Kantor polisi. Instansi yang paling berkuasa saat rakyat vs rakyat tak bisa diselesaikan mereka sendiri. Atau saat ada sesuatu terjadi.
Apapun itu.
Beberapa menganggapnya sebagai sarang orang malas, tidak salah, mengingat ada beberapa yang kerjaannya hanya merokok dan meletakkan kakinya di meja sambil menikmati indahnya drama koran. Beberapa menganggapnya sebagai ladang pungutan liar, tidak salah, karena menggunakan uang tunai sebagai pelicin merupakan hal yang sudah diturunkan dari nenek moyang pendiri negara. Beberapa menganggapnya sebagai tong sampah keresahan publik, tidak salah, karena dalam kota yang sepi sekalipun, terlalu sulit untuk membedakan tindakan kriminal dan pertengkaran sepele.
Mobil polisi berhenti tepat di depan kantor tempatku bekerja, Roland seperti biasa membunyikan sirenenya 2 kali sebelum membukakan kunci pintu. Pendingin ruangan dibesarkan, volume radio dikecilkan, ia menawarkanku payung lipat warna pelangi dari joknya, pandangannya jauh ke depan mengamati pejalan kaki dengan jas hujan transparan.
Aku hanya menggeleng. Lagipula air sudah berhenti menetes dari langit, meski awan masih gelap dan berat.
Baru dikonstruksi sekitar 3 tahun lalu, kantor polisi kota merupakan gedung penuh jendela kaca dengan balkon yang selalu sepi peminat. Bangunan betonnya dilengkapi dengan kipas-kipas pendingin ruangan dalam jumlah banyak yang menghasilkan polusi suara, letaknya tepat berseberangan dengan arteri menuju pusat kota, di belakang bundaran bambu runcing. Patung polisi dengan postur mengatur lalu lintas berdiri tegap di pintu depan, balon-balon menghiasi lambang lencana polisi yang terpasang tinggi.
Saat langkah dilanjutkan, suara Roland menghentikanku. “Kau yakin dengan keputusanmu, Brian?”
Aku membanting pintu mobilnya, ia dengan santai menurunkan kaca mobilnya, klakson dibunyikan sekali, mencegahku pergi dengan halus.
Aku menghela nafas panjang. “Ini demi keselamatan bersama, Roland.”
“Anak itu lumayan frustasi dengan keputusanmu, Brian. Apa masalahnya?”
“Kau paham dengan ceritaku tentang elevator itu yang dihantui, kan?”
Roland mengangguk, tatapan tajam dan rambut pirangnya sama sekali tak bergabung natural dengan dagunya yang brewokan. “Cerita yang kau buat-buat agar prosedur keselamatan elevator itu ditinjau ulang, kan? Aku tentu tahu.”
“Itu benar-benar ada, sial. Dan aku bilang ada korban, kan?”
Roland mengangguk.
“Korbannya adalah kakak sepupu dari anak itu, West Edgeward. Kakaknya Riselia Edgeward.”
“Sebentar. Maksudmu dengan korban itu ...” Roland mengelus-ngelus dahinya. “Mati? Menghilang? Atau luka parah?”
“Menghilang.” Kaki menaiki tangga marmer, front dari kantor yang terkesan mewah tak sebanding dengan interior departemen yang kumuh, mejaku lebih tak terawat. Kotak pos dibuka, terdapat selembar surat yang bukan ditujukan padaku.
“Jadi kau tak berniat melanjutkan pencariannya, Brian?” Roland berteriak.
“Setelah aku mendapat tim investigasi khusus dan bukan cuma misi solo, penelitian akan dilanjutkan.” Aku balas berteriak.
“Kalau begitu, sebaiknya kau jangan beritahu anak itu tentang tambang perak yang terbengkalai beberapa kilometer dari kota.” Senyumnya mengejek saat pedal gas mobilnya ditekan sampai batasnya pada gigi netral, mengejutkan pejalan kaki yang mengenakan jas hujan tadi.
Memangnya ada apa dengan tambang dari perusahaan bangkrut itu? “Maksud?”
“Kau akan tahu jika kau rajin menginvestigasinya. Tempat itu bagus.”
Aku mendorong pintu kayu, bel masuk berbunyi sekali saat kaki menginjak karpet bertuliskan ‘selamat datang’.
“Hmm, sudah kembali dari landmark kota kita, Brian?” Kepala kepolisian kota ini, Jack Sundell menatapku dengan sebelah mata dari kantornya yang ada di ujung.
Aku cepat-cepat masuk ke satu-satunya meja kerja higenisku yang penuh dengan koran dan flashdisk data, menimbuni laptop pengganti yang tidur. Tong sampah di mejaku sama sekali belum dikosongkan petugas kebersihan yang lalai. “Ya, pak. Tepat saat anda baru menyelesaikan puntung ke-13 anda.”
“Tajam sekali penglihatanmu, bocah.” Asap rokok ditiupkan hingga membumbung tinggi, sudah pasti akan menjalar ke sini jika tak ada layar pembatas.
“Terima kasih banyak, pak.” Arsip lama dibuka, perusahaan tambang yang pernah beroperasi di sini tak banyak karena ini bukan tempat dengan sumber daya kaya.
Palingan perusahaan Millian, beroperasi di tambang perak dengan pembangunan mega proyek 10 lantai pengangkutan perak, lengkap dengan peralatan berat dan pabrik alat pemurnian yang dibangun hanya beberapa kilometer dari sana. Baru beroperasi beberapa tahun, proyeknya mandek dan akhirnya ditinggalkan karena alasan ... internal perusahaan?
10 lantai ... apapun itu, ini mungkin petunjuk lain yang bagus.
“Jadi, apa masalah di sana?” Koran dilipat, kacamata di kepalanya dikenakan. “Apa-apaan dengan badan basah kuyupmu, bocah?”
Cepat-cepat tangan menyalakan kipas pembersih udara ruangan, suaranya menenangkan jiwa. Memegang kocek di pantat, ketebalan dompetku sepertinya masih cukup untuk menyelesaikan kasusku sekarang.
“Laporannya belum keluar, pak. Tapi saya berencana meminta persetujuan anda untuk membuat surat perintah terkait penutupan elevator sekolah negeri tersebut.”
“Alasanmu melakukannya?”
“Pengecekan keamanan teknis yang sudah pasti diabaikan. Berikut adalah buktinya.” Amplop coklat dikeluarkan dari dalam ransel yang berisi foto kamera saat dihantui oleh wanita berpakaian kantor tersebut, semuanya setelah dilakukan editing singkat di kantor percetakan langganan. Sesuai perkataan West, sama sekali tak ada wujudnya saat dicetak keluar. “Lampu elevator yang memiliki voltase tak stabil, guncangan seperti gempa, hingga tombol elevator yang kadang tak mau merespon.”
“Biarkan saja, bocah.” Kepala kantor Jack mendorongku ke belakang dengan halus sambil mengambil catatan peresmian mantan kantor terbesar sekota ini.
Aku menyodorkannya beberapa carik uang merah ke sakunya.
Kamera pengaman di atas kantornya memancarkan sinar merah, tapi tak memiliki memori penyimpanan, hanya bisa merekam.
Di luar dugaan, ia malah menolak uangku, bahkan tak meliriknya sama sekali. “Gedung itu gedung lama, jadi aku tahu kualitasnya pasti jelek. Selama belum ada korban jiwa, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Lagipula, baik kontraktor bangunan lamanya atau yang sekarang merupakan orang terpercaya. Mereka bisa memperbaikinya.”
Atau mungkin ia anggap semua ini hanya sebagai recehan saja.
Jack kembali duduk di mejanya, tangan berpura-pura mengklik mousenya sambil mengetik sesuatu laporan palsu, padahal aku tahu ia sedang menikmati waktunya menonton video tanpa suara tentang wanita setengah telanjang.
Orang tua murid kemungkinan akan protes jika murid dipaksa belajar di ruangan 10 lantai tanpa elevator, yang berakibat kepala sekolah memprotes teman baiknya ini, mengantarkan sakit kepala baru kepada si kepala kantor polisi pemalas.
“Dengan segala hormat, saya ingin membantah pernyataan anda, pak.”
Senyum mesumnya hilang digantikan muka serius mode kerja. “Hmm?”
“Sudah ada korban jiwa.”
Responsnya pelan, menyepelekan kehidupan manusia, sepertiku. “Apa ada bukti?”
Aku menyodorkannya fotokopi dari helaian dokumen orang hilang yang dimulai dari mama West. “Kasus ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama, sejak tahun 2000.”
Foto perempuannya benar-benar mirip anak SMA bersemangat itu. “Lalu setengah dari kasus misterius orang menghilang di kota ini dapat ditemukan berhubungan dengan elevator di gedung ini, dari petugas kebersihan biasa hingga pejabat kota.” Aku kembali menyodorkan data orang-orang lainnya secara kronologis, tahun per tahun.
Lalu yang terakhir, dokumen buru-buru yang kukumpulkan dengan memacu mobil Roland hingga habis bensin, berisi foto Roselia Edgeward serta kasus menghilangnya.
“Apa maumu sebenarnya, huh?!” Jack menoleh sekilas, sebelum memaksaku menarik kembali dokumen yang kusodorkan. “Sama sekali tak ada bukti orang mati yang ditemukan di kandang besi itu. Maksudmu tim forensik lalai dalam menjalankan tugas mereka?”
“Itu sudah kejadian dalam masa lalu, pak, jadi ingin mengusutnya sekarang pun kemungkinan sudah terlalu telat. Tapi kita tahu bahwa masalahnya kemungkinan berkaitan kuat dengan elevator buyut ini.”
“Lagipula kasus orang menghilang baru ini bahkan baru 1 hari. Aturan yang berlaku adalah 3x24 jam baru dianggap hilang, paham?”
“Keluarga dekat dari korban melaporkan bahwa si Roselia berniat masuk ke elevator sekolah itu. Dan besok setelahnya, ia menghilang.” Aku menggigit bibirku, menahan niat untuk memakinya. “Anda sudah seharusnya paham tentang hubungan kedua hal ini, pak!”
Nafas besar dan panas dihembuskan, puntung rokoknya dimatikan dan dilempar ke tempat sampah, komputernya juga dicabut dengan kasar dari sumber listriknya.
Nadanya keras, mukanya merah dan menghitam seperti tomat busuk. “Apa maumu?”
“Sepenuhnya tutup operasi elevator itu dan biarkan tim khusus melakukan pengecekan.” Aku menawarkan kepadanya surat perintah untuk tim teknisi didatangkan dari pusat.
Ia menatapku.
Aku menatapnya balik, tatapan mata kedua pihak intens.
Kipas angin yang berputar dalam porosnya serasa menjadi penengah, meniupkan angin yang hampir menerbangkan map pribadi si kepala kantor. Sejenak, terdapat seorang foto wanita dengan bikini yang bukan istrinya.
Jack cepat-cepat memungut barang itu, aku hanya menunjuk hobinya dengan jari telunjuk.
Terdapat jeda sejenak lagi, hingga ia akhirnya menandatangani surat yang kutawarkan.
“Lalu surat pemberitahuan kepada sekolah untuk pemblokiran akses elevator demi keamanan bersama.” Aku menyodorkannya surat kedua, lagi-lagi ditandatanganinya dengan muka kusam.
“Dan terakhir, surat izin investigasi tambang perak PT Millian yang terbengkalai di luar kota.”
“Bajingan, apa maumu sebenarnya, hah, Brian Rockfort?!” Jack membentak meja, menunjuk-nunjukku dengan ujung penanya yang masih tertutup rapat.
“Untuk mencegah hal serupa kembali terjadi, pak. Saya tahu ada elevator 10 tingkat di sana. Hasil investasi bapak juga, kan?” Dari uang bersumber abu-abu yang didapat dengan cara abu-abu juga.
Tekanan darah otomatis menghindari pusat muka si kepala kantor yang pucat.
“Tenang. Pusat tak tahu apa-apa tentang hal ini, semuanya hanya kita pihak terkait yang tahu. Maka dari itu, saya ingin melakukan segala hal untuk menyembunyikannya.”
Ia menelan ludah, tak bisa berkata apa-apa melawan detektif jenius ini.
“Lalu kusarankan anda sebaiknya mencari pastor yang dapat menyucikan elevator itu, atau mungkin cari ahli supernatural yang dapat melihat hal-hal halus. Tempat itu bukan ranah kita.”
...
...
...
Tengah malam, waktunya sudah resmi bagi kakak untuk hilang selama 1 hari.
Tengah malam, saat angin bertiup dari laut dan membawa perubahan suhu dari panas ke dingin. Tapi pada malam ini adalah hari kebalikan, dingin ke panas.
Tengah malam, mungkin bukan waktu yang bagus untuk bepergian, apalagi statusku belum resmi sebagai orang dewasa. Masih anak SMA, seorang anak lelaki yang berkeliaran di luar mungkin akan diangkut oleh polisi dan keluarganya dipanggil, akhirnya akan merepotkan paman dan bibi.
Ransel camping dibuka, segel pada tutup air kemasan dibuka, plastiknya diremas saat isinya diteguk. Sepatu membawa kaki mendaki tanjakan bukit dan menuruni tanah tak rata yang penuh dengan bebatuan, nafasku masih lebih stabil dari saat bertemu dengan hantu elevator itu pertama kalinya. Dari kejauhan, pintu masuk bekas tambang perak yang berbentuk lubang besar telah ditandai oleh sebuah lampu minyak jadul yang selalu di sana.
Respon kepolisian yang mengecewakan mungkin menjadi morfin penambah nyaliku.
“West, sini!”
Abang Daniel mungkin tak bisa diharap, tapi teman masa kecilku ini sepertinya bisa.
Satu tangan diulurkan, Daniel menarikku ke atas bukit mini yang menyatu dengan bebatuan pintu masuk, rel kereta yang terbengkalai menjadi penanda lurus terus ke dalam. Roda pada keretanya rusak, terdapat bekas benda silau di dalamnya.
Mendongakkan kepala ke atas, gua ini paling tidak memiliki tinggi 10 meter. Sesekali terdapat kelelawar yang lewat, debu dan bebatuan kecil jatuh ke kepala Daniel, aku bantu membersihkan rambutnya. Laron mulai mengelilingi lampu, teriakan cicak mendahului badannya yang melewati kami, bayangannya seperti raksasa dalam hitam bayangan.
Rumornya, perusahaan yang dulu menambang perak di sekitar gua ini telah membangun elevator untuk melakukan ekspedisi ke bawah tanah. Totalnya pas 10 lantai, jika info Daniel tak salah, yang berarti ini adalah kesempatan lainku untuk pergi ke dunia itu.
Meskipun syarat info ini adalah Daniel harus ikut denganku.
“Kau siap, West?”
Air mineral, snack darurat, senter, tali rafia, payung, pisau dapur, semua isinya kukeluarkan dari tas. “Tentu siap. Kau siap?”
Daniel membantuku memasukkan barang bawaan, baru kusadari ia tak membawa apa-apa di punggungnya. “Siap untuk apa? Kalau dimarahin, maka itu sudah merupakan hal tak aneh lagi di keluarga kami.”
“Amarah abangmu tak seram?”
“Sudah biasa. Yang lebih penting, aku lebih penasaran dengan hantu yang kau sebutkan.”
“Kau tak takut hantu?”
“Kau bercanda?!” Daniel membusungkan dadanya sambil tertawa keras-keras, sebuah batang hitam dengan moncong panjang dikeluarkan dari dalam sakunya. “Rasa penasaranku mengalahkan apapun keraguanku!”
Tangannya bergerak pelan, lebih seperti terlatih saat ia menarik pengaman pistol di tangan. Warna kuning dan abu-abu dari kepolisian mewarnai sekrup dekat pelatuknya.
Aku mengisyaratkannya untuk menurunkan suaranya, yang diturutinya. Gema suara yang terpantul-pantul mengusir katak dan serangga yang beterbangan dekat lampu gantung.
Ludahku tertelan keras, mata terbelalak tak mampu berkedip.
“Apa?”
“Kenapa kau bisa ada barang semacam itu, hah?”
“Hantu tak akan mempan jika ditembak barang ini. Tapi binatang buas pasti sangat mempan, atau penculik manusia.”
Aku menoleh ke belakang, memastikan tak ada orang yang membuntuti.
Lampu minyak di tangan Daniel berkedip sejenak, mungkin tertiup angin.
“Oke, aku paham. Sarungkan barang itu, oke? Kau tak ingin siapapun dari kita terluka.”
Daniel hanya mengangguk pelan, tangan dengan tenang menyimpan senjata api itu ke gantungan di pinggangnya.
Sekali lihat ke sekitar, tak ada yang spesial. Tapi aku bukan orang terlatih, sebaiknya cepat-cepat menghilang dengan sumber perhatian ini.
“Siap?”
Ia mengangguk.
Langkah masuk kami pelan, kaki dengan santai namun hati-hati melangkah maju, beberapa gundukan tanah lembek dan dapat jatuh seandainya diinjak.
Lalu persimpangan yang mengarah pada pembagian jalan.
Daniel mengeluarkan ponselnya, menunjukkan waktu pukul 01:48.
Ia menatapku, aku menatapnya.
“Ada 2 opsi.”
“Antara pergi ke kanan atau ke kiri, huh?” Aku menghela nafas dalam-dalam. Tak ada yang tahu jika tempat ini akan dijadikan sarang binatang buas atau tidak.
“Oh, maksudmu itu? Kalau begitu, kita punya opsi lain.”
“Hm?”
“Kita sama-sama memasuki kedua belokan terowongan ini. Kau ke kiri, aku ke kanan.”
“Berpencar adalah ide buruk, Daniel. Bagaimana jika aku berakhir diserang binatang buas?”
“Oh. Kalau begitu, kau yang bawa pistolnya.”
“Lalu kau gimana?!” Teriakku jengkel saat memelototinya.
Tinju diangkat, Daniel memiringkan ujung bibirnya sambil mengambil kuda-kuda militer. “Aku akan dapat bertahan sendirian.”
“Tidak jika lawanmu beruang atau orang yang membawa pistol, Daniel!”
“Jadi, bagaimana?”
Terowongan bagai lubang kegelapan yang menganga memelototi kami dalam diam.
“Apa kabar dengan teknologi? Bagaimana dengan GPS?”
Daniel menunjukkanku latar belakang robot hijau dari ponselnya, telunjuk menunjuk ke sebelah batang baterainya. Sinyalnya sama sekali tak ada. “Lagipula mana ada peta online yang bisa menerawang masuk ke tempat semacam ini.”
Dia benar juga.
“Kau ada peta?” Tanganku sudah duluan memeriksa isi kantong celana Daniel.
“Tak ada barang semacam itu, West. Kau kira aku pemilik lama perusahaan ini?”
Angin malam yang dingin tertiup dari luar, kulit menggigil, tangan otomatis dilipat.
Aku menatapnya, dia menatapku.
“Aku punya ide.”
“Aku punya ide.”
Suara kami secara bersamaan keluar.
“Kalau begitu, idemu dulu. Kau lebih pintar dariku, West.” Daniel bersandar di dinding gua, badan cepat-cepat berdiri tegak saat menyadari punggung bajunya telah berubah menjadi hitam pekat.
“Kita selidiki 2 tempat secara bergantian. Dibutuhkan sekitar 1 jam untuk kembali ke kota, jadi kita akan kembali sebelum jam 5. Jika panjang terowongan ini keterlaluan, maka percobaan hari ini akan dihentikan dulu, jika tidak kita lanjutkan ke bagian 2, bagaimana?”
Daniel mengangguk-ngangguk, tak memberikan respon selain itu.
“Bagaiman dengan rencanamu?”
“Kita pinjam kekuatan uang Angel.”
“TIDAK!”
“Tunggu, tunggu.” Ia cepat-cepat mengangkat kedua tangannya dengan pose bertahan. “Dengarkan aku dulu, West.”
“Kau yang dengarkan aku dulu, Daniel. Aku menolak melibatkan orang lain dalam masalahku. Aku bahkan sebenarnya tak punya pilihan lain selain bertanya denganmu, tolong.”
“Oke, oke, aku paham.” Daniel mengeluarkan ponselnya, mencoba mengetikkan beberapa pesan sebelum tertunduk lesu. “Oh, ya, tak ada sinyal di sini. Tapi tolong dengar dulu.”
Aku mengangguk.
“Kita semua tahu keluarga Angel adalah keturunan Sultan.”
Itu sudah merupakan rahasia umum, setidaknya bagi kami berdua, bahwa Angel adalah tuan putri kaya raya.
“Papanya memiliki berbagai macam bisnis yang sumber utamanya adalah kota ini. Sehingga masuk akal jika berasumsi dia memiliki koneksi dengan pemilik lama tambang ini.”
“Tidak, tidak. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini. Jawabanku adalah tetap tidak.”
“Kita hanya minta informasi, oke?”
“Lalu? Kau kira Angel akan bertindak seperti anjing yang telah dijinakkan dan memberikan semua yang kita mau tanpa mencurigai kita?”
Daniel mencoba bersiul dari ujung bibirnya, tapi tak mengeluarkan suara sama sekali. “Yah, dia menyukaimu, jadi kenapa tak kau coba?”
“Hah? Apa-apaan?”
“Kau tak sadar?”
Bukan berarti tak sadar juga ... mungkin aku lebih mengarah ke membiarkan perasaan itu.
Daniel memanfaatkan keraguanku untuk merangkul bahuku, jari tengah dan telunjuknya bergerak-gerak layaknya orang yang berjalan kaki. “Rencananya, kita pergi ke luar untuk mengakses sinyal. Lalu kau kirim pesan singkat tentang peta tambang ini, lalu kita masuk tanpa menghabiskan waktu.”
“Tidak adalah tidak. Lagipula siapa juga yang tak tidur pada tengah malam ini selain berandalan seperti kita.” Tangannya kusingkirkan dari bahu, langsung kutarik masuk ke lubang sebelah kiri.
Daniel hanya menurut saja sambil menyimpan ponselnya.
Lajur kiri merupakan sebuah terowongan luas yang perlu disinari dengan bantuan senter ponsel untuk mendapatkan gambaran jalan yang bisa dilalui. Lubang memakan beberapa lajur rel, plastik bekas makanan menjadi sarang bagi kecoa yang langsung berlarian saat tak sengaja diinjak Daniel. Lampu besi jadul terpasang di atas, pantulan sinar dari kacanya menyilaukan mata, hampir menginjak serpihan kaca beling yang pecah tak beraturan.
Daniel sigap menarikku, sepatunya kusadari telah tertusuk paku berkarat.
Sampai ke akhir terowongan, yang tersisa adalah dinding untuk menutupi jalan buntu ini.
Beberapa tumpukan perak yang dikubur dalam kotoran hewan menjadi pelipur lara, tingginya beberapa meter.
“Lalai juga mereka, sampai meninggalkan perak sebanyak ini.” Daniel berkomentar, lampu minyak dioper padaku layaknya sedang main basket.
Aku buru-buru menangkapnya. “Jangan bilang kau ingin membawanya pulang?”
Daniel cepat-cepat menjilat lidahnya. “Aku bukan orang kaya, tahu. Wajar jika aku punya keinginan ini.”
Balik badan, bayangan hitam yang familiar seperti mengintai kami. Dari balik dinding, dari belakang formasi batu yang berserakan tak beraturan, semua yang berada di area abu-abu antara disinari dan tidak membawakan perasaan tak enak.
Aku memimpin jalan kembali, mata dibuka lebar untuk fokus tak menginjak lubang.
Kembali ke jalan masuk awal, aku berbelok ke lajur terowongan kanan.
Di sini, lebar terowongan menyempit.
Bebatuan yang jauh lebih besar dari dinding sebelah memblokir minimal setengah jalan masuk, hanya membiarkan tubuh seorang manusia masuk.
Tingginya semakin rendah, hingga perbatasan antara jalan masuk dan terowongan isi dalamnya membuatku harus merunduk, bahkan berjongkok.
Derap kaki mengikuti.
Menoleh ke belakang, tak ada orang. Bukan Daniel.
“Daniel?” Suaraku pelan, diamplifikasi oleh gema di sekitar dinding rapat.
Ke depan, cahaya tak menembus.
Daniel telah hilang entah ke mana, suaranya tak terdengar, sinar ponselnya nihil.
“Hei.”
“WHOAA!” Bayangan hitam membuatku tersungkur, berbaring di tanah.
Uluran tangan menghampiriku, suara dengan nada jengkel mendekat. Tawarannya baru kuterima setelah menyadari lencana polisi yang ada pada baju jeans Brian yang telah basah akan keringat.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Ia bertanya padaku, tapi nadanya mengindikasikan dia tahu apa yang ingin kucapai.
Kalau begitu, tak ada gunanya sembunyi-sembunyi. “Aku ingin mencari elevator terbengkalai dari perusahaan tambang perak terdahulu, bang Brian.”
Ia menggeleng kepala dengan pelan. “Tak boleh.”
“Kenapa tak boleh? Karena ilegal? Karena kau bilang tak boleh?”
Brian mematung sejenak, gigi putihnya terpantul kuning dari lampu minyak yang terjatuh, diambilnya dan disodorkan padaku. “Cukup balik saja, oke? Kita semua tak ingin ada korban jiwa lagi.”
“Kita semua juga ingin agar kak Riselia pulang dengan selamat. Aku bisa membantu.” Aku cepat-cepat melompati batu tinggi dengan gerakan akrobatis yang tak kusangka bisa kulakukan, berhenti tepat di depannya dengan dua tangan memblokir jalan ke depannya. “Atau kau tak ingin dia selamat?”
“Apa yang bisa kau lakukan, nak?”
“Paling minimal, aku sudah pernah pergi ke dunia sana. Tak seperti anda, bang Brian.”
Brian tertegun sejenak, mulut terbuka sebentar, namun tak mengeluarkan apapun kecuali angin hangat yang terhembus kepadaku.
Urgh, bau alkohol. Lalu asap rokok.
“Ini bahaya, nak. Bukan tugas anak kecil untuk menghadapi masalah semacam ini.”
“Ini menyangkut hidup keluargaku, bang. Aku tak bisa tinggal diam hanya menunggu kabar baikmu. Tak ada yang tahu kapan kabar burukmu akan keluar.”
Ia menatapku panjang, aku menatapnya balik. Daniel dan dia memang mirip.
“Oke, tapi ada syaratnya.”
Silatan bayangan masih bolak-balik mengintai, hanya bisa dilihat dari ujung mata, namun jika benar-benar menoleh, maka itu akan menghilang.
Aku berusaha mengabaikan apapun itu. “Apa syaratnya?”
“Pertama, kau akan menyerah dan pulang jika percobaan ini tak menghasilkan apapun.”
Aku memberinya gestur oke.
“Kedua, beritahu aku kenapa kau bisa tahu ada tambang di tempat terpencil semacam ini.”
Keringat langsung mengucur dari dahi, mulut tertegun sambil membentuk senyum canggung.
“Oke, aku bahkan tak perlu tahu lebih banyak lagi. Pasti ulah anak nakal itu, kan? Bayangan jahilnya bahkan sudah dapat kulihat tanpa membuka mata.”
Aku masih menolak untuk membuka mulut.
Brian hanya mengartikan diamku sebagai iya, lampu minyak diambilnya dariku dan langsung berjalan ke depan, gelap gulita mengancam membuatku tersesat jika tak cepat-cepat mengikutinya. “Sekarang, kita cepat cari elevatornya. Lalu kita pulang.”
“Ide bagus.”
“Tak ada jaminan barang tua itu masih bisa jalan, sih.” Makin ke dalam, lika-liku arah terang dan gelap bercampur, kaki perlu terus diawasi dari semut dan kelabang yang kadang berkeliaran dalam rute panjang. Badan telah bisa berjalan normal, langit-langit pelan-pelan semakin meninggi hingga kepala harus didongakkan untuk mengetahui stalagmite di atas gua, terbentuk dari bebatuan. Celah pori-pori kecil melewatkan angin malam sejuk, menghapus gerah di kulit.
Lalu elevator tua tanpa atap yang terpasang tak jauh dari kursi kayu lapuk dan helm oranye pekerja yang tertinggal. Karet busa yang menutup pelatuknya hampir copot, suara konslet listrik dapat terdengar jika mendekat.
Brian mencoba menekan-nekan tuas elevator, hanya dibalas ejekan suara besi tua yang menolak berjalan, ujung kabelnya bahkan mengeluarkan percikan api dan meledak, membakar sarung tangan kulit yang cepat-cepat dibuangnya.
“Kau tak apa, bang?”
“Yup.” Ia melangkahkan satu kaki ke lantai kayu, papannya dengan tenang mengikuti gaya gravitasi turun ke jurang tanpa ujung, suara melonglongnya unik dan membuat tak nyaman.
“Barang ini rusak.”
Begitu juga dengan harapan terakhirku untuk kembali ke dunia sana.
“Dengan begitu, kau sudah puas, kan?”
“Apa aku benar-benar tak diperbolehkan masuk lagi ke dalam elevator sekolah? Cukup sekali saja dan aku pasti akan membawa kak Riselia kembali.” Aku memegang tangan Brian erat. “Tolong, bang!”
“Janji adalah janji, oke? Lagipula, aku akan mencobanya lagi saat pemeriksaan selesai.”
“Tapi itu sudah terlalu lambat untuk kak Riselia!”
“Menukar satu jiwa dengan jiwa lainnya tak akan menyelesaikan masalah, West!” Nada bentakkannya keras, di luar dugaan membuatku tak bisa membalasnya.
Menyadari keberhasilannya, ia menghela nafas panjang kemenangan.
“Jadi, di mana dia?”
“Uhm, dia siapa, bang?”
“Sudahlah, jangan pura-pura lagi. Daniel yang memberitahumu, kan?”
Aku mengangguk pelan.
“Sudah kuduga, sih. Murid SMA yatim piatu sepertimu mana mungkin bisa tahu tentang akses pintu masuk ini. Mereka diberikan penerangan, betul, tapi hampir semua penduduk kota tahu bahwa tak aman memasuki gua ini karena konstruksinya yang sudah lama. Mereka tak tahu perusahaan Millian berinvestasi masa panjang untuk proyek ini, yang berarti semua ini didirikan untuk bertahan lama.”
Perusahaan Millian, sama dengan nama belakang Angel. Daniel benar-benar tahu banyak.
Brian mengoper balik lampu minyak Daniel padaku. “Yasudah, kesampingkan itu, adik bandelku datang bersamamu, kan?”
“Ya. Dia yang membawa jalan.”
“Lalu di mana dia?”
“Huh, bukannya anda telah bersamanya?”
“Tidak, aku dari tadi hanya seorang diri. Rekan kantorku juga tak tahu aku ada di sini.”
“Tadi kami memang sama-sama, sih.” Kalau begitu, Daniel seharusnya masih berada di ruangan luas itu. “Mungkin dia masih di sebelah.”
“Benar-benar tak bisa dipercaya.” Brian menggeleng-geleng kepala. “Kau meninggalkan anak itu seorang diri di tempat busuk semacam ini?”
“Derap langkahnya tadi masih berada di belakangku, aku sumpah.”
“Kita kembali.”
Menyusuri jalur kasar dari bebatuan dan kembali ke jalan berlubang-lubang, langkah kami diambil berhati-hati, cahaya ditembakkan ke segala penjuru. Lubang menganga yang hampir menjatuhkanku masih berbekas, jejak kaki kami yang sedikit berlumpur masih meninggalkan bekas jelas.
Tak ada bayangan Daniel sama sekali, teriakan kami berdua tak mendapat sahutan jawaban.
Berpencar pun tak menghasilkan penemuan yang berarti.
“Bagian kau?”
“Tak ada orang, bang.”
“Tch, ke mana anak itu pergi, hah? Apa jangan-jangan dia masuk lubang?”
“Jumlah lubangnya masih kurang lebih sama saat kami masuk, sih.”
“Dengan cahaya segelap ini, mana mungkin kau bisa melihat barang itu satu per satu.” Brian mengeluarkan secarik kertas dari tas selempangnya, ponsel dinyalakan, jari menunjuk jalur belah dua yang ada di peta.
“Ini peta tempat ini?” Aku cepat-cepat mendekat.
Kertas coklatnya usang, satu tarikan terlalu keras dan bahannya langsung robek. Di kertas, seluruh tempat ini tak lebih luas dari beberapa cm, skala rendah dan percabangan yang hanya mengarah pada 2 tempat. Di terowongan kanan, terdapat kotak kuning dengan tanda elevator bawah tanah.
Legenda pada peta memang mengindikasikan banyak tanda X pada berbagai tanah di terowongan kiri. X diartikan sebagai lubang.
Darah pada muka Brian perlahan hilang, meninggalkan wajah pucat dan sebuah pengertian seram. “Apa dia masuk lubang?”
“Hm, tunggu? Ini?” Aku menunjuk ke bagian abu-abu seperti kertas yang ditumpahkan air di sudut ruangan kiri. Lalu ke penanda yang persis sama pada ruangan kanan.
“Penutup gua yang dibuat untuk menghalangi binatang liar ... masuk?”
“Memangnya ada yang bisa masuk dari sebelah sana?” Aku bertanya.
“Mana aku tahu. Aku bukan pembuat terowongan ini, nak.” Brian dengan pelan berjalan menuju ke ujung dari terowongan, meraba-raba dengan tangan bagian aneh di sekitar dinding. Hingga tangannya seperti menembus sesuatu lembek.
Ia menatapku, aku menatapnya sambil mengangguk.
Ia mendorongnya, laron-laron yang bersembunyi di dalam langsung beterbangan liar ke luar, menghinggapi lampu minyak dengan insting hewan yang hampir gila.
Dalam kepanikan, aku melempar barang itu jauh-jauh, memecahkan isinya, cahaya paling terang di ruangan perlahan mati.
“Oh, bagus.” Brian mengarahkan senter ponselnya ke depan, sama sekali tak menembus penghalang apapun di depan. “Kita coba masuk.”
“Kita menjelajah ini?”
“Penghalang ini artifisial. Seharusnya tak ada beruang atau serigala di dalam.” Pistol disiapkan, pengaman dilepaskan. “Tapi perlu jaga-jaga. Ikut aku dari belakang.”
Aku mengangguk, menjaga jarak 1 kaki di belakang Brian. Ia memberikan ponselnya padaku.
Urat tangan tegang, kegugupan nampak jelas di mukanya yang sok keras, tapi tangan ragu untuk diulurkan ke depan. Saat sudah menyentuh, tak ada dorongan yang terjadi.
“Oi!” Brian menutupi matanya dari sinar senter ponselku.
“Oh, maaf. Kurasa aku juga gugup.”
Nafas pelan ditarik. “Siap?”
“Siap.”
Seperti barang kuno di museum yang baru selesai ditransport dan akan dibuka bungkus, sebuah lapisan dinding ini luruh dan runtuh. Materialnya mirip seperti campuran plastik tebal dan sterofoam, dalamnya adalah terowongan panjang yang mengarah ke kiri dengan ekstrem, tak ada binatang buas selain ular yang lari terbirit-birit karena keberadaan kami.
“Ini mirip jalur rahasia.” Aku berkomentar.
Brian menunduk membaca petanya. “Tak ada catatan barang semacam ini di peta. Apa mungkin ini semacam pintu darurat untuk keluar seandainya semua ini runtuh?” Ia lebih bergumam ke dirinya sendiri daripada bertanya padaku.
“Di ruangan elevator tadi, apa ada barang semacam ini?”
“Aku tak menyadarinya jika memang ada.”
“Jam berapa sekarang?”
Aku membuka ponselnya, latar belakang pengunci layar merupakan sosoknya dan seorang wanita rambut pirang yang berpose love. Jamnya menunjukkan pukul 02.20.
“Oke, saatnya kau pulang.” Brian mengusirku sambil berjalan maju ke terowongan misterius itu.
Aku mengikutinya dalam diam dari belakang.
Ia menoleh ke belakang sekali, bersungut-sungut sambil menggeleng-geleng kepala.
Hingga akhirnya, ia terus berjalan terus, setengah berpura-pura aku tak mengikutinya.
Belokan ekstrem pada jalur ini kecil dan meliuk-liuk, tapi sama sekali tak memiliki persilangan. Tinggi dan lebarnya didesain untuk menampung satu orang yang berjalan dalam satu waktu. Air tanah kecoklatan sekali-kali menetes masuk ke punggung, memberi sensasi merinding karena dingin. Bau tak sedap, campuran dari bangkai dan besi berkarat menusuk hidung, sesekali membuatku menahan nafas.
Di sini, tak terlihat ada bayangan hitam yang mengikuti dari ujung mata.
Sebuah tangan yang dingin menyentuhku untuk sesaat, nafasnya seperti freezer es yang disetel pada suhu terendahnya dan dibuka setelah dibiarkan beberapa saat.
“WHOA!” Badan tersungkur jatuh, saraf kulit merasakan adanya gundukan batu.
“Huh?” Brian cepat-cepat menoleh ke belakang, bahkan pistol pun ditodongkan padaku. “Apa? Apa yang terjadi?!”
Keringat dingin karena barusan disentuh sesuatu berubah menjadi ketakutan asli. “Jangan berpose seolah ingin menembakku, bang.”
“Uh, maaf.”
Aku cepat-cepat menoleh ke belakang, tak ada apa-apa. Kiri, kanan, depan, atas, bawah, menghasilkan hasil sama.
“Kau sebenarnya kenapa, sih? Tolong jangan teriak keras-keras di sini, oke?”
“Tadi rasanya seperti dipegang sesuatu. Mirip seperti tangan dingin.”
“Palingan karena angin.” Brian mengebas-ngebaskan bajunya yang sudah basah berkeringat, 2 kancing atas dibuka untuk menyambut hembusan angin yang masuk. “Tempat ini bukan sumber hantu, jika barang itu memang ada.”
“Tapi ini sudah bukan pertama kalinya. Ingat tentang lampu listrik tadi?”
“Itu karena laron.”
“Kalau dipikir-pikir, mana ada laron yang bersarang di tempat semacam ini?”
“Terserah.” Brian menepuk-nepuk kerikil yang tersangkut di bajuku, melanjutkan perjalanan setelah mengencangkan tali sepatunya. “Yang penting, aku maju terus. Sumber cahaya sudah mulai terlihat.”
Pertama hanya berupa setitik cahaya, bulatan putih itu lama-kelamaan membesar dan bahkan memperbanyak diri saat didekati. Bau khas tanaman yang ada membuatku menyadari bahwa ini adalah semak-semak.
Brian mendorongnya ke samping, kemudian keluar ke padang rumput sempit, atau mungkin taman. Ia menarikku keluar, lalu menyandarkan tangan di rumah kayu tiga tingkat dengan kayu elit yang tak akan bisa dibeli di era sekarang.
“Bang, ini di mana?”
“Mana kutahu.” Brian menerawang petanya di bawah terang bulan, lalu merobeknya menjadi dua dan meronyokkannya. “Sial, arsip dokumen kepolisian memang payah jika masih ditangani kepala polisi sialan itu.”
“Lalu, kita?”
“Tentu saja menjelajah. Tak ada cara lain selain ini.” Brian mengulurkan tangannya padaku, lidah menjilat tepian bibir. “Kau ada minum di dalam tasmu?”
“Uh, ada air mineral. Ada biskuit juga jika kau mau.” Aku memperlihatkannya isi ranselku.
“Heh, kau berguna juga.” Ia mengambil kemasan air mineralku, meneguk isinya hingga tersisa setengah. Brian lanjut memimpin jalan, ke tanah yang dipagari kombinasi semen dan besi yang menjulang paling tidak 2 kali tinggi badan kami. Mencoba memanjat keluar adalah mustahil, bahkan tidak dengan dia yang mencoba menggendongku untuk sekedar melihat.
Pemandangannya familiar, dengan taman yang dipenuhi bunga warna terang di setiap temboknya. Pintu bangunan tersebut terkunci rapat, percobaan menggedor juga gagal.
Jendela yang dipenuhi debu memberikan visual semacam gudang di dalam.
Brian berjalan lurus terus, hingga mencapai ke semacam pintu masuk dengan 2 pilar yang diukir dalam bentuk binatang buas, penjaga berjas hitam dan dasi tinggi duduk di pos yang memantau keseluruhan pintu masuk, kacamata hitam menutupi mata.
“Penjaga rumah?” Brian menyalakan GPS pada ponselnya, mencoba membuka peta satelit.
“Tunggu, ini rumah orang?”
Brian mengangguk. “Sepertinya kita telah balik ke kota. Atau lebih tepatnya, berada di dalam rumah seseorang. Aku sumpah pernah melihat bangunan semacam ini.” Pengaturan peta dibuka, Brian mengotak-ngatik akurasi lokasinya sambil mencoba memati-hidupkan sinyal selulernya.
“Uh, kita tak akan dianggap pencuri, kan?”
“Selama memiliki ini, harusnya tidak.” Brian menunjuk ke lencana polisinya yang terjahit di jasnya.
“West? Bang Brian?”
“WHOA ...”
“Diam, diam!” Brian cepat-cepat menutup mulutku. “Kau ingin penjaga itu menendang kita keluar rumah?”
Sosok Daniel muncul di samping Brian.
“Aku daritadi mencarimu, West. Dan kenapa abangku bisa bersamamu?”
“Kami mencarimu, dasar bocah tengil. Ke mana kau, hah?!” Kejengkelan Brian berbanding terbalik dengan volume suaranya.
“Kakiku tadi tersangkut lubang saat ingin mengikuti West. Lalu aku tersesat karena tak ada sumber cahaya, lalu entah kenapa bisa sampai ke rumah Angel.”
“Rumah Angel? Maksudmu? Kau tahu pemilik rumah ini?”
“Yep, dia kawan kami berdua. Betul, West?”
Belum sempat menjawab, si pemilik rumah sudah berada di belakang kami dengan baju tidur, tangan mengucek-ngucek mata yang setengah terkantuk sambil mulut menguap lebar.
“West? Daniel? Dan, uh ...” Angel masih terbelalak, mencoba mengucek-ngucek matanya lagi. Saat sadar, tak ada reaksi yang terlalu berbeda darinya selain jemari yang tak henti mengelus-ngelus dagu.
“Ini abangku, Brian.”
Brian hanya diam saja, otaknya mungkin memikirkan belasan kemungkinan hubungan terowongan di tambang dengan Angel, mungkin.
“Uh, hi, Angel. Apa kabar?”
“Uh, baik.”
...
...
...
Orang kaya, profesi yang sudah kuimpikan sejak dulu.
Kamar pribadi dengan luas 3x kamarku, televisi dan toilet indoor, hingga kulkas dan bahkan tempat fitness mini. Semua itu adalah manfaat yang dirasakan oleh kaum mereka-mereka sejak lahir. Angel juga memanfaatkan itu untuk mengundang kami masuk sembari menjaga jarak nyaman antara pria dan wanita.
Wajar. Kami berjumlah 3 lelaki, dan dia hanya seorang perempuan. Terlebih lagi, kami kesannya seperti diselundupkan masuk melalui pintu belakang. Papa dan Mama Angel mungkin sedang tidur sekarang.
Ia berbaring di kasurnya setelah berganti ke baju seragam putih dan celana jeans, membiarkan kami berdua menaiki kuda mainannya di dekat meja belajarnya, dan memberikan kursi malas kepada Brian. Snack bertebaran di meja bundar, suara kriuk-kriuk dari Daniel sudah pasti terdengar bahkan sebelum ada dialog yang dimulai. Brian sendiri mengeluarkan sekotak ‘rokok’ coklatnya untuk dihisap, aku duduk diam sambil berhalusinasi bahwa ini semua milikku.
Meski begitu, kurasa dia lebih condong dekat dengan kami berdua dan menjauhkan Brian?
“Jadi ...”
“Sebelum itu, aku ingin bertanya sebentar tentang terowongan yang tersembunyi di balik semak itu. Kau adalah anak dari Maximilianus Millian, direktor perusahaan PT Millian, kan?”
Angel mengangguk. “Dan anda?”
Brian mengacungkan kartu identitasnya. “Brian Rockfort, detektif dari kepolisian. Aku sedang menyelidiki tentang misteri hilangnya seseorang.”
Ia menatapku dengan simpati.
“Lalu, terowongan itu?”
“Ahh, itu pintu darurat yang dibuat Papa seandainya ada sesuatu darurat yang terjadi. Arahnya adalah mantan tambang perusahaan Papa yang tak lagi beroperasi, kan?”
“Begitu.”
“Uhm, jadi kalian kenapa bisa ada di sini?” Angel menyalakan televisi, mendapati drama historikal yang berceritakan perang masa lalu. “Ohh, kalian masuk lewat pintu darurat kami. Tapi, kenapa kalian bisa masuk dari sana?”
“Ini ada hubungannya dengan tambang yang dibangun oleh ayahmu. Yang sekarang telah ditinggalkan dan terbengkalai.” Brian bangkit berdiri, gelagatnya gugup dan ia sempat berhenti sebentar sebelum menempelkan telunjuk ke alat pemindai sidik jari.
Pintu terbuka, ia menoleh ke kiri kanan sesaat, sebelum berbalik pada kami bertiga.
“Aku akan berbicara lebih lanjut dengan ayahmu tentang ini. Besok aku akan datang lagi, ini bukan saat yang tepat untuk berbicara empat mata.”
“Uh, oke?” Angel menatapku dan Daniel. “Dan kalian?”
“Kami tentu ingin nginap di sini!” Daniel mendeklarasikannya dengan keras, mendapat tatapan dengan niat perang dunia dari abangnya.
Ia cepat-cepat sembunyi ke belakangku.
“Kalian anak muda ... selama Daniel diawasi, kurasa tak apa.”
Kayu tebal ditempelkan kembali ke selot, langkah kaki abang Daniel pelan hingga tak terdengar.
Angel cepat-cepat membuka pintu yang ditutup, menengok sana-sini untuk keberadaannya, namun tak dapat menemukannya. “Dia tak akan tersesat, kan?”
“Yah, dia polisi, pastinya mendapat semacam pelatihan navigasi untuk keluar dari sini.” Daniel berkomentar, memasukkan 2 kerupuk lebar hingga mulutnya penuh.
“Abangnya seram ya.” Angel menatapku.
Aku hanya mengangguk pelan sambil tersenyum saja.
“Jadi, gimana ceritanya sampai kalian bisa masuk ke terowongan yang dibuat Papa? Kalian pergi menjelajah ke sana?”
“Yup, kami mencari petunjuk tentang keberadaan kakaknya yang hilang ... urgh!”
Aku cepat-cepat menyumpal mulut Daniel, namun terlambat saat menyadari senyum licik dari Angel.
“Ada kasus, heh?”
“Tidak, dia hanya bercanda saja, betul Daniel?” Aku menggunakan ujung jari untuk mencubit sikunya.
Daniel reflek mengerang kesakitan. “Betul, West. Sayang sekali kerusakan elevator di terowongan itu sudah melebihi batas toleransi keamanan ... uuhmm!”
“Diam, diam.” Aku menekan sumpalan tanganku lebih dalam ke Daniel, membuatnya meronta-ronta untuk bernafas.
Angel meraba tanganku dengan halus. “Coba cerita lebih lanjut.”
Lagi-lagi orang lain yang terlibat ke dalam masalah ini.
“Dengar Angel, kau tak perlu tahu tentang hal yang berpotensi membahayakan ini.”
“Ceritakan saja. Toh aku juga tak sanggup mengikuti kenakalan kalian dengan Papaku yang overprotektif. Tapi, aku siapa tahu bisa memberimu bantuan, kan?”
Mukanya yang meyakinkan dan sedikit memelas membuatku tak dapat menolak tawarannya.
“Jadi, kau tahu?”
Daniel menatapku dengan intens, mengangguk-ngangguk untuk memaksaku lebih terbuka.
Aku menghela nafas panjang. “Kita teman, kan, Angel?”
Jika Angel terkejut akan pertanyaanku, maka dia tak menampakkannya di wajahnya. “Ya, tentu.”
“Teman tidak membahayakan teman, kan?”
“Tentu saja tidak. Apa-apaan dengan pertanyaanmu, West?”
“Kalau begitu, aku tidak akan bercerita lebih lanjut. Teman tidak membahayakan teman, seperti perkataanmu.”
“Sesuatu yang tak kau ketahui adalah sesuatu yang membahayakanmu.”
Aku tetap menolak untuk berbicara.
“Sebenarnya, kami menjelajah ke gua tambang yang dimiliki Papamu untuk coba turun ke elevator 10 tingkatnya.” Daniel menceletuk.
“Hmm, memangnya ada apa dengan elevator tua itu? Emangnya barang itu masih bisa jalan?”
“Daniel!”
“Oh, tolong West. Jika kau tak berniat memberitahukannya padaku, setidaknya biarkan Daniel yang berbicara.”
“Aku paham, aku paham!”
Daniel dan Angel tertawa cengigisan, suapan snack kriuk dari jari tangan ke mulut dihentikan olehku dengan jengkel.
Jam dinding klasik yang dipegang oleh seorang patung lelaki tampan berdetak kencang menyaingi selak tawa, ayam jantan berkokok di kejauhan, rasa kantuk mulai muncul saat adrenalin dan semangat bertahan hidup mereda.
Sambil menguap, aku memasukkan permen kopi ke mulut. “Kau tahu aku yatim piatu, Angel. Mamaku suatu hari tiba-tiba menghilang.”
Angel mengangguk. “Lalu?”
“Lalu dia iseng memercayai game yang kukiriminya dan memasuki sebuah elevator ke dunia lain. Kakaknya menjadi tertarik dengan pengalamannya dan mencoba masuk, lalu dia hilang.”
“Oi, Daniel!”
“Aku tak akan membiarkanmu menghilangkan detail penting, West.”
Sungguh menjengkelkan sekali ini anak.
Wajah Angel berubah cemas, sama seperti yang biasa ia tunjukkan saat ada topik yang membahas tentang keluargaku.
Sesuai dugaan, aku kadang tak sanggup melihatnya.
“Jadi, bagaimana dengan kakakmu?”
“Masih belum ditemukan sampai sekarang. Aku ingin mencoba masuk ke dunia lain itu lagi melalui elevator sekolah, tapi aksesnya telah ditutup oleh kakak si ingusan ini.” Aku menunjuk Daniel, mencubitnya di pipi.
“Uhh, salahkan abangku, bukan aku.” Daniel cepat-cepat mengangkat tangannya dengan gaya defensif.
“Hmm, cuma untuk membuka akses elevatornya, kan?” Angel bangkit dari tiduran kasurnya dan menjatuhkan memonya dari rak kaca yang berupa perpustakaan pribadinya. “Ini info relasi Papa dengan beberapa orang penting yang kudapat sendiri.”
Foto di halamannya malah menunjukkan pantat telanjang Angel saat baru berusia 1 tahun.
“HAHAH! PANTATMU MERAH, ANGEL. KAU LUCU BENAR, YAK!”
Angel reflek mengambil buku itu kembali dengan pipi memerah, sengaja menjatuhkan setumpuk ensiklopedia dan mendiamkan Daniel. “I-intinya Papaku bisa dengan satu kata saja menyuruh si kepala sekolah kita untuk membuka akses elevator itu lagi.”
“Orang kaya dan berkuasa itu memang beda, ya?” Daniel mengelus-ngelus kepalanya yang benjol sebuah bakpao.
“Oh, tentu saja. Sekolah kita itu papaku yang bangun, kok.”
“Benaran?”
“Benaran.”
“Kalau begitu, aku akan bersiap.” Resleting tas dikaitkan hingga batasnya, snack coklat terakhir dimasukkan ke mulut sembari kaki membawa badan mendekati pintu. “Terima kasih Angel, bantuanmu tak akan dilupakan.”
Angel menarik tanganku. “Tunggu.”
Tak perlu berpikir panjang pun, aku sudah tahu yang mau diutarakannya. “Jangan gegabah, jangan pergi sendiri, jangan buru-buru menentukan. Atau mungkin kau ingin ikut denganku?”
“Tidak, tutup air minummu tumpah di dalam tas.”
Oh, sial. Pantas punggung terasa agak dingin.
Daniel yang bangkit duluan dan membetulkannya untukku. “Yup, syukur hanya beberapa tetes.” Tisu diambil, kekuatan lapnya kasar hingga dapat membuatku kehilangan keseimbangan berdiri.
“Dan, selesai.”
“Trims.” Menjengkelkan dan kadang tak dapat diandalkan, tapi selalu memikirkan kebaikan orang lain. “Ini memang Daniel yang baik dan miskin.”
“Apa kau bilang?”
“Oops, tak sengaja keluar dari mulut.”
“Tapi aku memang berniat memperingatimu, West.” Angel berdiri, tiba-tiba memelukku.
Bau badannya harum, suhu badannya panas, air dingin hasil memegang kemasan plastik yang baru dikeluarkan dari kulkas bercampur menjadi satu membentuk perasaan hangat yang membuatku mematung begitu saja.
Itu, hingga kusadari senyum kecut Daniel saat menatapi kami berdua sambil mengalihkan pandangannya.
Oh, ini pelukan bernuansa romantis.
Teman lelakiku menyukai teman perempuanku, teman perempuanku menyukaiku, tapi aku tak menyukainya balik.
Aku mendorong Angel pergi dengan pelan sambil menjauh. “Kau bukan pacarku atau Mamaku, Angel. Jadi tolong jangan terlalu mengkhawatirkanku, oke?” Aku berusaha membuat ini terdengar sesopan mungkin.
“Kurasa dia memang benar, West.” Daniel menepuk bahuku, wajahnya suram tak seperti biasanya. “Kali ini kau memang memaksakan diri. Lebih dari yang seharusnya kau lakukan.”
“Tak ada pilihan lain, bukan? Nyawa orang dipertaruhkan di sini.”
“Kalau begitu, kami juga akan ikut denganmu.” Angel mengeluarkan sebuah tas camping entah dari mana, mengisinya dengan berbagai macam barang dari makanan, peralatan utilitas seperti pisau, hingga tablet yang isinya penuh dengan game offline.
“Apa-apaan dengan persiapanmu itu?” Tangan Daniel kulepaskan. “Lagipula, memangnya kau tahu tentang game yang kami bicarakan?”
Angel memberikanku senyum sombong, lalu melirik Daniel. Daniel sendiri tersenyum bodoh.
Daniel punya sifat ember. Aku lupa.
“Kalau begitu kau paham aturannya, kan? Hanya 1 orang yang bisa masuk dalam satu kali percobaan pergi.” Aku belum menyerah untuk menghentikan mereka pergi.
“Kalau begitu kita hanya perlu masuk bergantian, kan?”
Ada kemungkinan itu.
Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di benak saat menyusuri jalan belakang untuk keluar dari rumah Angel. Supir pribadinya, seorang bapak-bapak berusia 60an tahun menawarkan kami tumpangan ke rumah, segera kami tolak dan langsung pergi.
Ayam jantan yang berteriak-teriak terlihat di taman kecil yang dipenuhi pipa pralon. Seorang pengantar surat dengan sepeda melambai melewati kami sambil tersenyum.
“West.” Daniel berhenti di jalan aspal yang biasanya ramai, sekarang sepi. “Trims.”
“Untuk?”
“Untuk memberiku kesempatan.”
“Ya.”
“Aku mendukungmu, West. Kami, atau setidaknya aku, akan menyusulmu setelah pergi ke sana nanti.”
“Kau mengatakannya seperti kita akan pergi ke akhirat saja. Seram, tahu?”
“Analogimu cuma bisa berpikir ke hal seram semacam ini saja, dasar.”
Dia tertawa lepas, aku tertawa santai.
Cahaya matahari pagi serasa memberi secercah harapan untuk esok hari yang cerah. Limit waktu penyelamatan kak Riselia memang sudah mepet, mungkin sudah terlambat untuk menyelamatkannya, tapi aku sudah berusaha semaksimal mungkin.
Dan aku berniat mencobanya lagi hari ini.
Niat itu tak akan hilang untuk percobaan selanjutnya.