Sebuah kanvas putih berdiri tegak yang diletakkan dalam easel stand. Berbagai macam kuas mulai menari-nari mewarnai seluruhnya. Tangan lentik sebagai pengendalinya. Kuas itu sibuk melukis warna dominan hitam dan putih bulat ditengahnya. Seorang gadis terduduk di depan easel stand bersama headphone yang menempel di telinganya, menyunggingkan senyum puas.
“Sebentar lagi selesai,” ucapnya.
Lima belas menit berlalu. Gadis itu menari-nari sambil mengemasi seluruh peralatan melukisnya dan meletakkan kanvas di ruang kosong yang terpampang pada temboknya. Ia larut dalam alunan musik yang terdengar oleh telinganya.
“Huft, selesai juga!”
Acha, namanya. Alisha Kaluna. Nama indah yang dimiliki oleh gadis yang indah juga. Acha menatap lukisannya yang tertempel pada tembok lalu bertepuk tangan untuk menghargai usahanya. Ia juga mengambil gambar dari semua sudut agar lukisan itu terlihat indah. Lukisan tersebut sederhana, hanya langit malam yang dihiasi bulan purnama. Meski begitu, Acha tetap puas atas karyanya. Salah satu karya yang bermakna baginya. Acha segera mengirimkan foto tersebut pada seseorang. Tak lama setelah itu, orang yang dimaksud turut hadir di hadapannya.
“Idih, keren banget, Chu!”
Cowok itu menatap dengan takjub. Tak lupa menambahkan riuhan tepuk tangan darinya. Tangannya beralih mengusap rambut Acha. Sontak saja, tangan cowok itu mendapat tepisan keras dari sang pemilik rambut.
“Ih! Tangan lo bau!”
Cowok itu mencium tangannya sendiri. Berusaha membau. “Enak aja! Tangan gue sewangi surga!”
Acha menggelengkan kepalanya. “Ngapain lo disini?”
“Mau minta makan, lah! Bunda gue nggak masak.”
“Dasar bagong!”
Arda, namanya. Janardana Putra. Cowok yang dikirim semesta untuk menjadi sahabat Acha. Sial sekali, batinnya. Tampilan cowok itu sangat menawan. Tinggi, berkulit sawo matang, barisan gigi rapi, serta wangi. Namun, di mata Acha, semua itu sia-sia. Gadis itu memandang Arda sebagai cowok pemalas yang betah tidak mandi selama berhari-hari lamanya serta pemakan segala. Tapi ajaibnya, tubuh Arda selalu wangi meskipun tidak mandi berhari-hari. Acha juga tidak tahu rahasianya.
“Ini buat siapa? Gue, ya?”
Ekspresi wajah Acha berubah seketika. “Apa? Rugi dong tangan gue ngelukis berjam-jam kalau cuma buat lo!”
“Idih, gitu banget. Awas aja di masa depan nanti lo suka sama gue!” jawab Arda menyumpah.
Acha bergidik ngeri. “Nggak mungkin dan nggak akan pernah mungkin terjadi!”
“We’ll see.”
Suara decit pintu memecah perdebatan diantara mereka. Di balik pintu, muncul seorang wanita paruh baya yang selalu memperhatikan penampilannya. Rita, mama Acha. Beliau menatap Acha dan Arda bergantian lalu menggelengkan kepalanya.
“Kalian dari dulu nggak pernah akur, ya,” ucapnya.
“Arda duluan, ma. Acha mah anak baik-baik!”
Arda menatap gadis itu sinis.
“Tumben kamu kesini pagi-pagi begini, Da?”
Arda tersenyum. “Hehe, iya, ma. Bunda nggak masak. Jadi, Arda mau numpang sarapan disini. Boleh, kan, ma?”
Rita tersenyum manis. “Boleh dong! Ayo langsung ke meja makan aja.”
Arda mengangguk dan menatap Acha dengan ekspresi mengejek. “Mama lebih sayang sama gue daripada lo, Chu!”
Acha tidak menanggapi ucapan itu. Ia berjalan terlebih dulu meninggalkan cowok itu sendiri.
Hubungan Acha dan Arda seperti tidak ada jarak lagi. Mereka sangat akrab dari kecil hingga saat ini. Meskipun banyak perselisihan kecil, sebenarnya mereka saling menyayangi satu sama lain seperti saudara kandung. Acha menjadi sosok anak kecil yang menyebalkan dan Arda sebagai pahlawan yang siap menjadi pelindungnya sampai kapan pun.
Ayoo lanjut, bagus nih.
Comment on chapter PrologMampir ke karyaku juga yaaa kak....