Cedric bertarung dengan ganas. Aku bisa melihat setiap pukulan yang dia layangkan, setiap tendangan yang dia hindari. Keempat preman itu tak tahu apa yang menghantam mereka. Cedric, dengan kekuatan dan kecepatan luar biasa, berhasil menjatuhkan mereka satu per satu. Namun, perkelahian itu membawa keributan yang tidak perlu dan perhatian yang tidak diinginkan.
Setelah situasi agak terkendali, Kapten Lilyfa segera mendekati Cedric. “Apa yang kau lakukan, Cedric? Kau membantah perintah? Bukankah kau dulu dari satuan damkar? Kenapa bisa tidak disiplin?” Kapten terus memarahi Cedric sejak lima menit lalu. Cedric hanya menunduk diam, sesekali membela idealismenya yang tinggi.
“Justru itu, Kapten. Aku dari satuan pemadam kebakaran dan aku harus menolong mereka yang membutuhkan pertolongan,” Cedric membalas, suaranya mantap dan penuh keyakinan.
“Cedric, kau itu bukan polisi,” balas Kapten Lilyfa, suaranya mulai melembut namun tetap tegas.
“Tidak ada hubungannya, Kapten. Walaupun aku bukan polisi atau superhero, aku tetaplah manusia yang mempertahankan esensinya. Aku akan tetap mempertahankan idealisku,” tegas Cedric, matanya penuh tekad.
Kapten Lilyfa menghela nafas panjang, tampak kesal tapi juga tak bisa menyalahkan kehendak Cedric. “Aku akan mempertimbangkan perbuatanmu kali ini dan melaporkan ini apa adanya. Tuan Yeriko yang akan menilai sendiri perbuatanmu,” jelas Kapten. “Itu naluri yang bagus untuk dunia ini. Kau harus mempertahankannya, Cedric,” lanjutnya sebelum berbalik kanan dan menyuruh kami bersiap ke titik selanjutnya. Istirahat sudah selesai, kira-kira begitulah maksudnya.
Setelah 20 menit berjalan hingga titik terakhir, tidak ada hal janggal yang kami temukan di sini. Kami juga sudah memastikan hal yang sama berulang. Di surat misi tertulis bahwa di jalan ini sering terdengar suara decit yang tidak diketahui. Tapi itu normal menurut pandangan kami. Mungkin saja itu hanya decit hewan pengerat seperti tikus. Kenapa harus curiga hanya untuk sebuah suara decit?
“Kita bubar di sini. Aku sudah mencatat hasil misi dan kalian kembalilah segera. Besok kita bertemu di kantor Yeriko jam 10 pagi, paham?” ujar Kapten Lilyfa tegas.
“Paham, Kapten!” jawab kami serentak.
“Satu hal, Cedric, jika besok-besok kalian mendapatkan misi, aku tidak akan mendampingi kalian lagi. Jadi bersiaplah untuk menjadi pemimpin misi berikutnya. Aku tidak ingin ada keputusan naif yang kau buat. Sampai jumpa semuanya.” Kapten Lilyfa melambaikan tangan dan pergi. Kami berpisah di sini sementara.
Sesampainya di penginapan, aku merasa ingin segera tidur tanpa perlu mandi. Sangat lelah hari ini dan juga ini pengalaman buruk misi pertama ku.
“Freya, Cedric.” Aku memanggil mereka berdua yang sedang berdiskusi. Sepertinya tentang uang.
“Kenapa?” tanya Cedric, sementara Freya ikut memalingkan wajah ke arah ku.
Aku menatap mereka sejenak kemudian menunduk, bukan karena sedih, tapi mengingat kejadian sebelumnya yang terasa aneh.
“Tentang titik pertama tadi, aku merasa itu bukan pembunuhan yang umum,” ucap ku dengan suara kecil. Mereka terdiam sejenak, saling tatap dan mengingat-ingat.
“Aku juga merasa begitu. Gimana menurutmu, Freya?” Cedric bertanya.
“Aku tidak begitu mengerti, tetapi dari pengamatan sekilas...” Freya terdiam sejenak, berusaha mengingat, wajahnya terlihat tegang.
“Kenapa?” tanya Cedric penasaran.
“Mayat-mayat itu bukan seperti bekas gigitan hewan karnivora. Beberapa bagian terlihat dipotong rapi, bukan seperti pembunuhan dari pertengkaran,” jelas Freya.
“Apa maksudmu ini disengaja?” tanyaku dengan perasaan takut.
“Itu juga mungkin, tapi ada hal yang aneh. Apa kalian tidak merasa aneh?” tanya Freya, menatap kami berdua. Suasana hening sebentar.
“Apa ini mutilasi?” tanya Cedric.
“Iya, aku juga menduga begitu. Tapi kalian lupa ada satu hal lagi.” Freya menambahkan.
Aku menyadari sesuatu dari ucapan Freya. “Itu bukan mutilasi biasa. Itu mutilasi untuk menjadikan mereka mudah dimakan,” ucap ku gemetar.
“Dimakan? Jika itu hewan buas jelas tidak mungkin ada di kota dan pasti potongan nya tidak Serapi itu, lalu itu berarti...” Cedric menambahkan.
“Kanibalisme,” jelas Freya memberikan informasi yang mengejutkan. Suasana menjadi lengang karena tercengang. Aku menelan ludah berkali-kali, mataku gemetar menyadarinya.
“Apa yang terjadi dengan kota ini? Kenapa bisa ada kanibalisme?” tanyaku dengan tatapan tak percaya.
“Satu hal yang mungkin, kota ini kekurangan bahan pangan. Mereka menjadi gila dan memilih memakan temannya sendiri,” jelas Cedric.
“Sudah-sudah, tidak perlu dibahas sekarang. Aku juga mau mandi,” ucap Freya, lalu menunjuk Cedric sembari memelototinya. “Jadi Cedric, kau tahu harus apa, kan?”
“Hah?” Cedric terlihat bingung.
“Keluar, dasar payah!” Freya mendorong Cedric keluar kamar mandi.
Sore itu berakhir dengan tawa ku yang pecah melihat wajah kusut Cedric yang diusir paksa. Namun, dalam hati, bayangan tentang kanibalisme dan kengerian yang kami temukan terus menghantui pikiranku. Sesuatu yang mengerikan terjadi di kota ini dan itu membuat mahluk paling berakal memilih berakhir memakan temannya sendiri.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22