Ketika kesadaranku kembali, dunia terasa samar dan penglihatanku masih berkabut. Tubuhku terasa lemas, tidak mampu bergerak. Suara di sekelilingku terdengar seperti serpihan mimpi yang memudar. Aku menggumam dalam ketidakpastian.
“Huh? Di mana ini?” Tanyaku kepada siapa pun yang bisa menjawab.
“Dokter, pasien 2 sudah siuman,” sebuah suara berkata. Siapa yang dia maksud? Apakah itu untukku?
“Dia mulai stabil, tolong jawab saya, siapa namamu?” Suara itu kembali, menembus kebingunganku. Siapa yang dia bicarakan? Ah, dia pasti bicara padaku.
“Bisakah kamu mendengarku? Siapa namamu? Gadis kecil, tolong jawab.” Ucapan itu memaksa pikiranku kembali ke permukaan. Aku harus menjawab.
“Ri-Rika,” jawabku terbata-bata. Kata-kata terputus-putus di bibirku. “Catat itu,” kata dokter wanita di hadapanku, berkomunikasi dengan asistennya.
“Apakah kamu masih ingat apa yang terjadi sebelumnya?” Pertanyaannya membuatku mencoba mengumpulkan ingatanku. Ah, ya, aku hampir dibunuh oleh seorang pria.
“Hampir terbunuh oleh pria misterius,” seruku. Tubuhku masih belum sepenuhnya mau bergerak, tapi itu tak masalah. Pertanyaanku sekarang adalah di mana aku berada, mengapa aku berada di ruangan dengan lantai marmer putih yang indah ini. Dan mengapa langit-langitnya terasa seperti rumah sakit? Apakah masih ada rumah sakit yang berfungsi setelah kejadian Evolvera?
Dengan susah payah, aku mencoba membuka mulutku. “Dokter, kamu dokter, bukan?”
“Iya, Rika. Ada apa?” jawabnya.
“Aku berada di mana ini?”
“Kamu berada di fasilitas bawah tanah milik Fraksi Hukum.”
“Oh, begitu. Bisakah kamu membantuku untuk duduk?” Aku harus pergi, aku harus kuat, aku harus membantu temanku. “Achck,” desahku, rasa sakit menusuk-nusuk tubuhku.
“Rika, jangan memaksakan diri. Tulang belakangmu patah, lengan kananmu juga patah, dan banyak luka di dalam tubuhmu. Meskipun sudah ditangani, masih ada kemungkinan luka dalam itu akan membuka kembali.”
Aku diam sejenak, mengangguk. Namun, aku tetap teguh dalam keinginanku untuk bangkit dan pergi. “Kamu tidak perlu bergerak terlalu dulu,” ucapnya, berusaha merangkulku.
Ya, mungkin ini sudah akhir dari segalanya bagiku. Aku merasa seperti beban bagi mereka yang ada di sekitarku.
“Dokter, di mana teman-temanku?” Tiba-tiba wajah dokter itu berkerut. Apa yang terjadi? Apakah mungkin—tidak, aku harus melihatnya sendiri. Aku harus bertahan. Aku mencoba bangkit lagi. “Ahck, sakit.”
“Rika, mengapa kamu memaksakan diri?” Dia bertanya dengan nada khawatir.
“Dokter, mohon jawab pertanyaanku,” ucapku, rasa cemas menggelayut.
“Pria berbadan kekar di sebelah kirimu sedang kritis dan kekurangan darah, kami sedang mencari pendonor untuknya,” jawab dokter dengan serius.
Aku menoleh, melihat tubuhnya yang dipenuhi dengan alat medis.
“Cedric, tidak mungkin,” seruku dengan napas tersendat.
Aku tak mampu lagi menahan diri, air mata mulai mengalir. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menangis lagi. Semuanya pasti akan baik-baik saja.
“Aku sudah berusaha menyembuhkan patah tulang dan luka dalamnya. Namun, darahnya tidak dapat dihasilkan dengan cepat,” jelas dokter itu.
“Bagaimana dengan Luna dan Freya?”
“Maaf, Rika, saya tidak tahu siapa yang kamu maksud. Tapi sepertinya mereka berada di sebelah kananmu. Perempuan yang dekat denganmu sedang dalam masa pemulihan, meskipun tangan dan kakinya patah dan memerlukan waktu untuk pulih sepenuhnya. Dia sudah melewati masa kritis.”
Dokter itu terdiam sejenak, menundukkan kepala. Aku merasa semakin gelisah, ingin dia melanjutkan pembicaraannya.
“Dokter, lanjutkan,” pintaku.
“Perempuan yang seumuran denganmu, yang paling ujung, kondisinya yang paling parah. Tubuhnya terluka parah, kami melakukan yang terbaik untuk membantunya, tapi ini adalah hasil akhir yang kami bisa berikan. Dia dalam keadaan koma.”
“Freya, Luna, kalian...” Aku menatap tubuh mereka yang terbaring tanpa daya di kasur, dihubungkan dengan berbagai perangkat medis.
“Saya harus pergi sekarang, Rika,” ucap dokter sambil meninggalkan ruangan bersama perawatnya. Aku terdiam, tak berdaya di atas kasur. Pikiranku dipenuhi dengan tanda tanya dan keputusasaan. Air mataku tak terbendung lagi.
Apa tujuan sebenarnya Tuhan melakukan ini padaku? Apakah dia mengabulkan doaku atau ingin mengakhiri hidupku? Ataukah dia hanya menikmati penderitaanku dari atas sana? Huh, aku tidak punya kekuatan lagi. Itulah yang kugumamkan dalam hati, hingga aku merasa tenang dan akhirnya terlelap, hanya untuk terbangun karena seseorang memanggil namaku.
***
“RIKA.”
“Huh? Siapa?” Mataku berusaha memfokuskan pandang.
“Lihat, aku di sampingmu.” Suara itu familiar. Aku menoleh.
“Freya, kamu baik-baik saja?” Mataku langsung berkaca-kaca. Aku mengusap air mata yang mengalir.
“Baik-baik saja? Itu tergantung bagaimu memaknainya, Rika.”
“Ha-ha-ha.”
Suara dan tubuhku sudah pulih? Aku merasa tubuhku lebih enak untuk digerakkan. Syukurlah, dengan begini aku bisa merawat mereka.
“Eh, Freya, bagaimana kamu bisa tahu aku sudah sadar?”
“Dari alat yang menancap di seluruh nadimu, aku sudah tahu. Jangan meremehkanku, ya. Meski terlihat muda, usiaku 25 dan aku pernah merawat pasien di rumah sakit swasta.”
“25? Wajah segar itu 25 tahun? Bagaimana dengan Luna?”
“Luna lebih muda satu tahun darimu.”
“Jadi, dia berusia 17 tahun. Bagaimana dengan Cedric?”
“Dia? Ha-ha-ha. Dia lebih muda dariku.”
“Apa maksudmu?”
“Umur Cedric 23 tahun, tapi sikapnya seperti anak remaja. Ceria dan tangguh seperti remaja SMA.”
“Wow, ceritakan lebih lanjut tentang Cedric.”
“Ceritanya? Mungkin kamu harus mencari tahu sendiri, Rika,” ucap Freya sambil mengedipkan mata.
“Tidak lucu,” keluhku, wajahku memerah seperti kepiting rebus.
“Ha-ha-ha,” gelak tawa Freya mengisi ruangan, namun riuh percakapan kami terhenti saat beberapa orang memasuki kamar, mengganggu kesenangan kami.
“Sepertinya pembicaraannya seru. Bisakah aku ikut?” Tanya orang baru itu, memecah keheningan. Kami menoleh pada pria yang berdiri lebih rendah dari Cedric, tapi mungkin sekitar setinggi Freya, sekitar 175 cm.
“Maaf, saya belum memperkenalkan diri. Saya Yeriko, ketua umum Fraksi Hukum dan Kemerdekaan Kota untuk Menciptakan Keadilan,” ucapnya dengan nama yang panjang, membuatku hampir ingin tertawa. Namun, situasi tak memungkinkan.
“Huh apa tadi?, namanya panjang kali lebar-kali sisi, itu nama atau visi misi,” Astaga, Freya kok malah blak-blakan sih.
“Lupakan nama itu, sekarang kita kembali ke tujuanmu menyelamatkan kami semua,” potongku, berusaha mendapatkan informasi secepat mungkin. Kami tak bisa bertahan lama di sini.
“Hmm, orang yang langsung pada pokoknya, menarik. Hey, kalian keluarlah, biarkan aku dan mereka yang di sini saja,” Yeriko memerintahkan orang-orang lain untuk keluar dari kamar.
Matanya menyerupai Cedric, tajam seperti mata elang. Dia memperhatikan kami dengan seksama, setiap gerakan matanya tetap bergerak meskipun tubuhnya diam menghadap kami. Berpakaian formal dalam jas hitam, dia menunjukkan sikap yang berwibawa.
“Aku ingin mengajak kalian bergabung dengan Fraksi kami—.”
“TIDAK,” potongku tiba-tiba. Freya terkejut, mungkin bertanya-tanya mengapa aku berani berbicara, padahal biasanya aku lebih diam.
“Haaah, kenapa?” Matanya menatapku tajam, mencoba mengintimidasi.
“Kalian berbakat dalam pertarungan dan cerdas. Kenapa menolak kesempatan sebesar ini—”
“Dengarkan, kami adalah petualang. Keputusan kami mutlak dan kalian tidak bisa mengendalikan kami sepenuhnya.”
“Heh, Rika, sssst,” desis Freya, menyuruhku diam.
“Begitu ya, tapi ketua kalian belum sadar. Keputusan ada di tangannya dan apakah kalian yakin bisa keluar dari masalah sebelumnya tanpa bantuan kami?”
“Kalian diberi waktu sampai sembuh untuk memikirkannya. Saya tidak suka keputusan terburu-buru,” ucap Yeriko sebelum pergi tanpa senyum.
Freya menatapku, matanya membesar seakan bertanya-tanya.
“Sejak kapan kau berani seperti itu, Rika?”
“Aku tidak tahu, he-he-he,” aku tersenyum, mencoba mengalihkan perhatian.
“Tapi sepertinya pria itu kesal padaku.”
“Siapa yang tidak akan kesal? Seseorang yang memberikan pertolongan malah diberi jawaban seperti itu.”
Aku cemberut mendengarnya.
“Tapi itu bukan kesalahanmu, Rika. Kamu telah mengambil keputusan dengan berani.”
Aku tersenyum lagi sejenak.
***
Sudah tiga hari berlalu sejak aku pertama kali sadar di tempat pengap ini. Kondisiku telah membaik, mungkin karena regenerasi tubuh yang cepat dari tubuh mutasi ini. Freya juga sudah bisa berdiri dan berjalan, meskipun sebelumnya terluka parah. Mungkin karena dia adalah Hyper tipe healer. Namun, Cedric belum sadarkan diri dan Luna masih dalam kondisi koma.
“Freya, mau ke mana?” tanyaku saat melihatnya beranjak dari tempat tidur.
“Aku ingin melihat sekitar, mungkin aku bisa memahami situasi sekarang,” jawabnya.
“Begitu ya, jangan bikin masalah ya.”
“Aku akan berhati-hati.”
Ini tidak aman sama sekali. Aku merasakan aura besar dari Freya. Walaupun dia bukan petarung HYPER, tapi auranya menyeramkan. Cocoknya dipanggil “women healer hell”. Belum lagi cerewet dan mood-nya yang bisa berubah dalam hitungan detik. Bisa-bisa pria yang bertemu dengannya akan mendapat masalah.
Saat aku termangu diam, merasa buruk membiarkan Freya berjalan sendirian, suara panggilan kaku terdengar.
“Lu-na.”
Aku segera menoleh ke arah sumber suara.
“Huh, Cedric, kau sudah sadarkan diri. Syukurlah,” seruku, jemari tanganku mulai bergerak, memanggil nama Luna, meski matanya belum sepenuhnya terbuka.
“Dokter, pasien bernama Cedric sudah sadar,” aku turun dari kasur, berteriak keluar ke lorong tempat dokter bertugas. Mataku mulai berair, yakin kali ini air mata kebahagiaan.
“Sudahlah, Kapten, jangan banyak gerak, kondisimu belum stabil,” aku menyeka pipi, kembali ke kasur.
“Dimana Luna?”
“Dia di sana, masih koma.”
Cedric terdiam, tidak bergerak. Kemudian dia menghela nafas panjang. Matanya yang tadinya melebar kini pasrah, dia mungkin mengerti situasinya sekarang.
“Begitu ya. Kalau Freya, dia ke mana?”
“Dia pergi berkeliling, tubuhnya sudah sehat seperti aku.”
Cedric menoleh ke arloji hologram di dinding.
“Aku tidak sadar selama dua hari ya?”
“Tidak, mungkin lebih tepat tiga hari dan dua malam. Kita ada di ruang bawah tanah sebuah organisasi yang disebut Fraksi Hukum, atau apalah itu namanya, panjang betul.”
“Aku belum bertanya sampai situ,” ucap Cedric setelah agak terkejut.
“Anehnya, aku bisa mengerti pertanyaan yang ada di mata Kapten.”
“Begitu ya,” hening sejenak, dia tersenyum. “Terimakasih telah menjaga kami, Rika,” katanya.
“Ada satu hal lagi.”
“Apa, Kapten?”
“Berapa kali harus kukatakan, jangan panggil aku Kapten jika tidak sedang bertarung.”
“Tapi kita sedang waspada sekarang.”
“Tidak perlu se-waspada itu, Rika.”
“Tapi mereka—.”
“Sudahlah, kita bicarakan nanti, dokter-datang.”
Aku mengangguk, masih duduk menghadap tubuh Cedric yang lemas di kasur. Kali ini dia terlihat lebih lemah dari biasanya.
***
Lima hari setelah Cedric siuman, kami semua sudah bisa berdiri dan melanjutkan aktivitas, tapi Luna belum sadar. Kami hanya bisa menatapnya dari jauh di ruang khusus dan melanjutkan pekerjaan kami. Begitulah keadaannya sekarang.
Cedric, Freya, dan aku terpaksa setuju dengan permintaan Fraksi Hukum untuk membantu merebut kota dari kelompok teroris malam. Sekarang, kami menuju aula rapat untuk mendiskusikan tugas sebenarnya kami.
Pintu besi yang kokoh berdiri di hadapan kami. Cedric membukanya. Seseorang berseru menyambut.
“Selamat datang, Cedric, Freya, dan Rika.”
“Cukup, tidak usah basa-basi. Cepat jelaskan situasinya.”
“Oke-oke, santai, Freya,” Yeriko menoleh pada Cedric. “Cedric, sepertinya kau punya anggota yang kompeten,” ucap Yeriko, duduk di kursi bosnya.
Rapat akan dimulai. Hologram diaktifkan, teknologi yang tidak terbayangkan sebelumnya olehku ternyata ada di ruangan ini. Rasanya sangat aneh mengapa teknologi mereka tidak hancur bersamaan dengan ledakan Evolvera.
“Sebelumnya, bolehkah aku bertanya?” Aku ingin memastikan beberapa hal.
Yeriko tersenyum dan dengan senang hati menjawab.
“Silahkan, Rika, apa yang ingin kau ketahui dariku?”
“Cih, apa-apaan gaya bicaranya itu,” bisik Freya tajam di antara aku dan Cedric. Aku menatap sejenak ruangan penuh teknologi itu.
“Kenapa teknologi kalian tidak rusak bersamaan dengan ledakan Evolvera? Bukankah seharusnya semua teknologi mati karena gelombang elektromagnetik?” tanyaku.
Yeriko menjawab dengan santainya, ia menyender di kursi bos. Kursi itu melayang sepuluh sentimeter dari lantai, memberinya kebebasan bergerak di ruangan ini tanpa perlu mengangkat atau mendorong. Hanya dengan tuas, dia bebas bergerak.
“Itu benar, teknologi rusak karena ledakan komet yang kita sebut Evolvera, yaitu ledakan yang menyebabkan mutasi pada seluruh makhluk hidup di Bumi. Namun, tidak semuanya rusak. Gelombang elektromagnetik skala rendah, meskipun luas, hanya merusak jaringan internet, komunikasi, tidak merusak teknologi yang tidak bergantung pada jaringan listrik negara dan perangkat listrik yang lama.”
“Lalu kenapa sekarang orang-orang tidak menggunakan teknologi lagi?” tanyaku.
“Bukan tidak menggunakan, tetapi tidak mengandalkannya. Orang-orang sibuk bertahan hidup di dunia baru ini, terutama setelah efek berantai dari serangan Hyper pada awal kemunculan mereka, yang merusak gedung dan pusat industri. Ditambah dengan penipisan SDM karena seleksi alam, tidak ada yang bisa melanjutkan pengembangan teknologi.”
“Begitu ya, terimakasih.”
Freya menyikutku, berbisik, “Lah, kenapa kau sok akrab sama dia?”
“Ibu ku pernah mengatakan, jika ada seseorang yang memberimu pengetahuan baru, seburuk apapun dia, tetaplah harus mengucapkan terimakasih dengan senyuman.”
“O-oke.”
Ruangan itu sejenak lengang.
“Baiklah, mari kembali ke topik. Pagi ini, kita akan membahas fase penyerangan dengan operasi bernama Operasi Six Fox.”
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22