Loading...
Logo TinLit
Read Story - Unexpected Wedding
MENU
About Us  

Sepi.

Satu kata itulah yang ada di benak Lintang ketika memasuki ruang tamu keluarga Sailendra. Tidak ada penyambutan, atau sapaan hangat dari pemilik rumah.

Lintang lantas tersenyum pahit. Memangnya, siapa Lintang hingga pemilik rumah harus menyambut dirinya dengan ramah tamah. Yang mereka pikirkan, hanya nama baik keluarga dan tidak pernah mau tahu dengan perasaan Lintang saat ini.

“Mbak Lintang?” tanya seorang wanita paruh baya yang keluar dari bagian ruang yang lebih dalam, untuk menyambut penghuni baru di kediaman keluarga Sailendra. “Kenalkan, saya Idha, asisten rumah tangga di sini. Subuh tadi, ibu sudah nelpon, kalau Mbak Lintang pagi ini langsung pulang ke rumah. Jadi, ayo ikut saya! Biar saya tunjukin kamarnya mbak Lintang.”

Belum sempat Lintang menjawab, wanita yang baru saja memperkenalkan diri dengan cepat itu, langsung berbalik pergi. Memasuki bagian rumah yang lebih dalam, masih dengan langkah yang tergesa. Untuk itu, Lintang pun bergegas mengikuti Idha dan menyamakan langkahnya.

“Jadi, setelah ruang tamu, kita langsung masuk ke ruang makan sekaligus ruang santai, tapi bukan untuk keluarga,” terang Idha sambil terus saja berjalan menuju ruangan yang selanjutnya. “Karena bapak sama ibu sering ngadain pertemuan di rumah, jadi, dua ruangan depan barusan khusus untuk kegiatannya mereka.”

Lintang mengangguk dan bisa memahami penjelasan Idha. Kemudian, ia melewati pintu geser yang tidak tertutup dan terlihat ruang luas yang cukup lega dengan dipenuhi rak-rak buku di tiap sisi dindingnya. Lintang melihat dua pintu tertutup yang saling berseberangan di kanan kirinya, dan sebuah pintu lagi tepat berada di hadapan.

“Ini ruang perpustakaan.” Idha kembali menjelaskan. “Pintu kanan ruang kerja pak Ario, dan pintu sebelah kiri ruang kerja mas Raga. Terus di depan sana, barulah rumah yang sebenarnya.”

Lintang terus mengikuti Idha melewati pintu selanjutnya. Ruangan selanjutnya, tampak seperti ruang keluarga dengan hamparan karpet yang luas, dan sofa panjang yang mengitarinya.

“Semua kamar anggota keluarga, ada di lantai dua,” jelas Idha lagi sambil menaiki tangga yang terletak di samping kiri pintu.

Lintang ikut menaiki tangga dengan cepat, agar bisa mengimbangi Idha yang sepertinya terlalu bersemangat.

Setibanya di lantai dua, Lintang benar-benar disajikan sebuah ruangan yang tampak seperti taman bermain anak. Nuansa biru dan putih yang begitu kental, menunjukkan bahwa identitas pemiliknya adalah seorang bocah laki-laki.

Kemudian, Idha kembali menjelaskan kamar para pemilik rumah dengan detail. Akan tetapi, langkah Lintang dan Idha terhenti ketika berada di depan kamar Safir. Pintu kamar pria itu terbuka, dan menampilkan sosok Safir yang hanya memakai celana pendek dan kaos oblongnya.

“Siang Mas Safir,” sapa Idha dengan anggukan ramah. “Saya mau tunjukin kamar Mbak Lintang dulu, permisi.”

Sembari kembali melangkah, tatapan Lintang dan Safir saling bertubrukan datar. Keduanya tidak menyematkan senyum, maupun anggukan seperti yang dilakukan oleh Idha. Hanya diam tanpa kata hingga jarak jualah yang harus membuat Lintang lebih dulu memutus tatapan datarnya pada Safir.

“Ini kamar mbak Lintang,” terang Idha sambil membuka pintu yang letaknya harus melewati koridor kecil terlebih dahulu. “Semua baju, dan barang-barang lainnya, sudah saya taruh di tempatnya. Kalau gitu, silakan istirahat karena saya harus ke bawah dulu. Permisi.”

“Makasih, Bu.”

Idah tersenyum dengan anggukan, lalu bergegas pergi kembali ke lantai bawah.

Sedangkan Lintang, langsung memasuki kamar yang besarnya hampir tiga kali lipat dengan kamarnya yang berada di kediaman Dewantara.

“Heh!”

Satu teguran itu, membuat Lintang segera membalikkan tubuhnya cepat. Di bibir pintu, sudah ada Safir yang bersandar sambil bersedekap.

Lintang tidak membalas sapaan Safir, karena pria yang sudah resmi jadi adik iparnya itu ternyata sangat tidak sopan. Yang Lintang lakukan hanya mengangkat sedikit kedua alisnya dengan memberi tatapan tanya.

“Sorry, gue nggak bisa nikahin elo, karena lo bukan tipe gue,” lanjut Safir terus terang.

Lintang tersenyum tipis, dan tidak ingin menanggapi Safir dengan emosi. “Tenang, lo juga bukan tipe gue.”

Safir tertawa kecil, terkesan meremehkan ucapan Lintang. “Sampai kapan pun, lo itu nggak bakal bisa selevel sama Biya.”

“Pastinya.” Lintang mengangguk mengiyakan. “Biya lari dari tanggung jawab, dan gue, berani nerima tantangan buat gantiin dia. Jadi, sampai kapan pun kami memang nggak akan selevel. Ngerti sampai di sini?”

Safir mengumpat keras. Tubuhnya menegak dengan raut wajah tidak ramah. “Jangan main-main sama gue!” telunjuk Safir mengarah tajam pada Lintang, yang selalu bisa membalas perkataannya dengan cara yang begitu menyebalkan. “Lo, di sini itu cuma tumbal. Nggak akan ada yang nganggap lo bagian dari keluarga Sailendra!”

“Terus?” tanya Lintang tetap berusaha santai. Untuk itu, ia berbalik memunggungi Safir dan segera beranjak menuju tempat tidur lalu duduk di tepinya.

Terus?

Sampai di sini, Safir mendadak bingung. Mengapa gadis itu sama sekali tidak terpancing dengan kata-katanya.

“Ya, lo harus ngerti di mana posisi, lo!” balas Safir dengan amarah yang mulai terpancing. Padahal, sedari tadi Lintang hanya bersikap tenang.

“Ya, gue ngerti,” jawab Lintang sudah tidak ingin lagi berdebat dengan pria itu. “Kalau kata sambutannya sudah selesai, tolong pergi dan tutup pintunya.”

Safir kembali mengumpat. Kali ini, Ia benar-benar menutup pintu dengan keras lalu meninggalkan Lintang. Jika saja Biya tidak pergi entah ke mana, pagi ini Safir pasti sudah menikmati bulan madu bersama gadis itu sebagai sepasang pengantin baru.

Lintang menghela kasar nan lega setelah kepergian Safir. Walau sempat terkejut dengan suara pintu yang dibanting begitu keras, tapi Lintang sudah tidak memedulikannya.

--

“Makan malam sudah siap, Mbak,” kata Idha setelah Lintang membuka pintu kamar.

“Saya nggak lapar, Bu.” Lintang menyandarkan tubuhnya pada sisi daun pintu yang terbuka. Siang tadi, Lintang makan seorang diri di meja makan, tanpa ada siapa pun menemaninya. Entah ke mana perginya seluruh keluarga Sailendra, Lintang juga tidak ingin mempertanyakannya pada Idha.

“Tapi bapak ibu sudah ke bawah, Mbak,” sahut Idha lagi.

“Mereka sudah datang?”

“Sudah dari tadi sore,” terang Idha mulai memutar tubuhnya dan bersiap pergi. “Ke bawah, ya, Mbak. Permisi.”

Jelas saja Lintang tidak tahu menahu, karena setelah menghabiskan makan siang, ia hanya menghabiskan waktu di dalam kamar.

Karena ini makan malam pertama keluarga, Lintang harus memberi kesan yang baik. Ia pun segera menutup pintu lalu mengganti piyama tidurnya dengan pakaian yang lebih sopan. Sebuah celana kulot, dan kaos yang sedikit longgar agar lekuk tubuhnya tidak terlihat.

Setelah melihat penampilannya sudah cukup rapi, Lintang segera keluar kamar dan bergegas menuju meja makan.

“Malam,” sapa Lintang berusaha bersikap sopan pada seluruh anggota keluarga yang ternyata sudah berada di bawah.

“Malam.”

Balasan tersebut, hanya dilontarkan oleh Ario dan istrinya. Sementara kedua anak lelaki dari keluarga Sailendra, seolah kompak hanya memberi tatapan datar yang tidak bisa terbaca. Sedangkan bocah kecil yang ada di samping Raga, justru melihat Lintang dengan penasaran.

“Duduk di samping Raga,” titah Retno yang melihat Lintang mematung di sudut meja. Gadis itu terlihat bingung, dan tidak tahu harus melakukan apa. “Dan ayo kita makan malam.”

Lintang mengangguk dan segera melakukan perintah dari tuan rumah. Wajar rasanya jika Lintang merasa gugup, ketika pertama kali berada bersama keluarga Sailendra. Wajah-wajah yang baru dikenalnya itu, terasa sangat dingin dan membuat Lintang tidak nyaman.

“Tante siapa?” celetuk Rama yang sedari tadi hanya menatap Lintang. Jika diingat lagi, selama prosesi pernikahannya dengan Raga, Lintang sama sekali tidak melihat Rama ada di ruangan.

“Tante Lintang,” jawab Retno yang duduk diapit oleh Rama dan Safir. “Mulai sekarang Tante Lintang tinggal di sini sama kita. Jadi, Rama baik-baik sama tante, ya.”

Tante.

Ya, Lintang memang tidak perlu berharap agar dipanggil dengan sebutan mama oleh Rama. Lebih baik seperti ini, karena perceraian itu sudah pasti ada di depan mata. Lintang juga tidak perlu berpura-pura baik untuk mengambil hati bocah itu. Seketika itu juga, Lintang kembali teringat ucapan Safir tadi pagi. Lintang, sebenarnya hanya perantara dua keluarga untuk dijadikan tumbal.


 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Warna Warni Rasa
1259      573     2     
Romance
Rasa itu warna. Harus seperti putih yang suci. Atau seperti hijau yang sejuk. Bahkan seperti merah jambu yang ceria. Rasa itu warna. Dan kau penentunya. Banyak gradasi yang harus di lalui. Seperti indahnya pelangi. Bahkan jika kelabu datang, Kau harus menjadi berani seperti merah. Jangan seperti biru yang terlihat damai, Tapi jika marah akan menghancurkan bumi seperti tsunami. R...
Aku Bukan Kafir!
10389      2428     6     
Inspirational
Pemuda itu bernama Arman, suku jawa asli yang lahir dari seorang buruh sawah di daerah pelosok Desa Peloso, salah satu Desa di Jombang. Ngatini adalah adik dari almarhumah Ibu kandung Arman yang naik ranjang, menikah dengan Pak Yusup yang biasa dipanggil Lek Yusup, Bapak kandung Arman, yang biasa dipanggil Lek Yusup oleh orang-orang sawah. Sejak kecil Arman selalu ikut Lek Yusuf ke sawah. Hingga ...
Ruang Nostalgia
353      256     1     
Short Story
Jika kita tidak ditakdirkan bersama. Jangan sesali apa pun. Jika tiba-tiba aku menghilang. Jangan bersedih, jangan tangisi aku. Aku tidak pantas kamu tangisi. Tapi satu yang harus kamu tau. Kamu akan selalu di hatiku, menempati ruang khusus di dalam hati. Dan jika rindu itu datang. Temui aku di ruang nostalgia. -Ruang Nostalgia-
Singkirkan Peluh Samar
481      350     0     
Short Story
Menceritakan tentang seorang gadis yang dengan tabah dan jiwa bersemangat mencapai apa yang ia harapkan diantara kekurangan dan banyak orang yang tidak mendukung kerja kerasnya. Namun, itu tak bertahan lama, jati diri sang gadis pun akhirnya terungkap.
The Hidden Kindness
400      281     2     
Fan Fiction
Baru beberapa hari menjadi pustakawan di sebuah sekolah terkenal di pusat kota, Jungyeon sudah mendapat teror dari 'makhluk asing'. Banyak sekali misteri berbuntut panjang yang meneror sekolah itu ternyata sejak ada siswi yang meninggal secara serius. Bagaimana cara Jungyeon harus menghadapi semua hal yang mengganggu kerja di tempat barunya? Apakah ia harus resign atau bertahan?
Anne\'s Daffodil
1098      419     3     
Romance
A glimpse of her heart.
FIGURE 09
1697      668     3     
Fantasy
FIGURE.. sebuah organisasi yang memberikan jasa agen mata-mata atau pembersihan dunia daripara sampah yang terus memakan uang rakyat. bahkan beberapa raja dan presiden tersohor memiliki nomor bisnis mereka. seseorang yang sudah menjadi incaran para agen Figure, pasti akan berakhir pada kematian atau penjara seumur hidup, itu pun masih ringan karena biasanya sang pemakai jasa menginginkan mereka h...
Deep Sequence
555      460     1     
Fantasy
Nurani, biasa dipanggil Nura, seorang editor buku yang iseng memulai debut tulisannya di salah satu laman kepenulisan daring. Berkat bantuan para penulis yang pernah bekerja sama dengannya, karya perdana Nura cepat mengisi deretan novel terpopuler di sana. Bisa jadi karena terlalu penat menghadapi kehidupan nyata, bisa juga lelah atas tetek bengek tuntutan target di usia hampir kepala tiga. N...
Petualang Sejati
505      364     0     
Short Story
Jauh atau dekat bukan masalah, namun dirimu yang menentukan.
One of The Boys
783      466     8     
Romance
Summer is here, and Mercy O\'Keefe\'s will consist of sun, sea, sand - and her cousin Blake and his friends. But for Mercy, being \'one of the boys\' is about to take on a whole new meaning.