“Dinda, bukannya lo keterlaluan kalau ngomong kayak begitu?” tegur Zayan saat sepulang sekolah.
Dinda menoleh kesal dan memutar bola matanya. Entah kenapa meskipun Zayan bilang tidak menyukai Bintang, tetap saja Zayan seolah berpihak pada Bintang bahkan membelanya seperti itu.
“Terus kenapa? Lo nggak suka? Lo ‘kan nggak ada hubungan sama dia, seharusnya nggak usah ikut campur!” omel Dinda.
“Bukan begitu. Cuman ngatain dia penyakitan ‘tuh kasar banget.”
Dinda diam sesaat. Dia memikirkan kembali apa yang dikatakannya tadi. Biasanya, Bintang akan langsung melawannya atau mengatakan sesuatu. Tapi sejak Dinda mengatakan kalau Bintang penyakitan, cewek itu hanya diam tanpa ekspresi.
Bahkan, saat anak – anak mencoba berbicara dengan Bintang untuk menenangkan, Bintang menjawabnya dengan asal dan tidak nyambung dengan apa yang dibicarakan seolah berusaha terlihat biasa saja di hadapan semua orang.
“Gue cuman merasa agak sensi saja,” gumam Dinda.
“Memangnya Bintang sakit apa?” Zayan mengajukan pertanyaan yang membuat Dinda menoleh dengan membulatkan matanya.
“Ng – nggak. Dia nggak sakit apa – apa kok,” jawabnya gugup.
“Aneh lo!”
“Dinda mau pulang bareng?” tanya seseorang.
Dinda dan Zayan menoleh bersamaan dan itu adalah Bintang. Bintang terlihat tersenyum seperti biasanya bahkan berjalan mendekat dengan sedikit melompat – lompat kecil menghampiri Zayan dan Dinda.
Meski sempat merasa bersalah, saat melihat Bintang, Dinda menjadi kembali kesal. Dia langsung melangkah pergi dari halte dan menghentikan sebuah taksi untuk pulang. Bintang hanya bisa melambaikan tangannya.
“Gue nggak ngerti. Dinda yang memang sensi atau lo yang nggak punya perasaan?” ucap Zayan.
“Kenapa Zayan bilang begitu?” balas Bintang.
“Masalahnya, Dinda lagi marah. Lo harusnya datang dengan permintaan maaf atau apa, tapi malah bersikap biasa aja,” jelas Zayan sambil menggeleng – gelengkan kepalanya.
Bintang terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bintang hanya berpikir jika mereka marahan akan cepat berbaikan seperti biasanya yang terjadi di antara mereka meskipun tanpa kalimat maaf di antara mereka.
Zayan bangkit dan naik ke bus jurusan ke alamat rumahnya. Sementara Bintang gantian melambaikan tangannya untuk Zayan dan naik ke bus setelahnya.
Sesampainya di rumah yang kosong tak ada orang satu pun, Bintang duduk di sofa mengistirahatkan tubuhnya. Dia ingat kalau orang tuanya sedang menjemput kakak perempuannya yang akan pulang dari Jerman setelah selesai menempuh pendidikan di sana.
Ya, karakter yang sangat berbeda dengan Bintang. Kakaknya, Bulan memiliki segudang prestasi sehingga menjadi kebanggaan siapa pun yang dekat dengan Bintang. Semua orang memuji Bulan layaknya seorang dewi.
Dia menatap pisau yang ada di rak dapur. Dia diam cukup lama memandangi pisau itu kemudian berjalan mendekat dan mengambil pisau itu.
Bintang menempelkan bagian yang tajam pada pergelangan tangannya. Seolah tidak sadar, dia perlahan menggerakkannya sampai akhirnya dia merasakan sakit yang luar biasa dan langsung membuang pisau itu dengan histeris.
“Jangan, jangan berisik!” teriaknya berlari ke kamarnya dan langsung membungkus tubuhnya dengan selimut. Menutup kedua telinganya rapat – rapat begitu ketakutan.
“Bunda,” panggilnya pelan, “pak camat jualan tomat, yang beli harus hormat. Bu Susi jualan Anting yang beli orang sinting.” Bintang terus mengoceh agar tak mendengar bisikan – bisikan buruk yang selalu dia dapatkan saat sendirian itu.
“Bintang, Mbak pulang ‘nih.” Terdengar suara mobil di depan rumah dan pintu rumah yang terbuka.
“Mbak Bulan!” Bintang langsung melompat dari kasurnya dan berlari menemui kakak perempuannya.
Mereka berpelukan dan Bintang merasa sedikit lega karena dia tidak sendiri lagi di rumah itu. Bulan yang sangat cerewet juga langsung menceritakan semua hal. Apa pun yang dia lakukan di sana, kemudian oleh – oleh apa yang dibelinya dan masih banyak lagi membuat Bintang tidak bisa mendengar bisikan – bisikan dari dalam dirinya.
“Bintang, Mbakmu biar istirahat dulu. Kamu juga lebih baik belajar. Memangnya nggak malu sama orang – orang? Mbakmu loh cantik dan pintar.” Wahyu berdecak pinggang menatap Bintang.
Bintang mendongak dan memasang wajah datar. Jujur dia kurang paham apa yang dibilang Ayahnya tapi dia hanya menanggapinya dengan anggukan kecil.
Sementara Bulan seketika menatap Ayahnya dengan pandangan kesal. “Ayah kok ngomongnya begitu?” tegurnya lembut.
Wahyu hanya mendengus kesal. “Kamu nggak tahu saja, Lan. Ayah sama Bunda loh malu kalau tetangga pada tanya soal Bintang,” katanya.
“Bunda juga sering dipanggil ke sekolah gara – gara nilai Bintang, Lan.” Wanda turut menyahuti.
Bulan menatap Bintang yang tengah menyentuh jam tangan yang Bulan hadiahkan untuk adiknya itu. Jujur Bulan juga tidak mengerti kenapa kepribadian mereka begitu berbeda. Kalaupun Bintang memang tidak bisa memahami pelajaran dengan baik, paling tidak ada sedikit peningkatan karena belajar di rumah.
Padahal itu terjadi belum lama. Bulan mendengar tentang Bintang yang mulai berperilaku aneh dan juga berbicara tak jelas sejak tiga tahun yang lalu. Setahun sebelum Bulan pergi ke Jerman.
“Bunda sama Ayah nggak coba periksakan Bintang ke Dokter?” tanya Bulan.
“Sudah. Tapi Dokter menyarankan pergi ke psikiater. Waktu itu dia bicara sendiri terus - menerus,” ucap Wanda bercerita.
“Aku nggak bicara sendiri kok, Bun. Ada orang yang ngajak aku bicara.” Bintang menyanggahi ucapan ibunya.
“Sudah – sudah. Ceritanya nanti saja. Bulan istirahat di kamar, Bintang juga belajar sana.” Wahyu mengakhiri percakapan mereka.
Semua menurut. Bulan dan Bintang pergi ke kamar masing – masing. Bintang sangat senang karena kakaknya sudah pulang dan tidak akan pergi ke Jerman lagi. Mungkin nantinya Bulan memang akan bekerja dan Bintang akan tetap sendirian sepulang sekolah.
Tapi, sebelum mendapatkan pekerjaan, Bulan akan ada di rumah dan bisa menjadi teman Bintang untuk bercerita.
Karena saat sendirian, dia merasa begitu takut.
“Bintang!” Belum juga Bintang menempelkan pantatnya di kursi, panggilan dari Wanda sudah terdengar. Bintang langsung keluar menemui Bundanya yang memanggil namanya sambil berteriak dari dapur itu.
“Ada apa, Bun?” sahut Bintang.
“Apa yang kamu lakukan sama pisau itu?!” bentak Wanda saat melihat pisau dapurnya tergeletak di depan pintu kamar mandi.
Seketika Bintang menggelengkan kepalanya pelan. Dia merasa kalau dia memang sempat memegang pisau itu tapi dia kurang ingat apa yang dia lakukan sehingga pisau itu ada di sana.
Wanda yang memang sudah beberapa kali mendapati Bintang mencoba melakukan hal aneh seketika menarik tangan putrinya itu memeriksa. Memang tidak ada luka serius bekas sayatan di sana, tapi dia melihat garis merah di pergelangan tangan Bintang dan langsung menarik Bintang ke wastafel mencuci tangannya.
“Sudah Bunda bilang jangan sentuh benda tajam. Kenapa kamu nggak ngerti juga sih?!”
“Aku nggak tahu, Bun. Pisau itu, aku nggak ingat apa – apa. Aku cuman ingat pulang sekolah ke dapur. Tapi aku lupa aku ngapain.” Bintang menjelaskannya dengan tubuh yang tidak tenang.
Dia bahkan mencoba mundur menghindari Wanda karena merasa Bundanya akan menyakitinya dengan garpu yang ada di samping wastafel. Dia merasa begitu panik dan juga takut. Menyadari itu, Wanda mengangkat salah satu tangannya.
Satu tamparan mendarat di pipi Bintang membuat putrinya itu terdiam dan tenang sesaat dengan rambut yang menutup sebagian wajahnya yang terkena tamparan Wanda.
“Sadar, Bintang! Kamu selalu saja seperti ini. Bunda tidak bisa mengurus kamu terus – menerus kalau kamu nggak mencoba melawan apa yang ada di diri kamu.” Wanda mengatakannya dengan suara bergetar.
Bintang mengangkat kepalanya dan menatap Wanda dengan senyum kecilnya. “Aku baik – baik saja, Bunda,” katanya seolah tak terjadi apa pun. [ ]