Bintang berlari terbirit - birit ketika mendapati Iqbal berada di halaman tengah bermain bola bersama dengan teman - temannya. Sejak dia keluar dari kelas, rasanya Zayan terus mengawasinya sehingga dia berniat untuk sesegera mungkin meminta maaf pada Iqbal dan tidak membuat Si Wajah Datar itu murka.
“IQBAL!” teriak Bintang yang langsung menghadap Iqbal dan membungkukkan tubuhnya membuat anak - anak yang lain sedikit terheran - heran dengan sikap cewek itu.
"Gue minta maaf soal kejadian di UKS," ungkap Bintang masih dengan terus membungkukkan kepalanya di depan Iqbal tak peduli bagaimana anak – anak yang lain terus melihatnya dengan penuh tanda tanya. Dia juga tak melihat betul – betul bagaimana reaksi Iqbal karena tiba – tiba datang dan berteriak meminta maaf. Itu karena dia sadar Zayan terus menatapnya dari balkon lantai atas.
Rasanya, dia sedikit mendapatkan teror. Takutnya, Zayan malah berpikir kalau Bintang adalah cewek pembual yang tak bisa membuktikan kata – katanya untuk meminta maaf pada Iqbal. Tentunya karena kejadian di UKS itu.
“Lo, Bintang ‘kan?” tanya Iqbal.
Bintang pun berdiri tegak dan memperhatikan Iqbal cukup lama. Dia tak mengenal Iqbal sama sekali, tapi entah bagaimana cowok itu bisa dengan cepat mengenalinya. Dia mundur beberapa langkah untuk mengantisipasi saja barangkali Iqbal adalah seorang penguntit.
“I – iya,” balas Bintang ragu – ragu.
Iqbal tersenyum kecil memasukkan kedua tangannya di saku celana kemudian berjalan mendekat pada Bintang. Dia juga menyipitkan matanya memperhatikan cewek bertubuh kecil itu dengan seksama.
“Ini gue. Iqbal anaknya Mpok Jennah. Masa lo lupa,” katanya.
“Mpok Jennah?”
“Iya. Astaga, kita dulu tetangga waktu masih SD tinggal di Apartemen Mulya Indah.”
Bintang langsung membuka mulutnya lebar – lebar ketika berhasil mengingatnya. Benar, itu Iqbal. Memang mereka tidak pernah berada di sekolah yang sama, tapi mereka selalu bermain bersama. Cuman, kenapa wajahnya sangat berubah? Setahu Bintang, Iqbal dulu hitam dan tentunya tidak semenarik sekarang.
Iqbal tertawa kecil dan menutup mulut cewek yang terus saja menganga itu membuat Bintang segera mengatupkan kedua bibirnya rapat. Dia masih belum tahu harus berbicara apa dengan Iqbal temannya itu. Rasanya sudah terlanjur canggung dan yang lebih memalukan lagi, mereka menjadi pusat perhatian anak – anak yang lain.
“Anu, apa kabar? Lo berubah banget, dulu kalau nggak salah muka lo nggak silau begini,” celetuk Bintang asal. Dia sadar itu dan langsung menutup mulutnya lagi.
Untung saja Iqbal tidak terbawa perasaan dan malah tertawa menanggapi ucapan Bintang. Cewek itu tak banyak berubah dengan mulutnya yang memang agak lemes. Tapi, Iqbal juga tahu kalau itu keluar dari mulut Bintang tanpa teratur.
“Sekarang ‘kan udah jamannya perawatan. Ya kali gue mau burik terus,” timpal Iqbal.
Cewek itu mengangguk – angguk sambil mengusap tengkuknya yang terlihat bingung. Itu pasti karena keduanya sudah sangat – sangat lama tidak bertemu. Jelas saja kalau memang Bintang merasa canggung.
Bintang terkekeh beberapa kali dan melirik ke balkon atas. Zayan masih di sana dan sepertinya memang masih menatap ke arahnya. Tapi Bintang sudah meminta maaf pada Iqbal juga, kenapa Zayan terus mengintimidasi dirinya dengan tatapan dingin dan menyeramkan itu. Kalau saja Bintang punya kekuatan, dia sangat ingin menghilang dari pandangan Zayan.
“Maaf, Bal. Boleh tanya sesuatu?” tanya Bintang dibalas anggukan oleh Iqbal.
Bintang sedikit mendekatkan wajahnya ke telinga Iqbal berniat berbisik – bisik. Iqbal yang peka dengan itu pun mendekat pada Bintang yang malah membuat cewek – cewek yang menyaksikan itu histeris. Bagaimana tidak, mereka yang kejar – kejaran berebut berbicara dengan Iqbal, malah Bintang yang dapat. Mana jarak mereka dekat begitu.
“Zayan juling nggak sih?” tanya Bintang berbisik.
“Pfftt, Ahahaha…” Seketika itu juga, Iqbal terbahak – bahak mendengarnya. Suara tawanya berhasil membuat keributan itu hening seketika. Rasanya, sekolahan beserta isinya tengah dikuasai oleh Iqbal.
“Kok malah ketawa sih?” gumam Bintang.
Iqbal memukul pundak Bintang beberapa kalu, “Lo memang dari dulu konyol!” kilah Iqbal masih terbahak sampai memegangi perutnya yang mulai terasa kaku.
Dia juga melirik ke atas di mana Zayan berdiri menatap ke arah mereka. Dia akhirnya cukup tahu kenapa Bintang bertanya seperti itu padanya. Tatapan Zayan memang dingin dan sedikit mengerikan, setidaknya bagi orang – orang yang belum banyak berbicara dengan Zayan.
“Habisnya, dia kaya natap gue terus. Takutnya gue kepedean,” cetus Bintang.
Iqbal mengangguk mengerti dan menghentikan tawanya beberapa saat, “Kalau udah biasa bicara sama dia, orangnya hangat kok. Tenang aja.” Iqbal mencoba menjelaskan.
Bintang mengangguk mengerti dan dia pun pergi sambil melambaikan tangannya pada Iqbal. Lega rasanya karena Iqbal tak marah sama sekali tentang kejadian di UKS, dan dia juga bisa bertemu dengan teman main lamanya itu yang tentunya usianya satu tahun lebih muda darinya. Mengejutkan memang, tapi mungkin saja dengan banyak berbicara pada orang – orang pintar, Bintang ketularan pintar.
Ya, bagaimana pun Bintang memang tak pernah mendapat nilai di atas tiga puluh. Jadi, itu adalah masalah terbesarnya sejak dia masuk SMA. Selain itu juga, tahun lalu dia tidak naik kelas yang akhirnya membuatnya berada di kelas yang sama dengan Zayan.
Dia hanya tak pernah menyangka kalau sebenarnya tidak naik kelas tidak seburuk itu juga.
“Bicara apa sama Iqbal?”
“HAH?!” Bintang melompat kaget ketika sudah mendapati Zayan berdiri di ujung tangga lantai terakhir di mana kelas mereka berada.
Zayan mengangkat alisnya meminta jawaban. Bintang masih mengontrol nafas dan juga detak jantungnya yang berdetak cepat karena kaget. Dia menatap Zayan beberapa saat. Cowok itu benar – benar tidak memiliki reaksi wajah lain yang lebih bagus untuk ditunjukkan pada orang – orang sekitarnya.
Wajahnya datar, tatapannya dingin seperti orang yang marah. Wajar saja kalau Bintang merasa sedikit terteror oleh pandangan mata itu. Dan lagi pula, yang mengesalkan adalah kenapa Zayan menjadi terlalu sering menunjukkan diri padanya.
“Cuman minta maaf. Soal itu loh yang di UKS,” jawab Bintang akhirnya.
“Oh.” Singkat, padat dan jelas Zayan kemudian pergi ke kelas mendahului Bintang yang masih terbingung – bingung dengan sikap cowok dingin itu.
_OoO_
“Bintang, wake up!” Pak Budi menggoyang – goyangkan tubuh Bintang yang tertidur selama pelajaran Bahasa Inggris.
Dinda menepuk jidatnya pelan. Kebiasaan itu sama sekali tidak hilang dari temannya itu. Padahal sudah berkali – kali Bintang mendapatkan berbagai jenis hukuman karena tertidur di kelas saat jam pelajaran berlangsung. Hanya cewek ceroboh itu yang tak pernah kapok dengan hukuman – hukuman yang diberikan oleh Pak Budi.
Pak Budi pun menggeser satu kursi duduk di samping Bintang dan kembali melanjutkan penjelasannya. Namun itu sama sekali tak berhasil membuat Bintang terbangun sama sekali. Bahkan bergerak pun tidak sampai anak – anak yang lain mulai menertawakan hal itu.
“Dia lagi latihan jadi mayat ya?” Pak Budi menggeleng – gelengkan kepalanya heran.
“Mati suri, Pak,” celutuk yang lain.
“Ya sudah. Dinda, Zayan. Buat satu kalimat idiom dalam bahasa Inggris di papan tulis!” perintah Pak Budi.
Dinda cukup terkejut karena dia sendiri tak mengerti dengan penjelasan Pak Budi. Tapi melihat Zayan sudah maju begitu saja dan mengambil spidol tanpa ragu, dia pun ikut maju. Ya, tak bisa dibandingkan dengan Zayan yang memang sudah menghabiskan waktu satu tahun di Amerika, jelas cowok itu lebih unggul dari Dinda.
Tapi setidaknya, Dinda bisa dengan percaya diri maju menunjukkan kalau dia tak hanya berani berbicara tapi juga bertindak.
“Bintang, kamu nggak naik kelas karena kamu hamil,” bisik Pak Budi tepat di telinga Bintang.
Dia langsung bangun dengan terkejut sampai bangku yang dia duduki tergeser. Kemudian menatap Pak Budi dengan pandangan keheranan mengapa gurunya itu duduk di sampingnya sambil mengangkat alisnya pada Bintang.
“Ya ampun, Pak Zayan red flag habis!” pekik Bintang tak percaya kalau gurunya itu benar - benar menakutinya dengan kalimat seperti itu.
“Sudah puas tidurnya?” Pak Budi meledek.
“Hehe... sudah, Pak.”
“Kalau begitu, coba buat satu idiom dalam bahasa Inggris di papan tulis!”
Bintang menepuk jidatnya pelan. Dia sama sekali tak menyukai pelajaran itu sama sekali. Dia bahkan tak pernah bisa menghafal kosa kata setiap kali mendapat tugas itu. Saat melihat Dinda sedang mengerjakan di papan tulis, Bintang langsung bangkit dan maju ke depan agar tidak tertinggal sendirian nantinya.
Dia menyenggol Dinda memberi kode untuk mengajarinya. Tapi Dinda hanya menggelengkan kepalanya tak tahu. Dia sendiri tidak tahu mau menulis apa. Apalagi sok sokan mengajari Bintang.
“Permisi, Ganteng. Ajarin dong,” bisik Bintang pada Zayan.
Zayan melirik sekilas, “Penjilat lo!” kilahnya.
“Lo nggak merasa ganteng?”
Zayan diam beberapa saat masih dengan menulis di papan tulis. Benar, Zayan rasa dia cukup tampan walaupun tidak terlalu populer seperti Iqbal. Tapi, sejak kapan dia berpikir hal seperti itu? Dia melirik Bintang yang tampaknya masih menunggu bantuan darinya.
“Kan, ada idiom yang di ambil dari warna - warna." Puas rasanya tak benar - benar membantu Bintang menjawab soal. Dia hanya memberi tahu saja apa yang bisa Bintang tulis.
Cowok itu menyelesaikan tulisannya dan pergi kembali duduk di bangkunya. Diikuti Dinda yang juga akhirnya menemukan satu idiom yang pernah dia baca di buku. Sementara Bintang belum menulis apa pun. Tapi dia juga terus berpikir keras mencerna ucapan Zayan itu. Mungkin memang mudah.
Dia mulai menuliskan apa yang ada di pikirannya. Tapi seketika seisi kelas tertawa membaca apa yang Bintang tuliskan.
“Kenapa kamu menulis me-ji-ku-hi-bi-ni-u, Bintang?” tanya Pak Budi.
“Kata Zayan idiom ada yang dari nama – nama warna, Pak.”
Dinda seketika kembali terbahak dibuat oleh kelakuan Bintang. Cewek ceroboh itu benar – benar tak mengerti sama sekali antara apa yang ditugaskan. Mereka sedang belajar bahasa Inggris, bukan menyebutkan nama – nama warna.
Zayan sampai menutup seluruh wajahnya di balik lekukan lengannya yang dia taruh di atas meja tak bisa menahan tawa karena itu. Bintang benar – benar konyol. Wajahnya juga sangat polos seolah memang tak mengerti apa – apa sama sekali.
“Cewek konyol,” ujarnya menahan tawa. “Tapi dia menarik,” lanjutnya menopangkan dagunya menatap cewek yang menggaruk kepalanya saat Pak Budi sedang memarahinya itu. [ ]