Bintang menepuk punggung Zayan yang juga baru sampai turun dari bus yang berbeda dengannya. Tak ada tanggapan seperti biasanya, yang Zayan tahu, cewek ceroboh itu sudah sehat seperti biasanya. Bahkan pukulannya jauh lebih kuat dari sebelumnya.
Lagi – lagi, mereka masuk dari gerbang bersama dengan segala ocehan Bintang. Tak ada satu pun yang Zayan dengarkan dengan baik. Hari ini, kemalasannya berlipat ganda. Jadi apa pun yang Bintang lakukan, dia sedang tidak ingin menanggapinya sama sekali.
Tiba – tiba langkah Bintang berhenti yang berhasil membuat Zayan menoleh dan menatap cewek ceroboh itu.
“Lo duluan aja,” ucap Bintang.
“Kenapa?” balas Zayan memiringkan kepalanya bingung. Ya, jujur saja dia sedikit khawatir kalau perut Bintang sakit lagi.
“Rame soalnya.”
Zayan tak mengerti dengan alasan Bintang sehingga dia tetap berdiri di tempat berhadapan dengan Bintang menunggu cewek itu kembali melangkahkan kakinya.
Bintang menepuk jidatnya pelan, “Kalau gitu, gue yang duluan.” Dia berlari mendahului Zayan dan berjalan biasa saat di koridor menyapa teman – temannya seperti biasa.
Meskipun tidak pintar, Bintang benar – benar mulai mempelajari apa yang sebenarnya terjadi di sekitarnya. Dia juga berusaha untuk bersikap sewajarnya dan tidak melakukan apa yang Zayan tidak suka. Itu akan jauh lebih baik ketimbang membuat Zayan marah – marah setiap saat. Alasannya tentu masih sama.
Bintang sangat menyukai Zayan.
Sejak semalam, dia memikirkan matang – matang apa yang membuat Zayan tidak menyukainya. Sampai akhirnya dia pikir kalau selama ini dia terlalu berisik, mengganggu dan tidak pernah mencoba mengerti apa yang Zayan tidak suka.
Dengan bersikap sedikit hati – hati, mungkin Zayan akan menyukainya. Setidaknya begitu pikirnya.
“Tumben nggak bareng Bintang?” tanya Dinda menyapa Zayan yang masih menatap Bintang yang bersikap sedikit aneh.
“Tadi bareng, kok.” Dia menjawab dingin seperti biasanya.
“Bintang, selamat pagi!” teriak seseorang berlari menghampiri Bintang dan langsung merangkulnya tanpa ragu.
Itu, Ojan. Ketua klub seni yang memang sangat terlihat cocok dengan Bintang. Keduanya semakin terlihat akrab. Bintang juga meladeni Ojan seperti teman paling dekatnya. Bukan, lebih tepatnya orang yang paling spesial bagi Bintang.
Dinda tersenyum kecil ketika melihat Zayan menghembuskan nafasnya dengan kesal. Dia tahu, ke mana arah mata Zayan menatap. Itu sebabnya bagi Dinda hubungan kecil antara Zayan dan Bintang sedikit menarik. Zayan tetap tidak peka terhadap dirinya sendiri. Padahal hal seperti itu tidak begitu sulit seharusnya.
“Kalau suka itu ngomong. Kalau diem aja tapi cemburu, sama aja kayak nahan berak,” timpal Dinda asal sambil pergi ke arah yang berbeda dengan Zayan.
Zayan berlari ke dekat tangga di mana Bintang dan Ojan akan lewat di sana. Tapi melihat ada Zayan di sana, Bintang seketika menarik Ojan untuk menggunakan tangga lainnya. Ojan sampai kebingungan dengan sikap Bintang yang biasanya nempel banget sama Zayan sekarang mencoba menjaga jarak.
“Lo menghindar dari Zayan, kenapa? Bukannya lo suka banget sama dia?” tanya Ojan.
“Eh, keliatan banget ya?”
Ojan mendesis pelan, “Semua orang juga tahu kali kalau lo lari waktu liat dia,” kilahnya.
Bintang tertawa kecil, “Nggak juga sih sebenarnya. Cuman, Zayan sendiri yang pernah bilang kalau gue harusnya lebih jaga jarak dari dia biar orang – orang nggak nyangka kami pacaran.” Bintang menjelaskan alasannya tadi bersikap seperti itu ketika melihat Zayan.
Ojan mengangguk mengerti. Mereka kembali berjalan berdampingan menuju ke kelas. Tidak, kelas Ojan tentu berbeda dengan kelas Bintang, tapi cowok itu tetap mengikuti Bintang ke kelasnya.
“Lo kenapa ikut gue? Kan, kelas lo di bawah,” ujar Bintang.
“Bukannya lo yang tarik gue ke naik ke sini tadi?” balas Ojan.
Keduanya kemudian tertawa. Mereka sama – sama tak sadar dengan apa yang baru saja terjadi. Ojan cukup senang berada di dekat Bintang meski kadang – kadang dia juga jadi ikutan konyol. Tapi memang tak bisa bilang tidak, bahwa menjadi konyol bukan hal yang buruk juga untuk menghadapi kehidupan sehari – hari.
“Kalian berdua kenapa nggak jadian aja? padahal cocok tahu,” kata seseorang.
Keduanya menoleh dan mendapati teman – teman sekelas Ojan cekikikan meledek mereka. Bintang dan Ojan memang sejak dulu diejek seperti itu karena kedekatan mereka dan semua orang juga bilang kalau mereka cocok. Jadi, mereka sudah terbiasa dengan situasi itu dan tidak mengejutkan sama sekali.
Selain itu, mereka sama – sama tak keberatan jika ada orang yang mengatakan seperti itu. Selama bukan Zayan, Bintang sama sekali tak keberatan. Baginya hal wajar seseorang menganggap orang lain cocok dengannya.
“Perasaan dari dulu kalian berdua terjebak friendzone,” imbuh yang lain.
“Iya, ya. Kenapa kita nggak jadian aja?” sambut Ojan menatap Bintang.
“Hah?! Ogah gue,” elak Bintang.
“Kenapa?” mereka semua bertanya bersamaan.
Bintang cengengsan kecil, “Maksud gue, kenapa juga orang kayak Ojan mau sama gue.” Dia berusaha menjelaskan agar tidak terjadi salah paham di antara mereka.
“Kenapa nggak? Gue menerima semua kekurangan lo, kok.”
“Yeee... itu sama aja lo bilang kalau gue nggak punya kelebihan!”
“Nggak ‘gitu juga. Gue serius.”
Bintang memiringkan kepalanya heran, ‘Loh, ini serius? Bukannya kita cuman lagi pura – pura ya?’ batinnya merasa tak beres.
Ojan sudah lama menyukai Bintang. Memang tak memiliki keberanian saja mengatakannya. Dan entah energi dari mana mendadak dia mengatakannya seperti itu tadi. Rasanya, tidak tahan saja melihat Bintang terlalu sering bersama dengan Zayan. Karena saat cewek ceroboh itu menempel pada Zayan, Ojan benar – benar diabaikan.
“Kalian mengganggu tahu. Kenapa bicara di jalan sih?”
Semua menoleh serentak. Zayan sudah berdiri di belakang mereka mungkin cukup sama, atau baru saja. Tapi melihat ekspresi menyebalkan dari cowok berprestasi itu membuat mereka menyingkir memberinya jalan untuk lewat.
“Ngapain lo di sini? mau bolos ya?” tuduh Zayan pada Bintang.
“Enak aja!” sanggah Bintang, “gue ke kelas duluan ya. Kalian semangat belajarnya,” pamitnya pergi menyusul Zayan.
“Yah... belum apa – apa udah direbut Zayan. Padahal lo nggak jelek – jelek amat loh, Jan.” Anak – anak langsung meledek Ojan.
“Ngomong apaan sih?!” omel Ojan tak terima dan langsung pergi begitu saja.
Zayan menarik satu ujung bibirnya puas. Dia jelas menyimak semua pembicaraan Bintang dengan teman – temannya itu. Sempat kaget juga dengan ucapan Ojan yang menunjukkan tentang perasaannya. Dia sudah menduga itu dan sesuai dengan dugaannya, Bintang hanya menyukainya, sampai tak sadar kalau Ojan menyukai Bintang.
Entahlah, tapi dia sedikit lega karena Bintang yang bodoh kurang memperhatikan di sekitarnya, ternyata sangat menguntungkan.
Dia menghentikan langkahnya seketika, “Apa yang gue pikirin? Kenapa gue lega?” gumamnya pelan.
“Zayan lega karena gue nggak menerima ungkapan perasaan Ojan ‘kan?” Bintang memastikan.
“Mana ada begitu! Itu bukan urusan gue.”
“Ojan, bohong nggak baik loh.”
“Gue ngerti, Bodoh!” Dia menjitak kepala Bintang kesal. Bintang terbahak melihat wajah Zayan yang memerah. Sepertinya Zayan sebenarnya cukup pemalu dan tidak terbiasa membicarakan hal – hal seperti itu.
“Lagian lo kenapa lari tadi karena liat gue?” Rasa penasaran Zayan akhirnya tersampaikan.
Dia sedikit galau karena Bintang terlihat jelas menghindarinya. Karena cewek itu sudah kembali berdiri di hadapannya, mungkin itu alasannya merasa lega. Jadi, dia sangat peduli pada Bintang sebenarnya. Begitu ‘kan?
“Oh, soal itu. Bukannya –”
“Zayan!” panggil seseorang membuat Zayan dan Bintang menoleh bersamaan.
Seorang cewek cantik dengan seragam yang berbeda dengan yang mereka kenakan berjalan ke arah Zayan. Entah siapa, tapi benar – benar cantik seperti model dengan rambut pendeknya. Berjalan begitu elegan memasang wajah gembira dan menyapa Zayan dengan senyum manisnya.
Bintang menatap Zayan yang tak berkedip sama sekali. Dia tersenyum mengerti, semua orang tentu suka melihat sesuatu yang bagus, tak terkecuali Zayan. Selain itu, cowok mana yang nggak mau didekati cewek seperti itu.
“Pernikahannya bagaimana?” tanya cewek itu pada Zayan.
“Nikah?!” pekik Bintang terkejut bukan main. [ ]