“Kamu tahu seperti apa rasanya jadi prajurit Jepang di masa Perang Dunia Kedua?”
Suara rendah penuh lamunan gadis itu tertelan gertakan ombak yang pecah di bebatuan raksasa. Angin menderu membawa lebih banyak gulungan ombak dari laut lepas. Dua muda-mudi itu menyusuri pasir genting yang diapit laut toska dan hutan sewarna zamrud menuju titik favorit mereka di pulau ini; sebuah teluk kecil tempat mereka biasa berbagi pikiran terliar mereka.
Laut di cerukan itu lebih tenang, meskipun pohon-pohon yang menaungi mereka bergemeresik dan menari-nari mabuk. Langit sore sesaat lalu berwarna ungu neon, tetapi angin sekejap membentangkan lapisan-lapisan awan kelabu. Kini mereka diliputi warna biru mendung yang meresahkan.
“Aku tahu,” setelah sekian lama, pemuda berkemeja putih itu menyahut. “Terdampar di tanah asing yang panas, penuh nyamuk malaria, belum lagi harus menghadapi serangan bambu runcing yang tidak ada habisnya dari penduduk lokal yang membenci kebijakan bos mereka atas tanah yang mereka duduki. I mean, that sucked, babe.”
Mereka duduk di pasir yang putih dan halus seperti gula kastor, menyaksikan cuaca memburuk di sekeliling mereka dan cahaya menghilang dari langit.
“Dan tidak ada pilihan lain bagi mereka. Maju, atau dicap sebagai pengkhianat negara,” timpal gadis itu seraya membenarkan bolero rajutnya yang memelorot dari bahu. Tungkai mungilnya dilipat rapat ke dada, dagunya ditopang pada lutut.
“Kaisar,” koreksi si pemuda. “Mereka harus berjuang atas nama kaisar, sang wakil dewa di bumi.”
“Mereka tidak tahu kaisar tidak akan pernah mengingat nama mereka satu per satu, apalagi mengenang mereka sebagai individu yang memiliki kehidupan yang unik. Sungguh menyedihkan, ya?”
Pemuda itu menatap gadis di sisinya. Senyum samarnya merekah. “Kamu nggak bermaksud menjustifikasi kekejian prajurit Jepang selama masa pendudukan, kan?”
Gadis itu menoleh kepada si pemuda. “Tidak, kok. Aku hanya membayangkan seperti apa rasanya jadi mereka.”
“Gara-gara kita lewat di bekas dapur tentara Jepang tadi?”
Gadis itu memalingkan pandangan ke lautan yang masih berkecamuk. “Begitulah.”
“Mungkin saja para bedebah yang mengaku saudara tua kita itu pernah buang hajat di makam raja kita di pulau ini.” Pemuda itu menyentakkan dagu ke puncak bukit di belakangnya. Di sana memang ada makam sesosok raja di masa lalu.
Gadis itu terbahak, tetapi suaranya tertelan desir kanopi hutan yang diamuk angin beraroma hujan. Dia mengikuti pandangan pemuda itu, ke titik tertinggi pulau kecil ini. gradasi hijau hutannya yang lebat kini mewujud bayang-bayang seiring semakin dekatnya badai.
“Bukankah raja itu juga sama? Kudengar dia menghancurkan berhala-berhala penduduk sebelumnya ketika tiba di pulau ini untuk kali pertama,” lanjut pemuda itu. Rambutnya yang agak gondrong dan ikal memberontak ke segala arah. Mata kelabunya lebih pekat daripada obsidian pada waktu seperti sekarang.
Senyum gadis itu melebar di sela helaian rambut yang memecut-mecut wajah halusnya. “Sepertinya, itu hakikat hidup yang tidak bisa dimungkiri. Demi mempertahankan satu kehidupan, kita akan terpaksa menyingkirkan, kalau tidak memusnahkan, kehidupan lain. It’s just biology. Tidak ada yang asing atau bahkan kurang manusiawi dari kenyataan itu.”
“Seperti sel-sel embrio yang mengakhiri hidup mereka sendiri agar kita memiliki jari-jari yang terpisah satu sama lain.” Ketika angin bertiup semakin kencang, pemuda itu justru berdiri, seakan-akan menantang badai.
“Kamu lebih tahu soal itu daripada aku, Dok.” Sang gadis bangkit mengikutinya. Bolero putihnya berkibar mengikuti terpaan angin.
“Atau seperti prajurit-prajurit Jepang tadi, yang berani mati demi mempertahankan gengsi kaisarnya.”
“Para prajurit itu berhak menyaksikan ketika kaisar zalim mereka menyatakan kekalahannya kepada Sekutu.”
“Sejujurnya, itulah yang membuatku ingin sekali melihat adanya kehidupan setelah kematian.” Raut penuh canda lesap dari wajah pemuda itu, digantikan kesungguhan yang dalam. “Setelah semua darah yang tumpah secara percuma, setelah semua tipuan dan kebohongan pemerintah dan pebisnis yang digunakan untuk menumbalkan rakyat jelata, setelah semua kematian tak wajar dan peperangan yang tidak jelas siapa dalangnya, aku ingin melihat sandiwara di dunia ini berakhir dan tirai kebenaran tersibak. Lalu orang-orang jahat sesungguhnya diadili seadil-adilnya dan orang-orang yang menderita sepanjang hidup di dunia diberi kompensasi yang setimpal atas penderitaan mereka.”
Gadis itu menyadari kedua tangan pemuda itu mengepal kuat, menahan kegeraman yang sama dahsyatnya dengan debur ombak yang menghantam bebatuan di bibir pantai bertubi-tubi. Kilat membelah langit dengan cahaya perak membutakan, guntur menyergah beberapa saat kemudian. Titik-titik air berkejaran mencapai bumi, mengubah pasir putih menjadi kelabu liat di bawah kaki mereka. angin berembus berubah-ubah arah, mengombang-ambingkan nyiur-nyiur nan tinggi, menggoyahkan tegaknya mereka.
Namun, keduanya tak kunjung beranjak. Huru-hara alam tidak menakut-nakuti mereka. Sebaliknya, mereka ingin melihat pengujung kemelut ini. Mereka ingin melihat apa yang akan muncul di seberang cakrawala ketika badai mereda. Mereka berdiri bersisian, berpegangan tangan, tak lagi menghiraukan pakaian mereka yang lekat ke kulit dan rambut lusuh lepek. Tak lagi peduli hardikan dari langit dan lautan yang menggetarkan daratan.
Sekali lagi, angin berubah arah. Awan-awan mendung berarak menjauh, menyisakan gerimis. Rona langit kembali, ungu pucat yang tidak seintens tadi. Baris-baris cahaya keemasan menyorot dari kaki langit, dan perairan di teluk kecil itu kembali tenang.
“Bukankah terlalu cepat untuk membicarakan akhir? Kita baru saja memulainya, babe,” ungkap gadis itu dengan gigi gemeletuk karena kedinginan. Jari manisnya yang dilingkari sebuah cincin berlian bergerak-gerak dalam genggaman si pemuda.
“Iya, dari tadi ngomongnya nggak nentu arah gini.” Si pemuda melingkarkan satu tangannya di pinggang gadis itu lalu mengecup pelipisnya. “BTW, aku lapar nih. Cari makan, yuk.”
Gadis itu menyilangkan lengan di dada dan menggosok-gosokkan tangannya ke lengan atas. Selagi menghangatkan diri, dia mendapati seekor kepiting yang terjebak di antara pecahan-pecahan batu di ceruk pantai. Dia berjongkok di dekat batu-batu itu dan mencari alat yang bisa digunakan untuk membebaskan si kepiting—atau menangkapnya.
“Lihat, deh, makan malam sea food,” gadis itu mengumumkan.
Si pemuda mendengus. “Aku vegetarian, babe.”
“Hanya karena kamu nggak makan hewan, bukan berarti kamu nggak mengorbankan kehidupan lain demi mempertahankan kehidupanmu sendiri, babe.”
“Maksudmu, sampai titik tertentu, kita sebenarnya sama saja dengan kaisar Jepang yang tiran itu?”
“Of course we are,” jawab gadis itu seraya mengangkat kaki belakang si kepiting yang capitnya berusaha meraih tangannya untuk dijepit. “Kalau setiap hari mereka bisa makan sea food lezat begini, kurasa para prajurit Jepang itu nggak menderita-menderita amat, ya?”