Perintah tadi pagi begitu jelas, "Pindahkan Helene ke cabang lain, jadikan dia manajer cabang!"
Itu artinya Helene harus pindah ke luar kota dan aku belum bisa melepas karyawan sebagus Helene.
Pak Lizar sedang berpikir keras bagaimana caranya menolak perintah itu.
Apa yang sudah terjadi sehingga membuat mama Helene harus ikut campur urusan ini. Pasti ada sesuatu.
Helene adalah salah satu karyawan andalan di divisi HR. Helene pekerja keras dan pintar. Sayang kalau harus melepas Helene. Pak Lizar bahkan ingin mempromosikan Helene menjadi manajer di HR.
Perempuan itu terlalu berkuasa hingga mampu mengatur semua hal termasuk urusan pekerjaan anak gadisnya. Pak Lizar sampai tidak bisa berkata apa-apa ketika perempuan itu bicara. Nadanya tegas dan tidak bisa dibantah. Pak Lizar sedang mencoba mengulur waktu, dia belum rela melepas Helene. Itu berarti jabatannya adalah taruhannya.
***
Ketika Helene datang menghadap, Pak Lizar hanya mampu bicara soal pekerjaan yang sudah dilakukan Helene di luar kota bersama Bayu. Pak Lizar salut dengan hasil pekerjaan mereka berdua. Membuka cabang baru tidaklah mudah, Pak Lizar sangat tahu hal itu. Mereka bisa mengerjakannya dengan baik.
Saat melihat Helene, yang ada dipikiran Pak Lizar, "Kesalahan apa yang sudah kamu buat hingga mamamu marah?"
Pak Lizar tidak berani bertanya, baginya itu masalah pribadi. Namun kalau suatu saat itu sudah sangat mengganggu, mau tak mau harus ditanya juga.
***
Helene menutup pintu, tersenyum tipis dan merasa puas karena Pak Lizar menerima dengan baik hasil pekerjaannya. Bahkan sedikit memberi pujian. Tadi perasaannya campur aduk saat Pak Lizar bilang kalau dia merasa puas dengan pekerjaan Helene. Bos nya itu terkenal pelit untuk memuji anak buahnya.
Hampir saja jantungnya berhenti berdetak ketika tadi masuk ke dalam ruangan Pak Lizar. Tatapan si bos seperti menghujam jantungnya. Sungguh Helene tidak mengerti mengapa Pak Lizar harus menatapnya seperti itu.
***
"Pak Lizar nggak marah sama kamu kan?" Ninit bertanya dengan suara pelan ke Helene ketika melewati kubikelnya. Sedari tadi dia merasa khawatir.
"Aman!" Helene menjawab singkat. Ninit melihat Helene tersenyum tipis.
"Eh, nanti makan siang di bawah ya...aku pengen makan soto."
"Aku sudah janjian sama Bayu, mau makan siang bareng dia." Helene menjawab sambil menyusun berkas-berkasnya.
"Wah, aku jadi curiga kamu, pasti ada apa-apa sama Bayu. Tumben banget. Itu mas gondrong mau dikemanakan?" Ninit melihat Helene dengan tatapan ingin tahu.
"Nggak kemana-mana, tadi pagi ke sini kok! Ya udah nanti bareng aja makan sama kita berdua. Itu juga kalau kamu mau."
"Mau dong, makan siang sambil memandang cowok cakep itu kan menyenangkan." Ninit tersenyum lebar, "Ih, bisa iri tuh cewek-cewek yang naksir sama Bayu kalau lihat aku makan sama dia."
Helene menghentikan kegiatannya menyusun berkas, melihat Ninit.
"Sini deh!" panggilnya, tangannya digerakkan meminta Ninit untuk mendekat.
"Bayu itu beberapa bulan lagi akan menikah. Aku udah kenalan sama calon istrinya di bandara." Helene bicara dengan suara pelan bahkan nyaris berbisik.
"Yah, calon suami potensial ku..." Ekspresi Ninit terlihat kecewa. Helene terkikik geli, "Tuh ..." Matanya diarahkan pada Togap yang sedang berdiri sambil memegang kertas. Begitu Ninit tahu yang dimaksud Helene, raut wajahnya berubah menjadi cemberut.
***
"Len, kamu sekarang jadi anak kos?"
Ninit terkejut ketika mendengar Bayu menanyakan keadaan rumah kos nya pada Helene. Mereka sedang duduk bertiga di kafetaria. Ninit terlihat sukacita bisa duduk berhadapan dengan Bayu, sang calon suami potensial dalam mimpi.
"Yup, kaget ya?" Helene bersikap tenang bahkan masih bisa tertawa kecil melihat raut wajah Ninit yang kebingungan.
"Bagaimana ceritanya?"
"Aku juga penasaran, kok bisa kamu malam-malam telepon aku nanya soal kos."
"Okay, dengarkan ya ... tidak ada cerita kedua kali. Aku cuma mau cerita sama kalian dan nggak perlu bocor kemana-mana cerita ini. Aku juga bukan selebriti."
Mengalir lah cerita soal pertemuan Helene dengan mama. Hingga berujung pada keluarnya Helene dari apartemen pemberian mama. Helene menceritakan dengan ekspresi datar. Sebenarnya dia malas harus mengulang cerita ini. Hari ini saja sudah dua kali dia harus bercerita. Helene malas mengingat betapa menyakitkan peristiwa kemarin. Betapa melelahkan tubuh, pikiran dan jiwanya hari itu.
Ninit memegang jari-jari Helene yang terkepal. Ada air mata di sudut mata Ninit. Dia tahu betapa berat Helene harus menanggung semuanya. Ninit tidak tahu pasti akankah Helene bisa memenangkan pertempuran dengan mamanya. Ya, ini seperti ajang pertempuran saja walaupun status mereka adalah ibu dan anak. Namun tak ada perasaan sayang diantara mereka berdua. Ninit sangat tahu hal itu.
Bayu bahkan sangat terkejut, dia tidak menduga di balik keceriaan Helene menyimpan cerita yang begitu menyedihkan. Selama ini Bayu mengira perempuan unik ini hidupnya lempeng aja, seperti tidak memiliki masalah yang berarti.
Melihat Helene yang sanggup menutupi semuanya dengan tingkahnya yang terlihat ceria, Bayu menjadi semakin mengagumi Helene. Perempuan ini juga bisa bekerja dengan bagus, dia adalah partner kerja yang sangat menyenangkan. Apalagi ketika tahu bahwa Helene adalah anak seorang pengusaha terkenal. Perempuan ini terlihat bersahaja. Penampilannya biasa saja bahkan dia tidak manja sama sekali. Masih mau diajak nongkrong makan di angkringan. Semua terlihat alami, tidak dibuat-buat. Kali ini Bayu melihat Helene masih bisa bersikap tenang, perempuan ini terlalu pintar menutupi semuanya. Tapi tidak, matanya tak bisa berbohong.
"Nah, begitu lah ceritanya....gimana? Udah berasa baca novel kekinian atau kayak nonton sinetron?"
Helene nyengir lebar. Bayu dan Ninit tak bersuara, mereka masih terhanyut dengan cerita Helene.
"Kalian kenapa sih? Biasa aja lah! Semua sudah berlalu, setiap hari itu akan ada masalahnya sendiri. Jalani yang ada sekarang aja. Nggak ada gunanya berlarut-larut meratapi kesedihan kemarin. Siang ini aku traktir deh, karena kalian berdua sudah jadi pendengar yang baik."
Helene bicara dengan nada riang. Bayu menghela napas, sedangkan Ninit masih termangu.
"Nit, kamu itu lho biasanya paling seneng dengar kata traktir." Helene menyikut lengan Ninit.
"Biasanya juga nggak tahu malu minta nambah ini itu kalau ditraktir. Bayu, Ninit tuh orangnya begitu. Suka kalap kalau ditraktir."
Helene semakin semangat nyerocos. Mendengar nama Bayu disebut seperti mengembalikan kesadaran Ninit. Dia langsung menendang kaki Helene. Bagaimana mungkin Helene dengan entengnya menjelekkan dia di depan laki-laki ganteng, walaupun laki-laki itu calon suami orang. Ninit menatap tajam pada Helene yang tertawa ngakak.
"Tadi habis dibawa jin iprit ya sampai bengong begitu?" Helene masih tertawa meledek Ninit. Bayu tersenyum lebar melihat tingkah mereka berdua.