Read More >>"> Elevator to Astral World (Chapter 05 - Amidst Rain) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Elevator to Astral World
MENU
About Us  

TIT TIT TIT TIT.

“Urgh, bising.”

TIT TIT TIT TIT.

Seolah tak ingin kalah dari umpatan sopanku, alat elektronik itu semakin menjadi-jadi, ritme iramanya menjadi semakin nyaring dan nyaring. Dan semua mimpi buruk ini dulunya diatur olehku, sehari sebelumnya.

Badan akhirnya dipaksa bangun oleh teriakan tak kenal lelah mesin.

Mimpi buruk semalam memang parah. Bisa-bisanya aku bermimpi kak Riselia membawaku ke hotel bintang lima dan bermalam di sana, lalu tiba-tiba ia meninggalkanku sendirian saat bangun, mengganti diri dengan hantu!

Meski bukan itu bagian terseramnya, sih. Pegawai hotel yang mendobrak pintu kami datang untuk menagih biaya nginap, dan tahu-tahunya aku malah tak membawa uang apapun.

Sial, pasti karena kejadian mistis kemarin.

Mata membuka dan memejam beberapa kali, kesadaran hampir jatuh ke paradis dunia lain lagi sebelum alarm ponsel kembali mendemo telingaku, pengaturan setiap 5 menit berbunyi akhirnya memaksaku segar dan duduk di kasur.

05.04, masih terlalu pagi untuk mandi dan pergi ke sekolah.

Menghela nafas panjang, aku merentangkan lengan dan kakiku, memutar-mutar pergelangan hingga badan sudah cukup segar untuk beraktivitas, kemudian bangkit dari kasur dengan semangat untuk menjalani hidup.

Gorden disibak, jendela dibesarkan hingga batas setengah maksimal, kasur dirapikan, mawar di sebelah jendela kumandikan dengan air segar yang bercampur dengan sedikit bekas cucian beras kemarin.

Rice cooker dinyalakan, beras dicuci dan dituang masuk ke dalam potnya.

Beranjak ke kuali, minyak dituangkan, setelah panas langsung telur dipecahkan dan dimasukkan. Garam ditabur, bawang goreng diratakan di atas, bau wanginya langsung membangkitkan nafsu makan. Bungkus abon sapi disobek, isinya dituangkan ke atas telur, sebelum satu-satunya lauk pagiku ditiriskan ke piring kaca.

Pemasak nasi berdering, colokannya kucabut, isinya kupindahkan ke sebelah telur abon goreng, sesendok demi sesendok kulahap dengan nafsu.

Kunyahan yang terlalu cepat membuatku cegukan, cepat-cepat ditelan dengan air.

Makan selesai, alatnya langsung dicuci. Kamar disapu dan dipel, beberapa helai rambut panjang kutemukan di bawah kasur.

Rambut laki-laki tak ada yang sepanjang itu. Lalu siapa?

Angel seingatku sudah lama sekali datang. Bibi tak pernah naik ke kasurku dan kak Riselia juga tidak. Lalu punya siapa?

Mungkin cuma kebetulan. Bukan apa-apa.

Rintik-rintik hujan pelan turun, cipratan air coklat menempel di kaca jendela, setitik lumpur tertempel. Sebentar pelan, sebentar deras, awan hitam besar yang membayangi seisi kota dengan cepat menstabilkan curah hujan, angin kencang memaksaku merumahkan si bunga mawar.

06.00.

Seragam dikenakan, buku pelajaran dimasukkan dalam tas yang sobek di tepiannya, lampu diperdebatkan untuk dimatikan atau tidak, sebelum kuputuskan untuk ongkang-ongkang kaki di satu-satunya kursi di rumah sekotakku.

Hujannya tak mereda, malah mungkin semakin tumbuh dalam kekuatannya. Memaksa berjalan kaki seperti biasanya hanya akan membasahkan seragam. Minta tolong Angel menjemput akan merepotkannya, sedangkan Daniel ... sebaiknya tidak.

Akhirnya, aku malah menyalakan ponsel. Tanpa game dan aplikasi film, karena aku terlalu miskin untuk memasang wi-fi, aku malah berakhir mengecek barang-barang membosankan.

Membersihkan memori sisa, menghapus gambar dan video tak berguna, mengecek pesan operator, hingga membuka website yang Daniel kirimkan.

Masih tetap tampilan hitam putih yang klasik dan membosankan.

Fakta baru. Semakin dekat ke kota, jejak ‘mirip’ kehidupan akan mulai muncul.

-Riselia

Pesan baru masuk, dari nomor kak Riselia.

Kakak sepupu gila itu. Dia benar-benar menyelinap masuk ke dalam elevator sekolah dan mencoba ke dunia seram itu. Tunggu, memang dia tak distop dengan pak Supardi? Pak Suparman? Shift malam bukan mereka, baru kuingat.

Ting tong.

Bel rumah yang mirip dengan bel elevator sekolah membuatku melangkah mundur sejenak, sebelum mengintip melalui lubang kecil yang ada.

Seorang pria paruh baya dengan jas direktur kantor dan seorang ibu-ibu sederhana dengan baju hitam polos dan celana jeans.

Aku cepat-cepat membuka pintu.

“Hmm, aku kira kau belum bangun, West.” Pamanku, Ridgeway Edgeward, langsung mengelus, atau mengacak-ngacak rambutku yang telah rapi. Uap embun pada kacamata tebalnya sedikit mengaburkan matanya, payung mereka diturunkan di depan pintu ruang apartemenku.

“Apa yang kau katakan, Ridge. West adalah anak terajin yang pernah aku lihat, kau tahu.” Rachel Livik, istri pamanku dan bibiku, memukul-mukul celana kain suaminya, setitik-titik air bercipratan. Makeup tipis menghiasi wajah setengah lonjongnya, sosoknya pada masa muda sama cantiknya dengan model majalah, karena dia memang mantan aktris majalah.

“Paman, bibi, kalian kehujanan. Mau mandi di tempatku sebentar?” Aku menawarkan.

“Tidak, begini-begini kami juga buru-buru. Kami hanya kebetulan berbelok ke sini.” Paman menyodorkanku sebuah tas kain, isinya cheese cake, sekotak penuh.

“Uhh, jangan begitu lagi, paman. Aku bahkan masih belum berterima kasih tentang nasi goreng kemarin. Kalian yang menggantungnya di depan pintu kamarku, kan?”

“Jangan ragu-ragu. Bibimu ini butuh banyak validasi untuk makanannya.” Paman menepuk bahu bibi sekali.

“Dasar kau ini!” Tepukan keras di bahu paman membuatnya memalsukan rintihan kesakitan sambil tertawa.

“Hehe.”

“Tapi selain itu, terima kasih juga kau tak mulut ember ke Riselia. Jika dia melihat kami, pintu rumahnya pasti akan tertutup rapat. Syukur kau ada di sana.”

“Uhh, sama-sama.”

“Omong-omong, apa dia ada ke tempatmu?” Raut muka bibi berubah menjadi sedikit cemberut.

“Tidak, bibi.”

Bibi menatap paman sesaat, alis pria si penyumbang aset terbesarku turun tajam.

Terdapat jeda yang tak mengenakkan saat keduanya sama sekali tak menatapku.

“Uhh, boleh aku tahu ada apa dengan kak Riselia?”

“Kami semalam bertengkar hebat dan kau tahu ... aku memarahinya dengan cukup keras sebelum pergi. Sekarang aku mengkhawatirkannya.” Bibi membuka payung basahnya ke jendela luar, mengibas-ngibaskannya ke bagian yang masih terlindungi topi bangunan.

Paman menghela nafas besar sekali. “Anak itu memang bukan tipe yang bisa tinggal diam. Tapi antusiasme dari omongannya tentang dunia lain jadi membuatku cemas.”

Oh. Apa aku boleh membocorkan rahasia tentang dia yang pergi ke elevator sekolahku?

Paman dan bibi telah bertindak sangat baik terhadapku, bisa dibilang menyambung hidupku sejak kepergian Mama. Tapi di lain sisi, rasa penasarannya bangkit karena ceritaku, jadi ...

Aku juga ada salahnya.

Yah, mungkin sebaiknya aku menahan diri.

“Entahlah, paman, bibi. Aku kemarin pergi ke rumah kak Riselia untuk ngomong-ngomong biasa dan main saja. Tapi dia bilang dia akan menyelidiki tentang kisah supernatural yang tak sengaja aku ceritakan dari teman sekolah.”

“Huh, penelitian bodoh itu lagi, eh?” Paman mengambil payung dari tangan bibi, kaki menuju ke pintu keluar. “Anak itu punya bakat, tapi sayang suka dengan hal nyeleneh semacam ini.”

“Kalau dia ada ke tempatmu, tolong kabarin ya, West.” Bibi mencium keningku, sebelum melambai-lambai tangan, mengejar paman yang telah hilang.

Aku mengangguk.

...

...

...

Payung dikembangkan, ujung celana panjang dilipat, sandal karet dikenakan di kaki.

“Kau yakin tak mau naik mobil bersama kami, West?” Paman selesai memarkirkan mobilnya di tepian topi bangunan apartemen 5 tingkat kami. Kaca diturunkan, kunci mobil dilepaskan, bibi membuka pintu mobil setelah memelukku sekali.

“Tidak, tak usah merepotkan, paman. Tujuan kita juga tak sejalan, lagian setahuku kalian lagi buru-buru, kan?”

“Aku memang ada rapat, tapi telat dikit tak apa. Toh mereka juga tak akan mulai tanpaku.” Paman meneguk secangkir kopi kertas di dekat tuas pengganti giginya.

“Ehehe, kalau begitu jangan, paman.”

“Hati-hati, West. Besok-besok kami akan datang lagi.” Bibi melambaikan tangan.

Aku mengangguk sambil balas melambai balik. Kaca mobil ditutup, mereka dengan pelan melintaskan mobil melewati lubang bergenangan air, pelan-pelan menjauh dari pandangan.

Helaan nafasku sedikit transparan di tengah hujan.

Simpang pertigaan di luar jalan apartemen mempertanyakan tujuanku dalam diam. Belok kiri dan jalan menuju sekolah, belok kanan dan daerah sudut kota. Sektor itu selalu ramai karena pasar tradisional dan daerah pelabuhan yang selalu ramai dengan penurunan dan pengangkutan barang. Kecuali saat hujan.

Ponselku menunjukkan jam 06.20. Masih 40 menit sebelum jam masuk.

Kalau dipikir-pikir, sudah semalam sejak kak Riselia pergi ke dunia lain itu. Dan masih belum ada kabar apapun.

Tanpa pikir lebih panjang, aku mengambil jalan kanan.

Menyusuri trotoar, setiap bus kota yang lewat menyiratkan bahaya kecipratan air lumpur. Orang-orang yang masih beraktivitas semuanya antara menggunakan payung atau jas hujan, beberapa pengendara yang beriringan konvoi dengan helm hitam menggeber motor besar mereka, gagah dan liar menyelip bus besar dalam jalan sempit, hampir menabrak kios buah, dilempari telur busuk oleh si pemilik.

Simpang T dimasuki, rumah nyentrik dari kak Riselia akhirnya sampai. Aku menemukan diri hanya berdiri di depannya, gembok pagar terkunci rapat.

Gorden tertutup, pekarangan yang nampak tak terurus telah dalam semalam berubah menjadi rapi dan asri, jika tak tergenang air hujan.

Lampu tamannya tak menyala, meskipun kemarin malam juga tak dinyalakannya.

Tapi entah kenapa, rasanya seperti tak ada kehidupan di dalam rumah itu.

Apa yang bisa kuperbuat juga? Memanjat dan melompati pagar adalah satu hal, tapi semuanya akan sia-sia tanpa kunci rumah. Lagipula, mungkin dia hanya berakhir dengan tidur yang terlalu nyenyak sehingga dapat mengabaikan panggilan bibi dan paman.

“Hm? West? Kau West, kan?” Suara Daniel dan motor bututnya dengan klakson bising.

Aku berbalik badan, mendapatinya memakai jas hujan sebadan.”

“Oh, kau benar-benar West. Apa yang kau lakukan di sini?” Ia menurunkan stang motornya, tapi tak mematikan mesinnya.

“Ini rumah kakak sepupuku.” Aku menunjuk ke rumah kak Riselia. “Kata paman dan bibi, dia belum pulang sejak kemarin malam.”

“Begitu? Tunggu, daerah di sini lumayan rawan, kan? Jangan bilang dia telah dirampok atau bahkan diculik?!” Daniel cepat-cepat menutup mulutnya. “Oh, lihat apa yang kukatakan.” Ia tertawa sirih.

“Kalau itu sih aku kurang percaya. Kakak sepupuku ini orang yang sangar.”

“Ohh, sesangar apa?”

“Dia punya pistol di rumah. Dan serangkaian alat untuk mengutuk orang.”

Mata Daniel terbelalak, mulutnya setengah terbuka untuk mencerna omongan yang kukatakan sebagai lelucon atau bukan. “Okee, kurasa dia memang sangar.”

“Karena itu aku cukup khawatir dengan dia.”

“Hmm, aku punya kenalan di kepolisian. Abangku bekerja di sana. Mau coba lakukan pencarian ke dalam rumah kakak sepupumu?”

Aku cepat-cepat menggeleng kepala. “Uh, biarkan saja. Lagipula baru 1 hari. Mungkin kak Riselia sedang berkelana ke tempat tak jelas lagi.”

Aku lanjut berjalan, cepat-cepat dihentikan Daniel.

Ia menunjuk ke kursi kosong di belakangnya. “Ingin tumpangan gratis?”

Mataku reflek menyipit. “Gratis?”

“Ya. Nanti kau akan mengganti setengah dari biaya bensinnya.” Gigi putihnya bersinar pucat di tengah cuaca hujan.

Aku tersenyum kecil, langsung meloncat ke kursi penumpang. Jas hujannya tak didesain untuk dikenakan 2 orang, jadi aku tetap memakai payung saat dibonceng.

Daniel menahan tawa, aku menahan malu.

Sebuah motor bebek membuntuti kami dari belakang saat keluar dari gang tempat rumah kak Riselia. Atau mungkin dia hanya ingin menghindari kerusakan aspal, langsung menyelip kami saat keluar ke kompleks perbankan. Truk kargo gagah menembakkan klakson, nyaliku dibuat ciut oleh tekanan angin yang terbawa di belakangnya.

Daniel sendiri kelihatan bodoh amat, tetap melaju dengan kecepatan 50 km/jam, permainan rem dan gasnya menyarankan kemahirannya, terutama saat berurusan dengan lampu merah. Dari barisan kami yang berada di belakang, ia menyalip-nyalip layaknya ular dan melesat maju saat lampu hijau menyala.

Sisanya hanya jalan lurus yang sering dijadikan tempat balapan bagi mereka yang tak punya kesempatan menikmati sirkuit luar negeri yang mulus.

“Daniel.”

“Hmm?”

Mata santainya menoleh ke belakang, stang motor tiba-tiba oleng saat roda tak sengaja menuruni lubang di jalanan, diperparah oleh jalanan licin akibat hujan. Bodi motor miring, kami hampir dibuat jatuh jika Daniel tak cepat-cepat menstabilkan postur sambil menahan tuas rem dengan stabil dan terukur.

Mobil jeep di belakang mengklakson saat melewati kami, mata dari tentara yang mengenakan kacamata hitam melototi kami, wiper mobilnya yang menyala kencang membuatnya terlihat seperti pelawak, membuatku perlu menahan tawa.

Daniel cuek, aku juga cuek. Meskipun dalam hati, jantungku lumayan berdebar cepat.

“Hei! Yang benar-benar dikit mengendarai, tolong?”

“Kau yang memanggilku, West.”

“Ya, tapi jangan menoleh ke belakang, oke? Kita hampir masuk puskesmas sekolah karena hal konyol semacam ini.” Gedung sekolah yang luas namun tua telah sampai, setelah melewati serangkaian kemacetan di arteri jalan depan yang selalu tersendat di jam ini.

Klakson bernyanyi-nyanyi, selipan motor oleh pengendara yang lebih ahli, hingga mobil yang berbelok sembarangan sehingga memblokir lancarnya jalanan. Yang tak beruntung akan ditilang polisi yang kebetulan lewat.

“Maksudmu rumah sakit.” Daniel mengangkat kedua bahunya bersamaan. “Malaikat maut penunggu puskesmas bu Lia akan mencincangmu jika dia mendapati ada murid yang luka karena hal sepele semacam ini.”

“Haha, betul.” Bu Lia adalah pensiunan pegawai negeri yang menjadi satu-satunya perawat di rumah sakit. Umurnya yang sudah tua dan temperamennya yang suka mengomel membuatnya mendapati julukan malaikat maut penunggu puskesmas.

“Jadi. Apa yang tadi kau bilang?”

“Kau ingat tentang website game elevator konyol yang kau perlihatkan beberapa hari lalu?”

“Ya.” Celah pas-pasan sebuah motor langsung dimanfaatkan Daniel untuk menyelip masuk, cipratan air dari penambahan kecepatan tiba-tibanya hampir membasahi sebuah mobil yang terparkir di luar. “Ada apa dengan itu?”

“Kurasa itu benaran.” Mulutku ... aku benar-benar tak percaya apa yang kukatakan.

“Huh? Apa maksudmu?” Motor butut batuk beberapa kali saat diparkir dibawah atap. Mesin dimatikan, stang diturunkan.

“Aku ... kemarin-kemarin pernah mencobanya.”

“Coba ... tunggu, game konyol itu kau benar-benar coba?!” Daniel berteriak, langsung mendapat tatapan tajam dan penasaran dari murid sekeliling yang sedang memarkir motor, bahkan hingga ditatapi aneh oleh Pak Partiam.

“Kalian kenapa?” Pak Partiam mengelap helmnya yang basah kuyup.

“Uhh, West bilang ada ujian mendadak hari ini, pak.” Daniel berbohong sambil tertawa.

“Heh, kalau begitu aku doakan nilai kalian pas-pasan ketuntasan.”

Beliau pergi jalan duluan, Daniel cepat-cepat mendekat.

“Aku benar-benar mencobanya, Daniel.”

“Itu hanya lelucon, bang.”

“Aku penasaran, oke?”

“Jadi ...” Daniel cepat-cepat mendekat sambil membekap bahuku, mulut membisik ke telinga. Aku dapat merasakan tatapan sirik dari orang-orang sekitar yang mungkin geli dengan ... kedekatan kami.

“Karena aku juga sudah terlanjur penasaran, jadi apa hasilnya?”

Aku menatapnya sirik, dia tersenyum-senyum. Suara hujan yang konstan menjadi pengingat bahwa kami belum masuk kelas.

“Dunia lain benar-benar ada.”

“Eh?” Daniel menggaruk-garuk telinganya, mengecek jarinya, kemudian mengelapnya ke celananya. “Aku tak dengar salah, kan? Dunia lain benar-benar ada?”

Aku mengangguk. “Masih ingat tentang bayangan hitam aneh yang ada di fotomu?”

Kali ini giliran dia yang mengangguk.

“Itu rupanya hantu elevator.”

Daniel diam mencerna, tangan menggesturku untuk melanjutkan, sebelum dipotong pak Partiam yang mendekat.

“Oh, ya, lupa memberitahu kalian kalau kalian tak tahu. Elevator sekolah kita sedang tak bisa dipakai. Setidaknya untuk hari ini.”

“Eh?”

“Memangnya kenapa, pak?”

“Entahlah. Katanya kemarin malam ada orang yang terpantau kamera pengaman menyusup masuk ke sana dan tak keluar-keluar. Sekarang mungkin sedang dilakukan pencarian.”

Daniel memelototiku, aku memelototinya balik.

Dia pasti sudah menyadari bahwa aku menelan ludah. Dengan keras, dengan tak biasa. Kami sudah berteman sejak keduanya belum bisa makan dengan sendok dan garpu, jadi dia pasti paham bahasa tubuhku.

“Orang gila mana yang menyusup ke sekolah hanya untuk main-main di elevator?” Daniel memasukkan helmnya ke jok, gaya kebasan pada seperempat bagian bawah celananya mirip dengan paman.

“Pencurian sparepart elevator, kurasa? Meskipun elevator sekolah ini sudah lebih tua dariku.” Pak Partiam memberi aba-aba pada kami untuk maju.

Kami tanpa sadar telah ikut berjalan di belakangnya.

Menyusuri lorong tertutup yang dilindungi atap, hujan masih deras-derasnya mengguyur taman dan seluruh isinya. Pohon besar melepaskan daun yang sudah tak mampu disangganya, bangku taman yang disemen dijadikan tempat berlindung oleh katak dan tupai, motor yang tak sempat didorong masuk ke lapangan parkir basah kuyup, helm yang terbalik beralih fungsi menjadi ember penyimpan air.

Gedung 5 tingkat yang masih berada dalam fase pembangunan dibiarkan begitu saja di samping gedung utama 10 lantai kami. Pasir dipindahkan, batu ditutup terpal, tukangnya mengambil istirahat merokok di tengah sambaran petir.

“Ehh? Bapak semuda itu?”

Pak Partiam menurunkan alisnya, pura-pura tersinggung. “Hei, apa-apaan itu? Aku bahkan masih belum merasakan indahnya pernikahan, dasar anak SMA sekarang.

“Kami juga belum, pak.” Aku menyahut, membuat pak Partiam perlu menahan tawa.

“Lebih baik kalian tebalkan dompet dulu, dasar anak muda sekarang. Pikirannya cinta monyet terus. Saat pacaran, dunia memang serasa milik berdua, tapi uang akan membangun dunia kalian, tahu!”

“Bapak yang mulai, kami yang ikut!” Daniel menjulurkan lidahnya dengan tak sopan.

Jika guru ini kaku semacam bu Patricia, mungkin kami sudah akan dimasukkan ke dalam ruang bimbingan untuk ceramah sepanjang hari. Tapi pak Partiam masuk dalam kubu guru santai, jadi ia hanya menanggapinya dengan jempol yang diturunkan.

“Pak, apa nanti kami dapat melihat siapa yang masuk?” Nafasku rasanya tertahan sebentar saat pak Partiam menoleh ke belakang secara tiba-tiba. “Uhm, maksudku, kamera pengaman telah merekamnya, kan?”

Mungkin itulah yang membuatku berani bertanya semacam ini.

“Kurasa kepala sekolah juga akan mengumumkannya nanti. Lagian, kenapa kau pengen tahu?”

“Oh, tidak. Aku … hanya takut jika mereka membawa senjata.” Ini kebohongan.

Di dalam sana kemungkinan besar adalah kak Riselia. Tapi kenapa dia lama sekali tak keluar?

Sebuah asumsi liar tiba-tiba muncul di benak.

Bagaimana … bagaimana jika kak Riselia terjebak di dunia lain itu karena menjelajah terlalu jauh? Dia memang ke sana untuk menjelajah dan aku tak mencoba lebih keras untuk menghentikannya …

“Tak ada barang semacam itu. Lagipula laporan telah dibuat ke kantor polisi. Mungkin mereka akan datang nanti?” Pak Partiam mengingat-ngingat sesuatu, langkahnya dipelankan.

“Oh, itu abang saya yang akan datang nanti. Sekalian investigasi sekalian reuni.”

“Benar?” Pak Partiam mengelus dagunya. “Dia alumni sekolah ini? Tahun berapa dia?”

“2010, pak.”

“Ohh, lama sekali. Sekarang 2020, aku mulai mengajar tahun 2015. Mungkin kami sebaya.”

“Mungkin.” Daniel mengangguk-ngangguk. “Betul, West?”

Tak mendapat jawaban apapun, Daniel menepuk pundakku sekali, membuatku terdorong ke depan selangkah. “Kau kenapa, West?”

“Uhm.” Aku menguap palsu. “Mungkin semalam kurang tidur.”

“Dasar anak muda sekarang. Semuanya suka bergadang.” Pak Partiam memukul kepalaku halus dengan lembar absensinya. “Tugas kalian belajar. Jangan cemaskan barang semacam ini, oke? Ini urusan orang dewasa.”

“Maksudnya orang dewasa yang masih perjaka, pak?”

“Hei, diam kau! Hati-hati kuhilangkan satu nol di nilai ujianmu, Daniel.”

“Ampun, pak!”

Taman dilewati, pak Partiam berjalan mengarah tangga, bukannya ke arah elevator yang kami berdua pergi.

“Hei! Ke mana kalian?” Ia berteriak.

“Pakai elevator, pak!” Daniel balas menyahut.

“Sudah kubilang tak bisa dipakai hari ini! Sebaiknya kalian cepat naik tangga di belakangku, atau kalian kucentang absen di sini.” Pak Partiam memamer-mamerkan catatan kehadirannya. Lonceng yang tepat berada di sampingnya dibunyikan oleh pak tua cleaning service sekolah, mengejutkan pak Partiam yang langsung ditertawakan bapak perokok itu.

“Ehhh?! Kelas kami lantai 5, pak!”

“Makanya cepat jalan!”

Daniel dengan lesu menundukkan kepala, mengikutiku yang memimpin jalan, pandangan ke depan, atau ke atas semuanya adalah pantat pak Partiam. Aku berakhir berjalan lebih cepat darinya, diikuti Daniel.

“Psst, psst.” Daniel mendekatkan mulut ke telingaku. “Tadi kau bilang dunia lain benar-benar ada, West?”

“Hanya kau yang tahu, oke? Jangan jadi ember dan menyebarkannya.”

Daniel mengangguk-ngangguk, sikap skeptisnya masih tergambar dari giginya yang nampak saat kepala menggeleng ke kanan kiri. “Okee.”

“Angel juga jangan.”

“Benaran? Dia cukup dekat dengan kita, kan?”

“Dia tak tahu apa-apa tentang ini. Jangan libatkan dia.”

“Masuk akal.”

“Nanti kita lanjut saat jam pelajaran. Pak Partiam masih membayangi.” Aku menoleh ke belakang, pak Partiam bersiul santai sambil memainkan ponselnya.

“Untuk besok, aku akan mengadakan tes singkat tentang organ pernafasan manusia, oke? Tak ada yang terlalu susah, hanya 5 soal, oke?” Pak Partiam menutupi buku biologi tebalnya, gambar sempurna sistem organ pernafasan manusia yang ia habiskan setengah jam sambil menjelaskan dihapusnya dengan tanpa ampun.

“Pak, jangan hapus itu. Anda guru seni hebat harus menggunakan ini untuk membuktikan bahwa anda juga bisa mengajar seni!” Rico si badut kelas paling pertama berteriak setelah istilah ilmiah tak lagi digunakan di kelas.

“Aku guru biologi, Rico. Sama sekali belum berniat untuk mengganti profesi, terima kasih.”

“Anda harus membuat bakat anda lebih terlihat lagi, pak!”

“Diam!”

“Pak, tugas akhir semester dikumpul kapan?” Laura si ranking pertama mengacungkan tangan kiri, tangan kanannya masih sibuk mencatat penjelasan singkat di papan tulis penuh serpihan kapur.

“Minggu depan.”

“Ehhh?!” Seisi kelas riuh.

“Ujian akhir semester sudah dekat, anak-anak. Kalian harus bangun dari mimpi indah kalian dan menghadapi realita kehidupan keras.”

Seluruh kelas kompak meneriaki pak Partiam dengan nada mengejek boo, berharap dapat membawa perubahan.

“Ayolah, tak ada yang terlalu susah. Aku meluluskan kalian semua di ujian lalu, kan?”

“Tapi tak ada yang lebih tinggi dari 80, pak!” Sherin si pemimpin gang cabe-cabe protes, dengan fakta.

“Sudah, sudah. Yang penting tuntas, toh? Dan setengah soal dari tes besok akan dijadikan sebagai bahan ujian kita. Jadi, serius kerjakannya ya.”

Lagi-lagi, boo.

Angel berbisik kepadaku. “Hei, West. Kau sudah belajar tentang ini?”

“Uhh, kurasa sudah hampir setengah.’

“Oh.”

Pak Partiam mendiamkan kami. “Lagian kalian juga pulang awal hari ini.”

Suasana kelas tiba-tiba berubah menjadi semangat, antusiasme memenuhi bahkan ke Andika si tukang tidur paling terkenal di satu sekolah.

Karena itu berarti pelajaran terakhir sejarah yang paling membosankan telah dibatalkan.

“Benaran kan, pak? Bukan bohongan?” Hugo, pacar Sherin dan kapten tim basket sekolah menyaringkan suaranya.

“Hei, diam, diam! Pelajaran sejarah memang ditiadakan dan kalian pulang, tapi nanti kepala sekolah akan keliling dengan pengumuman singkat, oke?”

“Seberapa singkat, pak?” Kevin, teman sepermainan Rico bertanya.

“Kalian ini benar-benar perhitungan, dasar anak muda!”

“Jadi berapa pak?” Kali ini giliran sekelas yang menyahut.

“Pengumuman dengan video singkat kurasa tak akan memakan lebih dari 10 menit, kurasa.”

“YAAAY!”

“SSSHT!” Ken, si satpam kelas sekaligus penggemar pojokan menaruh telunjuk di depan bibirnya, aba-aba tangan menyuruh kami menurunkan volume suara.

Tak lama kemudian, seorang pria pendek dengan pakaian formal dan dasi sehitam awan di langit melewati jendela kelas. Pak Adrian, kepala sekolah ini masuk setelah mengetuk pintu, dipersilahkan oleh pak Partiam.

“Pak Partiam, ganggu sebentar, ya. Saya ada pengumuman singkat.”

“Oh, silahkan pak.” Pak Partiam reflek berdiri dari bangku gurunya, mempersilahkan laptopnya untuk dipinjamkan pada atasannya.

“Anak-anak, masih semangat ya, belajarnya?” Pak Adrian menawarkan senyum segaris dari bibirnya, tangan merogoh kocek dan mengeluarkan sebuah flashdisk.

“Sudah mau ketiduran, pak!” Rico menyahut kencang, langsung ditatap tajam oleh pak Partiam.

“Waduh, itu kurang bagus berarti. Mungkin saya perlu membawa bu Patricia untuk menyampaikan semangat kemerdekaan zaman dulu biar kalian tak ngantuk.”

“Jangan, pak! Kami rupanya masih cukup bersemangat.” Kevin membalas lelucon pak Adrian.

“Bagus.” Penyimpanan portabel tertancap, LCD dibantu dinyalakan oleh Ken setelah layar putihnya diturunkan.

“Terima kasih, Ken.”

“Sama-sama, pak.”

“Sebagai pengumuman singkat dulu, kemarin malam petugas keamanan memberi tahu bapak bahwa ada orang yang menyusup masuk ke dalam lingkungan persekolahan kita.” Latar belakang pegunungan dan hutan tampil di layar, pak Partiam membantu mencarikan aplikasi pemutar video di laptopnya, kemudian menghubungkannya dengan video sepanjang 4 menit berbentuk mp4 yang akan ditampilkan.

Entah kenapa aku menelan ludah lagi.

Seorang perempuan berjaket dengan tinggi badan sedikit di atas rata-rata berjalan masuk dengan santai sambil membawa tas, melewati satpam yang telah tertidur nyenyak. Ponsel dikeluarkan, mukanya terlalu kabur dan terkotak-kotak oleh kamera pengaman karena cahaya kurang, namun jelas ia terlihat gelisah dengan jumlah gelengan kepala. Bukan cuma ke belakang, melainkan ke kiri kanan, lalu elevatornya.

Dilihat dari postur tubuh dan gayanya, ini benar-benar kak Riselia.

Video dilanjutkan, tombol elevator ditekan, kemudian ia masuk.

Beberapa saat kemudian, tak ada yang terjadi.

Lalu beberapa saat kemudian lagi, pintu elevator kembali terbuka, orangnya sudah tak ada.

Layar laptop menghitam, LCD dengan sigap dinaikkan kembali ke tempatnya oleh Ken.

“Nah, sekian saja videonya.” Pak Adrian mengangguk pada Pak Partiam, laptop dimatikan. “Tak ada yang tahu ke mana wanita itu pergi. Para satpam dan dewan guru menduga ia masih bersembunyi di salah satu sudut sekolah. Seharusnya tak ada yang terlalu berbahaya, tapi saya telah memanggil polisi untuk mencari si penyusup ini.”

“Tunggu, pak. Jadi maksud anda dia sedang berada di gedung yang sedang kami gunakan ini?” Ken bertanya dengan sopan di samping kepala sekolah.

Pak Adrian mengangguk. “Tapi tak satupun dari kalian yang melihatnya, bukan?”

Sekelas mengangguk.

“Itulah masalahnya. Ada saran dari beberapa guru untuk meliburkan hari ini, tapi aku tak melakukannya karena kalian telah dekat dengan ujian akhir semester.”

Satu kelas ini kembali tanpa ampun meneriaki pak Adrian dengan boo.

Pak Adrian berdiri cuek layaknya batu, tangannya dengan penuh otoritas menekan ke bawah seperti memencet sesuatu. “Karena itu, jalan tengahnya adalah kalian pulang cepat.”

“Lalu, bagaimana kalau besok si wanita itu belum ditemukan, pak?” Laura mengangkat tangan, Hugo menjentikkan jarinya dengan tak sopan, langsung disambut dengan gestur setengah melempar dari pak Partiam dengan senyum seramnya.

“Kasus ditutup. Anggap saja ia masuk ke dalam 10 misteri terbesar sekolah.” Pak Adrian tersenyum halus.

Yang di luar dugaan, seisi kelas malah diam, sunyi senyap.

“Sampai sini saja pengumumannya. Mungkin sebentar lagi lonceng sudah akan memulangkan kalian.” Pak Adrian memperlihatkan surat tertutup kepolisian pada guru biologi kami, kontennya sama sekali tak kelihatan, tapi simbolnya terpampang jelas.

Lonceng kembali berbunyi. Penyebabnya seharusnya sudah jelas bagi siapapun, tapi tak ada yang peduli. Selama semuanya dapat pulang lebih awal, semuanya senang.

Protes terhadap hujan yang juga disertai angin besar berjumlah nihil. Intensitasnya sudah mereda, tapi masih akan membasahi siapapun yang berani pulang tanpa atap mobil atau jas hujan. Tulisan papan tulis dihapus, serpihan kapur dibersihkan dengan cincai, kursi dirapikan secepat roket, menimbulkan decitan layaknya roda yang direm mendadak.

Riuh ricuh dari ocehan bersemangat para siswa menghanyutkan percakapan dengan muka serius antara kepala sekolah dan pak Partiam.

Itu sesuatu yang sangat ingin kudengar sekarang.

Sayang, hingga akhir, pak Partiam dan kepala sekolah hanya mengikuti arus murid-murid dan ikut pergi, tak membocorkan apapun yang berarti saat kucoba mendekat.

“Pak, apa kami boleh lihat penelitian yang akan dilakukan polisi?” Aku memberanikan diri bertanya.

“Tak boleh, West. Cepat pulang dan belajar atau main game, oke?” Pak Partiam mengusir kami sambil membawa pak Adrian pergi.

“Kau dengar dia, nak West. Aku ingin pak polisi untuk menyelesaikan tugasnya dengan cepat, jadi akan sangat diapresiasi jika kalian tak menganggu.”

“Oh, oke.” Aku mengangguk, langkah masih berusaha mendekati bisik-bisik mereka.

“Cepat pulang, oke?” Pak Partiam mengunci pintu, menghilangkan segala harapan.

Satu per satu, teman-teman sekelas juga telah menghilang.

“Kalian tak pulang?” Angel menggoyangkan jarinya, mengisyaratkan kami untuk datang. “Aku rencana ingin keliling mall. Kalian ikut?”

“Uhh, kami …”

Daniel merangkul bahuku. “Sesama pria ingin melakukan eksperimen sedikit ‘aneh’ dengan motor kami. Anda, si tuan putri, ingin ikut?”

Angel menatap Daniel dengan jijik, langsung menghilang dari hadapan kami.

“Trims atas alasannya, Daniel.”

“Heh, aku juga sebenarnya berencana melakukan itu saat hujan deras.” Daniel membuka jendela yang telah tertutup rapat, percikan air membasahi tepian cat dinding yang terkelupas, angin kencang yang tiba-tiba lewat sontak membuat ia menutup jendela.

“Jadi.” Terasa sulit untuk mengutarakan ini, tapi semuanya memang sudah kubeberkan. “Kau ingin ikut denganku mencari kakak perempuanku di elevator?”

Daniel hanya menatapku, mata menyipit dan membesar.

Butuh waktu sekitar 1 menit hingga ia mengaitkan semua potongan puzzle yang kuberikan, diakhiri dengan teriakan OH besar yang sesaat memekakkan telinga.

“Benar-benar? Benar-benar benaran?”

Aku mengangguk sambil membungkam mulutnya. “Jangan keras-keras.”

“Tapi kenapa? Kakak perempuanmu datang mencoba permainan elevator itu?”

“Dia orangnya memang suka menguak misteri, jadinya ya begitu. Lagipula, kau tahu aku anak yatim piatu, kan?”

Daniel mengangguk pelan, bersimpati dengan masa laluku.

“Papa diceraikan oleh Mama karena suka berjudi dan tak peduli dengan ekonomi rumah. Lalu mama yang membesarkanku sampai usia 5 tahun, hingga dia hilang tiba-tiba. Kakakku ini curiga mamaku terjebak di dunia lain melalui elevator ini secara tak sengaja.”

“Stop, stop dulu.” Daniel mencabut ponsel retaknya sambil cepat-cepat membuka browser.

Aku menunggunya, hingga ia mendongakkan kepala lagi.

“Maksudmu, mamamu juga dulu memainkan game elevator konyol ini?” Daniel mengambil jeda sejenak. “Masuk akal sih, mengingat dari dulu hingga sekarang, hanya ada bekas kantor ini yang punya 10 lantai.”

Aku menggeleng kepala. “Mungkin mama tak sengaja, mungkin juga dijahilin orang lain. Aku tahu Mama tak akan pernah mencoba mainan yang tak masuk akal ini.”

“Lalu kenapa kau, lalu kakak perempuanmu bisa mencurigai mamamu terjebak di dunia lain?”

“Kak Riselia menunjukkan kesamaan kasus ini dengan orang-orang yang menghilang setelah Mamaku. Aku juga merasa semacam perasaan aneh dari hantu perempuan yang ada di sana.”

“Masih ada yang hilang setelah mamamu?!”

Aku mengangguk.

“Di elevator ini?”

“Setelah memasukinya? Ya. Bahkan sampai 4 orang.”

Mulut menganga Daniel perlu kututup sebelum seekor lalat liar masuk ke dalamnya.

“Jadi, barang ini bukan cuma sekadar lelucon belaka.”

“Sekarang, giliran kak Riselia yang menghilang. Karena itu aku ingin mencoba menyelidikinya. Ke dunia lain yang pernah kudatangi.”

Teman masa kecilku menahan tanganku saat hujan mereda, saat kaki ingin melangkah ke elevator untuk mencoba permainan aneh itu lagi.

“Tunggu, tunggu.”

Aku menoleh ke belakang. Sama sekali tak ada kegetiran saat aku menatap muka gelisah Daniel. Dalam lubuk hati terdalam, aku malah senang ada orang yang mengkhawatirkanku. Tapi kemungkinan, dia tak akan mampu menghentikanku.

“Jangan buru-buru.”

“Aku tahu, tapi jika polisi sudah terlibat, kesempatanku untuk masuk ke elevator akan semakin mengecil, Daniel.”

“Tapi jika kau masuk sekarang, sekolah kemungkinan akan menghukummu, West.”

“Nyawa orang jadi taruhan, Daniel. Aku tak mau kejadian Mama dan orang lainnya terulang lagi.” Aku melepaskan tangan Daniel dengan hati-hati, tapi kembali dipegangnya.

“Kalau begitu, kita berdua pergi.”

“Aturan game ini adalah hanya satu orang yang bisa ada di elevator. Aku juga ingin mengajakmu kalau bisa.”

“Tidak, tidak. Kau tak akan pergi kemanapun.” Daniel bergegas berlari memblokir pintu keluar, kedua tangan direntangkan panjang-panjang.

“Daniel.”

“West. Dengar aku, jangan buru-buru. Kita cari orang lain yang lebih paham.”

“Siapa lagi?!” Nadaku naik setelah kemungkinan terburuk kak Riselia berakhir terjebak di dunia itu melintas di benak. “Kecuali jika dia bisa muncul sekarang! Kalau tidak, kakakku tak akan bisa kembali, Daniel!” Tinju disiapkan, aku bersiap menerobos melewati Daniel.

Daniel tak lagi berkata-kata, tangan dinaikkan untuk siap bertahan.

“Jadi, kasus kali ini sebenarnya bukan penyusupan, melainkan berkaitan dengan supernatural dan makhluk halus?” Bayangan hitam tinggi menutupi gabungan tangan kami berdua yang hampir berkelahi.

Seorang pria dengan topi koboi memegang bahu kami berdua, dengan perlahan menjauhkan kami. Mukanya tampan jika tak ditutupi sebuah luka gores besar di atas hidung, simbol kepolisian terpampang di depan rompi kamuflasenya, pistol tersarung di pinggangnya.

“Siapa kau?” Suaraku masih ketus, kesal dengan Daniel yang bersikeras menghentikanku.

“Brian Rockfort, detektif lapangan dari kepolisian kota.” Senyumnya acuh tak acuh saat mengelus kepalaku. “Aku dihubungi kepala sekolah kalian untuk menyelidiki kasus. Jadi kau West?”

Aku mengangguk.

Daniel menghela nafas lega. “Dia abangku, West.”

“Oh.”

Jarum jam tepat berhenti di jam 14.00. Deru hujan yang lebat menghantam jendela, berusaha ingin menembus kaca tebal dengan sia-sia. Gedung 10 lantai tempat belajar utama kami menatap dari kejauhan, eksteriornya yang tak layak seperti memohon angin besar untuk merobohkannya.

Senda gurau diiringi gelak tawa terdengar dari kejauhan melalui pembatas bermotif belah ketupat yang terbuat dari besi, memisahkan ruangan para guru yang sedang rapat dengan kami yang duduk di sebuah kantor sudut, ruang kerja milik kepala sekolah.

Pendingin ruangan menyala dengan tenang, angin yang ditiupnya menghapus keringat dari atmosfer luar yang tegang. Arsip dokumen penting tersimpan rapi di lemari hampir setinggi langit-langit, di sampingnya bagian khusus untuk piala yang dimenangkan sekolah. Di depan adalah komputer besar yang tercolok ke sumber listrik tapi tak menyala. Ruangan sebesar 4x4 diisi oleh si pemilik Pak Adrian, aku, Daniel, dan abang Daniel, Brian Rockfort.

Para orang dewasa mondar-mandir sambil berbincang dengan suara kecil.

Daniel duduk di sampingku, menawarkanku segelas es teh yang entah kapan dibelinya.

Aku menggeleng pelan. Dia menusukkan sedotan kedua di dalam kantong plastik, mendorong barang dingin itu ke pipiku.

Menghela nafas panjang, aku akhirnya menelan minuman manis itu.

“Enak, kan? Jadi tenangkan dirimu dulu.”

Aku mengangguk pelan. “Nyawa orang masih menjadi taruhan, Daniel.”

“Tak ada kepastian jika kakakmu memang sudah tersesat atau belum. Lebih baik menyempurnakan segala persiapan sebelum masuk. Abangku begini-begini juga pernah mengungkap kasus pembunuhan dan orang hilang.” Daniel membusungkan dadanya, suaranya bisik-bisik.

Mungkin ada benarnya juga. Mungkin kak Riselia tak tersesat, melainkan hanya lupa waktu.

Pantat diserap dengan tenang oleh sofa empuk, tubuhku menolak untuk bersantai. Kepala digeleng, tangan menekan-nekan bagian berbunyi dari lengan sofa, hingga kaki yang bergoyang-goyang.

“… tentang muridku ini?”

“… percayalah padaku, kepala sekolah. Aku juga ingin masalah ini cepat selesai. Adek nakalku sedang melihat, soalnya.”

“… jika semua ini tak …?”

Gelisah. Siapa juga yang tidak, jika lawan bicaramu adalah seorang polisi? Apalagi saat para orang dewasa sedang merencanakan sesuatu dengan nada rendah.

Daniel ada di samping mendampingiku, sih.

Lagipula, ini adalah abangnya. Fakta itu yang setidaknya merupakan alasan utama kenapa aku mau sedikit lebih terbuka tentang kak Riselia.

“Jadi maksudmu, muridku ini punya petunjuk tentang siapa si wanita penyusup itu?” Kepala sekolah bertanya, memelototiku dengan mata menyipit yang tak mengindikasikan kemarahan, tapi lebih ke keingintahuan.

“Hanya sebuah kemungkinan, pak Adrian. Dan semua detektif yang bertanggung jawab tak akan melepaskan kemungkinan.” Brian bergegas duduk di kursi depan komputer pak Adrian, dengan setengah bercanda mengusir pak Adrian sambil mengacungkan angka 3 di jarinya.

Muka jengkel pak Adrian cukup memuaskan juga untuk dilihat, apalagi saat momen dirinya membanting pintu kaca yang tak bisa dibanting.

Kaca yang transparan jika dilihat dari dalam, tapi mengaburkan segala isinya jika dilihat dari luar.

Ini meninggalkan kami bertiga.

“Sekarang, giliran kau yang pergi, Daniel?”

“Eh?! Aku juga mengetahui sesuatu, bang. Biarkan aku duduk di sini dengan West sambil kau mengulik informasi lebih lanjut, oke?”

“Tidak adalah tidak.” Brian menggeleng-geleng kepala, mengeluarkan secarik uang kertas dari dompetnya. “Belikan gorengan 20 di rumah. Sisakan jatahku 5, sisanya punya kau.”

“Tidak adalah tidak, Brian.”

“Sekarang kau berani memanggilku tanpa sopan santun, huh, dasar anak durhaka?”

“Daniel.” Aku berdiri memegang bahunya. “Kau tak tahu apa-apa.”

Daniel mendekatkan mulutnya pada telingaku, tapi sama sekali tak mengecilkan volume suaranya. “Ehhh? Padahal aku berusaha membantumu West. Abangku ini galak dan tak kenal ampun kalau dibuat mengamuk.”

“Kau tahu itu dan masih ingin mengajakku kelahi, Daniel?” Nada bicara Brian berubah, aku sendiri tak berani memandang ke belakang.

“Dengar, bang. Dia kawan baikku, jadi lebih baik kau tak apa-apakan dia dengan teknik interogasi yang kau banggakan, oke?”

“Aku tahu, aku tahu. Jadi cepat pergi sana.”

Daniel melihatku sekali, layaknya orang tua yang melihat anaknya diterbangkan ke tempat lain, kesedihan mendalam terasa.

“Aku masih suka wanita, Daniel.”

“A-aku tahu itu, West!” Daniel cepat-cepat meninggalkan kami, melemparkanku sisa es teh dan 2 sedotan.

Aku menyambutnya, beberapa tetes tumpahan mengotori lantai ubin kantor pak Adrian.

Ini meninggalkan kami berdua, pak Adrian juga telah hilang.

Brian merogoh koceknya. Pinggang sebelah kanan, tempat pistolnya berada.

Saat tangan diangkat, aku reflek memejamkan mata, mengira ia akan menodongkan senjatanya.

“Hmm?”

Sesaat kemudian mata dibuka, yang ditawarkannya padaku adalah sekotak rokok. “Kau kira aku akan sembarang menodongkan senjataku, nak?” Ia tersenyum lembut.

“Uh, maaf.”

“Tak apa.” Isi tangannya digoyang-goyangkan. “Kau mau ini atau tidak, nak?”

Aku menelan ludah. “Uh, tidak terima kasih, pak Brian.”

“Panggil aku bang Brian, oke? Kau berteman baik dengan adekku, kan?” Brian mengeluarkan isi dari rokoknya, yang ternyata adalah snack coklat dalam bentuk tabung. Lidah menjilat dan memutar, ia kembali mengulurkan kemasan plastiknya padaku.

“Iya, bang.” Aku mengambil satu, mengunyah dengan cepat, kemudian menelannya.

“Cara makanmu tak enak dilihat, ya?”

“Huh?”

“Stik coklat ini harusnya dimakan dengan cara ini.” Brian mengunyah rokoknya dengan palsu, kekuatan gigitannya bahkan tak sanggup mematahkan stik di mulut, ia lebih menggunakannya sebagai cerutu, sebelum akhirnya digigit sepertiku dan ditelan juga. “Aku hanya tak ingin kau tegang. Manisan bisa menurunkan tekanan darah untuk sementara.”

“Uhm, kalau begitu, aku boleh minta 1 lagi?” Aku memberanikan diri mengangkat tangan.

Ia langsung melemparkanku satu.

Kutangkap, kujilat, kutelan. Perasaan tak mengenakkan sejak pagi terasa lebih baikan.

“Sekarang, kita balik ke topik utama. Dari perkelahian kalian yang kulerai, aku mendapat impresi bahwa kau tahu siapa yang menyusup masuk ke sekolah ini, uhmm …” Matanya mensurveiku dari ujung rambut kepala hingga sepatu sekolah yang basah. “Siapa namamu?”

“West Edgeward, bang.”

“West … Edgeward?” Brian menyipitkan matanya.

“Ya. Uhm, ada apa dengan namaku?”

“Tidak. Tapi aku rasanya pernah membaca namamu di mana.” Kedua bahunya terangkat saat stik coklat kembali disumpalkan ke mulutnya. “Yah, tak apa. Jadi West, bisa kau beri aku informasi yang berkaitan dengan penyusup sekolah kalian ini?”

“Jadi, uhm, aku sebenarnya punya dugaan kuat tentang siapa yang masuk ke elevator itu.”

“Oho, menarik. Tolong lanjutkan.”

Aku menggeleng ke kiri dan kanan, kemudian ke pintu kaca yang tadi dibuka pak Adrian.

“Jangan khawatir, oke? Apapun yang kau katakan sekarang, akan kuparafrase kembali sehingga siapapun tak akan bisa menyalahkan kau, oke? Rumahku juga akan terjadi perang dunia ketiga jika Daniel tahu aku merugikan kau.” Brian membuka telapak tangannya padaku, mempersilahkanku untuk melanjutkan.

“Itu mungkin kakak sepupuku, Riselia Edgeward.”

“Hmm.” Brian mendekat, mengamati wajahku dari dekat untuk beberapa detik, sebelum kembali bersandar di kursi empuknya dan merogoh sesuatu dari dalam ranselnya.

Aku menunggunya untuk mendapatkan barang yang ia mau sebelum lanjutkan.

Brian yang menyadarinya langsung mengulurkan tangannya lagi. “Lanjutkan, West.”

“Kurasa ia masuk setelah mendengar ceritaku.”

Si detektif polisi itu cepat-cepat mendongakkan kepala. “Karena ceritamu?” Alisnya mengernyit, mulutnya dimiringkan. “Bisa kau perjelas lagi maksudmu?”

“Uhm, jadi Daniel pernah mengirimiku sebuah game yang berbau supernatural di ponsel.” Aku membuka ponselku dan mengakses browser. “Game itu melibatkan elevator sebagai sarananya, dimana kita harus berhenti di beberapa lantai tertentu dalam urutan tertentu agar katanya bisa ke dunia lain.”

“Dunia lain? Aku tak salah dengar?”

Website hitam putih yang dikirim Daniel kuperlihatkan kepada abangnya. “Sesuai dengan yang ada di sini sih begitu, bang. Entah anda percaya atau tidak, yang penting saya benar-benar pernah masuk ke ‘dunia lain’ itu.” Aku menekankan nadaku.

“Kau?”

Aku mengangguk. “Dunia penuh kegelapan yang hanya disinari oleh sinar merah berbentuk salib. Hanya bisa diakses dari elevator, semuanya gelap gulita dan aku bahkan ditemani oleh seorang hantu!”

Brian hanya bisa terdiam memelototiku, mungkin masih berusaha keras untuk tidak menolak ceritaku dan pergi begitu saja. Urat kepalanya muncul saat ia dengan cepat menurunkan layar ponselku hingga ke paling bawah.

“Oke, aku paham garis besar dari maksudmu. Lalu hantu, katamu?”

Aku mengangguk. “Seorang hantu wanita yang berganti-ganti pakaian antara pakaian kantor abu-abu dengan terusan putih. Rambutnya sangat panjang hingga menyentuh mata kaki, kukunya panjang, suaranya seram dan suka memanggil pada saat yang tak terduga.”

Brian cepat-cepat menggesturku untuk stop berbicara. Aku langsung menurut.

“Aku bukan fans supernatural, nak. Tapi setidaknya secara pribadi, aku memang benaran pernah mengalaminya, jadi yang kau katakan tak sepenuhnya di luar nalar sehat.”

Aku mengangguk. Setidaknya, ia memang benar-benar pendengar yang baik.

“Lalu, apa hubungannya dengan Riselia Edgeward, kakak perempuanmu?”

“Dia punya kepribadian yang suka berpetualang, dan setelah aku mengatakan pengalamanku pada dia, mungkin dia tertarik dan pergi mencobanya. Kurasa.”

“Hmm.” Sejenak lampu terang seperti menyala di atas kepala si detektif. “Sebentar, jadi kau sudah mencobanya terlebih dahulu?”

Aku mengangguk pelan, tak berani bertatap mata langsung dengannya.

Gigi putihnya malah menyala terang, dipamerkan padaku. “Anak pintar, kau benar-benar punya hubungan darah dengan kakakmu ini.”

Sedotan es teh kupercepat, hingga seluruh isinya habis. “Lagipula, dulu Mamaku juga katanya masuk status orang hilang di elevator gedung ini. Kak Riselia juga tertarik untuk mengetahui kebenaran dari misteri ini.”

“Siapa nama mamamu?”

“Rose Edgeward.”

Lagi-lagi, lampu terang menyala di atas kepala si detektif. Tangannya mengeluarkan sebuah buku setebal tinju tangannya, membalik-balik hingga ke kisaran pertengahannya. “Oh, ketemu.”

“Apanya?”

Brian Rockfort meletakkan arsipnya di meja, foto-foto orang yang masih segar di ingatan muncul. Bagian orang menghilang, diduga tanpa kekerasan.

3 wanita, 2 laki-laki, tulisan besar yang ditebalkan dengan tinta merah mengelompokkan mereka semua dalam status menghilang, persis seperti yang diperlihatkan kak Riselia.

Salah satunya Mama.

“Biar kulihat.” Brian membalikkan bukunya pada sisiku. “Rose Edgeward yang ini, kan?” Brian menunjuk ke wanita paling atas, foto kantornya yang diambil dari sudut bawah dengan kualitas kabur sedikit berbeda dengan foto formal saat melamar kerja yang ada pada buku usang kak Riselia.

“Betul.”

“Yah, ini memang sudah kasus lama. Salah satu noda hitam dari kepolisian.” Brian menutup bukunya. “Aku harap kau dapat memakluminya, West. Semua ini terjadi sebelum masa jabatanku, dan mimpiku masih untuk menyelesaikan misteri aneh ini.”

“Aku tahu.” Rintikan hujan memelan, perlahan berubah menjadi gerimis. “Jadi, apa kau sekarang percaya bahwa kak Riselia kemungkinan tidak bersembunyi di sekolah ini, melainkan di dunia lain?”

Brian membuka kedua tangannya. “Tak ada bukti kuat. Lagipula aku belum pernah melihat ada hal konyol seperti pergi ke dunia lain, nak.”

“Tapi!”

Dia menghentikanku sebelum aku berdiri, menyuruhku untuk duduk. “Tapi sebagai fakta, aku pernah melihat hantu. Maka dari itu, aku akan memercayaimu.”

Aku menurutinya, nafas lega keluar dari hidung. “Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang, bang? Kalau aku, aku ingin pergi ke dunia lain untuk menjemput kak Riselia.”

“Dia kemungkinan tersesat di sana. Karena terlalu gelap?”

“Ya. Pantulan sinar merah dalam bentuk salib hanya ada di ponselku dan elevator. Jika tujuannya memang untuk berkeliling, maka kak Riselia sudah dipastikan tak akan kembali jika ia kehilangan sesuatu yang bisa memantulkan cahaya.”

Brian mengelus-ngelus dagunya. “Maksudmu peralatan elektronik tak bekerja?”

“Di website itu sudah tertulis.”

Ia kembali mengambil ponselku yang masih terbuka, membuka website tadi.

“Lalu, keanehan lain ada pada fakta bahwa foto hantu yang kuambil tak bisa dilihat kak Riselia.”

“Maksudmu?”

Aku mengambil ponselku kembali, memperlihatkannya galeriku. “Lihat ini.”

Senyumnya lebar. “Cewe itu cantik juga. Pacarmu?”

“Huh?” Rupanya foto Angel yang mengirimkan selfie saat mencoba pakaian baru di mall!

Aku cepat-cepat menggesernya ke samping, suhu panas terasa di pipi. “Tadi salah.” Saat foto elevator dengan hantu rambut panjang itu sampai, aku menunjukkan ponselku. “Apa yang kau lihat di sini, bang?”

“Hanya foto elevator sekolah kalian?” Brian sedikit memiringkan kepalanya.

“Tapi aku melihat ada sosok hantunya di sini. Hantu wanita berambut panjang dengan terusan putih. Ia bahkan pernah mencengkeram bahuku sambil menanyakan pertanyaan tentang apa kita bisa melihat dia atau tidak.”

Brian mengambil kembali ponselku, matanya membesar dan menyipit, sebelum kembali menatapku dengan kernyitan dahi yang dalam.

“Kau yakin?”

“Kak Riselia juga tak bisa melihatnya.”

“Tadi kau sudah bilang.”

“Oh.”

Si detektif polisi melipat kakinya di meja pak Adrian, hampir menyenggol komputer tebalnya hingga jatuh. Pen dipukul-pukul ke ujung meja, tangannya kosong saat ingin mengambil isian snacknya yang telah habis dimakan. “Ada hal lain lagi? Semua petunjuk ini terlalu acak, sama sekali tak bisa dijadikan basis dari pengambilan keputusan.”

“Kecuali jika anda berani mencoba game itu.”

“Ya, itu.” Badan dimiringkan, ia menyandar dengan keras, hampir jatuh ke belakang, sebelum postur tubuh kembali ditegapkan. “Tapi aku masih tak sebodoh itu untuk mencoba game aneh ini.”

“Pola pikir anda mirip dengan Mama saya.”

Notifikasi ponselku berdering sekali, lagu kartun klasik terngiang dengan volume maksimal.

Bukannya ketawa, si polisi malah menatap layarku dengan serius. Terlalu serius.

“Bang Brian?”

“West, sudah berapa lama kakak sepupumu ini pergi?”

Aku menggeleng-geleng kepala, mencari jam dinding.

“Sekarang jam 14:30.”

“Uhh, mungkin sudah sekitar 12 jam? Aku ingat pergi ke rumahnya saat tengah malam untuk membahas hal ini. Dan satpam seharusnya sudah mulai tidur saat tanggal berubah.”

Si polisi super santai dan percaya diri untuk pertama kalinya menelan ludahnya.

Dengan nyaring, seperti ingin didengar olehku.

Petir menyambar keras.

Tidak, dia tak bisa mengendalikan dirinya.

Keringat mulai muncul di punggung, bulu kuduk berdiri. “Memangnya kenapa?”

Brian tak menjawab, hanya memperlihatkanku kotak panjang notifikasi di atas layar ponselku. Isinya pesan singkat dari kak Riselia, pesannya simpel.

West, TOLONG.

“Bang Brian!”

Belum apa-apa, Brian Rockfort sudah menerobos ke luar kantor. Payung tak dibawa, tas ditinggalkan, larinya kencang menuruni tangga, hampir jatuh di beberapa langkah terakhir. Makiannya tak terdengar saat ia terus berlari di tengah hujan, guru-guru yang keluar melihat kami berdua memberikan aba-aba tangan untuk cepat kembali.

Dinginnya air hujan tak lagi terasa di kulit, malahan rasanya panas karena paru-paru dengan cepat membakar oksigen di tubuh, lariku menjadi jogging yang menyedihkan saat sampai di gedung sekolah utama 10 lantai.

Brian sama sekali tak kelelahan, berdiri dengan tegap di depan elevator, tangan menghunuskan pistol dari sarungnya.

“Bang Brian!”

Ia membalikkan badan, cepat-cepat menyarungkan pistolnya. “Uh, maaf. Aku terbawa suasana.” Rambut rapinya basah kuyup, pomenade mengeras, helaian hitam menutupi mata kirinya. Jas dan celananya menempel di tubuh, begitu juga dengan kondisiku.

“Maksud dari pesan minta tolong itu …” Nafasku terengah-engah, kaki terduduk di semen keras. Satpam outsource di dalam pos menatapi kami.

“Apa maksudnya?”

“Mungkin kata-katamu benar. Mungkin kakakmu benar-benar tersesat di dunia sana, jika memang ada. Mungkin semua ini hanya lelucon menjijikkan.”

“Tapi alat elektronik tak berfungsi baik di sana.”

“Makanya aku bilang ini mungkin hanya gurauan. Kakakmu pernah melakukan ini sebelumnya.”

Aku cepat-cepat menggeleng kepala. “Ia suka menggodaku, tapi hal serius semacam ini tak akan dijadikannya candaan.”

“Yang berarti, ini urgen.”

“Aku akan coba pergi ke sana, bang.”

“Tidak, ini tanggung jawabku sebagai detektif dan sebagai polisi. Aku akan pergi.” Selesai mengatakannya, ia langsung mengambil ponselku dan masuk ke elevator.

“Bang Brian!”

“Laporkan pada kepala sekolahmu jika aku tak kembali dalam 1 jam. Jangan ikut aku, oke?!”

Di dalam sini pengap juga. Sekujur tubuh serasa panas dingin, mungkin karena kehujanan. Tetesan air hujan dari rambut juga mengganggu, ujungnya kuseret ke kedua sisi kepala.

Tombol naik ke lantai 4 ditekan. Ponsel menyala di tangan, layar dengan batas keterangan setinggi 20% menampilkan website aneh yang dibuka West. Pengamanannya payah, desainnya polos dan hitam putih, tapi tak terdapat iklan menyebalkan. Tak ada link yang mengarah ke website lainnya, penulisnya seorang anonymous yang berselancar di internet.

TING TONG.

Sebelum pintu elevator itu membuka, aku cepat-cepat mengarahkannya ke lantai 2.

TING TONG.

Lalu lantai 6. Jariku yang menekan tombolnya cepat-cepat sepertinya menandakan kecemasan terhadap keselamatan kakak sepupu West. Mata bolak-balik pada pintu dan layar, layaknya orang setengah gila yang baru keluar dari sekolah mata-mata.

Jangan cemas, jangan gegabah, jangan buru-buru. Kata-kata pelatih terdengar seperti omong kosong saat ada hidup yang dipertaruhkan.

TING TONG.

Kembali ke lantai 2. Cepat, cepat, cepat.

Getaran saat berpindah lantai kuat, panel tulisan yang mengindikasikan lantai tempat aku berada mati hidup, lampu di dalamnya juga bernasib sama.

TING TONG.

Nafas telah mulai memelan, kebisingan lantai 2 dari para petugas cleaning service telah dengan jelas masuk ke dalam kuping. Begitu juga dengan suara aneh yang berbisik-bisik dengan bahasa tak jelas saat pintu elevator kembali menutup.

Sesuai dengan instruksi website tadi, semua suara ini harus diabaikan, apapun yang terjadi.

Pistol dikeluarkan dari sarung, pengamannya dilepas, amunisi dicek, tersedia 7 tembakan.

Lalu lantai 10.

TING TONG. Pintunya terbuka lebih cepat dari jariku yang menekan tombol, hanya atap terbengkalai yang masih dalam proses konstruksi, seorang tukang yang sedang mengecat dinding menoleh kepadaku dalam kebingungan.

Pintu elevator cepat-cepat kutekan tutup.

Lalu kurungan besi ini turun ke lantai 5. Seharusnya aktor utamanya akan muncul di sini.

TING TONG.

Seorang wanita berambut super panjang hingga mencapai mata kakinya benar-benar masuk. Dari beberapa sudut yang nampak, ia mengenakan pakaian kantor dan rok kerja abu-abu, semuanya terlihat berdebu. Kuku tangannya panjang, kakinya tak mengenakan alas apapun, badannya setengah membungkuk.

Persis seperti deskripsi West. Di masa lalu, memang ada seorang psikopat wanita yang kujebloskan masuk rumah sakit jiwa yang berpenampilan semacam ini.

Aku melihat ke layar ponsel, lampu pada elevator berkedip cepat 2 kali.

Do not acknowledge her in any way; do not even look at her. The woman is not human. Some claim that if you acknowledge her, she’ll take you straight to another world with no chance of escape.

“Jangan bergerak dan angkat tanganku!”

Heh, mungkin dia penyebab dari seluruh fenomena ini.

“Siapapun yang berada di depanku!”

Mungkin hanya badut, mungkin benaran psikopat. Hanya satu cara lain untuk mencari tahu jika dia tak mau bicara, lencana polisi di dadaku sudah memberikan solusinya.

Flash kamera dinyalakan, beberapa foto sekitar diambil, dengan pusat utamanya si hantu. Jari jempol dan telunjuk dikeraskan, pelatuk ditarik, bara api menyala.

Lampu elevator tiba-tiba mati, hidup lagi saat asap bubuk mesiu mulai tercium.

Timah panas ditembakkan, lubang pada dinding elevator terbentuk dalam ukuran bola ping pong, lengan si wanita yang kuincar sama sekali tak terluka. Atau lebih tepatnya, ia sama sekali tak bergerak.

Mata memerahnya keluar dari sembunyi rambutnya, menatapiku dengan … amarah?

“Apa kau dapat MELIHATKU?”

Pupil hitam mengunci pupil hitam, tanganku terasa terlalu tegang, getarannya tak sanggup membuatku membidik lurus.

APA KAU DAPAT MELIHATKU?!”

Tak meresponnya.

Ia melihat ke samping.

Helaan nafas lega keluar dari kedua lubang hidung.

Dia benar-benar makhluk mistis, hukum fisika tak bekerja pada barang semacam ini. Harus mengikuti aturan main dari dunia ini, eh? Sekilas lihat, wajahnya tak terlihat dengan Rose Edgeward. Tidak juga dengan wanita lain yang pernah menghilang dari kota, dia juga sudah dipastikan bukan laki-laki.

Jadi dia hanya berfungsi sebagai hantu penunggu elevator.

AKU TANYA APA KAU DAPAT MELIHATKU?!” Dalam terjangan cepat yang gagal kuhindari, cengkeraman tangannya kuat di bahuku dan mendorongku jatuh ke lantai elevator. Lengan baju terkoyak, bau besi menemani cairan merah segar yang mengalir, rasa sakit mengikuti setelahnya.

Senyumku malah keluar, tangan merogoh sekotak stik coklat sambil menahannya di ujung bibir.

Aku membuatnya marah? Atau ini memang sifat agresif hantu semacam ini?

Air liurnya menjijikkan, lidah menjilat-jilati bibir bukan karena aku adalah mangsa baginya, melainkan karena ia sendiri tak dapat menahannya. Meskipun kulitnya kering dan bibir pecah-pecah, aku mulai dapat melihat sedikit kemiripin antara hantu ini dengan West. Ujung kuping yang lancip, rambut hitam pekat, dan selautan luas kekhawatiran di balik amarah yang meledak-ledak.

Pistol dimasukkan ke dalam sarung, aku perlahan merelaksasi otot di lengan yang tertekan.

Tatapan mata kami terkunci untuk beberapa saat, sebelum ia sendiri melepaskanku dan bangun, layaknya tak terjadi apa-apa antara kami berdua.

Aku juga kembali berdiri, sobekan jas mahal kuikat erat di bagian kulit yang menganga.

Sial, sakit juga. Dasar bajingan.

Selanjutnya, tombol elevator kutekan menuju lantai 1.

TING TONG.

Pintu elevator terbuka, seorang pemuda yang menunggu dengan muka cemberut disertai beberapa guru sekolah negeri ini dan kepala sekolahnya menungguku. Supir mobil dinasku juga bersama mereka, memberi jarak sekitar 1 meter kepada mereka.

West langsung berlari terengah-engah, hanya berhenti saat Roland menghentikannya.

“Biarkan saja dia, Roland.”

Roland mengangguk, membiarkan West mendekatiku.

“Kau tak apa, bang Brian?!” Kepanikan pada wajahnya bahkan melebihi para orang dewasa di sini yang terlihat lebih tertarik untuk mempertanyakan tugasku.

“Tak ada sesuatu yang terlalu menyeramkan, nak.”

“Darah mengalir dari lenganmu, Brian.” Roland menunjuk ke lenganku yang pendarahannya masih terbuka. Simpul ikatan dari bekas kain jas rupanya tak cukup untuk menutupnya.

“Yah, sesuatu terjadi.”

“Pelakunya sudah ditemukan?”

“Tentu belum. Sejujurnya, ini di luar tanggung jawabku.”

“Apa maksud anda, bang Brian?” Masih dengan muka mencemaskan dari West.

Kepala sekolah dan 3 guru lainnya akhirnya mendekat.

“Apa yang terjadi?” Pak Adrian memutariku sekali dari depan ke belakang, kotak P3K diturunkan dan isinya dibuka, guru olahraga yang menawariku cemilan pak Partiam menuangkan beberapa tetes alkohol untuk pembersihan luka, sebelum membalut lenganku dengan perban.

Rintihan sakit tak sengaja keluar saat kain kassa membalut kulit terlebih dulu.

“Apa ada semacam perkelahian di dalam elevator? Anda bergelut dengan siapa?”

“Dengan sesuatu yang tak nampak, kepala sekolah.”

“Hah?”

2 guru kekar yang sempat kulihat berada di ruang rapat pada kantor guru sigap memeriksa seisi elevator. Sosok hantu wanita itu telah hilang begitu saja, sama sekali tak memberi jejak apapun tentang keberadaannya.

Sejujurnya jika bukan karena luka di lengan, aku juga mungkin akan menggangap ini sebagai halusinasi.

“Kurasa akan lebih tepat jika anda memanggil pihak gereja ke sini, pak Adrian.”

“Apa? Gereja, detektif Rockfort?”

“Untuk menyucikan seluruh sekolah anda. Atau kalau budget anda tak setebal itu, mungkin bisa minta bantuan tukang anda untuk merobohkan elevator ini.”

“Iya, tapi kenapa dulu? Aku perlu tahu duitku tak sembarang dibuat untuk merobohkan fasilitas umum ini.”

“Ada banyak penyebab, dimulai dari tes keamanan yang tak lolos, kelayakan dan kenyamanan elevator yang diragukan, hingga kelistrikannya yang bermasalah.” West yang melototiku perlu kuabaikan dengan sekuat tenaga, demi keselamatan orang agar tak mencoba permainan konyol ini lagi. “Tapi jika ingin menyasar ke alasan paling utamanya, elevator ini dihantui. Seorang korban sudah jatuh.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Diary : You Are My Activist
12893      2225     4     
Romance
Kisah tentang kehidupan cintaku bersama seorang aktivis kampus..
MANGKU BUMI
110      101     2     
Horror
Setelah kehilangan Ibu nya, Aruna dan Gayatri pergi menemui ayahnya di kampung halaman. Namun sayangnya, sang ayah bersikap tidak baik saat mereka datang ke kampung halamannya. Aruna dan adiknya juga mengalami kejadian-kejadian horor dan sampai Aruna tahu kenapa ayahnya bersikap begitu kasar padanya. Ada sebuah rahasia di keluarga besar ayahnya. Rahasia yang membawa Aruna sebagai korban...
Buku Harian
614      381     1     
True Story
Kenapa setiap awal harus ada akhir? Begitu pula dengan kisah hidup. Setiap kisah memiliki awal dan akhir yang berbeda pada setiap manusia. Ada yang berakhir manis, ada pula yang berakhir tragis. Lalu bagaimanakah dengan kisah ini?
1 Kisah 4 Cinta 2 Dunia
22766      2759     3     
Romance
Fina adalah seorang wanita yang masih berstatus Mahasiswi di sebuah perguruan tinggi. Ia adalah wanita yang selalu ceria. Beberapa tahun yang lalu ia mempunyai seorang kekasih yang bernama Raihan namun mereka harus berpisah bukan karena adanya orang ketiga namun karena maut yang memisahkan. Sementara itu sorang pria yang bernama Firman juga harus merasakan hal yang sama, ia kehilangan seoarang is...
Premium
Cinta si Kembar Ganteng
2680      841     0     
Romance
Teuku Rafky Kurniawan belum ingin menikah di usia 27 tahun. Ika Rizkya Keumala memaksa segera melamarnya karena teman-teman sudah menikah. Keumala pun punya sebuah nazar bersama teman-temannya untuk menikah di usia 27 tahun. Nazar itu terucap begitu saja saat awal masuk kuliah di Fakultas Ekonomi. Rafky belum terpikirkan menikah karena sedang mengejar karir sebagai pengusaha sukses, dan sudah men...
The Investigator : Jiwa yang Kembali
1801      730     5     
Horror
Mencari kebenaran atas semuanya. Juan Albert William sang penyidik senior di umurnya yang masih 23 tahun. Ia harus terbelenggu di sebuah gedung perpustakaan Universitas ternama di kota London. Gadis yang ceria, lugu mulai masuk kesebuah Universitas yang sangat di impikannya. Namun, Profesor Louis sang paman sempat melarangnya untuk masuk Universitas itu. Tapi Rose tetaplah Rose, akhirnya ia d...
Ruman Tengah Jalan
682      400     3     
Horror
Meteor Lyrid
347      256     1     
Romance
Hujan turun begitu derasnya malam itu. Dengan sisa debu angkasa malam, orang mungkin merasa takjub melihat indahnya meteor yang menari diatas sana. Terang namun samar karna jaraknya. Tapi bagiku, menemukanmu, seperti mencari meteor dalam konstelasi yang tak nyata.
The Killing Pendant
2471      967     2     
Mystery
Di Grove Ridge University yang bereputasi tinggi dan terkenal ke seluruh penjuru kota Cresthill, tidak ada yang bisa membayangkan bahwa kriminalitas sesepele penyebaran kunci jawaban ujian akan terjadi di kelas angkatan seorang gadis dengan tingkat keingintahuan luar biasa terhadap segala sesuatu di sekitarnya, Ophelia Wood. Ia pun ditugaskan untuk mencari tahu siapa pelaku di balik semua itu, ke...
29.02
380      181     1     
Short Story
Kau menghancurkan penantian kita. Penantian yang akhirnya terasa sia-sia Tak peduli sebesar apa harapan yang aku miliki. Akan selalu kunanti dua puluh sembilan Februari