"Kamu buat aku nyaman."
Ia tidak percaya walaupun wajah Arga tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda sedang bercanda. Tapi mengingat semua perlakuan manis Arga padanya...
Cori menggeleng kuat hendak melempar ingatan itu keluar kepalanya.
"Nggak percaya. Aku tahu cirlce temen-temen kamu, Mas Arga. Aku gendut gini. Siapa yang mau sama aku? Jangan bercanda."
Pria itu mendengkus tidak senang. "Kamu bukan mereka. Aku suka sama kamu. Aku cinta kamu, Cori!"
"Haaah."
Desahannya di kamar mandi kantor hanya membuat beban di dadanya semakin berat. Cori menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangan sambil mengasihi hidupnya yang, ibarat minum kopi tanpa gula: pahit!
Kelabat memori indah itu dengan tidak sopannya kembali muncul di otaknya yang lelah setelah pesan WhatsApp bertubi-tubi Arga masuk tadi pagi. Kata-kata manis itu Arga ucapkan beberapa hari sebelum Cori menerima pria itu sebagai kekasihnya tiga tahun silam ketika mereka sama-sama masih dinaungi langit Jakarta. Hubungan manis itu bertahan walaupun Cori di mutasi ke Batam. Cori senang bukan kepalang saat permohonan pindah Arga ke Batam disetujui kantornya. Arga bahagia tak lagi berjauhan dengan kekasihnya.
Bagaimana hati seorang wanita tidak akan berbunga-bunga dan luluh dibuatnya ketika sosok sempurna yang tampan, rupawan, dan digilai wanita-wanita cantik yang juga sempurna menyukai perempuan seperti dia?
Dibilang cantik? Biasa saja.
Gendut? Iya banget.
Lalu apa kelebihannya?
Saat itu, Cori akhirnya yakin bahwa perasaan ditinggalkan oleh seseorang yang membuatnya hancur pelan-pelan lambat laun terobati oleh kehadiran Arga di hidupnya. Cori percaya, Arga tidak akan meninggalkannya. Sebab, ia yakin Arga akan membantunya mewujudkan impiannya: membangun sebuah keluarga utuh dan bahagia tanpa seorang pun yang ditinggalkan di belakang.
Sekali lagi Cori baca pesan Arga.
Sayang, kenapa sih kamu tiba-tiba nggak mau angkat telepon Mas? Kenapa kamu nggak mau ketemu Mas? Mas salah apa?
Cori, Mas kangen...
Please Cori, angkat teleponku.
"Aaaargh," pekiknya tertahan. Antara sebal dan kesal.
Aku ... juga kangen Mas Arga... sesalnya dalan hati. Tapi kenapa malam itu...
"Menyebalkan!"
Mood-nya jadi anjlok pagi ini. Padahal hari terakhir pemeriksaan oleh auditor adalah hari paling sibuk sedunia.
Cori memerlukan dirinya yang seratus persen fokus untuk menghadapi hari ini, untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan Farida yang tak berkesudahan mengenai operasional kantor cabang, atau pun permintaan Ben untuk mengambilkan barang ini atau menanyakan barang itu padanya, sehingga membuat Cori bolak balik meja frontliner dan ruangan Auditor lantai tiga.
Dan pesan Arga membuat dirinya tidak seratus persen lagi. Minus, mungkin?
Nasihat Ben tentang menghadapi Arga terus terngiang dalam benaknya. Cori tidak bisa mengelak lagi walaupun sakit hatinya tak kunjung terobati.
Maka Cori pun mengirim pesan:
Aku sedang sibuk. Kalau mau bicara, tunggu setelah jam kerjaku berakhir.
***
Di saat Cori mengawasi Ben menghitung barang jaminan yang jumlahnya sampai ribuan, Winnie muncul di ambang pintu brankas dengan tampang mencurigakan.
"Kak, kekasih lo ada di depan, tuh." Senyum jahilnya Winnie tidak pada tempatnya!
"Kekasih?" ulang Cori tidak nyambung.
Hitungan Ben pada agunan emas yang disimpan di brankas ambyar di angka 698 ketika mendengar kata 'kakasih'. Padahal barang yang akan dihitung hanya sekitar 2.387 barang lagi.
Sial. Sampai mana hitunganku tadi?
Cori justru langsung mencari mata auditornya, seakan ... meminta tolong. Mereka saling tatap beberapa detik.
"Gimana, Kak? Gue bilang apa ke Mas Arga?" Suara Winnie memutus kontes tatap barusan.
"Temui kekasih kamu, Cori," celetuk Ben dingin. "Aku harus konsentrasi menghitung barang-barang ini."
Untuk sesaat Cori merasa diusir. Atmosfer brankas yang memang dingin bertambah dingin.
Cori memiringkan kepalanya, menatap aneh pada si tetangga rahasia.
"Baik, Pak. Aku izin menemui ...
temanku."
Temanku? ulang Ben dalam kepalanya.
Ben memutar kepalanya menatap punggung si tetangga nomor lima dengan mata menyipit.
Baru saja Cori meninggalkannya lima detik yang lalu, Ben langsung menyesal telah menyarankan nasihat konyol semalam.
Kalau mereka tidak pernah berniat putus? Kalau kata 'teman' hanya sekadar kata? Kamu bisa apa, Benjamin?
"Sial!"
Hitungannya yang sudah mencapai 237 lagi-lagi buyar. Sekali lagi Ben memulai hitungan baru dengan memaksa pikirannya untuk bekerja sama kali ini.
***
"Sudah aku bilang, aku lagi sibuk banget, Mas. Kenapa datang ke kantor segala? Kan bisa nanti," kejar Cori seketika setelah melihat wujud Arga duduk di kursi tunggu di luar kantor. Cori tidak peduli dengan sekuriti shift pagi yang melirik ingin tahu. Cori tidak peduli dengan apa pun hari ini.
Arga menaikkan alisnya sebelah. "Kamu ketusin aku? Salah apa aku?"
Cori mendengkus kecil tidak percaya. "Waktu hari reuni SMA-ku, apa urusan Ibu ke Tanjung Pinang?" cecar Cori.
"Ngapain Ibu ke Tanjung Pinang? Kamu kan tahu aku nggak punya saudara di sana."
Cori sampai kesakitan menggigit bibir bawahnya. Mau teriak di depan nasabah yang lalu lalang? Mau protes di depan sekuriti? Mau bikin heboh dunia persilatan PT. Sejahtera Bersama? 'Jarum' yang jatuh oleh karyawan di Sumatera bisa terdengar oleh karyawan di Papua dalam hitungan detik. Demikian perumpamaan laju kecepatan berita panas tersebar di kalangan internal perusahaan. Ia tidak mau perkara cinta-cintaannya menjadi gosip panas teman-temannya.
"Kalau gitu Mas ke mana di hari reunian aku?!"
"C'mon, Cori. Seharusnya Mas yang tanya. Siapa laki-laki yang pergi ke pantai sama kamu? Kamu mulai nggak jujur sama Mas! Kamu bahkan nggak punya teman laki-laki."
"Mas ngeremehin aku? Mas pikir aku perempuan yang nggak bisa apa-apa dn nggak punya siapa-siapa di sini?"
"Bukan begitu maksud Mas, Sayang." Arga mencoba lebih lembut.
"Mas pikir selama ini aku perempuan yang gampang dikibulin, dibodohin?"
"Sayang. Siapa yang bodoh-bodohin kamu? Mas cuma tanya, siapa pria yang kamu ajak pergi ke pantai? Kamu selalu bilang sama Mas siapapun temanmu."
"Mas Arga nggak mau jawab pertanyaan aku!" geram Cori di sela-sela giginya sambil berdesis penuh emosi.
"Nggak bisa gini," katanya bermonolog. Lalu matanya beralih pada perempuan yang tangannya sedang mengepal erat. Arga meraih tangan itu, tapi Cori tepis dengan kasar. "Kamu kayaknya lagi emosian nggak jelas, Sayang. Oke aku nyesel datang pas jam sibuk kamu. Kita bicara nanti, okay?" katanya melunak.
"Apa pertanyaanku terlalu sulit dicerna otak pintar Mas? Perasaan semua pertanyaanku hanya butuh jawaban sederhana Mas! Atau begini, aku ganti pertanyaannya. Siapa yang Mas antar ke reunian aku?" Kali ini dia menyamai nada suara Arga.
"Mas nggak ngerti pertanyaan kamu," jawab Arga dengan wajah naif. "Kamu ngelantur, Sayang. Mas nggak ke mana-mana."
"Saya rasa pertanyaan tadi cukup simple," pungkas seseorang di ambang pintu. "Cori, mau sampai kapan kamu ninggalin pekerjaan di dalam? Pak Yusuf cariin kamu."
"Bang... Maksudnya, Pak Malik. Maaf, Pak." Kaget luar biasa, Cori. Dia tidak mengharapkan kemunculan Ben di tengah pertengkaran memalukannya ini.
"Ben? Kamu ... kerja di sini? Kamu sekantor dengan Cori?!"
"Ya," jawab Ben datar.
"Ee, kalau begitu nanti Mas telepon lagi, Sayang," ucap Arga gelagapan.
Tanpa menunggu jawaban kekasihnya, Arga langsung menarik langkah seribu menuju mobilnya dan mempercepat laju roda menjauhi kantor Cabang Mega Legenda.
"Haaah." Bahunya turun, seiring dengan turunnya air di sudut matanya. Dengan gerak lambat dia mengusap air kesedihan itu dengan punggung tangannya.
"Nggak apa-apa. Puasin nangis sebelum masuk ke dalam," ujar Ben lembut di sisi kirinya.
"Dia bohongin aku," cicit Cori.
"Ya."
"Dia ngelak jawab aku," rengek Cori seperti anak kecil.
"Ya."
"Aku bahkan nggak sempat memperjelas hubungan kami." Suara Cori makin serak dan Ben yakin sebentar lagi tangisnya akan makin pecah.
Seandainya aku bisa memeluk perempuan rapuh ini, seperti aku yang akhirnya bisa memeluk Bunda dengan bebas setelah kesakitannya menahan beban sendirian selama bersama Ayah, mohon Ben dalam ketidakberdayaannya.
Tidak mungkin dia memeluk si Gadis Ketumbar di depan semua orang. Dan terlebih, dia siapa bagi seorang Coriander Romaine Sudjana?
"Tarik napas dalam-dalam, hembuskan perlahan. Lakukan beberapa kali."
Cori ajaibnya patuh dan melakukan terapi kecil itu.
"Setelah ini cuci muka, kalau perlu salat, lalu kembalilah bekerja. Jangan pikirkan hal lain. I got your back. Okay?"
"Lagi nggak salat," lirih Cori malu.
Ben pun menghembuskan napas perlahan dan mengusap puncak kepala Cori dua kali.
"Aku tahu ini kedengaran kejam dan aku bukannya tidak mau memberi kamu waktu untuk menenangkan diri, tapi aku mohon singkirkan urusan si berengsek tadi untuk sementara. Lalui dulu pemeriksaan kantor cabang hari ini. Kita harus bekerja sama dengan baik, Coriander. Mengerti, ya?" pinta Ben serius.
Cori mengangguk. Tapi matanya tak henti melirik ke arah sekuriti. Cori tahu kok, Pak Boy dan Pak Raflis menguping mereka dari tadi. Tapi dasarnya hati sedang panas dan emosi membara, Cori jadi tak pandang bulu. Sayangnya, baru sekarang malu itu datang.
"Mereka gimana?" bisik Cori sambil menunjuk dua sekuriti itu. Tampaknya Pak Boy dan Pak Raflis sedang menegakkan telinga-telinga mereka pada Cori dan Ben.
"Mereka urusanku. Masuklah ke dalam dan temui Pak Yusuf," bisik Ben.
"Baiklah." Cori pasrah. "Makasih Bang Ben. I owe you. I do," bisik Cori tulus ke mata teduh yang berkantong mata itu.
Ben mengangguk.
Sepeninggal Cori, Ben memutar otak mencari alasan untuk membungkam para saksi mata sambil berjalan pelan menuju meja sekuriti.
Aku pasti sudah gila melakukan semua ini demi Cori!
Ya. Gila karena air mata seorang gadis bernama Ketumbar yang membuatku tak berkutik dan ingin melindunginya dari apa pun. Termasuk dari si berengsek itu! geram Ben.
Bersambung