Langit mengingkari tanda yang ditunjukkan kemarin, sengatan panas matahari menusuk kulit yang tak terlindung pakaian. Zat sehat tak kasat mata mungkin sudah berlomba-lomba diserap oleh pori-pori, sel darah putih sibuk membersihkan kuman dan virus yang tercampur di dalamnya.
Jalan yang tak rata menghasilkan genangan air tak rata. Pengendara mobil rata-rata sopan dalam melewati kami para pejalan kaki, melambatkan kecepatan untuk tak mencipratkan lumpur, aku menebar senyum saat perlu melewati gang sempit yang pas-pasan memberi ruang bagi 2 pihak.
Ransel tas berat, masa depan kami katanya ditentukan dari seberapa banyak kosakata dan istilah yang bisa diserap dari penghabis uang dan kayu terbesar di bumi, buku pelajaran.
Rumput liar tumbuh di taman rumah kak Riselia saat otak tak dapat mencegah kaki untuk berbelok sebentar ke arah perumahan perkotaan yang lebih kumuh.
Keajaiban mungkin akan terjadi dan dia mungkin akan baik-baik saja, pikir hati.
Hati yang idealis. Otak yang realistis menceramahinya hingga terbantai, sebelum langkah kaki dijalankan lagi.
Bagaimanapun, ketakutan mengambil alih. Ketakutan akan apa yang tak nampak di dunia sana, ketakutan tentang kejadian serupa yang sangat mungkin dialami oleh siapapun yang memutuskan menapakkan kaki ke dunia itu. Lalu ketakutan akan menyeret korban lebih banyak lagi, karena Daniel dan Angel juga berniat mengikutiku.
Aku sudah komplain ke Papa tentang aturan tak masuk akal dari kepala sekolah tentang penghentian elevator di sekolah. Alasan sebenarnya tentu dikosongkan, jadi santai saja dan nikmati waktu menjelajah kita!
Bunyi pesan singkat Angel dibalas dengan emoji patung dan simbol tertawa ngiler dari Daniel. Muka jijik menghantuinya sebanyak 3 kali, dibalas oleh gebetannya.
Lalu kapan kita berangkat? Daniel kembali membalas.
Aku sendiri berakhir membaca semuanya saja, sulit untuk mengetik sambil berjalan.
Mungkin sore, atau malam. Kata Papa ada orang dari kepolisian yang mungkin akan melakukan pengecekan, jadi setelahnya maybe.
Angel mengirimkan emoji orang bingung dengan kedua tangan terbuka.
Itu pasti abangku, atau orang suruhannya. Tunggu, jadi papamu hanya berperan untuk menyuruh mereka cepat sedikit?
Oh, kalau setelah dipikir-pikir, iya juga.
Apa menurutmu Papamu tahu tentang apa yang akan kita lakukan, Angel? Aku bersinggah di sebuah pohon rindang dengan bayangan daun berbentuk kipas, memfokuskan perhatian untuk mengetik.
Mungkin tidak. Kita memang sudah terkenal telat pulang sekolah, dari guru kelas hingga kepala sekolah. Papa juga harusnya sudah tahu jika ini untuk main-main.
Nafas panas keluar dari hidung.
Apa kalian yakin akan melakukan ini?
YAKIN! Selang waktu 1 detik adalah semua yang dibutuhkan Daniel untuk membalasku.
Tentu saja, West. Kami ingin membantumu menemukan kakak perempuanmu, dan jika bisa Mamamu juga.
Angel mengirimkan emoji bersemangat.
Lalu, aku juga penasaran tentang dunia lain itu.
Ini bukan pertanda yang bagus. Terakhir kali ada orang yang penasaran tentang itu, mereka terjebak tanpa bisa kembali hingga sekarang.
Oke. Jawabanku singkat saat ponsel ditutup dan dikembalikan ke saku tas.
Ada alasan lain tentang berat dari ransel. Senter bertenaga tinggi, ransum makanan tahan lapar versi militer yang didapat dari toko online, porsinya sengaja kubanyakkan sebagai cadangan jika kak Riselia berhasil ditemukan dan membutuhkannya. Lalu kaca lipat, hingga pisau dapur, semuanya kubawa. Akan gawat jika ada razia tas, tapi taruhan tidak, apalagi dengan janji yang dibuat Papa Angel dengan kepala sekolah.
Pandangan terakhir diarahkan saat keluar dari gang tempat rumah kak Riselia terletak.
Masih tak ada bayangan adanya manusia yang tinggal di sana selama 2 hari terakhir.
Yah, kurasa akan aneh juga jika dia memang tiba-tiba kembali.
Adalah tugasku untuk mengembalikannya ke sini.
Bel sekolah telah berbunyi nyaring saat lari jarak 1 km dari jauh entah bagaimana bisa membuatku pas-pasan masuk melewati gerbang besi yang tertutup rapat oleh pak Supardi dan kepala kinclongnya. Ia menatapiku tajam layaknya kumisnya, sebelum tersenyum kecil saat aku telah berjalan pergi.
“Anak zaman sekarang memang ahli menyelinap.” Ia bergumam dalam volume kecil.
Cepat-cepat menaiki tangga menuju gedung 10 lantai yang menyakitkan, terdapat seorang anggota kepolisian dengan pakaian dinas sedang berbincang dengan kepala sekolah. Bukan abangnya Daniel, dan jika dilihat-lihat lagi, kepala sekolah juga bukan lawan bicaranya. Itu adalah orang lain dengan umur yang lebih tua dan pakaian formal perusahaan.
Mungkin papanya Angel?
Mereka menjauh saat aku berjalan mendekat, aku mengabaikannya dan melewati mereka menuju tangga. Sepatah dua patah kata terlewat di ujung daun telinga.
Seperti kata elevator, pemeriksaan darurat, hingga pembukaan akses.
Bukan urusanku, setidaknya hingga nanti sore.
Anak tangga demi anak tangga dinaiki, kaki semakin melemas akibat penumpukan asam sulfat ... bukan, yang penting semacam asam di kaki yang membuat otot menjadi lelah. Nafas terasa membakar saat terkena kulit, punggung seperti membawa batu, akhirnya sampai juga di lantai 2, tempat laboratorium berada beserta dengan eksperimen urine.
Sosok Pak Partiam telah terlihat dari jauh, langkahnya terlihat dipelankan saat menyadari aku yang berusaha mencapai laboratorium.
Kami berakhir tiba di depan pintu tertutup bersamaan. Riuh ricuh dari dalam ruangan menyebar ke luar pintu melalui ventilasi di atasnya.
“Kau hoki karena bertemu denganku, West.” Ia menengok melewati punggungku. “Kau bawa apa sampai membungkuk begini, huh?”
“Uh, keperluan sekolah hari ini.” Aku menawarkannya senyum dari gigi putihku.
“Huh, kasihan sekali anak sekolah zaman ini. Masih ingat di zamanku, buku yang diperlukan hanya 1 buku catatan dan 1 latihan.”
“Saya kadang iri dengan anda, pak.” Pak Partiam membukakanku pintu dan membiarkanku masuk duluan.
“Aku yang seharusnya iri dengan masa muda kalian, dasar.” Ia memukul tasku sebentar, tak berkomentar lebih jauh lagi.
Syukurnya ia tak mengenai bagian yang mirip seperti gagang pisau.
“Trims, pak.”
Daniel dan Angel melambai-lambai padaku untuk berkerumun di pojokan dekat satu-satunya jendela di lab. Kipas angin berada tepat di seberang kami, dihalangi Gabriel si obesitas di kelas yang masih mengipas-ngipas diri dengan kipas lipat layaknya geisha.
“Yep, kita akan mulai eksperimen seberapa sehat kalian dilihat dari kencing kalian.”
Bukannya mendiam sedikit, kericuhan kelas semakin menjadi-jadi, terutama saat botol berwarna jernih, kuning, hingga hijau mulai dikeluarkan dan diletakkan di atas meja.
Beberapa ada yang cepat-cepat menjauh dari sumbernya, dipimpin oleh geng cabe-cabean kelas dan perempuan yang sensitif. Beberapa ada yang menggunakannya untuk bermain-main dengan mereka yang kabur, dipimpin oleh ketua kelas Leo dan anak basket sekolah. Ada juga yang mencoba mendiamkan, dipimpin oleh pak Partiam. Lalu ada kami yang menatap dalam diam dan tak ingin aktif terlibat.
“KELAS! DIAM SEBENTAR DAN DENGAR PERKATAANKU!”
Nada pak Partiam yang tegas dan muka marah yang tak normal berhasil mengembalikan atmosfer kelas menjadi tenang dan terarah.
Teori ilmiah dikeluarkan, rasa jijik dan geli perlahan hilang, terutama saat masker medis dikeluarkan dan sarung tangan dikenakan. Modul dibagikan, tabel penilaian dijelaskan, kelas sehari-hari sudah dimulai.
Bau pesing dan bahan-bahan kimia tercium, goresan pen di kertas tipis hampir merobeknya. Tinta pada spidol tersikat di papan tulis putih, harum manisan pelan-pelan tercium, lalu suara bungkus plastik yang dibuka.
Seseorang dari organisasi sekolah mengetuk pintu, datang bersama beberapa teman lainnya dalam satu barisan yang menyamai komedi sirkus sambil membawa pengumuman penting. Tes keamanan telah dilakukan dan elevator telah kembali beroperasi.
Angel mengacungiku gestur oke dengan telunjuk dan jempol yang membentuk lingkaran.
Tak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan tugas pengisian partikel dan tes kesehatan yang diberikan. 180 menit jam pelajaran juga tak terasa jika kulit berada pada suhu ruangan yang secara konstan terasa panas.
Lalu pertengahan hari. Jam makan siang yang penuh dengan wangi makanan.
Hal semacam itu hanya berada di imajinasiku saat jarang-jarang mengunjungi kantin, seperti yang dilakukan sekarang saat tangan ditarik Angel dan punggung didorong Daniel.
Konter makanan dengan menu beragam dari makanan kemasan hingga yang segar dari panggangan tersedia. Mungkin terdapat total 50 meja sepanjang 5 meter yang dihuni berbagai macam adik dan kakak kelas yang menyantap makanan dalam suasana keributan total. Satu-satunya sudut area yang sepi adalah jalur menuju toilet.
Duduk di pojokan dekat lab komputer, mereka membawakanku semangkuk mie ayam lengkap dengan telur dan baksonya. Konsumsi Angel seperti biasa adalah menu elite nasi ayam 4 sehat 5 sempurna, Daniel sendiri tak seperti biasanya membawa seporsi besar nasi kucing dengan lauk daging salmon.
“Persiapan. Aku yang jadi bos, oke?” Angel mengedipkan mata kanannya sekali.
“Uh, ini tak apa?” Terakhir kali memakan barang begini adalah saat Paman dan Bibi membawaku makan ke restoran, seminggu lalu.
“Ingat, aku kaya.” Angel memasang muka sombongnya yang jarang.
“Ya, kau kaya.”
“Jadi dengarkan perkataan tuan putri ini dan makan, oke?”
“Tuan Putri hidup panjang!” Daniel bersorak-sorai dengan teriakan yang bahkan melebihi satu kantin, mendapat tatapan dari seluruh penghuninya, sebelum aku menariknya duduk.
“Trims, Angel.”
Kelas dimulai lagi, detailnya tak bisa kufokuskan perhatianku. Ingin cepat-cepat sampai ke saat itu.
Lalu sore, saat matahari baru mulai terbenam. Waktu yang ditunggu-tunggu.
Jalur semen menuju ruangan teratas telah dipoles dan pegangan tangan berupa tongkat besi aneh tersedia. Ruangan berantakan telah dirapikan, pekerja telah gulung karpet untuk tidur di markas, menunggu aksesoris pelengkap kelas dipersiapkan.
Sinar kemerah-merahan menarik bayangan kami panjang. Tembok pengaman pada atap sudah diselesaikan, bersamaan dengan itu ruangan luas yang hanya diisi bintik-bintik berkas cat yang belum kering dan kumpulan debu, lalu alat pertukangan.
Gedung pencakar langit yang terbengkalai dari jauh memberikan pelindung terhadap terang matahari yang mengusir awan, bayangan seorang wanita dengan rambut panjang melihat jauh ke sini.
Menyipitkan mata untuk mendapat visual jelas malah membuatnya hilang dari pandangan.
Daniel dan Angel sama sekali tak menyadarinya. Pihak pertama sibuk mengintip dari sudut kaca yang dipasang di pintu masuk, pihak kedua membongkar muatan dari ransel kami.
Ponsel dikeluarkan, kamera diperbesar hingga ke batas maksimalnya, membuat segala gambar yang ada menjadi buram. Sosok hantu wanita di elevator itu menatapku, matanya merah. Rambutnya tak lagi menutupi, ia mengenakan terusan putih.
Apa benar-benar dia yang menjadi penyebab kak Riselia hilang?
Dia memang seram, tapi selain dari aksinya yang terprediksi, dia tidak mengacau. Lagipula ... terdapat semacam rasa familiar saat melihatnya.
“Hei, jika kalian ingin melihat hantu elevator itu, dia ada di sana.” Aku menunjuk ke satu-satunya gedung pencakar langit di kota.
“Tolong jangan membuat kami semua takut, West. Kau seperti berniat menggagalkan niat kami pergi saja.” Angel mencubit ujung tumitku, membuatku melompat sambil menjerit.
“Yah, itu memang tujuanku sih.” Aku mengelus-ngelus bagian yang dicubitnya.
“Mana, huh?” Daniel memutar-mutar ponselnya, bahkan hingga 360 derajat. “Tak ada.”
Layar dilihat, sosoknya sudah menyatu dengan udara tipis. “Ah, dia sudah hilang.”
“Kalau begitu, kita mulai rapat strategi.”
Bahan dan alat apapun untuk bertahan hidup telah terhampar rapi dan dikategorikan.
Di depan tasku, ransum makanan militer dan air mineral untuk 3 orang selama 3 hari, pisau dapur untuk pertahanan diri, lalu kaca kosmetik dan ponsel. Di depan tas Daniel, peralatan camping lengkap dengan tenda dan pasaknya, lalu 5 buah senter dengan ukuran jumbo dan selimut? Angel sendiri membawa bantal, termos, panci, kompor portabel, pemantik, dan baterai cadangan untuk senter yang dimiliki Daniel.
Sejujurnya aku tak menyangka rencana Angel dibuat berdasarkan asumsi bahwa kami juga akan terjebak, tapi sejujurnya ini realistis.
Daniel cepat-cepat duduk di tanah, menarikku untuk berbuat demikian juga tanpa menyadari ada cat basah yang didudukinya. Peringatan sudah terlalu telat membuatnya pergi. Aku duduk agak menjauh darinya.
“Kau kenapa, West? Masih ingin menentang kami untuk ikut denganmu?”
“Tidak juga, tapi bagian pantatmu mungkin sekarang sudah berwarna hitam.”
Ia cepat-cepat berdiri, sebuah lubang hitam benar-benar ada. “Ah, sial!”
Angel dan aku langsung tertawa cengigisan.
Saat Daniel sudah menerima realitas ini dan kembali duduk, akhirnya suasana menjadi tenang. Setengah dari matahari telah dimakan oleh rotasi bumi, menyisakan sisanya yang mengintip rencana kami.
Angel memulai dengan menunjukku. “West!”
“Hm?”
“Di dunia sana itu apakah bahaya?”
Aku menatapnya. Ia menatapku, dengan pipi memerah, rasa malu pasti.
Kata-kata tak bisa keluar dari ujung mulutku. Mungkin aku kesal, mungkin aku gemas ingin mencubit pipinya, mungkin juga aku ingin tertawa.
Tanpa sadar, aku malah menolehkan fokus pandangan dari mereka.
“Yah, mungkin bahaya. Aku juga belum pernah menapakkan lebih dari satu kaki di dunia itu. Jadi, mungkin iya mungkin tidak.”
Bukannya ingin menakut-nakuti mereka.
Hmm, kalau dipikir-pikir, harusnya aku perkuat saja ketakutan mereka jika kedua orang ini masih ragu.
Daniel bersiul-siul tak jelas, kepala masih menggeleng ke sana-sini tanpa memedulikan termos yang penuh berisikan air panas. Kakinya yang hampir menyenggol membuatku cepat-cepat mengambil pergi aset berharga itu.
Dari sejak kecil, ia memang bukan penakut. Cuma Angel yang ragu, nampaknya.
“Benar juga, tak ada gunanya mencemaskan itu sekarang. Seperti ujian sekolah, kau hanya bisa menyiapkan diri sebisa mungkin, sisanya adalah jatahnya untuk berimprovisasi.” Tinju dikepalkan, rambut diikat, Angel telah kembali bersemangat sambil meletakkan sebuah kertas A2.
“Untuk apa ini?”
Coret moret pen menandakan rute kami secara kasar. “Kita akan bertindak sebagai kelompok saat masuk. Prioritas pertama adalah selalu tetap bersama dan tidak terpisah saat menyebrang.”
“Meskipun kita masuknya akan terpisah dan belum tentu akan dipertemukan di satu titik yang sama?” Celetuk Daniel yang sepele terasa begitu aneh, namun berbobot.
Kami berdua menatap Daniel dengan mulut sedikit menganga.
“Maksudku, ini mungkin, kan?”
“Yep, tentu saja mungkin.” Aku mengelus-ngelus dagu.
Pada pengalaman waktu itu, aku seharusnya keluar ke sejenis padang rumput, jika dilihat dari pantulan tanaman tumpul yang pendek dan seperti tumbang. Pantulan cahaya merah itu tak memberikan pilihan banyak untuk melihat ke sekitar.
“Waktu itu sih aku dibawa ke semacam padang rumput.”
“Padang rumput? Kau yakin? Ini bukan hanya semacam ilusi, kan?” Angel mendekat selangkah kepadaku.
Aku mengangguk. “Aku ingat ada semacam bentuk tanaman mirip rumput yang tergeletak dari sinar yang terpantul. Kondisinya layu dan warnanya agak pucat, tapi itu mungkin karena gelap saja, sih.”
Angel yang tampak memperhatikan serius sangat berbanding terbalik dengan Daniel yang terlalu bersantai, bahkan hingga makan makaroni goreng, melempar bungkus plastiknya ke bawah, bahkan sampai mengenai pak Supardi lagi.
Daniel cepat-cepat bersembunyi.
Angel menghiraukannya. “West, coba deskripsikan maksud dari sinar merah itu.”
“Hmm, mungkin seperti laser yang biasa ada pada film sains fiksi di bioskop.”
“Lalu, apa itu membahayakan tubuhmu? Atau apa ada perasaan aneh lainnya?”
Aku menggeleng. “Aku bahkan tak melihat sumber dari cahaya ini. Mereka hanya terpantul dari kaca atau layar ponsel seingatku.”
“Oh, begitu.” Angel mengetuk-ngetuk bagian tengkorak kepalanya dengan pelan, tangannya diulurkan ke dalam saku dan membuka ponselnya. “Lalu tentang gangguan komunikasi dan sinyal yang dikatakan di website yang kau kirim, seberapa parah efeknya?”
“Sinyal seluler hilang, sisanya seperti bluetooth tak sempat kucoba, sih. Waktu itu aku masih terlalu takut untuk bereksperimen. Baterai juga habis lebih cepat dari biasanya.”
“Apa terdapat keanehan di elevator saat sudah sampai di dunia itu?”
“Semacam gempa aneh yang bervariasi dari hentakannya. Lalu, hantu penunggu elevator itu terlihat bimbang dan kebingungan saat elevator telah sampai ke dunia itu.”
“Kalau begitu, strategi kita akan tetap sama. Pertahankan formasi kelompok dan pergi ke mana-mana bersama. Jika kita berakhir di tempat berbeda, maka prioritaskan untuk menemukan satu sama lain.”
“Oke.”
“Hei, papamu akhirnya pergi juga dengan si polisi, Angel.” Daniel menyahut, memberanikan diri untuk mengintip ke bawah.
“Sesuai dengan waktu kepergian kita, ya.” Ponsel menunjukkan pukul 16:55.
“Karena elevator tak akan bisa membawa kita ke sana jika ramai, kalian ingat pesan paling penting dari website itu kan, Daniel, Angel?” Aku menatap mereka berdua bersamaan.
“Jangan lupa dengan keberadaan elevator kita.”
Mereka mengangguk, langkah turun diambil.
“Hei, seseorang bantu kemaskan barang bawaan kita, dong.”
“Itu sudah tugasmu karena tak mendengarkan rapat strategi kita. Jadi tukang pikul tim.”
“Woiii.” Daniel mengeraskan volumenya, langsung mendapat jawaban bantingan pintu dari Angel.
“Biarkan dia. Dia kuat untuk membawa 3 tas itu.”
“Kalau itu, aku juga yakin.”
Langkah ke bawah cepat dan tak banyak disertai omongan. Papa Angel akan pergi ke luar kota malam ini, lalu abang Daniel akan dikatakannya akan sibuk dengan urusan kemungkinan pembukaan kembali tambang perak di luar kota itu. Paman dan bibi mungkin akan kepikiran mencariku, tapi kemungkinannya rendah.
Elevator yang telah berjalan itu menatap kami dengan aura tertentu yang menyeramkan.
Dari panel penanda lantai ke pintu gesernya, dari tingginya hingga ke bunyi bel ting tong yang nyaring diumumkan saat lampu neon bernuansa putih kekuningan muncul. Semuanya terasa normal sekaligus mencekam, seperti ada sesuatu yang aneh namun tak bisa dideskripsikan dengan penggunaan kamus.
“Siapa yang akan masuk duluan?” Angel bertanya.
“Kita tentukan dengan batu gunting kertas, dong.”
“Kalian ...” Mereka teman yang bisa diharapkan. Kepada siapapun pemilik langit dan bumi ini, semoga mereka tak menjadi korban selanjutnya dari elevator sialan ini. “Kelihatannya sudah yakin, ya.”
“Tentu.”
“Tentu saja.”
Mereka berdua sama-sama mendeklarasikan dengan nyaring.
“Tapi yang akan masuk duluan adalah aku, karena aku lebih familiar dengan apa yang ada di seberang sana, oke?”
“Batu gunting kertas!”
Gestur jari tangan Angel membentuk lambang gunting, kalah melawan tinju terkepal dari Daniel.
“Yosh! Aku menang!”
“Sial, kau curang sedetik dalam mengeluarkan kartumu, Daniel!”
“Itu dinamakan taktik perang, oke? Dan kita sekarang sedang berperang.” Daniel menekankan intonasinya di kata terakhirnya. “Jadi aku duluan yang pergi, oke?”
Ia sudah menapakkan satu kaki di elevatornya saat aku memaksa menariknya kembali.
“Kalian dengar apa yang kubilang?” Sial, beratnya seperti bertambah beberapa kilo meski baru ketemu kemarin. “Aku yang pergi duluan karena aku lebih berpengalaman dari kalian!”
“Tch, aku ingin merasakan sensasi di dunia itu dulu daripada kau, West.” Daniel menyingkir dan mendorongku masuk dengan halus.
“Kalau begitu, aku ikuti maumu.”
Angel menarik tasku dan meletakkannya di sampingku. “Hati-hati, oke? Tunggu kami.”
Aku mengangguk. “Cukup ikuti instruksi di website itu dan jangan pernah melenceng dari sana, oke?”
“Oke.” Mereka menjawab secara bersamaan.
Tombol menutup pintu dikeluarkan, aku mengeluarkan ponsel sambil menarik nafas dalam.
Aku siap. Aku tak merasa takut. Aku ingin mencapai akhir dari cerita busuk ini, dengan kak Riselia yang berhasil kembali dan misteri di dunia sana yang terpecahkan.
Detak jantung perlahan mendekat, seluruh saraf yang tertempel di otot dapat kurasakan dengan sensasi maksimal, menandakan kesiapan.
Aku menekan tombol menuju lantai 4.
TING TONG.
Tak perlu lihat apa yang ada di lantai 4, itu bukan fokusku. Lagipula terakhir kali aku melakukannya, ada sesuatu yang menciutkan nyali dan memadamkan keberanian, jadi akan lebih baik jika aku yang sekarang tak merasakannya lagi.
Sebelum pintunya membuka, aku cepat-cepat mengarahkannya menuju lantai 2.
TING TONG.
Lalu lantai 6.
TING TONG.
Lalu lantai 2. Guncangannya lebih keras dari biasanya, tapi bukan sesuatu aneh.
TING TONG.
Lalu lantai 10.
Latar merah menyelimuti tombol tertinggi dari antara teman-temannya, tapi tak terasa guncangan lemah yang biasa dirasakan saat elevator mulai bergerak. Yang seharusnya tak mungkin terjadi, mengingat ini adalah barang tua dengan umur lebih dari seabad. Suara gemericit halus layaknya kereta api yang menggesek rel saat direm menggema.
Aku balik mengecek ponsel di tangan, tak ada petunjuk lebih lanjut tentang ini. Seperti biasa, yang seharusnya terjadi di fase ini adalah bisik-bisikan tak jelas dari makhluk orang tak orang yang mengintai.
Saat ini juga aku menyadari baterai ponselku telah menyentuh angka 75%.
Lagi-lagi, hal yang tak mungkin. Sebelum sampai ke atap, kami sudah memanfaatkan stop kontak di berbagai sudut kelas untuk mengecas penuh ponsel.
BRAKK. CRASH!
Guncangan super dahsyat menimpa dari atas, memaksaku untuk berbaring di lantai dingin elevator, anggota tubuh tak bisa digerakkan, lima indra mengalami kekacauan sensorik.
Mata memberanikan diri dibuka, sesosok ... sesuatu dengan terusan putih panjang melangkahkan kaki.
Apa-apaan? Hantu penunggu elevator ini?
Tapi dia tak seharusnya muncul sekarang. Ah, sial, telingaku serasa mau meledak dengan turbulensi maksimal, kulit serasa ingin terpisah dari tulang, nafas ditahan hingga oksigen tak dapat mengalir ke otak.
Si wanita mengangkatku tinggi sambil menghancurkan tenggorokanku, kukunya yang panjang mencakarku, jantungku diambilnya.
Tak dapat berteriak, aku mati sia-sia.
TOLONG, WEST!
Mengedipkan mata, aku berdiri tegak di lantai 2.
Tubuh sehat, tak mengalami luka apapun.
Kaki sontak lemas kehilangan tenaga, tangan cepat-cepat memegang dada dan leher.
Masih hidup, masih hidup. Orang bernama West Edgeward masih hidup, masih ada di dunia ini.
Aku mencubit pipiku sekeras mungkin, rasa sakitnya mengingatkanku bahwa semua ini bukan mimpi. Lalu kalau bukan itu, apa?
Layar ponsel dengan warna putihnya tergeletak di lantai, website yang dikirimkan Daniel masih terbuka, tak menawarkanku solusi apapun terhadap kejadian tadi.
Sebuah peringatan?
Apa yang kau lakukan, nak?
Suara yang familiar. Suara yang tak boleh dijawab.
Apa kau membuat penunggu di sini marah?
Penunggu? Maksudnya si hantu rambut panjang yang tadi mencekikku?
Hei, aku tahu kau dapat mendengarku. Tolong jawablah.
Hati nurani dan kebaikan hati manusia hampir membuatku menceploskan jawaban, sebelum logika menarik kembali kesadaran diri ke realitas.
Hei, jawablah.
Apapun itu, tak ada cara lain selain maju jika sudah sejauh ini. Semoga Daniel dan Angel tak mengalami hal semacam ini.
Tombol lantai 10 ditekan.
TING TONG.
Pintu yang terbuka lebih cepat dari ekspektasi membuatku telat menekan tombol tutup.
Lantai yang beberapa menit lalu baru kami tinggali, lantai sebelum atap.
Interior yang acak-acakan, debu dan pasir yang berserakan, peralatan yang belum dibereskan, dinding yang belum berbentuk komplit dan putih seperti pada kenyataan.
Kali ini ilusi? Aku berhalusinasi?
Atau ini memang yang sebenarnya terjadi?
Apa aku sudah memasuki dunia itu tanpa sadar? Tapi di dunia itu seharusnya tak memiliki cahaya kuning kemerah-merahan dari matahari, hanya cahaya dingin dari pantulan laser merah saja.
Atau ... ini adalah dunia tipuan yang sangat mirip dengan dunia nyata, seperti yang terjadi saat pengalaman pertamaku melihat monster mirip pak Supardi?
Urutan kemunculannya salah total. Sebenarnya apa yang terjadi?
Apa perlu kuhentikan dulu dan mendiskusikannya dengan Angel dan Daniel?
Tidak, aku perlu terus maju. Kak Riselia masih menunggu dari sisi dunia sana.
Tombol menuju lantai 5 ditekan.
Tak ada respon. Guncangan tak terasa, lampu latar belakang tombol diam tak merespon.
Aku menekannya sekali lagi.
Masih tak ada reaksi apapun.
Aku menekannya lagi. Lagi dan lagi, banyak kali.
Hingga tombol itu menyala merah dan guncangan ringan yang normal dirasakan saat elevator berjalan membawaku turun.
TING TONG.
Pintu elevator terbuka, tombol menutup pintu lagi-lagi mengalami malfungsi. Meskipun sebenarnya itu merupakan hal wajar, karena hantu wanita yang menampakkan dirinya di gedung pencakar langit kota yang terbengkalai telah muncul di depanku.
Ia mengenakan pakaian kantor, masih dengan rambut panjang yang menutupi mukanya, kuku tangan sepanjang sosok pahlawan serigala di film fiksi sains.
Kakinya ... mengenakan sepatu hak tinggi.
Sebenarnya bukan hal aneh, mengingat ini merupakan seragam formal kantoran. Yang menjadi masalah, ini mengingatkanku pada seseorang yang dulunya juga sering memakai baju semacam ini.
Mama.
Seperti biasa, ia berdiri di sampingku dan menatap dalam diam. Pintu elevator tertutup, elevator kuarahkan ke lantai 1 seperti petunjuk ponsel di tangan.
Baterainya telah kritis, mencapai 20% hanya dalam beberapa menit.
Ini mungkin termasuk sejenis abnormalitas di dunia sana yang menyangkut alat elektronik yang tak dapat digunakan.
“KAU.”
Tangannya memegang bahuku, aku pura-pura tak menyadari, pandangan berfokus pada panel angka yang semakin lama mengarah ke atas.
“HEI.” Ia menarik dan mendorongku.
“KAU DAPAT MELIHATKU, KAN? KAU HANYA MENGABAIKANKU.”
Isi perutku seperti dikocok-kocok.
Entah apa yang perlu kujawab, atau tak boleh kujawab sama sekali.
Pertanyaan pancingan? Trik dari penghuni dunia lain yang tak pernah melihat terangnya matahari?
Apa perlu untuk mencoba berkomunikasi dengannya? Mungkin ia bisa tahu tentang keberadaan kak Riselia?
Lagipula, apa resikonya? Ia akan menarikku ke dunia bawah dan aku tak akan bisa kembali lagi ke dunia atas? Dia bisa melakukannya kapan saja jika ia mau.
Atau mungkin itu adalah mekanisme untuk dunia bawah?
Eh, bodoh amat. Resiko harus diambil untuk berhasil.
“Jadi?” Satu tangan di ransel, ujung gagang pisau kugenggam erat. Mungkin tak akan mempan untuk makhluk halus semacam ini. Ini mungkin hanya berfungsi sebagai penguat mental saja.
“Aku harus memanggilmu dengan sebutan apa?”
Mata hantu gentayangan itu memerah, ukuran pupilnya berubah menjadi sebesar bola ping pong. Tangan mencengkeram bahuku, cakar dibenamkan dan air liur mulai mengalir dari ujung bibirnya. “KAU. KAU BENARAN BISA MELIHATKU?”
“Kurasa semua orang yang pernah masuk ke dunia bawah pasti akan pernah melihatmu. Paling tidak sekali.” Aku mencoba menawarkannya senyum termanisku.
“LALU? LALU?!” Goncangannya yang keras membuat isi ranselku satu per satu terjatuh.
“KENAPA TAK ADA YANG MENJAWABKU? KENAPA TAK ADA SEORANGPUN?!”
Apa boleh memberitahunya aturan di website itu? Mungkin tidak.
“Mungkin karena kau kelihatan seram. Lalu mungkin karena apa yang akan terjadi juga.”
“APA YANG AKAN TERJADI?”
Guncangan dahsyat mendorongku jatuh ke tanah, panel lampu elevator menandakan lantai 10 telah dicapai.
Hantu itu tak mendapat efeknya, cengkeramannya lepas dariku. Tangannya malah diulurkan kepadaku, seperti ingin membantuku bangkit.
Setelah ragu selama 3 detik, aku akhirnya menerimanya.
Ia benar-benar menarikku berdiri.
Pintu terbuka, kegelapan yang mencekam dan familiar menjemputku. Layar ponsel dimatikan, pantulan sinar merah mirip laser langsung terpancar, kotak elektronik yang kupegang kuarahkan ke tanah sekitar.
Benar-benar padang rumput seperti waktu itu, meski tak ada cara untuk membuktikan bahwa ini lokasi yang sama seperti saat pertama kali datang ke sini.
Tunggu. Hantu ini tidak menyeretku pergi, tapi semua ini akan aktif jika aku menjawab sahutannya?
Yang berarti, hantu ini tak jahat?
“Yah, jika sudah bertekad untuk turun ke dunia bawah itu, maka lebih baik aku turun dengan roket daripada dengan elevator.”
Setapak kaki melangkah ke luar, tanganku yang masih dipegang tiba-tiba ditarik kuat, membuatku perlu memfokuskan segalanya untuk tak jatuh.
“Apa-apaan?”
“JANGAN KELUAR DULU. ADA PERINGATAN.” Liur berhenti, matanya telah kembali ke ukuran yang seharusnya dimiliki manusia.
Rambut tak lagi menyelimuti matanya.
“Peringatan?”
“JIKA KAU KELUAR DARI SINI SEKARANG, ELEVATOR INI AKAN MENGHILANG.”
“Benaran?”
“TERGANTUNG KAU MAU PERCAYA ATAU TIDAK.”
Saling bertatapan, aku menyadari ia tak menyimpan emosi negatif apapun. Setidaknya, dari apa yang ia katakan tadi, ia tak kelihatan berbohong.
“Kau ... sebenarnya itu apa?” Botol air dan ransum ala militer kumasukkan kembali ke dalam ransel, pisau diselipkan ke dalam kocek.
“APA?” Bahunya diturunkan, ia mendekatiku.
Aksinya membuatku mundur selangkah, ia tak memedulikannya dan terus maju. Ia berakhir menyudutkanku di dinding elevator.
Ia menghindari memegangku, mata memerah berubah menjadi hitam putih.
“APA KITA PERNAH ... bertemu?” Suaranya memelan, nadanya berubah menjadi seperti kucing kecil yang dipelihara di rumah.
“Kalau di sini, kita sudah pernah sekali. Aku tak menjawabmu waktu itu karena ketakutan.”
“OH.”
“Terima kasih atas peringatannya. Jadi, yang perlu kulakukan adalah hanya tidak turun dan mengulangi semua ini sekali lagi, kan?” Tangan sudah memencet tombol menutup pintu elevator, ia menggeleng cepat layaknya orang gila.
“Eh?”
“SIAPAPUN YANG TELAH BERINTERAKSI DENGANKU TAK AKAN BISA KEMBALI.”
Ah, sial. Ini lebih busuk dari yang kuperkirakan. Baterai ponselku telah sepenuhnya habis.
“Jadi, aku benar-benar terjebak di sini?”
“AKU TIDAK TAHU. MUNGKIN ADA JALAN KELUAR LAIN.”
“Kau tak pernah melangkah ke luar?”
Ia kembali menggeleng kepala layaknya orang gila, rambutnya yang beterbangan menyebarkan semacam semerbak bau harum saat ujungnya menggesek hidungku.
“Kukira kau pernah ke luar. Itu bukan alammu?”
“AKU TAK BISA MELANGKAH KE LUAR. AKU TERJEBAK DI SINI.”
Apa dia salah satu dari orang hilang yang ditunjukkan kak Riselia waktu itu? “Apa kau ...”
Juga manusia? Kata-kata itu tak berani kukeluarkan dari ujung bibir.
“APA?”
“Apa yang perlu kulakukan sekarang?”
Hantu ini menunjuk ke suatu arah di kegelapan.
Pantulan sinar merah laser coba diarahkan ke arah tunjukkannya, intensitas cahaya yang kurang hanya menunjukkan pemandangan semacam kota.
“AKU MELIHAT ORANG DI SANA.”
“Orang?” Benaran, atau hanya merupakan jadi-jadian saja?
Seperti suara-suara lemah di elevator. Apa mereka lain kali juga kuajak berbicara saja?
“TANYAKAN DENGAN MEREKA ARAHNYA. SIAPA TAHU MEREKA TAHU.”
Aku mengangguk, kemudian menundukkan kepalaku untuk memberinya hormat.
Saat berdiri, aku menyadarinya menatapiku dengan kosong.
“Uhm, aku harus memanggilmu dengan sebutan apa?”
“Se.”
“Huh?”
Hantu itu bergumam tanpa suara, bibirnya yang putih pecah-pecah berkomat-kamit dengan sudut tak normal yang seharusnya akan merusak struktur mulut manusia biasa.
“Uh ...”
“AKU TAK INGAT. AKU TAK INGAT!” Teriakannya kencang, angin kencang mendorong hampir seluruh sisa tubuhku ke luar.
“T-tunggu, tolong tenangkan diri anda dulu.”
Ia kembali mencengkeramku, namun cepat melepaskannya sebelum kesakitan dan bintik darah keluar dari kulit.
“Tak apa jika anda tak ingat dengan nama anda. Akan kupanggil Ibu saja.”
“Se.”
Lagi-lagi dengan gumaman ini. “Apa itu salah satu suku kata dari nama anda?”
“YA. MUNGKIN. AKU HANYA BISA MENGINGAT ITU.”
“Kalau begitu, terima kasih atas bimbingannya, ibu Se. Kuharap kita bisa bertemu lagi.” Itu yang jujur kurasakan, meski ujung tangan sudah merinding dan kantung kemih mengirimi otak sinyal untuk mengeluarkan kencing di tubuh.
Ujung sepatu sepenuhnya keluar dari elevator, pintunya menutup pelan, hantu wanita itu telah memakai terusan putih, tatapan matanya tak lagi kosong.
“INGAT. CARI ORANG YANG ADA DI SANA.”
“Siap.”
“INGAT. HANYA ORANG YANG BENAR-BENAR HIDUP SAJA. SISANYA AKAN MENIPUMU UNTUK MEMERCAYAI MEREKA PERNAH HIDUP.”
“Lalu, anda?”
“AKU PERNAH HIDUP.”
Lampu kuning yang lebih menenangkan dari elevator telah digantikan oleh pantulan sinar merah laser yang membuat gelisah. Pintu telah tertutup, misteri identitas hantu wanita itu perlu menunggu waktu selanjutnya untuk terungkap.
Jika aku dapat kembali. Jika aku tak berakhir seperti kak Riselia.
Elevator itu telah menghilang, tak memiliki wujud fisik sama sekali.
Penanda berupa kaca kosmetik yang juga memantulkan cahaya merah di dunia ini kuletakkan di tempat terakhir alat transportasiku.
Apapun itu, prioritasnya tetap sama.
Tanda sudah dibuat, saatnya beraksi. Langkah perlu mulai diambil, ke depan.
Layar ponsel diarahkan ke tanah, rumput layu yang berwarna hitam keunguan berada di manapun kaki menapak. Mereka mati, atau diracuni oleh semacam senyawa.
Sejauh mata memandang, tak terlihat ada semacam lubang atau perangkap apapun.
Lalu di depan, sebuah kota.
Mendekati puing mirip reruntuhan pada beberapa baris awal, pembatas pada awal monumen batu memberi kesan kota kuno. Kemudian bangunan terbengkalai mengikuti, ada yang hanya beberapa tingkat, ada yang menjulang tinggi menyerupai gedung pencakar langit di kota, ada yang luas seperti stadion sepak bola. Mobil terbengkalai memenuhi tepian jalan, tanda-tanda kehidupan ada pada bayangan hitam yang melesat ke sana sini, ban terbakar, isian mobil tak karuan, sunyi dalam senyap mencekam.
Kicauan burung ada di udara, volume suaranya nyaring di telinga, tapi tak nampak wujud dari binatang. Bisik-bisikan yang berada pada batas ada dan tak ada seperti mengundangku masuk, mungkin berniat memangsaku.
Cahaya lemah memaksaku harus mendekat untuk mengecek satu-satu detail yang mungkin terlewatkan. Cat terkelupas, beton retak, dari kejauhan sebuah menara pencakar langit yang mirip seperti di kota tempatku tinggal.
Niat untuk berjalan lebih jauh lagi kuurungkan. Masih ada janji dengan Daniel dan Angel untuk bekerja sebagai kelompok.
Apa mereka akan datang pada titik yang sama? Dengan elevator sama, meskipun barang itu kemungkinan tak akan kembali lagi padaku?
“INGAT. CARI ORANG YANG ADA DI SANA.”
Yang dimaksud dengan hantu itu, apakah bayangan hitam yang bergerak-gerak?
Meski dengan cahaya yang redup sekalipun, aku masih dapat melihat pergerakan mereka dari ujung mata.
Jika dilihat dengan jelas dan seksama, mereka menghilang. Malu? Atau ingin menunggu kesempatan untuk muncul dengan seram dan kejutan?
Kuputuskan kembali menunggu, ke tempat awal.
Cermin kosmetik yang kuletakkan membimbing jalanku kembali, tempat awal elevator itu tiba ke sini. Tak ada tikar yang dibawa Angel, aku terpaksa duduk di rerumputannya sambil mengoyak segel kemasan air mineral, kemudian meneguknya kencang.
Rasanya panas di sekitar sini, atau aku hanya cemas saja.
Menunggu, sambil tak berbuat apa-apa.
Menunggu, sambil mewaspadai apa yang kelihatan, bayangan hitam di dalam kota yang seakan memancingku untuk mengeksplorasi lebih jauh.
Menunggu, mewaspadai apa yang tak kelihatan, pisau dapur di ransel siap dikeluarkan.
Menunggu, tanpa penunjuk waktu yang menemani.
Entah seberapa lama aku telah duduk di sini, hingga memutuskan untuk berbaring saja.
Satu jam, mungkin? Atau mungkin hanya lewat 15 menit? Berlalu 1 hari?
Tak ada yang tahu, baterai ponsel tak bisa diharap.
Tak ada binatang kecil atau semacamnya, aura kehidupan serasa luntur di sini. Benar-benar dunia orang mati.
Hingga cahaya putih terang kembali muncul, lengkap dengan guncangan unik dari elevator.
Angel telah tiba.
Mukanya putih pucat, keringat membasahi kulit, suara ludahnya yang ditelan nyaring, hantu penunggu elevator berdiri di sampingnya dengan wujud biasanya.
“Angel!” Aku bergegas berlari ke arahnya, menarik setengah badannya keluar dari elevator, sebelum berhenti dan berpikir dengan lebih logis.
“West!” Pelukannya erat dan hampir menyesakkan, air mata menunggu di tepian mata.
“Apa yang terjadi? Kau kelihatan pucat sekali, kau tahu?”
“A-aku ...”
Jari tangannya yang bergetar menerima air kemasan yang kusodorkan kepadanya dengan tegang. Bahunya perlu kupegang erat agar ia dapat minum dengan lebih santai.
“Kurasa ini pengalaman pertamaku berhadapan langsung dengan hantu.”
“Oh.” Aku melihat ke arah hantu wanita itu.
Ia menatapku balik, matanya telah kembali ke wujud semulanya saat berhadapan denganku. Rambut tak menutupi, terusan putihnya berhenti mengeluarkan sesuatu yang secara insting membuat ketakutan.
“KAWANMU? KAU MEMBAWA TEMAN?”
“Yah, mereka bersikeras ingin ikut denganku.”
“KAU PUNYA TEMAN. BAGUS. BAGUS, WEST.”
Namaku? Aku tak ingat pernah memberitahunya ...? Atau aku pernah? Uh, tak ingat juga.
Angel menatapku dengan terbelalak, melihatku dalam shock dan hormat, lalu takut. Bajuku ditariknya lebih kuat.
“B-bukannya website b-bilang tak boleh berkomunikasi dengannya?”
“Yup. Tapi tampaknya ia tak berniat mencelakai kita. Malahan, aku mendapat info bagus darinya.” Senyum tipis kuarahkan ke ibu Se.
Ia menatapku dengan kosong, tak mengapresiasi atau memusuhi pernyataanku.
“T-tarik aku keluar dulu, tolong. Aku tak punya tenaga.”
“KAU JUGA TAK AKAN BISA MENGGUNAKAN ELEVATOR INI LAGI.”
“E-eh?!”
Mata si hantu penunggu elevator itu kembali membesar, tangannya menunjuk ke lantai elevator, yang jika dilihat lebih seksama, mengandung semacam bercak merah.
Pertama transparan, perlahan-lahan terdapat semacam benda dalam bungkus putih yang diletakkan di tanah.
Rambut hitam, bekas badan seseorang. Bercak darah berubah menjadi cat mengering, seperti seretan air pel. Tak salah lagi, sebuah tubuh mati. Sebuah mayat.
“Ini?”
“DIA TELAH MELIHAT KENYATAAN DARI ELEVATOR INI. DIA JUGA TAK AKAN BISA MEMAKAI ELEVATOR INI LAGI.”
“Apa maksudmu dengan kenyataan dari elevator ini?”
“Banyak yang mati di elevator ini. Mereka mengaktifkan mekanisme yang terpasang di tempat terkutuk ini.” Terusan putih berubah menjadi pakaian kantor mewah, sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Suaranya memelan, penampakannya berubah menjadi seorang wanita normal yang bisa ditemukan di mana-mana.
“Angel, kau dapat melihatnya?”
Gebetan Daniel mengangguk pelan, pupil mata tak lagi membuka besar dalam takut, meskipun tangan masih menggandengku.
“Uhm, ibu Se?”
Tangan si hantu, sekarang lebih jelas dan berisi, masih menunjuk mayat perempuan itu.
Angel, sekarang telah tenang, telinga membisikkan sesuatu. “Kupikir dia ingin kau melihat mayat itu dari dekat. Tadi mereka tiba-tiba terjatuh tepat di sebelahku dari langit-langit.”
“Benaran?”
“Benaran.”
Aku menelan ludah, melangkah masuk ke dalam elevator lagi. Tombolnya coba kutekan, sama sekali tak mengembalikan reaksi apapun.
Akhirnya mendekati si mayat. Badan dibalikkan, ekspektasi tulang belulang sirna secepat kilat saat wajah yang lebih mirip tertidur menyapaku. Seseorang yang kukenal dari arsip kak Riselia, Lisa Hartmann, wanita yang hilang di tahun 2005.
Jadi, orang yang masuk ke elevator ini pasti akan mati? Kak Riselia juga, lalu kami.
Tidak, masih belum tentu.
“Jadi, apa maksudnya, ibu Se?”
“Mereka adalah manusia yang menemui ajal mereka di elevator ini.”
“Apa mereka ...?”
“Asmanya kambuh saat berada di sini.”
“Oh. Tapi itu kematian dengan sebab natural, kan? Lalu apa hubungannya ...”
Si penunggu berbalik badan dengan tatapan kosong, tangannya memegang pipiku. Aku reflek mengambil langkah mundur, tangan Angel menarikku dari luar pada waktu yang bersamaan.
Dengan tatapan iba, si penunggu menarik tangannya kembali.
“Ah, bukan itu maksudku.”
Cakarnya yang tajam menggaruk-garuk dinding.
4 mayat lainnya jatuh menimpa tubuh Lisa Hartmann.
“WHOA!” Teriakan Angel nyaring namun singkat, jarinya cepat mengarahkan perhatianku yang menoleh ke tempat lain untuk kembali.
“Tubuh lainnya.” Angel bergumam.
Aku mengangguk.
“Asma, serangan jantung, bunuh diri hingga kelelahan bekerja. Mungkin juga karena kejadian aneh dari para nyawa nakal yang pendendam. Kematian di tempat ini akan menyebabkan nyawa mereka melayang-layang di dunia bawah. Nyawa para manusia perlu dibawa pergi agar insiden elevator ini tak kembali berlanjut.”
“Hmm, tunggu. Jadi selama ini anda ...”
Tatapannya yang kosong membawakan semacam kesan dingin, lebih ke kebaikan yang sejuk.
Kepalanya dipukul sekali, setitik sinar kembali ke mata gelapnya, seperti seseorang pikun yang baru teringat sesuatu penting.
“Memoriku kabur, tapi aku ingat ... aku terus berjaga dengan wujud monster agar dapat mengusir siapapun yang masuk ke sini.”
Sebentar, itu maksudnya orang semacam kami? “Oh.”
“Kalian para pemberani telah gagal pergi. Jadi tanggung jawab kalian ada untuk membawa para nyawa itu pergi. ENTAH BAGAIMANA CARANYA.”
“Owh.”
“Owh.”
Angel menatapku, aku menatapnya balik.
“Jadi, kenyataan dari dunia ini adalah begitu?”
Aku berbisik ke telinga Angel. “Jika hanya mendengarnya secara sepihak, ya. Tapi terakhir kali kita memercayai website Daniel dengan sehati, kita dibuat ketakutan setengah mati dengan keberadaan si penunggu ini.”
“Maksudmu, dia berbohong?” Angel balas berbisik.
Hantu penunggu itu hanya memelototi kami dalam diam. Lampu elevator berkedip, guncangan dahsyat kembali terjadi, pintu geser menutup cepat, kemudian kembali terbuka.
Mayat di dalamnya telah hilang.
Yang ada hanya semacam halusinasi masa lalu, si hantu penunggu entah sejak kapan berdiri di samping kami.
Memori dahulu, Lisa Hartmann yang sesak nafas karena asma, lalu tersungkur jatuh.
Setelah itu, pintu elevator itu kembali tertutup, lalu membuka layaknya teater pada zaman layar hitam putih.
Seorang pria paruh baya, Sepp Hauptmann dengan postur membungkuk menggorok lehernya sendiri bermodalkan pisau di tangan, teriakannya yang kencang membuatku menutup mata sejenak.
Pintu elevator itu kembali menutup, lalu terbuka.
Seorang pria kekar, Michael Rossfield yang memegang dadanya sambil mengerang-ngerang, lalu tersungkur.
“Terakhir. Yang ini karena kelelahan bekerja.”
Rose Edgeward, wanita berkacamata bulat yang berkeringat kencang, cemas melihat ke sana sini layaknya orang yang dihantui makhluk halus, lalu mendadak menjongkok, terbaring dengan mata terbelalak, air liur mengalir.
Mama!
Wajahnya kemudian berubah menjadi tenang tak bernyawa, pipi dan kening yang keriput, beberapa helai rambut di lantai berwarna sama dengan yang dimilikinya.
“Kalau dilihat, aku mengambil wujudnya.” Si penunggu menunggu pintu elevator itu terbuka, hingga semua gambar bergerak hilang, pakaian kantor kembali melekat ke tubuh.
Nama yang dilupakannya sebenarnya adalah Rose, nama Mamaku.
“Kenapa?”
Kedua tangannya kosong terbuka, melihatku tanpa rasa kebohongan.
“Atau lebih tepatnya, kau ini apa?”
“Aku ... tak tahu jawabannya.” Si penunggu mengalihkan pandangannya dariku. “Ingatanku tentang hal yang kukatakan padamu baru kembali.”
Ia tak terlihat berbohong.
“Wanita ini adalah korban pertama. Mungkin dia yang memanggilku ke sini.”
Mama ...
Andaikan ia dapat bangun dan menatapku sejenak ...
Sudah terlalu lambat untuk menyapanya. Untuk mengucapkan selamat tinggal dan mengantarkannya.
Air mata secara tak sadar jatuh, diseka dengan pelan oleh Angel.
Tenggorokan sesak, hidung mampet saat merasakan belaian halus dari teman masa kecilku. Sensasinya bagai ibuku masih hidup.
“Kau menangis.” Si penunggu menyatakan fakta itu dengan tanpa perasaan.
Wajar saja, dia memang makhluk begitu. “Hubungan darah melekat erat di antara kami. Ia ibuku.”
“Begitu.”
Ia tak merespon banyak, hanya menawarkanku sebuah jabatan tangan yang tentu tak kuterima.
“Lalu, yang ini.”
Tak seperti pemandangan lainnya yang diterangi oleh lampu elevator, visual yang ditunjukkan dari tangannya yang diulurkan kali ini berada di luar elevator, dengan cahaya merah redup yang sampai sekarang pun masih dapat kulihat jika menatap ke luar.
Orang yang ada di sana adalah kak Riselia, sekarang dalam kondisi tertidur, mungkin pingsan di tengah jalan dengan aspal rusak dan mobil yang terbakar.
“APA YANG TERJADI DENGAN KAK RISELIA?!” Teriakanku kencang tak tertahan.
Si penunggu tak bergeming, masih dengan nada datar tanpa emosi menjawabku. “Sama sepertimu, ia masih berkelana di dunia bawah ini. Tapi waktunya telah hampir habis. Cahaya merahnya telah habis, masa hidupnya sebentar lagi akan layu.”
“APA-APAAN?! BERITAHU AKU LOKASINYA SEKARANG!”
Terjangan dalam amarahku dihentikan dengan sekuat tenaga oleh Angel.
Akhirnya kuhentikan.
“Yang pasti, dia ada di suatu tempat. Mungkin di dalam kota. Aku tak tahu.”
“Kau bohong!”
“Carilah tubuh yang mirip seperti yang digunakanku sekarang.”
“Hah?”
Pintu geser elevator semakin menutup, wajah familiar Mama perlahan menghilang dari pandangan, membaur dalam sinar merah dari pantulan sinar dari ujung layar ponselku.
“INGAT WAKTUMU. JIKA KAU TAK DAPAT MELIHAT CAHAYA MERAH LAGI, MAKA CEPAT HILANGKAN PARA JIWA YANG TAK SEHARUSNYA ADA DI SINI.”
Lalu dia menghilang, bersama dengan elevator kami.
Tersisa kami sendirian.
Cahaya merah masih bersinar lumayan terang, waktuku seharusnya masih panjang.
“Angel, bagaimana dengan sinar merah yang bisa kau lihat?”
“Masih terang sekali, kurasa.” Ia berkeringat deras.
“Angel?”
“Lalu bagaimana dengan Daniel?” Angel menghidupkan senter daruratnya, mensurvei tanah sekitar.
“Daniel?” Akan gawat jika yang dikatakan si penunggu itu adalah kebenarannya. Sinarku memang masih terang, tapi telah lumayan meredup dibanding saat pertama kali datang. “Bukannya ia yang duluan masuk ke elevator sebelum kau?”
“Ya, dan dia belum muncul sampai sekarang. Tempatku sampai seharusnya sama denganmu, kan, West?”
Aku mengangguk pelan.
Mungkin akan ada jeda waktu panjang hingga kedatangannya.
“Lalu kenapa dia belum sampai?”
“Aku menunggu lama hingga kau datang, Angel. Mungkin hal yang sama terjadi dengannya.”
Kata-kataku sama sekali tak menenangkannya.
“Dengar, kurasa kita harus berganti rencana.”
“Huh?”
“Kau tunggu Daniel, Angel.” Ransel dikemas, aku meneguk habis isi dari air mineral. “Aku akan mulai menjelajahi kota untuk menemukan kak Riselia.”
“Tapi, lebih baik bergerak secara berkelompok agar dapat lebih mudah melawan ancaman yang ada, kan?”
“Kita tak punya waktu lagi. Jika penjelasan tentang sinar merah yang dikatakan si penunggu adalah benar, maka kak Riselia tak punya banyak waktu lagi.”
“Lalu bagaimana jika kau juga mengalami apapun yang dialami kak Riselia?” Angel menarik tanganku erat-erat. “Bagaimana kami harus mencarimu?”
Hmm, benar juga.
Aku mengambil cerminku. “Bagaimana jika kau memantulkan cahaya merah kita dengan pola yang aneh. Aku akan memantulkan punyaku kembali.”
“Memangnya kau bisa lihat punyaku?”
Ah, tidak juga. Tapi, senter darurat yang dibawa Angel tak main-main terangnya, meski mungkin tak akan bertahan terlalu lama. “Kalau begitu cukup teriak saja. Lambaikan sentermu jika memang urgen.”
Lariku cepat dan hampir tak karuan, menginjak batu kecil yang hampir membuat terkilir.
“West!”
Aku menoleh balik, Angel melambai-lambaikan senternya.
“Cari aman! Segera kembali jika kau menghadapi kesulitan!”
“Oke!”
Kembali ke kota terbengkalai yang bentuknya mirip seperti kota yang kutinggali, tanda-tanda perubahan terlihat dari api yang berhenti membakar mobil, dan makhluk halus transparan seukuran manusia yang berkeliaran.
Aku bergegas bersembunyi di belakang puing batu dekat pintu masuk kota.
Kaki mereka tak menyentuh tanah, bulu semacam ekor api yang diselimuti lilin membawa mereka mengapung. Tak ada arah khusus, mereka berjalan tanpa arah, menari-nari seperti mengikuti ke mana hembusan angin pergi. Beberapa dari mereka menghilang, untuk kembali muncul, sisanya berjalan lurus.
Tidak, mereka punya arah. Jalan lurus dari kota terbengkalai ini adalah sebuah gerbang tinggi bermodel kuno. Sebuah pusaran hitam besar menunggu di ujung, melahap siapapun yang siap untuk menyebrang.
Panggilan natural. Secara insting, seperti tak ada yang salah sama sekali dengan apa yang terjadi.
Sosok kak Riselia tak terlihat di antara kerumunan ini.
Langkah pelan, nafas ditarik dalam, kewaspadaan ditingkatkan saat aku mencoba keluar dari tempat persembunyian. Satu sentuhan kepada para makhluk aneh ini.
Tidak menghasilkan apapun. Tanganku menembus badan transparan mereka.
Mungkin ini arwah orang mati yang berasal dari dunia atas, dunia tempat manusia seharusnya berada dan hidup.
Lalu, yang di gedung ...
Perumahan itu mirip seperti interior rumah kak Riselia yang berantakan. Seorang pria paruh baya dengan postur agak membungkuk membetulkan kabel microwave dengan giat, tangan selalu gagal meluruskan kabel yang lunglai, solder di telapak tangannya dingin membeku saat dicolokkan ke stopkontak.
Wujudnya lebih padat dari makhluk sejenisnya di luar, tanda bahwa ia benar-benar mati di elevator. Punggungnya juga dapat kupegang, meskipun ia sama sekali tak merespon apapun. Pupilnya fokus mencari lilitan yang menyebabkan korsleting, kakinya tak sengaja terpeleset oleh sampah gulungan karton yang berserakan.
Aku mengulurkan tanganku padanya, ia tak menerimanya.
Atau lebih tepatnya, ia tak menyadariku dan kembali terus bekerja.
“Uhm, pak, anda tak akan bisa menyelesaikan pekerjaan anda jika ini terus berlanjut.”
Ia akhirnya menggeleng ke atas, sama sekali tak terkejut dengan keberadaanku.
“Kau kelihatan muda sekali.” Tatapannya kembali fokus ke pekerjaannya. “Ingin menjadi intern untuk membantuku?”
“Uh, tidak. Ini adalah dunia orang mati, anda tak seharusnya melakukan hal semacam ini di sini.”
“Hal semacam ini?” Ia benar-benar tampak kebingungan.
“Uh, mereparasi jalur listrik rumah seseorang.”
“Tapi itu adalah pekerjaanku, anak muda.”
“Pekerjaan anda telah selesai, pak.” Aku dengan pelan menggeser bahunya untuk melihat ke sekitar. “Apakah anda dapat melihat orang yang memanggil anda bekerja?”
“Uhmm ...” Gumamannya lama dan panjang, membuatku menguap sejenak. “Tidak.”
“Kalau begitu, kurasa anda harus berhenti? Anda telah meninggal.”
“Meninggal? Aku?”
Aku mengangguk pelan, dengan tangan cekatan menyelesaikan sambungan listrik hijau dan merah yang ada pada microwave, bel nyaring berbunyi sekali menandakan kesuksesanku.
“Omong kosong.” Tangannya beranjak ke kipas dengan bau terbakar. “Begini-begini, aku ...”
Ia bahkan tak dapat membuka baut yang terkunci di badan kipas berdiri itu.
“Apakah anda percaya denganku sekarang?”
Ia menatapiku lama, akhirnya mengangguk pelan.
“Kurasa kau ada benarnya juga.” Setelah helaan nafas singkat, ia mengebas-ngebaskan baju dan celana kerjanya sambil menggaruk-garuk kumis tajamnya. “Lalu? Aku harus melakukan apa, sekarang?”
“Uhm, aku tak tahu.” Yup, tak pernah menyangka orang yang bekerja dengan kak Riselia adalah orang yang bisa dibujuk dan tak keras kepala.
“Tapi kau yang menyadarkanku aku telah mati, kan?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu bertanggung jawab sedikit, dong.”
“Uhh, coba kau berjalan ke pusaran hitam itu?” Aku menunjuk ke luar, ke gelombang hitam yang kelihatannya lebih besar dari terakhir kali aku melihatnya.
Lalu, juga semakin dekat. Patokannya dulu ada pada kejauhan kota, sekarang sudah berada di penghujung kota.
Firasat buruk? Atau hanya kesalahan observasi?
“Oke, akan kucoba.”
Sepp Hauptmann benar-benar berjalan lurus, tak memberikan komentar apapun pada arwah kosong yang gentayangan di tengah jalan ataupun yang pergi ke arah sama dengannya. Aku ingin bertaruh ia sebenarnya tak dapat melihat mereka, tapi pupil matanya mengikuti gerakan mereka.
Berjalan santai layaknya jogging, kami akhirnya sampai di sebuah pembatas, jembatan patah. Cahaya ungu seperti api menciptakan penghubung di antara dua sisi untuk mencapai lubang hitam.
Sepp Hauptmann dengan acuh tak acuh langsung melangkah pergi ke seberang.
“Oi, kenapa kau tak ikut, anak muda?”
“Tentu saja karena aku masih hidup, pak Sepp Hauptmann.” Aku melambai pelan padanya.
“Huh, jadi kau belum mati. Pantas kau bisa tahu banyak hal.”
Sepp Hauptmann berbalik badan dan masuk ke pusaran hitam, tapi ia terhenti oleh semacam kekuatan tak terlihat. Sedangkan arwah kosong di sampingnya dapat lewat dengan lancar dan setelahnya, menghilang.
“Jadi jalur tidur bukan lewat sini?!” Ia berteriak nyaring padaku.
“Apa kau masih punya semacam penyesalan yang membuatmu tak bisa pergi ke akhirat?” Biasanya di buku religius dikatakan jika masih ada yang memberatkan hidupmu, kau tak akan bisa dinaikkan ke tempat yang ingin kau tuju, atau sejenisnya.
“Tak ada, anak muda.” Sambil bergumam, ia terduduk.
“Benaran? Coba ceritakan kisah hidupmu?”
“Hidupku memang keras dan aku sering menjadi pengembara, melompat-lompat mencari kerja dari 1 klien ke klien lainnya. Semua uang itu setidaknya dapat membuatku hidup, sebelum sebuah pemeriksaan dokter mengatakan di tubuhku terdapat kanker stadium IV. Saat itulah semuanya terasa melelahkan, dan aku memutuskan mengakhiri ...”
Ia mulai berteriak keras, seperti diserang sesuatu yang ganas.
“Sepp Hauptmann!”
Ia terdiam, berbalik menatapku dengan pandangan kosong, lalu melangkah ke lubang hitam, kali ini berhasil terserap masuk.
Ukuran area itu langsung membesar, mengejar layaknya gerakan awan di langit.
Firasatku, orang hidup sama sekali tak boleh menyentuhnya.
Sudah 1 orang yang berhasil ‘dihilangkan’ dari kematian elevatornya, tapi di mana orang lainnya? Di mana kak Riselia?
Sial!
Terpaksa kembali menjelajah ke kota lagi.
Penghuninya masih melayang-layang di jalanan, tetapi beberapa dari mereka bertindak liar dengan berlari kencang layaknya peserta olimpiade, isi rumah diacak-acak oleh teriakan yang memekakkan telinga. Api membara, puing-puing rumah membayangi kepalaku saat aku berlari sekuat tenaga, rumah 2 tingkat dengan banyak jendela tiba-tiba hancur.
Beberapa hantu berkelahi dengan brutal di dekatnya. Kepala dibacok, kaki dipatahkan, hanya untuk semua itu tumbuh kembali layaknya kebohongan yang tak pernah terjadi.
Apa ini karena aku yang menghilangkan Sepp Hauptmann dari sini?
Tapi dia bukan sesuatu natural yang seharusnya berada di sini, kan? Atau si hantu penunggu berbohong?
Di gedung parlemen 3 lantai yang luas, keadaannya tak jauh berbeda dengan pukulan tak kasat mata dan kertas setengah terbakar yang melayang-layang. Semuanya tampak lumayan lucu jika mengingat bahwa semua perkelahian ini tak akan membunuh siapapun yang terlibat.
Kecuali aku.
Gedung dengan kemewahan maksimal merupakan bayangan masa lalu. Sekarang, yang tersisa hanyalah kemiripan antara villa terlantar dengan segala kasus pembantaian, pendingin ruangan yang menyala nyaring, dan 2 tingkat lantai pembeda antara pembicara dan pendengar. Melihat ke luar jendela, bayangan hitam yang membayangi dari jauh terlihat bosan dengan posisi statisnya, masih merangkak pelan melahap arwah kosong yang sedang meliar dan bangunan di sekitarnya.
Menyisakan kegelapan. Pantulan cahaya merah tak dapat menjangkaunya, keredupannya semakin bertambah saat mengedipkan mata.
Seorang perempuan yang berjongkok sambil membaca naskah pidato panjang kutemukan pada pintu masuk yang dikelilingi 3 pilar besar. Konsentrasinya fokus pada apa yang dipegangnya, tulisan di kertasnya lebih mirip campuran ceker ayam dan rumput.
“Lisa Hartmann!”
Seperti kasus Sepp Hauptmann, wanita ini sama sekali tak merespon. Hanya saat dengan paksa mengambil kertasnya baru dia sadar, menerjangku dalam amarah hampa.
“Dengarkan aku!”
Mata hitam dan pupil merah menjadi tanda pose ofensifnya yang dihentikan.
“Kau telah mati!”
“Hah? Apa yang kau maksud?” Lipstik dan eyeliner dikeluarkan, ia dengan tenang mengoleskannya pada wajah, menghindari kerusuhan dari 2 orang berseragam parlemen dengan santai. “Jika kau tak ada urusan denganku, lebih baik cepat pergi dan biarkan aku mempersiapkan pidatoku dengan tenang.”
“Ini ... kau sebut tenang?”
“Aku tak mengerti maksudmu. Ini adalah mode biasa pada gedung parlemen. Semuanya akan ribut jika ada hasil mayoritas yang tak menguntungkan sekelompok minoritas kuat.”
“Tapi, tentu tidak sampai berkelahi.”
Kuku merah sepanjang jari kelingkingnya menggores dahiku saat ia menundukkan kepala kami berdua.
Rasa sakitnya nyata, darah yang mengalir juga memiliki bau besi yang khas.
“Yah, kuakui ini memang agak janggal. Petugas keamanan biasanya akan masuk dan menghentikan segala kekerasan fisik.”
“Kalau begitu, kau percaya?”
“Tidak.”
Aku menarik tangannya melewati sekumpulan massa dengan pakaian rakyat biasa yang mengeroyoki anggota parlemen tertentu. Memanjat melalui tangga melingkar ke lantai kedua, kepalanya kutempelkan ke kaca jendela yang masih utuh, serbuan ombak kegelapan yang tanpa henti seharusnya sudah dapat dilihatnya.
“Apa itu?” Suaranya terkesan panik.
“Orang yang masuk ke sana akan dikirim ke akhirat.”
“Huh! Palingan hanya efek khusus dari proyek film gila saja, aku sudah sering melihatnya.” Lisa Hartmann menebas tanganku, langkahnya dalam sepatu hak tinggi stabil dan anggun, namun lebih cepat menuju podium daripada aku yang mengejarnya.
Eh, biarkan saja semua ini. Jika aku tak dapat mengkonversinya menjadi orang yang benar-benar mati seperti Sepp Hauptmann, maka yang perlu dilakukan hanya satu.
“Kau benar-benar tak percaya apa yang kukatakan?”
“Tidak, kau hanya penipu. Cepat pergi sebelum aku memangil satpam ke sini.”
Kata-katanya bahkan mengkontradiksi dengan yang dikatakannya sebelumnya.
Jika dibiarkan, arus hitam itu akan menelannya juga.
“Jawab satu pertanyaanku dulu.” Pisau ditarik keluar dari ransel, pose melemparku serius saat membidik alat masak itu ke tempat Lisa Hartmann.
Sesuai dugaan, ia masih merasa takut, reflek bersembunyi di balik kursi-kursi dan layar merah yang dihiasi bendera partai tertentu.
“A-apa?”
“Kau pernah lihat wanita tinggi 1,8 meter dengan rambut biru panjang, seperti bule?”
“T-tidak, aku belum ...”
“Jangan berbohong!” Arwah kosong yang berencana menggigitku layaknya zombie di film fiksi kutebas dalam satu sabetan pisau.
Meski aku tak berniat melakukannya sama sekali. Kukira mereka akan kebal.
Teriakan Lisa Hartmann menambah kebisingan di telinga, kejutannya dalam mengayunkan jari seperti konduktor dengan tongkat komandonya berhasil mengontrol arwah-arwah yang ada di sini.
Mereka maju dalam kelompok, melingkariku dengan wajah kosong yang agresif.
“Jangan mendekat! Dasar psikopat!” Tangan melepaskan kerumunan untuk menghabisiku.
Tubuhku bergerak dengan ringan, menebas arwah manapun yang berani maju dengan santai, adrenalin meningkat untuk membawa tubuh berlari ke arah wanita busuk itu.
Cairan kental layaknya agar-agar menempel setiap saat aku menebas satu arwah.
Yang mati akan tinggal mati, tak mampu melawan lagi.
Dan sejujurnya mereka lemah, lapangan dibersihkan hingga aku menodongkan senjata dunia nyataku pada mantan manusia ini.
“Di mana dia?! Di mana kak Riselia?!”
“T-tunggu, wanita tinggi 1,8 meter dengan rambut biru seperti bule kan? Aku pernah melihat dia berbaring di jalanan saat mencapai gedung parlemen ini.”
Pisau didekatkan ke leher, setitik cairan putih kehijauan menetes di lantai, rintihan kesakitan pelan kedengaran.
“T-tolong ...”
“Sekarang? Di mana dia?”
“A-aku tak tahu.”
Perut digorok besi, kretekan pada gigiku berbunyi sekali saat semua kekuatan kugunakan.
Wanita itu jatuh lunglai, sebentar lagi melayang lalu meledak layaknya kembang api.
Jujur, cara ini lebih cepat.
Tapi kenapa aku melakukannya? Apa ini termasuk pembunuhan? Apa aku adalah pembunuh?
Bukan, bukan. Mereka adalah orang mati, aku hanya mengantarkan mereka pergi lebih cepat. Agar kak Riselia bisa kembali lebih cepat.
Jadi, tersisa Michael Rossfield. Dan Mama?
Di jalanan, jumlah arwah yang masih bergentayangan telah berkurang drastis, cairan putih kehijauan seperti yang dikeluarkan Lisa Hartmann membasahi aspal bolong dari jalan rusak.
Sedangkan yang tersisa di jalanan telah berubah warna dan bentuk, bertransformasi menjadi zombie benaran dengan daging hitam dan darah merah menempel pada beberapa bagian tubuh.
Mereka semua kompak melihat ke arahku.
Ludah tak sengaja tertelan, detak jantung naik drastis.
Tidak, tidak, tenangkan diri sebentar. Ada beberapa dari mereka yang melihat ke arah gerbang masuk kota. Mata disipitkan, tampak seperti seseorang yang berlari ke sini.
Sial, tak ada waktu memikirkan hal itu.
Tak boleh sampai tertangkap oleh barang menjijikkan ini.
Lari seperti orang gila saat menghancurkan apapun yang menghalangi jalan, bahkan hingga makhluk sejenis ditebas habis. Layaknya anjing gila dengan teriakan yang membuat bulu kuduk merinding menyerbu ke sini.
Lemari buku buru-buru kujatuhkan untuk membentuk semacam blokade tangga.
Yang bodoh menghabiskan tenaga mereka menghancurkan struktur kayu tersebut, beberapa yang pintar menginjak bahu teman mereka dan menyerbuku.
Cakar terkena pipi, setitik darah masuk ke mulut mereka dan mengakibatkan teriakan keras, lalu tinju yang menggila.
Syukurnya, anggota tubuh mereka masih sama mudahnya untuk ditebas.
Satu, dua, tiga, semuanya jatuh ke nasib hilang selamanya.
Empat, lima kucincang brutal di bagian mulut dan pipi, hantu keenam menendangku keluar dari jendela lantai tiga.
Tas tebal berisikan suplai makanan dan minuman mencegah tulang belakangku patah saat menyentuh tanah, air membasahi tas saat aku berusaha berdiri.
Makhluk-makhluk bodoh menyadari aku yang jatuh menerjang ke sini.
Sebotol air mineral yang masih utuh dan sebungkus biskuit masuk ke kocek saat pisau dapur dibawa lari, menuju ke gedung paling tinggi di kota, gedung pencakar langit.
Lantai pertama yang tertimbun sampah kaleng minuman dan konter resepsionis kosong mengeluarkan bau tak sedap dari karatan saat tombol elevator buru-buru kutekan, satu-satunya hantu yang lebih pintar sudah mengitari koridor lingkaran dan menemukanku.
Pintu belum membuka, lari 4 kaki membawanya berada pada jangkauan tebas leherku.
Sebuah tangan dengan kulit lebih nyata menarikku ke dalam, tangan monster itu terjepit.
Sosok di dalam elevator mengambil pisau dapurku dan menebasnya, menghasilkan teriakan nyaring yang sakit untuk didengar. Jarinya cepat-cepat menekan tombol elevator menuju satu lantai tertentu.
“West!”
Suara familiar dari seorang pria yang kukira gagal memasuki dimensi ini pertama-tama menenangkan, sebelum bahaya dari dunia ini membuatku menyesali bahwa ia ada di sini.
“Daniel.”
Aku reflek memeluknya, air mata ditahan untuk tak menetes. Kelelahan berlari membuatku sukses melakukannya.
“Trims.”
“Kawan saling membantu.”
“Di mana Angel?” Tak seperti elevator tempatku tiba, penerangan pada kandang besi ini jauh lebih redup, dengan debu dan jaring laba-laba yang berserakan di sudut. Tarikan tali besinya lambat, berasa seperti naik gondola kuno. Lubang pada dinding membuatku meragukan keamanannya, tapi bukan berarti aku punya banyak pilihan lain. Si hantu penunggu tak bersama kami, mungkin karena kami berdua.
“Apa maksudmu?” Daniel menyipitkan matanya, kebingungan dengan pertanyaanku.
“Huh, apa maksudmu? Angel tak bersamamu ke sini?”
“Tidak, ini elevator tempatku tiba. Tunggu, Angel sudah sampai duluan?”
“Aku memintanya menunggumu sebelum datang mencariku ke kota. Kami kira kau akan sampai di tempat yang sama dengan kami.”
Daniel menepuk dahinya. “Ini gawat.”
Aku mengangguk pelan. Arwah-arwah di bawah jelas tak bersahabat, satu langkah salah akan membuat mereka berhasil membunuh kami. Dari gerakan, sepertinya mereka dapat mendeteksi orang yang tak seharusnya berada di sini.
“Apa-apaan dengan makhluk hitam itu?”
“Arwah marah. Awalnya mereka tenang dan santai, tapi semuanya berubah saat gelombang hitam menyerbu.”
“Gelombang hitam ...” Daniel menoleh ke luar jendela transparan, arus hitam itu sudah menelan setengah kota, bagian yang belum kujelajahi. “Maksudmu itu?”
“Kau tahu hantu penunggu di sini? Wanita berpakaian kantor atau terusan putih?”
“Tentu. Aku tak mengajaknya bicara atau apapun.”
Detailnya membuatku meragukan kebenaran di balik kata-katanya, tapi ia seharusnya tak akan bermain-main jika sudah kami berdua peringati.
“Aku mencoba mengajak hantu itu bicara.”
Daniel menembakku dengan muka terkejut layaknya rumahnya baru saja diledakkan bom yang tak sengaja jatuh dari pesawat tempur. Mulut menganga, ia menunjukku dengan gigi jijik yang ditunjukkannya.
“Apa-apaan dengan mukamu?” Panel menunjukkan kami berada di lantai 3.
“Lain kali aku tak akan mendengarkan peringatanmu lagi, West.”
“Oi!”
“Lalu, habis itu?”
“Untuk menyelamatkan kak Riselia, aku perlu membasmi orang-orang yang tak sengaja mati di elevator. Masih ingat dengan 4 orang yang pernah kutunjukkan, kan?”
“Yup, yang ada foto mamamu.”
Aku mengangguk. “Mereka ada di dunia ini dan kata si penunggu, kita perlu menghilangkan mereka dari sini. Entah apapun caranya.”
“Lalu?” Daniel menarik panjang nadanya sambil mengantuk. Pintu elevator membuka di lantai 4.
“Hmm?”
“Oh, tadi aku buru-buru.”
Ia cepat-cepat menekan elevator ke lantai 2. “Jadi, apa yang kau lakukan tadi?”
“Aku mendorongnya ke gelombang hitam itu.”
“Kau ... apa?!”
“Dan dia menghilang.”
Daniel terdiam, menelan ludah sekali sambil memelototiku dengan muka sinis. “Benaran?”
Aku mengangguk. “Masih belum apa-apa dibandingkan dengan yang kulakukan ke orang satunya lagi, sih. Aku membasminya dengan pisau dapur yang kau pegang.”
Daniel reflek melepaskan pisau yang dipegangnya, suara pantulan besinya nyaring di ruang kosong yang telah membuka di lantai kedua.
“Tunggu, kenapa kau mengarahkannya ke lantai 2, Daniel?”
“Sorry, sorry, masih gemetaran dengan apa yang terjadi tadi.” Ia menunjukkan jemarinya yang masih tak bisa diluruskan dalam waktu lama.
Pintu terbuka, lorong yang kotor namun lapang terbentang, beberapa arwah penasaran menoleh ke pembagian 2 jalan beberapa meter jauhnya dari kami. Kepala menoleh balik, semen dicengkeram hingga keseluruhan lantai bergoyang saat ukuran hantu itu meningkat 2 kali lipat, menerjang kemari.
Tombol menutup pintu cepat-cepat ditekan Daniel, kepanikannya adalah nyata.
Ada yang aneh. Reaksinya seperti tak konsisten.
“Hampir saja. Jadi, kita perlu ke mana?”
“Aku tak tahu. Kau yang pertama kali sampai ke sini, kan? Ke lantai berapa yang menurutmu paling aman?”
“Kalau begitu mungkin lantai 9 atau 10. Lorong menuju tangganya jauh lebih sempit dari beberapa lantai bawah, jadi mungkin kita aman.”
“Kau yakin tak ada arwah semacam ini di atas?”
“Tentu, jika mereka tak bisa terbang dan tiba-tiba menyusup.” Kedua bahunya terangkat saat Daniel menggeleng sekali.
Semua yang dikatakannya malah membuat teman baikku mengarahkan telunjuknya ke tombol lantai 6, guncangan yang biasa ada pada elevator jadul malah meningkatkan kecepatan kandang besi ini turun.
Pintu membuka, ia dengan cepat menghantam tombolnya untuk kembali menyusuri gravitasi dan kembali ke lantai 2.
“Oi, siapa kau?!”
Ia tak menjawab.
“WOI!”
Tak terasa, lantai itu sudah tercapai. Hanya dalam sekejap.
Aku cepat-cepat berguling dan mengambil pisau dapurku, pintu geser elevator telah tertutup dan panel menunjukkan barang sialan ini sedang memanjat menuju lantai 10.
Suara aneh berupa bisikan hantu yang membuat bulu kuduk merinding mulai terdengar.
Dengan hati-hati, mata pisau yang tumpul kutempelkan ke badannya.
“Kau bukan Daniel.”
“Jadi kau sudah menyadarinya.”
Hantu yang berpura-pura menjadi teman baikku. Syukurnya kejadian di gerbang sekolah telah membuatku berpengalaman.
“Ingin memancingku ke tempat di mana teman matimu sudah menunggu?” Aku mendorong bagian tumpul pisau tersebut pelan, setitik darah mengubah warna keringat baju putihnya.
Cahaya laser merah semakin meredup, pemandangan di luar jendela menggelap.
Setengah alasannya karena arus hitam itu hanya berjarak kira-kira 1 km lagi dari sini.
Berbalik badan, ia memperlihatkanku wujud aslinya.
Setengah manusia, setengah tengkorak, dengan aura hijau yang menempel pada arwah-arwah yang belum berubah menjadi liar. Rambut acak-acakan, pakaian kebersihan, muka kelelahan dan penuh keriput.
Kata-kata ancaman yang ada di ujung bibir hilang.
“Kau orang baru yang pintar, eh?”
Michael Rossfield, petugas kebersihan yang ada pada arsip kak Riselia.
Lantai 10 sampai, hembusan angin kencang yang berniat menerbangkan segala yang dilewatinya terasa untuk sepersekian detik sebelum pintu kembali ditutup, tombol lantai 5 ditekan.
Ini semua urutan untuk pergi ke alam lain melalui elevator.
“Oi! Berhenti! Apa yang ingin kau lakukan?!” Todongan pisauku keras.
“Mengantarmu kembali ke duniamu. Semua gara-gara kau yang mengacaukan kedamaian di sini.”
“Huh?”
“Aku telah hidup damai di sini selama entah berapa lamanya. Betul, aturan dunia orang mati ini aneh dan rumit, tapi jauh lebih menyenangkan untuk hidup sendiri bersama arwah daripada harus melihat tempat kesayanganmu direbut orang asing.”
“Jadi kau sadar kau telah mati?”
“Ya, tentu. Aku bahkan menikmati dunia setelah kematianku!”
“Lalu bagaimana dengan arus hitam itu?”
“Ya?! Barang itu tak pernah bergerak hingga kau dan kawan-kawanmu datang!” Kebasan tangannya cepat saat mendorongku menempel dinding. “Lalu arwah-arwah gila ini! Semua salahmu, dasar bocah bajingan.”
“Sial.” Aku mencoba bangkit, senjata masih di tangan.
“Aku mengantarmu kembali ke duniamu! Jangan pernah kembali!”
“Tunggu!” Ketajaman pisau saat ditancapkan ke permukaan tebal adalah kekhawatiran paling terakhirku saat tombol nomor 5 kurusak, tangannya mengeluarkan cairan hijau layaknya darah pada manusia.
Aku tidak sengaja, namun ia juga tak merintih kesakitan.
Percikan bunga api dan suara listrik membangkitkan insting bertahan hidup, elevator ini tak berhenti turun ke lantai tersebut.
“Oh, maaf.”
Bibir setengah hidupnya bergerak sedikit untuk mencibir, tapi tak ada makian yang keluar. Saat pintu lantai 5 membuka, arwah-arwah pemarah telah menunggu di depan pintu dan berbondong-bondong menyerbu ke dalam.
Reflek tombol tutup ditekan, empat penumpang tak diundang dengan instan mencabik-cabik si mantan petugas kebersihan hingga tak ada yang tersisa darinya.
Aku sendiri berhasil menghabisi dua yang menyerangku, lalu dua lainnya lagi.
Nafas kencang, ritmenya tak mau pelan.
Melihat ke luar jendela pun, hanya tersisa beberapa blok kota lagi bagian yang tak ditutupi kegelapan komplit.
Apa opsiku?
Berkeliling mencari Daniel dan Angel, lalu kak Riselia? Di area yang semakin kecil ini? Resikonya adalah mencapai gelombang hitam itu, yang telah membuat sebagian besar kota menghilang. Tapi apa memang bisa aku turun, dengan arwah kelaparan sebanyak itu?
Panel elevator masih menatapku dengan bosan, memanggilku untuk menentukan destinasi.
“WEST!”
Teriakan keras. Dari luar jendela. Lalu lambaian senter yang liar.
Menengok ke bawah, Daniel dan Angel dengan ukuran sebesar semut melambai-lambai menggunakan cahaya senter, sesaat kemudian meredup dan menghilang. Mata dipicingkan, Angel mengopernya sesuatu dengan terus menerus.
Mantap, mereka masih ada dan hidup.
“WEST!” Baterai seperti sudah diganti, kali ini mereka tampak menyadari aku sudah melihat ke luar jendela, arah sorotan sinar kuning menembak menuju lantai teratas dari gedung pencakar langit.
“T A K B E R F U N G S I!” Teriakan Daniel nyaring.
Lalu, sinar kuning itu kembali padam. Baterai diganti, gestur mereka mengundang perhatian arwah-arwah yang keluar dari gedung, jumlahnya mungkin setengah dari yang sekarang sedang memenuhi gedung pencakar langit dan menyerbu mereka. Sebuah ruangan mirip elevator sudah disediakan mereka sebagai tempat bersembunyi.
Namun elevator itu tidak berjalan, lampu yang menyala adalah tombol tutup pintu.
Mereka menungguku?
Tidak.
Jadi begitu.
Ada sesuatu di atas yang bisa membawa kami kembali. Tombol lantai 10 kupencet.
Tanpa Michael Rossfield, elevator malah bergerak semakin lambat. Gedor-gedoran dari atas membuatku menyadari sebagian dari makhluk marah itu telah memanjat di atasku.
Cakar dan tinju meninggalkan tonjolan tak rata di langit-langit bersama pandangan mata mereka.
Tak ada yang terlalu serius menganggu.
Tentu saja, mereka gepeng saat lantai teratas tercapai. Suara cairan yang tergilas dari sesuatu yang padat terdengar memuaskan dan menjijikkan pada waktu yang sama.
Pintu elevator terbuka, hanya tersisa beberapa puluh meter hingga kegelapan menelan.
Menaiki tangga penghubung menuju ke ruang terbuka, seseorang berdiri di atap terbuka tanpa pengaman.
Tinggi normal, postur kurus, rambut hitam.
Orang terakhir dari urutan nama yang meninggal di elevator dunia lain ini.
“Carilah tubuh yang mirip seperti yang digunakanku sekarang.”
Jadi ini yang dimaksud hantu penunggu elevator tadi.
Rose Edgeward.
Ia menoleh kembali, ekspresi mukanya kosong, pakaian kantornya terurai tak terurus. Makeup wajah yang pudar dalam bagian tak rata, ia melihatku dan mengunci pandangan, tapi kesan yang ditimbulkannya adalah ia buta, ia dalam pengaruh narkoba, ia tak melihatku.
“Mama.”
Tak ada respon, tapi jarinya menunjukku.
“Apa?”
Aku menoleh ke belakang, mendapatkan kak Riselia yang tak sadarkan diri. Mukanya pucat, bibir pecah-pecah, beberapa goresan mengakibatkan darah mengering di sekitar siku tangannya, nafasnya pelan dan tak stabil.
“Kak Riselia!”
Mengingat teknik pertolongan pertama dari pelajaran biologi, aku mengecek nadi di tangannya, lemah tapi masih di sana. Hanya luka kecil, meskipun tubuhnya lemah, tak merespon bagaimanapun aku berteriak di telinganya.
Tutup botol plastik dibuka, aku dengan hati-hati menuangkan beberapa tetes air ke mulutnya yang tersegel rapat, mendapati batuk lemah yang biasanya hanya dikeluarkan oleh lansia sakit-sakitan.
“Kak Riselia!”
Kakak sepupuku masih tak sadarkan diri, kembali terbaring dalam keadaan koma.
Jari diturunkan, badan Mamaku berjalan lurus menuju retakan semen yang tak memiliki penghalang, melihat ke bawah.
Aku mengikuti dari belakang setelah memastikan tak ada arwah yang ingin membunuhku.
“Apa kau ... bertemu dengan si penunggu?”
“Aku ...” Ludah tertelan, roda di dalam otak cepat berputar untuk mencari jawaban ambigu. “Apa yang kau maksud dengan ‘si penunggu’?”
Ia menoleh ke belakang. “Kau tak tahu?”
Hanya tersisa beberapa meter hingga dinding hitam mencapai Daniel dan Angel yang terperangkap di dalam kandang besi, mustahil untuk dicapai oleh kami pada saat ini.
Menarik nafas dalam-dalam, tenaga kukumpulkan di tenggorokan.
“DANIEL! CEPAT PERGI! WAKTU TAK ADA LAGI!”
Jika ada orang yang perlu prioritas untuk diselamatkan, maka itu adalah mereka berdua.
Sedangkan kami berdua ... mungkin masih ada harapan, untuk sekarang.
Batuk kering kudiamkan dengan air apapun yang tersisa. “Kita lanjutkan yang tadi. Jika maksudmu hantu yang dari tadi mengejarku, maka ya. Aku pernah menemuinya.”
Penghuni badan Mama menggeleng-geleng kepalanya. “Si penunggu yang berada di elevator.”
“Ya, tentu.”
“Dia penjaga dimensi ini.”
Wow. Fakta baru, bukan berarti aku tak menduganya sebelumnya, sih.
“Sepenting itukah info ini?”
Ia menatapku dengan bingung.
Kata-kataku mungkin akan kasar jika kulontarkan untuk ibuku yang sebenarnya, tapi dia hanya barang palsu yang kebetulan menghuni tubuh tercintanya. Atau lebih parah, ia hanya peniru oleh satu-satunya keluarga tercintaku.
“Beritahu aku sesuatu yang lebih penting. Kegelapan yang mendekat ini.” Aku menunjuk ke langit. “Bagaimana caranya kami bisa kabur?”
Ia menatapku layaknya orang yang dihipnotis. Teman-temanku di bawah juga belum pergi.
Atau elevatornya masih belum bisa berfungsi.
“Apa itu?” Tak bagus, pandanganku semakin kabur. Cahaya merah sudah semakin menghilang, mungkin sebentar lagi akan padam.
“Pembasmi.”
“Pembasmi?” Setetes keringat jatuh dari dahi.
“Manusia mati setiap saat. Akan berat untuk mengurus semuanya sekaligus, jadi si penunggu menciptakan ini untuk melenyapkan mereka yang tak masuk ke lubang hitam.”
Sangat praktis, apalagi jika nyawa yang kau kumpulkan terkadang akan memberontak.
“Si penunggu tak memberitahuku itu. Klaimnya adalah bahwa ia melupakannya.”
“Saat arus lewat, semuanya akan terhapus, termasuk memori si penunggu. Wajar saja, lagipula mereka akan kembali lagi padanya di saat-saat terakhir.”
“Oh. Lalu, kau tidak?”
Ia menggeleng.
“Lalu, kau apa?”
“Aku tak tahu.” Kaki dengan sepatu hak tinggi di ujung, angin sepoi-sepoi pun akan membawanya jatuh ke kebebasan udara jika ia kurang waspada sedetik saja.
“Kau tidak seharusnya berada di sini, ini dunia orang mati.” Ia menoleh padaku.
“Dan kau bisa berada di sini?”
Jika hantu berbadan Mamaku menahan amarah besarnya, maka ia hanya menceletukkan lidahnya sesaat. “Aku juga tak tahu kenapa aku bisa ada di sini, atau siapa aku.”
Mungkin lebih bagus untuk tak membuatnya marah. “Oh. Kau tahu cara keluar dari sini?”
Ia menggeleng cepat.
Pelan-pelan, elevator Daniel dan Angel terkonsumsi arus gelap.
“TEMAN-TEMANKU ADA DI BAWAH SANA!”
Sekilas, rasa iba muncul di ujung kelopak matanya.
Hanya sekilas saja.
“Jika mereka masih hidup dan bukan anggota sebenarnya dari dunia ini, mereka seharusnya tak akan apa-apa selama si penunggu tak berbuat apapun.”
Kegelapan menenggelamkan kandang besi teman-temanku.
Sebentar lagi, barang itu akan sampai ke sini.
Kak Riselia masih belum sadarkan diri.
“Lalu ...” Kalimatku tertahan di ujung bibir, melompat beberapa langkah ke depan akan membuatku memasuki ujung lain dari kegelapan. “Apakah kami ...”
Wanita dengan tubuh Mamaku melompat.
Jatuh ke udara bebas, aku cepat-cepat mengejar tangannya yang masih diulurkan ke arahku.
Aku tak dapat menangkapnya. Atau jika bisa pun, aku ragu ia akan mau menerimaku.
Terjun terus, badannya tertancap tiang besi rambu jalan yang telah kehilangan fungsi aslinya. Darahnya terlalu gelap untuk dapat dilihat oleh pandanganku yang sekarang.
Terlalu gelap, hanya tersisa secuil sinar merah.
Kenyataan akhirnya mencapaiku, kegelapan berada pada jarak satu uluran tanganku.
Aku bergegas berlari kembali ke pertengahan gedung, sekarang telah berguncang hebat karena pondasi yang hilang secara ajaib.
Beberapa detik kemudian, aku juga mengikuti nasib makhluk bertubuh Mama.
Jatuh.
Jatuh.
Terus jatuh.
Sensasi menyakitkan yang terekspektasi dalam otak terbukti hanya berupa imajinasi.
Lalu tertelan kegelapan.
“West, kau datang juga.”