Acha menyukai lukisan sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Ia beberapa kali menjuarai perlombaan tingkat sekolah maupun kota. Setelah beranjak dewasa, Acha tidak terlalu menekuni hobinya itu. Ia hanya memanfaatkan hobinya sebagai selingan dikala ia sedang jenuh dengan aktivitasnya. Ini adalah kali pertama Acha melukis lagi setelah satu tahun lamanya.
Gadis itu memandangi peralatan melukis miliknya dan kanvas putih berukuran sedang yang berdiri kokoh dihadapannya. Senyumnya mengembang ketika membayangkan sosok yang selama ini mendekam dihatinya. Tangannya begitu lihai mengayunkan kuas diatas kanvas. Tak lupa, Acha memutar musik dari penyanyi kesukaannya. Acha sangat menikmati setiap proses melukisnya, terlebih lagi melukis kali ini adalah kembalinya setelah satu tahun. Tarian jari-jemarinya terhenti ketika mendapati seseorang yang tengah berada di belakangnya. Gadis itu sudah sangat hafal siapa yang lancang memasuki kamarnya tanpa izin.
“Apasih?” tanyanya merajuk.
Arda tersenyum. “Lagi ngapain?”
“Ngerajut!”
“Kok ngerajut, sih?”
Acha memasang mimik wajah marah. “Lo nggak lihat, Da? Lagian ngapain masuk ke kamar gue tanpa izin?”
Cowok itu hanya menebarkan senyuman yang memperlihatkan deretan gigi putihnya. Melihat Acha marah seperti itu, membuat hati Arda sangat senang. Ia beranjak duduk di meja belajar gadis itu.
“Keluar, nggak?”
“Nggak mau. Gue mau disini, Cha. Kenapa, sih, jahat banget sama gue?” jawab Arda sedikit mendrama.
Acha menggelengkan kepala. Ia sudah tidak bisa berkata-kata melihat kelakuan sahabat kecilnya itu. “Terserah mau ngapain aja, deh! Pusing gue.”
“Ih, Acha cantik, kenapa pusing?”
Ucapan Arda sukses membuat sebuah kuas melayang dan mendarat tepat pada sasarannya. Arda yang terkejut langsung membuang kuas tersebut dari wajahnya. Kini, terdapat coretan merah di wajahnya.
“Ih, bego!” ucap Arda.
Acha tertawa puas melihatnya. “Kapok!”
“Lo lagi ngelukis siapa, sih? Tumben banget. Katanya udah nggak mau ngelukis lagi?”
Gadis itu mengangkat kedua bahunya. “Manusia mah cuma bisa merencanakan, Da. Selebihnya itu kehendak Tuhan.”
Arda melempar sebuah bantal kea rah Acha. “Sok tua banget, dih!”
“Biarin!”
“Ih, Cha, gue serius. Lo ngelukis siapa? Siapa yang bikin lo balik ngelukis lagi setelah satu tahun?”
Acha menatap Arda iseng. “Perlu banget gue kasih tahu, ya?”
Arda berbalik menatap Acha sinis. Cowok itu mendekat ke lukisan Acha, ia mengamati dengan seksama. Lukisan siluet ini seperti tidak asing menurutnya. Arda merenung dan menebak siapakah yang ada dalam lukisan siluet tersebut. Kecurigaannya bermuara pada seseorang.
“Gue udah tahu, sih,” ucap Arda.
Acha menatap cowok itu meremehkan. “Siapa orangnya wahai Arda si paling sotoy sedunia?”
“Temen OSIS lo, kan?”
Mendengar jawaban itu, seketika Acha langsung melotot. Bagaimana bisa Arda mengetahui sosok dibalik lukisan siluetnya.
“Nggak!”
“Halah, jangan denial deh! Gue mah tahu semua tentang lo.”
“Apasih, Da! Awas aja tuh mulut ember kemana-mana!”
Arda tersenyum jahil. “Harus ada penutup mulut dulu, dong!”
Acha memutar bola matanya dan mendengus kesal. “Yaudah, apa?”
Arda tidak menjawab pertanyaan itu. Ia memberikan dua buah buku kosong kepada Acha. Gadis itu menyiritkan dahi, ia tidak memahami apa yang dimaksud oleh Arda. Kemudian, cowok itu mengeluarkan secarik kertas dan menulis “Saya berjanji akan memakai atribut sekolah lengkap setiap hari.”
“Gue dihukum gara-gara nggak pakai sabuk sama dasi. Nah, sebagai penutup mulut yang ampuh, lo kerjain ini tulisan dua buku full. Nggak banyak, kok, cuma dua buku full.”
Melihat itu, tangan Acha langsung menoyor kepala Arda. “Bodo amat! Kerjain sendiri! Lagian kenapa berandalan banget sih gayanya?”
“Kalau nggak mau, resiko ditanggung masing-masing.”
Acha berdecak. “Gue lebih memilih semua orang tahu daripada ngerjain tugas hukuman lo itu!”
“Ih, Cha. Bantuin gue, dong! Gue baru dapet setengah buku. Tangan gue capek banget, nih, kayaknya keseleo.”
“Nggak mau!”
Arda memasang wajah memelas. “Sumpah, besok bakal gue kasih tahu sama anaknya langsung kalau lo suka sama dia!”
Acha berbalik memasang ekspresi mengejek. “Terserah!”
“Dih, dasar. Emang, ya, jatuh cinta bikin orang bego! Makan tuh cinta!” umpat Arda kesal.
Ayoo lanjut, bagus nih.
Comment on chapter PrologMampir ke karyaku juga yaaa kak....