Wanda menghembuskan nafasnya pelan. Dia tahu betul tamparannya tadi itu sangat menyakitkan. Tapi, kalau itu satu – satunya cara untuk menyuguhkan puting, kenapa tidak. Itulah yang membuat Wanda kerap kali merasa lelah saat harus mengurus Bintang di rumah.
Dia merogoh sakunya dan menyerahkan sejumlah uang pada Bintang. “Ada PR nya kan? Tolong belikan brownies, Bunda. Di tempat biasa,' kata Wanda.
Bintang menerima uang itu dan mengangguk pelan. Ibunya mungkin sengaja melakukannya agar Bintang mengalihkan perhatiannya dari hal – hal buruk. Tempat biasa ibu membeli brownies cukup jauh dan Bintang harus naik ojek atau taksi untuk sampai ke sana.
Dia mengambil tasnya dan keluar rumah dengan ditatap Bulan dengan cemas. Bintang sontak menoleh dan tersenyum di samping kakaknya sambil mengacungkan jempolnya dan memberitahu Bulan kalau dia baik – baik saja dan tidak perlu mengkhawatirkannya.
“Mau ke mana, Bintang?” tanya tetangga – tetangga menyapa.
“Mau beli browniesnya, Tante.” Bintang menjawab dengan semangat. Selama dia bisa fokus, menjawab sapaan dan juga pertanyaan – pertanyaan dari orang lain itu hal mudah baginya.
“Oh ya, Mbakmu pulang 'kan?” tanya yang lain.
“Iya, Tante. Udah lulus.”
“Bulan lulus kuliah prestasinya juga bagus kok kamu malah nggak naik kelas.”
“Bintang duluan ya, Tante. Nanti dimarahi Bunda.” Bintang meninggalkan mereka semua dengan berjalan cepat tak mau membahas lebih dalam lagi saat orang – orang mulai membandingkan dirinya dengan Bulan.
Meski begitu, Bintang tak menyalahkan mereka semua atas apa yang mereka katakan. Bintang juga tak membenci Bulan melainkan sangat mengaguminya dan begitu bersyukur bahwa kakaknya adalah Bulan.
Langkah Bintang berhenti saat dia tiba – tiba ada di stasiun kereta api bahkan memegang tiket kereta. Dia kembali memikirkan kenapa dia sampai di sana. Yang dia ingat terakhir kali adalah pergi dari rumah bertemu orang – orang kemudian bersenandung kecil ke halte bus.
Tapi dia sampai di stasiun kereta.
“Kenapa aku di sini?” gumamnya pelan celingak – celinguk melihat sekitar. Dia juga membaca tiket keretanya yang menuju ke pasar dan dia tersenyum kecil berhasil mengingat dan berpikir.
“Brownies yang Bunda mau 'kan ada cabangnya juga di pasaran.” Dia berdiri di dekat rel sehingga saat keretanya datang bisa langsung masuk.
Bintang diam memancarkan keramaian di stasiun itu. Hanya saja tak ada yang bisa dia ajak bicara karena tak ada satu pun orang yang dia kenal dengan baik. Helaan napasnya panjang mencoba menenangkan diri kemudian membatu saat menatap rel kereta yang ada di hadapannya.
Dia juga samar – samar mendengar suara kereta dari jarak jauh mulai mendekat. Tapi tubuhnya tidak bisa digerakkan saat itu.
“Lompat saja, Bintang. Nikmati sensasi yang membuat orang di sekitar khawatir.”
“Ayo lompat! Kamu nggak akan merasa sakit kok.”
“Lagi pula, kalau kamu mati, Ayah sama Bunda masih punya Mbak Bulan yang paling mereka banggakan.”
“Kamu sayang sama Mbak Bulan kan? Tapi Mbak Bulan masih sayang pada semua orang. Sementara kamu tidak.”
Bisikan – bisikan itu kembali muncul di kepala Bintang. Karena mulai tak mampu mengendalikannya, Bintang melangkah maju, menginjak garis kuning dan perlahan mulai merobohkan dirinya ke rel kereta yang tepat pada saat kereta yang benar – benar sudah dekat dengan posisinya.
“BINTANG!” teriak seseorang menarik tangan Bintang menghentikan aksi Bintang itu.
Tiba-tiba saja, Bintang menoleh dan mendapati Zayan tidak bisa menahan lengannya dengan panik dan khawatir.
Kereta dengan kecepatan penuh lewat di hadapannya menimbulkan angin yang menggerakkan rambut mereka berdua dan saat itu Bintang kembali sadar kalau dia hampir membahayakan dirinya sendiri.
Lagi. Untuk ke sekian kalinya.
“Hati – hati,” ucap Zayan pelan, “kenapa ya?” tanyanya.
Zayan langsung mengajak Bintang agar duduk di kursi tunggu menenangkan diri lebih dulu. Dia juga memberikan tawaran minuman untuk Bintang yang sepertinya tidak baik – baik saja.
“Terima kasih,” ungkap Bintang yang langsung meminum minumannya dengan cepat.
Sejujurnya, Zayan merasa aneh saat melihat Bintang dari penginapan tadi. Cewek itu mematung seperti batu kemudian tiba – tiba melangkah maju dan seperti tak bisa menahan kantuk, tubuhnya mulai jatuh ke depan tepat ke arah rel kereta dan tentu jika Bintang masih waras, Bintang seharunya tahu kalau ada kereta yang sedang melaju.
Dia duduk di samping Bintang menatap kertas tiket kereta yang dipegang Bintang dan mengambilnya untuk mengetahui ke mana sebenarnya Bintang ingin pergi sampai – sampai memaksakan diri dalam kondisi mengantuk berat seperti itu.
“Mau apa ke pasar?” tanya Zayan.
“Oh itu. Bunda minta beli brownies dong.” Bintang menjawab pelan.
“Kan, di dekat sini ada toko. Kenapa harus ke pasar?”
“Iya. Tapi aku ingat betul tiketnya udah ke beli. Jadi, kamu hanya sedang main-main.” Bintang menyapu kepalanya yang tak gatal.
“Yuk, ketemu temenin.” Zayan bangkit dari duduknya dan menawarkan diri.
“Maksudnya Zayan nggak ada acara?” tanya Bintang ikut bangkit.
Zayan sudah melangkah lebih dulu menuju ke tempat penjual brownies yang dia tahu di sekitar stasiun kereta. “Kalau gue ada acara, gue nggak akan ngasih tau diri gue.” Zayan menjawab.
Bintang tersenyum gembira dan mempercepat jalannya agar menyamakan ritme langkah kaki Zayan dan mulai mengoceh. Zayan hanya mendengarnya sambil mengangguk – angguk kepalanya menanggapi karena dia tak tahu bagaimana mengatakan sesuatu untuk menanggapi setiap lautan Bintang yang terkadang tak jelas itu.
Sampai akhirnya mereka sampai di toko brownies yang menyediakan berbagai macam rasa. Bintang begitu antusias memilih brownies yang dia inginkan. Bundanya juga tidak mengatakan rasa apa yang harus dibeli. Jadi Bintang memanfaatkan kesempatan itu.
“Gue suka rasa apa ya?” gumamnya pelan.
“Kan, lo yang mau beli. Ya kali nggak tahu,” ujar Zayan.
“Zayan sendiri suka rasa apa?”
“Vanila.”
“Gue suka matcha. Mungkin.” Bintang langsung mengambil rasa vanilla dan matcha.
Dia kemudian membayarnya dan memberikan bingkisan yang rasa vanilla pada Zayan. “Vanila untuk Zayan,” katanya.
“Gue nggak minta.”
“Gue pengen makan bareng lo.” Bintang langsung menggandeng tangan Zayan ke sebuah kursi dan duduk di sana.
Mereka pun membuka bingkisan itu dan mulai menikmati duduk di pinggir jalan sambil menikmati brownies mereka. Bintang juga menyingkirkan brownies pesanan lainnya dari ibunya dan juga orang di rumah.
“Ternyata gue nggak suka matcha,” lapor Bintang menunjukkan raut wajah tak suka pada apa yang dia makan selama beberapa saat.
Zayan menghela napasnya panjang. “Lo bahkan nggak tahu apa yang lo suka,” ujarnya sambil menukar brownies miliknya dengan milik Bintang.
Bintang tersenyum kecil. Dia juga tidak tahu tapi seingat dia, dia biasa memakan sesuatu rasa matcha. Tapi karena Zayan menukarnya, dia cukup senang karena lidahnya cocok dengan vanilla. Zayan juga tak banyak berkomentar tentang rasa matcha yang ditukar itu.
Zayan juga membuka tasnya dan memberikan sebuah kanvas kecil pada Bintang. Bintang menanggung kebingungannya karena tiba – tiba cowok itu memberikan kanvas lukisan.
“Apa ini?” tanya Bintang.
“Gue baru aja ngunjungin kakak gue. Dia suka kanvas itu, padahal gue nggak bisa gambar. Jadi, buatlah itu saja.” Zayan menjelaskan.
Bintang tersenyum kecil. “Ada pensil?” tanyanya.
“Tapi apa?”
“Gambar di kanvas ini.”
Entah kenapa Zayan menjadi penurut. Dia mengeluarkan pensilnya dan menyerahkannya pada Bintang yang langsung dengan senang hati menggambar di kanvas itu menggunakan pensil itu. Zayan hanya menonton masih menikmati brownies itu.
“Bintang jatuh itu beneran ada nggak sih, Zay?” tanya Bintang.
“Itu ada hubungannya. "Dia bisa saja jatuh di sana," kata Zayan asal.
“Ih, serius!”
“Ada.”
“Zayan pernah liat?”
Zayan berpikir sejenak. “Pernah waktunya masih di Amerika. Nggak cuma sekali kok.” Dia menjawabnya dengan senyum kecil.
Bintang menoleh dengan mata berbinar. Sudah sejak lama dia sangat ingin melihat fenomena itu. Dia pernah membaca buku jika hal itu terjadi, manusia bisa membuat permohonan agar bisa dikabulkan. Meski tak percaya sepenuhnya, Bintang ingin sekali mencobanya.
Ada banyak hal yang tidak bisa dia ceritakan pada orang lain sehingga dia butuh bercerita di alam yang bisa membuatnya tenang. Mungkin saja saat melihat bintang jatuh, meskipun sendiri, dia bisa menghindari bisikan – bisikan buruk yang terus ada dalam pikirannya itu.
“Kenapa ya?” tanya Zayan.
“Saya mengajukan permohonan.”
“Apa itu?”
“Tetap waras.” [ ]