"Di, jawab aku!" Davina setengah berteriak. Bola matanya membesar. Dia masih menunggu jawaban dari Dion.
"Vi, aku merasa mulai tertarik dengan Thalita. Ternyata sekian lama tidak bertemu dengannya membuat aku merasa kehilangan."
Uh, ingin rasanya Dion memukuli dirinya karena sudah sangat lancar berbohong. Lama-lama dia bisa mendapat gelar pembohong terbesar abad ini.
"Kamu nggak bohong 'kan, Di?" Davina menatap mata Dion tajam, mencari jawaban di sana.
"Nggak, aku nggak bohong." Dion menjawab lancar, Dion hanya berharap Davina percaya.
"Baiklah," tukas Davina.
Kemudian Davina pergi meninggalkan Dion dengan sejuta tanda tanya. Sebenarnya Davina masih belum yakin dengan kata-kata Dion. Akhir-akhir ini Davina semakin tidak mengerti dengan Dion. Davina yakin, suatu saat waktu yang akan menjawab semua.
***
"Gila! Apa sih maunya Dion? Kalau dia memang ingin putus tinggal bilang, atau dia bosan. Dia bisa berterus terang padaku!"
Ninit hanya bisa memandangi Helene yang berjalan mondar-mandir sambil mengomel.
Untungnya siang ini di rooftop hanya ada mereka berdua. Sebenarnya ini sesuatu yang jarang terjadi, biasanya ada saja orang lain yang duduk di rooftop hanya sekedar minum kopi. Itu juga yang sering dilakukan Ninit dan Helene. Namun kali ini berbeda, tidak ada secangkir kopi hanya pemandangan Helene yang mengomel dan Ninit sebagai pendengar monolog satu babak.
Tadi Ninit terkejut ketika Helene menarik tangannya sambil berkata, "Nit, aku mau curhat."
"Kerjaan ku lagi banyak nih!" Ninit sangat keberatan ketika sedang berkonsentrasi dengan pekerjaannya, dia harus diganggu seperti ini. Apalagi hanya soal curhat. Dih, lebih penting mana curhat sama deadline pekerjaan?
"Kamu, sahabat ku nggak sih?"
Helene menekankan perkataannya. Tampangnya sangat serius. Bagi Ninit, Helene sangat bersikap menyebalkan.
"Oke, nggak pakai lama!" Ninit bersikap tegas, dia sedang tidak ingin lembur di kantor hingga larut malam.
Di sinilah dia melihat Helene berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang. Wajahnya terlihat putus asa. Ninit menjadi jatuh iba.
"Hampir satu minggu dia tidak menelepon atau mengirim pesan. Selalu aku yang memulai, yang pada akhirnya dibalas dengan sekadarnya. Kayak terpaksa banget gitu lho!"
"Tumben," celetuk Ninit.
"Nah kan, tumben banget dia kayak gitu. Tadi malam aku protes dong...tau nggak dia bilang apa?"
"Kamu kan tahu akhir-akhir ini aku sangat sibuk, aku sudah pernah bilang ke kamu. Saat ini kamu tidak termasuk dalam prioritasku. Harusnya kamu bisa mengerti...ngeselin banget kan!"
Helene mengakhiri pembicaraannya dengan mata berkaca-kaca. Begitulah adatnya kalau dia sangat emosional, Helene seperti ingin menangis menumpahkan kekesalannya.
"Lalu bagaimana? Kamu ingin menemui dia? Dan bicara langsung dengannya?"
"Nggak akan! Aku tidak akan menemui dia dalam waktu dekat, aku masih marah dengan kata-katanya. Minggu depan aku juga ditugaskan ke luar kota lagi selama satu minggu, mungkin kalau kami tidak bertemu dia akan merasa kehilangan." Helene menghela napas, lalu memandang Ninit, "Aku cuma butuh menumpahkan kejengkelanku. Maafkan kalau aku sudah mengganggu waktumu."
Kemudian Helene berjalan meninggalkan Ninit. Tinggal Ninit yang duduk termangu, Ninit merasa kasihan pada Helene.
***
"Berapa lama sih Helene di luar kota?"
Lusi bertanya pada Ninit yang sedang menyeruput ice cappucino.
"Satu minggu. Kenapa?"
"Pantesan, Lu diajak nongkrong nggak ngajak Helene."
"Lagi sibuk dia mengurusi outlet baru. Pak bos tuh tega bener kasih tugas keluar kota terus."
"Helene sih enak keluar kota sama Bayu. Makin dekat aja mereka berdua. Kayaknya ada sesuatu di antara mereka berdua?"
Irene si biang gosip mulai melancarkan jurus-jurusnya. Irene sangat terkenal di kantor sebagai biang gosip. Dia selalu punya bab-bab pergosipan yang dibahas bersama dengan para kroninya. Sebenarnya Ninit, Lusi dan teman satu geng mereka tidak suka dengan Irene. Tetapi apa boleh buat, tadi Irene mendengar mereka akan nongkrong ngopi-ngopi di kafe dan memaksa untuk ikut. Lusi yang dijadikan pelampiasan kejengkelan teman-temannya karena Irene ikut.
"Makanya, kalau ngomong tuh nggak usah sampai gas pol.. jadinya gini kan?"
Ninit mengomeli Lusi. Sekarang dia juga mendengar Irene membicarakan soal sahabatnya Helene.
"Plis deh, nggak usah mulai ngegosip. Jualan Lu nggak laku di sini!" Ninit sewot.
"Kalau Lu nggak mau bahas ya diem aja. Memangnya yang lain nggak mikir kayak gitu?" Irene menjawab Ninit dengan nada tidak suka.
"Enggak!" Semua menjawab kompak.
"Ren, kita di sini mau senang-senang. Jadi simpen dulu gosip mu untuk kamu bahas sama Sunarti. Kupingku gatel kalau bahas ginian, aku pengen dengerin suara merdu penyanyi yang di depan."
Lusi menjawab ketus. Irene membuang wajahnya. Matanya diarahkan ke penyanyi yang berada di depan.
Ninit nyaris tertawa melihat wajah Irene. "Sukurin Lu, di skak mat Lusi!" umpatnya di dalam hati.
***
Ninit mengagumi suara Dion dan petikan gitarnya. Pantas saja Helene jatuh cinta pada Dion. Laki-laki ini dalam sekali pandang memiliki paket komplit.
Sebenarnya Ninit tidak terlalu suka diajak nongkrong di kafe ini, karena harus melihat Dion dan jadi mengingat cerita-cerita Helene tentang Dion. Tetapi Ninit tidak kuasa menolak ketika semua memilih kafe ini.
Semua riuh bertepuk tangan saat Dion mengakhiri lagunya. Kemudian Dion turun dari panggung. Mungkin Dion meminta waktu untuk beristirahat sebentar. Ninit melihat seorang perempuan tersenyum menyambut Dion. Tampak Dion membalas senyum perempuan itu. Terlihat bahagia. Ninit terus memandang ke arah Dion dan perempuan itu. Lalu merasa geram. Laki-laki itu mengkhianati Helene.
***
Sesuai dengan permintaan Dion untuk mengunjunginya di kafe, Thalita datang melihat Dion. Dia juga ingin menguji sejauh mana kata-kata Dion.
Hari pertama datang menemui Dion setelah peristiwa penolakan itu, Thalita merasa takut. Jantungnya berdetak begitu kencang ketika memasuki kafe. Dia tidak ingin ditolak untuk yang kedua kali. Akan terasa sakit dan Thalita takut tidak kuat menanggungnya. Namun, dia juga merasa penasaran. Thalita mengumpulkan kepingan-kepingan kekuatannya yang hancur berantakan.
Ternyata Dion menyambut kedatangannya dengan senyum terbaik. Thalita bersyukur untuk itu. Dion selalu menyempatkan diri untuk mendatangi Thalita di tempat duduknya ketika jeda. Menyapa dan mengajak Thalita bicara. Akhirnya itu menjadi candu buat Thalita. Setiap Dion berada di kafe, Thalita berusaha untuk datang. Thalita berpikir, mungkin Dion mulai merasa kehilangan Thalita ketika menolak dirinya. Mungkin Dion mulai jatuh cinta padanya.
"Hmm, Dion jatuh cinta padaku." Thalita mengulang-ulang kalimat itu di dalam hati. Wajahnya bersemu ketika mengingat Dion. Thalita menggigit bibirnya dan merasa malu tidak bisa menghilangkan wajah Dion dari pikirannya. "Kenapa lama sekali baru kamu menyadari kalau kamu membutuhkan aku?"