Read More >>"> RESTART [21+] (Bab 18 (Pintu Kaca)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - RESTART [21+]
MENU
About Us  

“Bulan ganti, pacar juga ganti.”

Sambil jarinya menari diatas keyboard, Aruna berujar seperti itu. Dia tengah menulis laporan perkembangan kesehatan pasien yang telah dia rawat dua bulan lebih, seorang wanita dengan stroke ringan. Laporan itu akan segera dikirimkan kepada neurologis yang menangani wanita tersebut.

“Yah, gitu lah.”

Aku menjawabnya juga dengan menatap layar, bedanya pada tablet, mengerjakan sebuah video stop motion untuk usaha cemilan produksi rumahan. Sore itu suasana tenang, walaupun kami sama-sama tengah bekerja, tapi santai, tidak tergesa-gesa. Aku duduk bersandar pada dipan, sedangkan Aruna membelakangiku, dia duduk pada meja kerja, sedang menggunakan komputer. Musik mengalun pelan dari speaker. Angin masuk dari jendela yang menganga membuat rambut Aruna bergoyang lembut kiri kanan. Bau khas setelah hujan, walaupun tidak begitu segar, namun cukup membantu membuat sore itu terasa sejuk.

“Jadi Trisna gimana?” tanya Aruna lagi, masih sambil mengetik. Kami berbicara tanpa melihat satu sama lain. Hanya aku yang kadang menatap punggungnya.

“Ya, masih sama pacarnya.” 

“Tapi waktu Ares ujian, Trisna datang.”

“Iya, datang. Tapi buru-buru balik pas Ares selesai. Gak nungguin Ares keluar ruangan.”

“Dia suka sama Ares,” ujar Aruna.

“Kalau suka, sih, suka.”

“Iya. Aku tahu sebagai sesama perempuan. Dia sayang, dia cinta. Tapi dia di posisi yang gak bisa milih.”

“Ares bilang dia pernah nanya, tapi gak dijawab jelas sama Trisna. Jawabannya cuma nyaman aja sama Ares.”

Aruna menghela nafas.

“Kenapa?” tanyaku.

“Kasihan Ares.”

“Gak kasihan-kasihan amat. Dia kan juga udah punya pacar, udah dua kali ganti malah.”

Aruna tertawa pelan, “Bisa gitu, ya?”

“Itu namanya dorongan naluri primitif.”

“Hah? Gimana?” Akhirnya Aruna memutar kursi, kini menghadapku dengan dahi mengernyit. Ingin tahu.

“Iya. Manusia primitif itu tertarik pada lawan jenis cuma karena dorongan naluri atau ketertarikan fisik aja. Gak didasari tanggung jawab atau keinginan untuk memperkuat hubungan setelahnya,” jelasku.

“Setelah ketertarikan fisik hilang, ya udah, selesai,” Aruna melanjutkan. 

“Iya. Itulah alasan kenapa banyak orang bisa pindah-pindah dari satu hubungan singkat ke hubungan dangkal lain. Naluri. Fisik.”

Aruna mengangguk memahami lalu kembali memutar kursi, jari-jarinya kembali membuat bunyi khas pada keyboard mechanical.

“Kalau kamu? Pernah punya perasaan primitif?” tanya Aruna lagi di antara suara tik tak tik tak keyboard.

“Hmm … masa puber dulu mungkin,” jawabku sambil mengatupkan bibir, menahan senyum. Penasaran dan tidak sabar menunggu respons Aruna. 

Aruna memutar kursi –lagi.

“Gimana dulu pacaran?”

Dia bertanya dengan nada kesal seturut dengan alisnya yang bertaut.

Aruna penasaran. Aku senang.

Aku tidak tahan untuk tidak tertawa. Lalu dengan iseng ingin mengganggunya, membuat cerita ini seolah rahasia.

“Kepo banget! Ada, deh …,”

Matanya mengecil karena terkejut mengetahui bahwa aku seolah enggan bercerita kali ini. Biasanya, setiap pertanyaan Aruna akan aku jawab tanpa basa-basi. Hampir selalu. 

“Ngapain kamu natap aku manis gitu?” tanyaku iseng. 

“Ini natap sinis!” Seru Aruna.

“Lah? Masa? Sama aja keliatannya,” aku cekikikan.

Aruna kesal. Aku makin riang.

“Ngapain aja dulu?” desaknya lagi.

“Apa sih? Gak boleh nanya-nanya masa lalu orang. Bahkan agama aja larang.”

“Mentang-mentang hari ini Maulid Nabi, tiba-tiba religius, bawa agama segala,” Aruna berdecak setelahnya.

Aku terkekeh.

“Ra-ha-si-a.” jawabku asal hanya untuk membuatnya semakin kesal.

“Nah, kan?”

Dia berdiri meninggalkan pekerjaannya. Dengan langkah cepat dia menghampiri dan menghempaskan dirinya duduk pada kasur. Mencondongkan tubuhnya, nyala matanya penuh tanda tanya, “Itu dorongan naluri, kan?” ujarnya kemudian.

Akhirnya tawaku lepas. Wajahnya yang dia pikir menakutkan itu terlihat sangat lucu bagiku.

Belum lagi ketika mulutnya mulai maju, cemberut saat melihatku tertawa.

“Itu pas SMA, aku naksir teman sekelas. Pacaran cuma dua atau tiga bulan, putus karena dia bilang suka orang lain, anak kuliahan.”

“Aku tanya ngapain aja bukan berapa lama dan kenapa putusnya.”

“Tapi nanti pasti kamu tanya itu, kan?”

“Iya, setelah aku dapat jawaban dari ngapain aja.”

Aku kembali tertawa.

“Sini …,” aku menepuk pelan permukaan kasur meminta Aruna mendekat. Aruna menuruti seperti anak kecil, wajahnya penuh harap. Sesuatu pada wajahnya seolah mengatakan bahwa ini akan menjadi momen rahasia besar terbongkar, namun sisi lainnya seperti berharap bahwa cerita ini jangan sampai terlalu mengejutkan.

Aku memegang kepalanya dengan kedua tangan, menutupi telinganya.

“Aku begini,” mencium pipi kanannya.

“Begini juga,” mencium pipi kiri,

“Juga ini,” mencium keningnya.

“Tapi gak begini,” mengecup bibirnya.

Aruna tersenyum saat aku melepaskan tangan dari kepalanya. Dia malu-malu sambil menyelipkan rambut ke telinga.

“Udah? Seneng?” tanyaku.

“Namanya siapa?”

Lagi-lagi aku tertawa. Sebegitu pentingnya bagi Aruna.

“Cantik?” tanya Aruna mendesak,

“Udah, ah! Ntar merembet kemana-mana.”

Aruna manyun. Begitu terus saat dia berjalan kembali ke komputer, menulis.


 

“Foto teman kamu, si Ulfa, kamu aja yang kasih, ya? Itu yang terakhir.” 

Akhirnya, aku yang benar-benar dikira sebagai fotografer pada acara wisuda Aruna dengan terpaksa menyelesaikan pekerjaan itu. Ada empat orang, yang terakhir selesai adalah foto milik Ulfa, telah selesai diedit dan dicetak sebanyak tiga. Semua penghasilan dari pekerjaan pura-pura itu aku serahkan kepada Aruna,  termasuk uang yang ditransfer Bu Sarah.

Lalu menggunakan uang itu, Aruna membelikan cemilan-cemilan dan dia bawa ke studio saat sore pulang bekerja.


 

Bercerita tentang wisuda, acara wisudaku berjalan biasa saja, seperti semestinya. Studio tutup. Ares sibuk menjadi fotografer dan sibuk juga tebar pesona sehingga pada acara wisuda itu dia mendapatkan pacar baru yang kemudian tiga minggu setelahnya mereka putus dengan alasan sama-sama bosan. Setelah acara dari kampus selesai, kami pindah ke studio. Aku bersama ibu dan adikku menyempatkan foto keluarga. Ibu sempat menitikkan air mata, berbisik padaku bahwa andai saja bapak masih ada dia akan sangat bangga. Aku memeluk ibu, mengatakan padanya bahwa bapak tahu. Entah dibagian mana, tapi aku yakin bapak melihat. Lalu mendengar itu ibu tertawa pelan, “Makanya kamu belajar agama, gak ada lagi urusan orang yang meninggal di dunia. Bapakmu lagi sibuk di akhirat sana, dihitung amalnya.”

Upayaku untuk menenangkan ibu gagal total dengan cara yang tampak bodoh. Ujaran ibu itu diikuti oleh tawa Marwa dan Aruna yang baru saja  bisa menyusul ke studio saat sore pulang kerja. Aruna dan Marwa akrab. 

Di antara senyum riang dan kebahagiaan, Ares justru sedikit muram. Dengan mata kepala sendiri dia melihat keluarga Trisna sudah dekat dengan si dokter muda. Membaur dengan sangat baik. Trisna memang dijaga ketat oleh pacarnya, bahkan saat aku menghampiri untuk mengucapkan selamat dan berniat berfoto bersama, pacarnya merangkul segera. Tak lupa raut keangkuhannya. Dengan sengaja memperlihatkan bahwa kini Trisna tidak bisa bebas berteman bersama kami. Akhirnya tanpa berfoto, aku pamit setelah bersalaman dengan Trisna. Trisna tampak tersenyum, getir. Dia melirik Ares sebentar, Ares membalasnya dengan senyuman, juga getir.

“Tengik!”

Ujar Ares beberapa langkah setelah menjauh dari mereka.


 

Malamnya, aku bersama Aruna menyusul ibu dan Marwa yang menginap di hotel. Aku berencana mengajak makan malam bersama, termasuk Ares. Namun Ares tidak bisa hadir sebab sedang mengantar mami ke rumah seorang teman untuk arisan. Ikhsan –calon suami Marwa, menelepon saat aku baru saja sampai pada parkiran hotel, dia mengucapkan selamat dan meminta maaf sebab tidak bisa hadir saat acara wisuda, kini dia sedang dalam perjalanan dan sudah hampir sampai kost. Aku mengatakan bahwa aku sudah di hotel dan akan makan malam bersama Ibu, Marwa dan Aruna. Aku mengajak Ikhsan bergabung. Dia setuju.

Singkat cerita, kami makan dengan hati senang dan suasana riang. Hampir setahun tidak mengetahui interaksi Ikhsan dengan ibu dan adikku, kini aku dapati bahwa ibu terlihat lebih luwes saat berbincang dan Marwa sudah tidak canggung. Aruna juga bisa berbaur dengan baik. Aku lega, semuanya berjalan nyaris sempurna. Sampai-sampai aku takut hanyut dalam kebahagiaan ini, mengingat tidak ada kebahagiaan yang selamanya.


 

Aruna sudah selesai menuliskan laporan dan sudah mengirimkannya. Tangannya beralih dari keyboard, kini menyusuri barisan buku-buku yang tersusun tepat di samping monitor. Hampir seluruhnya adalah buku fotografi, hanya ada beberapa novel, dua atau tiga. Aruna berjalan ke arahku membawa satu buku, naik ke kasur dan duduk bersandar pada dipan,kami tepat bersisian. Dia mulai membuka novel itu dan tahu-tahu sudah setengahnya.

Dia tahu aku menatapnya heran, “Aku baca cerita ini, pas kamu di studio. Aku masuk kamar kamu, ngadem atau ngindarin ribut-ribut tukang sebelah.”

“Silahkan. Aku seneng malah, kunci yang aku titipin jadi gak sia-sia. Aku balik-balik kamar udah wangi kamu,” aku mengusap kepalanya. Dia bersandar pada bahuku sambil membaca A Man Search for Meaning karya Viktor E. Frankl. 

“Itu beda banget sama novel yang biasa kamu baca. Kamu suka?” tanyaku memastikan. Sebab novel yang dibaca Aruna kebanyakan bergaya chicklit atau metropop. Sedangkan novel yang berada ditangannya sekarang adalah sebuah memoar penulisnya dengan pengalaman perjuangan hidup yang mengerikan sebagai tahanan kamp konsentrasi Nazi selama Perang Dunia II.

“Aku pengen kamu ingat sebagai pacar yang gak cuma suka sama kamu, tapi juga suka sama pemikiran kamu.”

Jawabannya sungguh menyenangkan sekaligus mencengangkan.

Aku pengen kamu ingat sebagai pacar yang …? Maksudnya??” tanyaku menelisik. Sebab kalimat itu terasa ganjil bagiku.

Aruna tertawa sambil menggeleng, “Kita gak tahu kedepannya gimana.”

Kita tidak tahu kedepannya bagaimana

Itu kalimat yang tidak sekali dua kali dia ucapkan. Cukup sering sampai-sampai membuatku berpikir bahwa mungkin saja tidak ada Aruna di kehidupanku kelak. Boleh jadi antara dia tidak mau atau mungkin nanti situasi yang membuat ini sulit.

“Respons pesimistik,” pungkasku segera.

“Bukan. Realistis.”

“Beda. Kamu seringkali memprediksi hasil yang buruk dengan kamu bilang kita gak tahu kedepan. Kayak gak bakalan ada hal baik yang akan terjadi.”

“Bisa jadi.” 

Aruna menjawab dengan cepat. Seolah jawaban itu sudah dia persiapkan.

Membuatku kesal.  Membuatku jengkel.

“Aku berharap kedepannya baik-baik aja,” ujarku.

Aruna diam sebentar, “Jangan terlalu. Bahkan banyak orang milih mati karena hidupnya gak sesuai harapan,” ujarnya datar. 

Anehnya, tidak terdengar keraguan dalam ucapannya. Seolah dia sudah tahu benar. Aku tahu dia gadis baik dan bisa berfikir logis. Tapi sungguh ini terasa sangat tajam, boleh sesekali dia tumpulkan agar romantisme tidak pudar. 

“Kamu tahu aku sedang berusaha.” 

Aruna mengangguk cepat.

“Kamu gak berniat kemana-mana, kan?” tanyaku.

“Aku gak berniat kemana-mana. Aku bahkan minta bantuan Gina supaya bisa kerja di jasa homecare sekarang, biar dekat sama kamu. Kalau akhirnya aku kemana-mana, itu bukan aku yang mau.”

Aku bingung. 

“Memangnya ada yang minta kamu kemana-mana?”

Aruna menarik nafas dalam, “Ada.”

“Siapa?”

“Bu Sarah.” 

Aruna menjawab ringan sambil tetap membaca sehingga membuatku berpikir apakah sebenarnya ini masalah yang tidak terlalu serius. Tapi justru sikapnya kontradiktif, dia selalu tampak cemas jika ada Bu Sarah. 

“Runa, kamu boleh cerita apa aja. Aku selalu dengerin.”

Aruna diam, seolah tidak mendengarkan. Tampaknya buku yang dia pegang berhasil mengalihkan perhatiannya sehingga tidak peduli terhadap sekitar atau justru dia gunakan buku itu untuk bersembunyi.

Tarikan nafasku yang dalam mungkin terasa oleh Aruna sebab dia masih bersandar. 

“Kamu ingat? Kita makan masak mie instan bareng? Yang kita makan di kamar aku? Aku manggil kamu pas mau turun ketemu Pak Yahya?” ujar Aruna tanpa menoleh, dia masih tetap membaca buku, masih tetap bersandar pada bahu.

“Ingat. Itu sebenarnya aku mau ketemu Ares, bukan Pak Yahya. Aku saking kagetnya jawab ngasal. Kenapa itu?” tanyaku. 

“Aku tahu kamu gak mungkin ketemu Pak Yahya rapi begitu, pakai sepatu dan bawa jaket. Aku tahu kamu naksir aku.”

Aku tergugu mendengar kenyataan yang dia simpan selama lebih dari setahun. Ini mengejutkan sampai-sampai aku kehilangan keinginan untuk melanjutkan pekerjaan. Dia tahu? 

“Oh, ya? Terus kamu mutusin untuk tarik ulur?”

“Bukan. Aku bukan orang yang mau repot sama urusan asmara. Kalau gak suka aku akan bilang.”

“Kamu gak mau repot, tapi saat itu justru aku kebingungan. Satu hari kamu ngebuat aku pengen maju, besoknya kamu seolah pengen aku jauh. Oh, bukan. Bukan besoknya. Dalam satu hari yang sama kamu bisa begitu, cuma beda jam,” jelasku.

“Kamu merepotkan,” katanya.

“Aku?”

“Iya.”

Aruna menutup buku, dia bangkit dari bersandar dan melihatku. Kami saling bertatapan. Dia menatapku tajam, aku menatapnya heran.

“Aku pikir aku yang bisa melewati masa remaja tanpa menyukai lawan jenis akan bisa masuk ke fase dewasa juga tanpa direpotkan dengan urusan asmara. Aku terlalu percaya diri sebelum ketemu kamu,” ujar Aruna.

“Apa itu suatu kesalahan?”

Aruna menelan ludah, dia tampak berpikir sebelum akhirnya menggeleng pelan, “Awalnya aku melawan perasaan aku. Meyakinkan bahwa mungkin ini hanya perasaan singkat.”

“Kenapa kamu lawan? Kamu takut kalau itu perasaan primitif?”

Aruna tersenyum simpul, “Justru aku pengennya itu perasaan primitif, perasaan yang dangkal. Kalau sekedar itu aku bisa melawan. Kenyataannya perasaan aku gak dangkal, justru semakin aku lawan, kamu masuk makin dalam ke pikiran. Merepotkan.”

Aku berusaha mencerna setiap perkataan Aruna. Masih terganggu dengan perkataan merepotkan. Apanya yang merepotkan? 

“Aku gak bisa menanganinya sendirian. Di saat aku mulai sadar bahwa aku butuh kamu untuk menyambut perasaan ini, aku mulai menerima bahwa kamu memang harus ada, bukannya dilawan apalagi dihilangkan,” jelas Aruna lagi.

“Kamu masih membingungkan. Bahkan sampai sekarang, saat ini,” ungkapku.

Aruna tersenyum. 

Handphone aku gak pernah jatuh, gak pernah mati. Itu dulu cuma alasan. Pas  kamu kirim pesan, aku mondar-mandir sambil megang handphone, mikirin apa sebaiknya aku balas atau enggak. Pas aku kebingungan gitu, dengar kamu keluar kamar. Aku bahkan gak bisa bertahan untuk gak keluar manggil kamu. Saat itu aku kalah oleh perasaan. Kamu menang,” Aruna dengan sangat lancar berujar bagai naskah lama yang telah dia hapalkan.

Aku mengangguk-angguk sambil mengingat hari itu. Benar, hanpdhone Aruna yang dia katakan jatuh dan mati, justru menyala tanpa menunjukkan kerusakan apa-apa, “Tapi kenapa kamu baru cerita sekarang?” tanyaku kemudian.

“Kamu gak pernah tanya,” jawabnya. 

“Itu alasan mengada-ada. Ada hal yang bahkan aku gak tau apa yang harus aku tanya. Saat-saat begitu kamu yang harusnya menjelaskan.”

Hening. Diam. Bungkam. Atmosfer berubah menjadi mendebarkan dengan cara yang kurang menyenangkan.

Kalau saja tidak ada lagu yang mengalun, suasana ini cukup untuk disebut menekan.

“Sebelum ngekost di sini, tetangga aku yang lama naksir aku. Bu Sarah tahu. Aku dipindahin ke sini,” lanjut Aruna.

Ingatanku langsung terlempar pada acara wisuda Aruna, saat Bu Sarah menepuk sedikit kuat pundakku sebelum dia pergi. Jadi benar bahwa itu sebuah peringatan?

“Itu hanya perasaan sepihak dan akibatnya aku yang harus pindah. Kalau aja Bu Sarah tahu sekarang ini kita punya perasaan yang sama. Apa jadinya? Siapa yang harus pergi? Sebesar apa akibatnya?” Aruna terlihat gelisah dan cemas.

“Bu Sarah gak punya hak apa-apa atas aku,” jawabku dengan suara mulai serak.

“Berarti aku, kan, yang harus pergi? Aku lagi yang harus pindah. Kamu tahu aku termakan budi. Gak bisa mengelak apalagi menolak.” Nyala matanya menunjukkan kesedihan dan kemarahan di saat bersamaan. Dia menunjuk-nunjuk dirinya sendiri tepat pada dada saat mengatakan aku. Aku mulai menyesal atas apa yang telah terlontar dan merasa sakit melihat dia begitu.

“Kamu tahu bukan itu maksud aku,” ujarku pelan.

Aruna menggeleng, “Aku mendengar dan mencerna apa yang aku dengar. Kalau kamu berharap aku gak salah paham, bicara yang benar.”

Suara Aruna mulai bergetar. 

Kami kembali diam cukup lama. Aku memalingkan wajah, menatap ke jendela. Gorden tersibak sebab angin masuk cukup kuat. Aku bangkit, menutup jendela lalu menyalakan pendingin ruangan. Aruna menjauhkan rasa perihnya dengan kembali membuka novel. 

“Dia takut aku jatuh ke orang yang salah, Gam,” ujar Aruna lagi sambil tetap membaca. 

“Orang yang benar menurut dia gimana?” 

“Orang yang tepat.” Jawabannya tak acuh sambil kembali membaca setelah mengembalikan gelas itu padaku.

Aku kesal sebab Aruna terlihat santai. Aku sangat tahu bahwa pembahasan ini tidak menyenangkan bahkan tidak hanya untuk Aruna, sedari awal ini juga sudah cukup membuatku tersudut, tapi justru pembicaraan ini seharusnya sudah sejak dulu diangkat ke permukaan. 

“Runa, tutup dulu bukunya. Aku sedang bicara,” ujarku dengan suara semakin berat. Menegaskan pada Aruna bahwa aku sedang tidak bermain-main. Aruna mengerti dan dia menuruti. Dia beringsut menuju pinggir kasur dan duduk dengan kaki menapak ke lantai. Persis berhadapan denganku yang kini bersimpuh. Badan Aruna yang kecil membuat kami nyaris sama tinggi.

“Dengar, aku gak butuh pendapat Bu Sarah, yang aku butuh pendapat kamu tentang aku. Menurut kamu aku orang yang tepat?” Sambil memegang kedua pangkal lengannya  dan menatap lekat mata coklat itu, aku bertanya sungguh-sungguh. Namun ternyata Aruna hanya memberikan anggukan di saat aku menginginkan dia menjawab dengan tegas. Anggukan itu saja terlihat tidak meyakinkan.

“Aku cuma butuh kamu yakin, sisanya aku bisa buktiin ke Bu Sarah. Tapi kalau kamu aja udah gak yakin, aku punya kekuatan apa buat maju ke Bu Sarah?”

Aruna kini mengangguk dengan lebih yakin.

Firasatku berkata bahwa masih ada yang tidak dia ceritakan, masih ada rahasia yang dia tahan. Aku bertanya-tanya, apakah cerita itu sangat sulit untuk dipahami sehingga tidak dapat dijelaskan olehnya?


 

“If I could, then I would

I'll go wherever you will go

Way up high or down low

I'll go wherever you will go”


 

“Kamu dengar lagu itu? Itu aku ke kamu,”  lagu dari The Calling-Wherever You Will Go sedang mengalun tepat pada chorus.

Aruna diam, sepasang mata coklat itu terlihat sedih.

“Selama kamu izinkan, aku bakalan gitu, bakalan kayak di lirik itu,” aku menambahkan.

“Kamu berhak membuat keputusan atas keinginan sendiri, Gam,” jawab Aruna kini sambil mengusap-usap pipiku.

“Harusnya kamu ucapkan itu untuk diri kamu,” ujarku.

“Kamu orang yang bebas. Aku enggak.” sergah Aruna cepat.

“Kamu punya kesempatan untuk bebas.”

Mendengar itu Aruna tersenyum getir kemudian nafasnya terhembus lemah, “Kamu satu-satunya kesempatan bebas yang aku punya.” 

Aku harus berpikir sejenak sebelum akhirnya bisa memahami kalimat terakhir itu.

Aruna menampilkan wajah tersenyum penuh kasih sayang. Tangannya belum puas membelai pipiku.

“Runa, jangan pernah lagi buat aku berpikiran kalau ini bakal sia-sia,” ujarku dengan suara parau sambil menggenggam erat kedua tangannya yang masih berada di pipiku.

Sore yang tadinya aku pikir akan dilewati dengan menyenangkan kini berubah menyedihkan. Melankolis. Matahari juga perlahan mulai turun, kamar mulai temaram saat aku menangkap kilatan cahaya mata Aruna yang … yang bagaimana aku juga tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menjelaskannya. Aku melihat mata itu lalu aku merasa pilu. Begitulah.

Kini setelah perbincangan ini, aku takut dan khawatir. Takut akan ancaman atau bahaya yang aku tidak tahu apa dan khawatir akan kemungkinan sesuatu yang tidak diinginkan terjadi di masa depan. 

 

Aku ke kamar mandi, menenangkan diri dengan membasuh wajah. Mengelola rasa sakit yang menyesakkan. Kemudian bercermin, menatap pantulan bayangan diriku sendiri sambil kembali mengingat-ingat kejadian ganjil, lalu memantaskan kejadian itu dengan kenyataan yang aku dengar sore ini. Aruna yang bisa saja tiba-tiba berubah menjadi murung saat kami jalan-jalan, Aruna yang memalingkan wajah dariku saat dia berbincang dengan Bu Sarah, Aruna yang ketakutan mengetahui Bu Sarah datang. Jika dipikirkan ulang, justru terlihat aku yang kurang ajar, tidak mengetahui apa yang Aruna perjuangkan. Dirinya, perasaannya, hubungan ini  dan aku. 

Aku menarik nafas dalam sebelum keluar.

Saat keluar kamar mandi, Aruna sudah bersandar pada dipan, melanjutkan bacaannya. Aku menghampiri dan duduk disebelahnya. Pipinya tampak basah sebab jejak air mata. Mungkin tadi kami sama-sama berusaha menenangkan diri. Aku membasuh wajah dengan air keran, sedangkan Aruna membasahi wajahnya dengan air mata. 

“Runa, kamu kayak bakpao kalau sembab gitu,” godaku.

Aruna diam saja lalu berdehem membersihkan kerongkongannya.

Aku mengusap pipinya yang basah. Dia diam.

Aku mencium keningnya. Dia bergeming. 

Aku cium lagi, dia masih bergeming.

Aku tidak menyerah, aku cium kelopak mata kirinya. Dia tersenyum.

Akhirnya.


 

Pembicaraan itu meninggalkan jejak cukup dalam.  Siang aku sibuk bekerja dan malam akan tidur ingatan menyedihkan itu menyusup beriringan dengan rasa sakit yang dibawanya.  Tidak pernah lagi baik aku dan Aruna membahas masalah ini. Seakan kami berdua sama-sama menolak untuk kembali memberikan rasa perih. Hal yang sebaiknya kami bahas tuntas justru dibiarkan mengambang. Aku hanya tidak ingin merasakan sakit yang menyesakkan dan Aruna mungkin hanya ingin hari-harinya menyenangkan. Kami melakukan dengan baik untuk tidak membicarakan ini baik-baik. Hari-hari kami jalani dengan biasa, dengan sewajarnya. Aruna dan aku bekerja lalu terkadang Aruna akan mampir ke studio saat pulang, menungguku untuk kembali ke kost bersama. Hampir setiap hari Minggu Aruna ikut sedari pagi ke studio lalu pulangnya kami jalan-jalan hingga malam. Nonton atau makan atau tidak jarang double date bersama pacar Ares yang kali ini cukup bertahan, hampir sebulan. Hingga akhir tahun baru tiba, Pak Adimas datang ke studio bersama anak perempuannya yang kuliah di Yogyakarta dan sedang libur semester. Kami berkenalan, namanya Tyas. Dia tinggi seperti Pak Adimas. Tyas ikut datang karena dia sedang mengumpulkan beberapa informasi terkait skripsi mengenai digital marketing. Menurut Pak Adimas, aku dan Ares bisa membantu. Tyas berkeliling studio dan terlihat sangat antusias sambil sesekali melontarkan candaan tegas, “Boleh, nih, kalau butuh orang aku siap sedia.” Aku tertawa saja. Memang benar, ini juga dunianya sebagai mahasiswi Ilmu Komunikasi. 


 

Tidak banyak pembicaraan, kebanyakan tentang proses pekerjaan dan sedikit-sedikit membahas skripsi yang sedang Tyas kerjakan. Lalu Tyas memberikan beberapa lembar kertas berisi daftar pertanyaan penunjang skripsinya. Pak Adimas terlihat buru-buru sebab istrinya telah menunggu di mobil. “Mohon maaf ya, Ibu lagi gak bisa turun,” ujar Pak Adimas. Aku dan Ares mengangguk bersamaan dan sama-sama tidak ada keinginan untuk tahu alasan kenapa istrinya tidak turun. Sebelum keluar, Pak Adimas mengundang kami  makan malam bersama besoknya untuk menyambut tahun baru pada sebuah rumah makan keluarga yang cukup elit. Kami menyanggupi. Ares menyalami Tyas dengan senyuman paling mempesona. Aku tahu apa isi kepalanya.

“Kayaknya genetik, deh. Sepupuan pada menarik!” ujar Ares tak lama setelah Pak Adimas dan anaknya keluar. 

“Heh! Inget! Pak Adimas udah nolongin bisnis ini. Jaga nama baik Gammares! Masa ponakannya gak dapat, anaknya lu embat!” pungkasku.

Ares nyengir.


 

 Sabtu sore, sehari sebelum malam tahun baru Aruna sudah berangkat ke Tangerang setelah pulang bekerja. Akhir tahun ini dia lalui bersama adik-adiknya di panti asuhan. Aku dan Ares berniat sedikit bersenang-senang di pub. Teman-teman lain sudah menunggu di sana. Perlu diingat bahwa setiap kali kami minum, aku harus menahan diri sendiri sebab harus mengurus Ares yang hampir selalu mabuk dalam keadaan memalukan. Sejak berteman dengan Ares, kesiapan mental harus semakin tebal untuk menghadapi semua kelakuan dan manuver tingkah konyolnya. Pernah waktu itu, sudah lama, aku lupa persisnya, tapi itu di semester awal, Ares yang mabuk lalu turun ke floor bukan untuk  berjoget, dia malah pencak silat, yang aku tahu terakhir dilakukannya saat SMA, ekstrakurikuler yang hanya satu bulan ditekuninya. Dia membuat orang-orang terkena gerakan silatnya yang tidak seberapa itu kesal dan marah. Akhirnya aku terpaksa menariknya keluar dari floor, menyeretnya hingga sofa, duduk dan memberikan rokok agar dia diam. Dia merokok sambil cengengesan. Lalu suatu waktu, masih dalam keadaan mabuk berat Ares mendatangi kampus pagi-pagi buta, sehabis subuh. Dicegat oleh satpam. Saat aku datang menjemput, Ares sedang menggambar pangkal lengan Pak Sudir –satpam yang bertugas pagi itu, dengan pulpen, di gambar kucing. Ares seolah artis tato profesional. Pak Sudir duduk dengan sabar dan raut wajah tertekan.  “Aku takut dipukulnya, loh! Orang mabuk kuat dan nekat, tho?” ujar laki-laki bertubuh pendek namun kekar itu. Aku mengatakan pada Pak Sudir bahwa Ares baru saja ditinggal mati kucing kesayangannya dan meminta Pak Sudir untuk tidak mengatakan apa-apa ke kampus.  Besoknya Ares datang ke kost, mengatakan bahwa Pak Sudir menyampaikan bela sungkawa dan ingin melihat foto kucing Ares yang mati, apakah mirip dengan gambar yang ada pada lengannya yang ternyata belum dihapus dengan alasan kasihan. Ares plengah-plengoh karena dia sama sekali  tidak pernah punya kucing apalagi ditinggal mati.


 

Malam ini entah apa yang akan terjadi, aku hanya perlu bersiap diri.

Kami memesan satu tower beer untuk berempat serta satu botol red label.  Aku, Ares, Galih  dan Fahmi. Kebiasaan yang selalu ada saat di pub adalah, perempuan-perempuan akan datang ke meja yang memesan minuman banyak  –numpang minum. Tentu Ares senang, Galih girang. Aku dan Fahmi risih. “Bocah gendeng! Gak doyan perempuan!” seru Galih pada kami yang kini lebih memilih duduk menempel pada dinding. 

Musik live dibawakan oleh band lokal, Stonehang. Membawakan lagu mereka dengan judul yang terdengar lawas menurutku –Halte Cinta. Saat mereka menyebutkan judulnya, jujur ada perasaan menggelitik. Namun aku salah kira, setelah dimainkan lagu itu justru berisik tapi asyik. Sesaat mereka selesai, salah satu anggota band menghampiri meja kami dan bersalaman dengan Fahmi. 

“Temen SMA gua,” ujar Fahmi setelahnya. Kami bertiga manggut-manggut.


 

Pukul satu malam, lagu berubah menjadi EDM dan dibawakan oleh DJ. Aku sudah mulai sedikit melayang. Ares sudah bukan melayang lagi, dia terbang, begitu juga Galih. Fahmi pulang duluan sebab ketahuan oleh pacarnya, dia dengan sangat menurut akhirnya memutuskan kembali. Ares dan Galih turun untuk menikmati musik dengan berjoget. Aku duduk sambil merokok untuk mengawasi tingkah teman-temanku yang konyol, berjaga-jaga agar kekonyolan itu tidak berubah menjadi kebodohan.

Setelah agak lama, Galih menghampiri dengan langkah gontai, duduk lalu minum. Cengengesan lalu tidur pada sofa dengan kaki di atas meja. Aman. Sekarang tinggal Ares, sejauh ini dia masih terlihat normal untuk ukuran orang mabuk. Berjoget riang  bersama dengan desakan orang-orang. Tidak lama, Ares mulai aneh, dia terlihat seperti mencari-cari sesuatu atau seseorang. Orang-orang yang sedang  berjoget dia pegang bahunya, menatap wajah orang tersebut untuk memastikan, lalu menggeleng. Terkadang dia bertanya kepada orang-orang yang duduk, lalu saat orang itu menggeleng, Ares pergi lagi ke orang pada meja lain, bertanya. Begitu terus. Aku dengan cepat menyusulnya untuk mengetahui ada masalah apa. Saat sudah dekat, Ares justru bergegas mendatangiku, “Eh, lu liat Gamma, gak? Kemana tu anak?” ujarnya dengan raut kosong melompong. Bodoh.

Jadi ini yang dia tanya ke orang-orang?

Aku menghela nafas, mengeluarkan stres sebab teman yang konyolnya keterlaluan.

“Gamma ilang,” jawabku seadanya dengan kesal.

“Innalillahiwainnailaihirojiun,” sambung Ares dengan wajah terkejut yang lagi-lagi kosong dan bodoh.

Aku hampir gila. Anak yang bahkan saat makan saja tidak membaca do’a sekarang mengucapkan kalimat kesedihan religius.

Aku membawa Ares ke sofa. Dia minum, lalu merokok. Kepalanya dia sandarkan sambil cengar-cengir melihat lampu pub berseliweran warna-warni. Tidak lama dia tertidur dengan rokok masih menyala bertengger pada mulutnya. 

Aku duduk di tengah Ares dan Galih yang ketiduran. Menikmati suasana dan minum sisa beer yang masih ada. Seorang wanita datang menghampiri. Kami duduk dengan berjarak Galih. Dia dengan isyarat tangan meminta minuman lantas aku persilahkan dengan anggukan. 


 

Lampu pub mulai nyala dengan mengejutkan, silau. Aku terbangun dalam keadaan pusing lalu mengusap-usap mata, berdiri dan memutar pinggang ke kiri dan kanan, menimbulkan bunyi derakan. Pub sudah jauh lebih sepi, hampir kosong. Hanya ada dua kelompok selain kami yang juga ketiduran di sini. Ares tidur tertelungkup. Galih sedang duduk mengumpulkan tenaga dengan mengerjapkan mata. “Jam berapa, Lih? tanyaku pada Galih yang memang sedang memeriksa ponsel.

“Empat.” 

Aku membangunkan Ares, dia bangun tapi sepertinya masih sangat lemah. 

“Lu bisa bawa motor?” tanyaku memastikan. Ares menggeleng. Akhirnya kami pulang dengan memesan taksi online, meninggalkan motor pada pub.


 

Sesampai di kost, dengan semangat persahabatan paripurna aku mendorong Ares menaiki tangga dengan sisa-sisa tenaga. Sesekali dia jatuh, “lemes kaki gua,” ujarnya. Belum lagi, “Pengen muntah, ini lantai tiga kok jauh amat!” 

“NAIK! GOBLOK!” ujarku keras sambil terus mendorongnya khawatir dia muntah di tangga dan jadi lebih merepotkan.

Sampai pada lantai tiga, sesuatu berwarna pink berhasil menarik mataku. Aku terpaku melihat sebuah bingkisan berbentuk strawberry lengkap dengan pita merah muda bertengger di depan pintu kamar Aruna. Melihat posisinya, tentu saja bingkisan ini datang setelah Aruna berangkat ke Tangerang. Aku membungkuk untuk mengambilnya dan membaca sebuah surat dengan kertas seukuran origami. Bertuliskan tangan yang tidak begitu rapi, tulisan itu singkat dan untungnya masih bisa dibaca. Namun di saat tubuh sedang tidak baik-baik saja membaca itu berhasil membuat darahku berdesir kencang dan panas terasa mengembang seketika ke seluruh badan. 

‘Selamat atas kelulusannya, Aruna.

Maaf terlambat hadiahnya.


 

Selamat Tahun Baru.

-Menyayangimu selalu.’ 


 

“Gam! Pintu bukain! Mau muntah.” Suara Ares terdengar menggaung saat aku berusaha fokus mencerna apa yang baru saja aku baca. Pandanganku hanya pada bingkisan dan surat itu. Selebihnya terlihat buyar. Bahkan Ares yang sedang teriak-teriak hanya terlihat seperti video dengan kualitas rendah, buram.

“Nyet! Asli mau mu-” Ares akhirnya muntah, tepat mengenai pintu kamarku. Berceceran hingga ke lantai. Lalu dia jatuh persis disamping muntahnya.

Aku hanya bisa melirik Ares yang sebentar, sedang tanganku masih bergetar.
Dari siapa ini?

 

(Bersambung)

 

Restart ©2023 HelloHayden

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 1 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • suryade

    Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah

    Comment on chapter Bab 14 (Cukup)
  • ana_yo

    Asli. Cerita lain yang umur SMA udah nikah, yang nikah sama CEO posesif, yang sibuk urusan cinta. Cerita ini tuh beda banget. Kebagusan tauuuu 😱. Kompleks dan real banget. Tokoh utamanya gak egois tentang dia terus. Tokoh2 lain mengisi baik. Yang paling suka mereka khas remaja semua. Lincah, semangat, pintar dan jahil.

    Comment on chapter Bab 18 (Pintu Kaca)
  • aprillia

    Cerita nya bagus thor 😭 tokoh utamanya berhasil menggeser standar kim soo hyun ku. mau ngefans sama si gamma tapi dia fiksi. Tolong bgt 😭

    Comment on chapter Bab 18 (Pintu Kaca)
  • hamid

    Inj bagus banget woii kata2 nya

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
WALK AMONG THE DARK
743      401     8     
Short Story
Lidya mungkin terlihat seperti gadis remaja biasa. Berangkat ke sekolah dan pulang ketika senja adalah kegiatannya sehari-hari. Namun ternyata, sebuah pekerjaan kelam menantinya ketika malam tiba. Ialah salah satu pelaku dari kasus menghilangnya para anak yatim di kota X. Sembari menahan rasa sakit dan perasaan berdosa, ia mulai tenggelam ke dalam kegelapan, menunggu sebuah cahaya datang untuk me...
My Idol Party
1061      547     2     
Romance
Serayu ingin sekali jadi pemain gim profesional meskipun terhalang restu ibunya. Menurut ibunya, perempuan tidak akan menjadi apa-apa kalau hanya bisa main gim. Oleh karena itu, Serayu berusaha membuktikan kepada ibunya, bahwa cita-citanya bisa berati sesuatu. Dalam perjalanannya, cobaan selalu datang silih berganti, termasuk ujian soal perasaan kepada laki-laki misterius yang muncul di dalam...
Niscala
299      190     14     
Short Story
Namanya Hasita. Bayi yang mirna lahirkan Bulan Mei lalu. Hasita artinya tertawa, Mirna ingin ia tumbuh menjadi anak yang bahagia meskipun tidak memiliki orang tua yang lengkap. Terima kasih, bu! Sudah memberi kekuatan mirna untuk menjadi seorang ibu. Dan maaf, karena belum bisa menjadi siswa dan anak kebanggaan ibu.
Lost Daddy
4301      918     8     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
Orkanois
2190      850     1     
Fantasy
Ini adalah kisah yang ‘gila’. Bagaimana tidak? Kisah ini bercerita tentang seorang siswa SMA bernama Maraby, atau kerap dipanggil Mar yang dengan lantang menginginkan kiamat dipercepat. Permintaannya itu terwujud dengan kehadiran Orkanois, monster bertubuh tegap, berkepala naga, dengan tinggi 3 meter, dan ia berasal dari planet Orka, planet yang membeku. Orkanois mempunyai misi berburu tubuh ...
Story of time
1990      774     2     
Romance
kau dan semua omong kosong tentang cinta adalah alasan untuk ku bertahan. . untuk semua hal yang pernah kita lakukan bersama, aku tidak akan melepaskan mu dengan mudah. . .
AVATAR
7090      2007     17     
Romance
�Kau tahu mengapa aku memanggilmu Avatar? Karena kau memang seperti Avatar, yang tak ada saat dibutuhkan dan selalu datang di waktu yang salah. Waktu dimana aku hampir bisa melupakanmu�
Something about Destiny
123      105     1     
Romance
Devan Julio Widarta yang selalu dikenal Sherin sebagai suami yang dingin dan kurang berperasaan itu tiba-tiba berubah menjadi begitu perhatian dan bahkan mempersiapkan kencan untuk mereka berdua. Sherin Adinta Dikara, seorang wanita muda yang melepas status lajangnya pada umur 25 tahun itu pun merasa sangat heran. Tapi disisi lain, begitu senang. Dia merasa mungkin akhirnya tiba saat dia bisa mer...
Dessert
889      455     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
Ketika Kita Berdua
31630      4304     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...