“Anak perempuan akan hilling separuh hidupnya ketik ia kehilangan ibu dan ayahnya, dan anak Perempuan akan rusak mentalnya Ketika tidak ada rumah yang nyama untuk pulang.”
_Mencari Bidadari Dalam Mimpi_
***
Kondisi di rumah sakit saat ini Nafisah sedang di tangani oleh dokter, sedangkan Rames terus memanggil nama putrinya dengan nafas tersenggal-senggal. Pihak dokter segera keluar memanggil keluarga korban, namun tidak ada satu pun pihak keluarga yang menunggu nya sampai gus Azmir datang ke rumah sakit.
“Permisi pasien korban kebakaran berada di ruang mana sus.” Tanya gus Azmir dengan wajah panik nya.
“Keluarga bapak Rames,sudah di tuggu dokter di ruang ICU.”
“Baik sus.” Sauth gus Azmir.
Di saat gus Azmir akan masuk ke dalam, tiba-tiba ada gus Azam yang berteriak memanggilnya. “GUS AZ.” Teriak gus Azam.
Gus Azmir langsung berbalik arah ke belakang, “Gimana Az, kenapa bisakebakaran?”
“Saya tidak tahu, sebaiknya kita segera masuk ke dalam.” Sauth gus Azmir.
Gus Azam mengangguk pelan kemudian mengikuti gus Azmir dari belakang Bersama Amir. Gus Azam menaik turunkan alis nya menatap kea rah Amir berharap Amir mengetahui sesuatu, tetapi Amir malah mengedikan bahunya memuat gus Azam langsung menimpuk lengan Amir.
Setelah mereka sampai di depan ruang ICU ternyata sudah di tunggu oleh seorang perawat. “Keluarga bapak Rames bukan tuan?”
“Iya sus, korban kebakaran tadi.”
“Silahkan masuk tuan.”
Gus Azmir dan gus Azam berniat untuk masuk ke dalam namun langsung di cegah oleh perawat. “Mohon maaf hanya boleh satu orang yang masuk.”
Gus Azam mengangguk pelan, “Masuk lah Az, saya menunggu di sini.”
Gus Azmir pun segera masuk ke dalam sedangkan gus Azam masih di depan Bersama seorang perawat tadi. “Tuan juga kerabat pasien?” Tanya nya.
Gus Azam mengangguk saja, mau menggelengkan kepala nya takut jika dari pihak rumah sakit membutuhkan keluarga pasien untuk menandatangani berkas rumah sakit.
“Iya sus.”
“Tuan bisa pergi ke ruang ICU yang berada di sebalah sini, dari sini lurus belok ke kiri, dokter menunggu keluarga pasien.”
Gus Azam mengangguk pelan, “Terima kasih sus.”
“Sama-sama.”
Gus Azam segera pergi ke ruangan yang di katakana perawat tadi, pikiran nya masih belum bisa untuk di tebak karena ada dua nama yang tersimpan dalam pikiran nya.
“Ya Allah, siapa pun yang ada di dalam ruang ICU bisa selamat entah Haliza atau Nafisha atau kah kakak pertama nya.” Batin gus Azam sambil berjalan menuju ruang ICU.
.
.
.
Kondisi Rames sangat kritis karena luka bakar yang di alami nya, namun bibir nya tak hentinya melafadzkan nama Allah SWT. “Pu-triku…” Lirih nya.
“Pak, bisa mendengar suara saya?” Ucap gus Azmir.
Rames mengangguk pelan sambil menatap kea rah gus Azmir, “Saya Azmir, sahabat gus Azam.”
Lagi-lagi Rames mengangguk pelan, “Ja-ga putri saya..”
“Sa-ya harus mejaga Haliza, putri saya sudah menunggu saya pulang.” Sambung nya lagi.
“Astaghfirullahhaladzim, pak tenang insyaAllah semua akan membaik.”
“Saya tidak bisa menjaga putri saya lagi..”
“Gu-s Az-mir, pu-tri sulung saya pergi menghadiri taklim anda..”
“Ka-takan kepada putri saya, jika ayah nya meminta maaf karena tidak bisa menjadi ayah yang baik.” Sambung Rames sambil memegang tangan gus Azmir.
Sontak saja hal itu membuat gus Azmir tertegun ternyata putri sulung nya pergi menghadiri acara nya, andai putrinya tidak pergi hari ini mungkin akan ikut terbakar di rumah.
“Siapa nama putri bapak?”
“Ra-ra A-syifa Pu-tri.” Sauth Rames terbata-bata dengan nafas yang sudah tidak beraturan.
“Pilih sa-lah satu putri saya, mereka akan lemah tanpa saya gus.”
Deghhh…
Bukan kah ini permintaan yang sulit, gus Azmir di minta untuk memilih tanpa tahu siapa wanita yang akan dinikahi. Hanya nama saja yang Rames sebeutkan, gus Azmir tidak pernah bertemu dengan kedua putri Rames hanya Haliza saja.
Gus Azmir semakin panik karena kondisi Rames semakin lemah, “To-long jaga putri saya…” lirih Rames memohon.
Gus Azmir memejamkan mata nya sejenak sebelum mengambil Keputusan berat ini. “Saya memilih putri pertama bapak.” Sauth gus Azmir.
“Te-rimah kasih banyak gus… sampaikan maaf saya.”
“Iya pak, sekarang bapak tenang dulu bapak harus yakin jika Allah akan memberikan kesembuhan.”
“Gus bi-sahkan mengucap iijab qobul se-karang? A-gar saya bisa pergi dengan tenang.” Lirih Rames sambil menitihkan air mata nya.
“Ya Allah…” lirih gus Azmir dalam hatinya.
“Gus bagaimana?” Tanya dokter.
“Apa kondisinya tidak bisa membaik?” Bisik gus Azmir.
Dokter menggelengkan kepala nya pelan, “Kita hanya bisa pasrah kepada sang maha kuasa gus.”
“Ya Allah, bagaimana ini.” Batin gus Azmir.
“Sebaikanya segera melaksanakan permitaan beliau gus, agar bisa pergi dengan tenang.”
Belum sempat gus Azmir dan dokter selesai berbicara tiba-tiba Rames langsung meninggal dunia bersamaan dengan mengucapkan lafadz syahadat. Begitu mudah nya seseorang mengucap syahadat saat sakaratul maut tanpa di tuntun oleh orang lain.
Gus Azmir begitu panik karena wasiat beliau belum terlaksana, dokter pun segera memeriksan detak jantung nya. “Ba-gaimana dok?”
“Pasien sudah meninggal dunia gus.”
“Innalillahi wa innalillahi raji’un.” Sauth gus Azmir.
Para perawat pun segera mencabut peralatan medis yang terpasang di tubuh Rames. Gus Azmir benar-benar merasa bersalah, sekarang apa yang harus di lakukan nya.
Sedangkan di sisi lain bersamaan dengan hilang nya hembusan nafas sang ayah, Nafisha juga ikut menghembuskan nafas terakhirnya. Gus Azam sampai syok melihat nya, tapi ia tidak bisa mengelak karena ini sudah menjadi ketetapan Allah yang sudah di gariskan.
Perawat segera membawa Nafisha ke ruang jenazah, gus Azam pun ikut mendorong brangkar nya karena ia juga ingin bertemu dengan Haliza. Gadis kecil yang berasil masuk ke dalam hati nya, saking gemas nya dengan Haliza, gus Azam sudah menganggap nya seprti adik kandung nya sendiri.
Bersamaan dengan masuk nya jenazah Nafisha dari arah berlawanan gus Azmir juga datang Bersama jenazah Rames. Keduanya saling bertemu seolah mereka bertiga tidak mau berpisah, mereka menginginkan sehidup semati Bersama.
Keduanya saling duduk termenung di kursi, kejadian yanh tidak pernah di duga karena kebakaran ini merenggut 3 nyawa sekaligus. “Az mereka semua tiada.” Guman gus Azam.
“Kecuali putri sulung nya.”
“Menurutmu lebih sakit posisi mana?”
“Tidak mudah meerima dengan Ikhlas, semoga putri sulung nya bisa menerima semua ini.”
“Aamiin ya rabb.”
“Bagaimana saya mengatakan kepada abah.” Lirih gus Azmir sambil menyenderkan kepala nya.
“Mengatakan apa? Sampai membuatmu terbebani sepeerti ini?” Tanya gus Azam sambil menelisik kea rah wajah sahabat nya.
“Saya diminta untuk memilih di antara dua putrinya.”
“Lalu…?”
“Saya memilih putri sulung nya.”
“Terus apa hubungan nya? Kalau cerita yang jelas Az.”
“Saya diminta untuk menjaga nya dan menikahi nya.”
Sontak saja hal itu membuat gus Azam melototkan matanya karena saking kagetnya mendengar penuturan gus Azmir barusan. “Terus kamu jawab apa?”
“Saya mengiyakan permintaan nya.”
Gus Azam menghapus wajah nya gusar sambil menggelengkan kepala nya, “Nasab mu dengan nya tidak sama, bukan kah seharusnya mala mini kamu memberikan jawaban atas pinangan it?”
“Saya tidak mempermasalahkan dengan nasab nya, tapi bagaimana tanggapan abah dan umi jika saya menolak pernikahan ini? Dan saya juga sudah mengambil Keputusan untuk menerima menikahi putri nya.” Sauth gus Azmir.
“Ya Allah, Az kok bisa kamu main menyetujui nya saja.”
“Jika kamu berada di posisi saya tadi, apa yang akan kamu lakukan??”
“Tidak ada pilihan lain Zam.” Sambung gus Azmir sambil menghapus wajah nya.
Terlihat sekali wajah gus Azmir sangat frustasi memikirkan hal itu, pilihan nya sama-sama sulit. Gus Azmir juga jadi memikirkan putri Rames, bagaimana jika Perempuan tersebut sudah memiliki calon suami? Bahkan di antara keduanya tidak pernah mengenal satu sama lain.
.
.
.
Hati Rara semakin gelisah bahkan wajah kelurga nya terus saja hadir dalam pikiran nya, sekilas Rara seolah melihat semua keluarga tersenyum sambil lambaikan tangan nya.
Rara dan Nabila sekarang berada di taxsi, Nabila sengaja mengantarkan Rara terlebih dulu karena melihat kondisi sahabat nya yang begitu cemas. “Ra, istighfar insyaAllah semua baik-baik aja.”
Rara mengangguk pelan, sambil meremas jemarinya terus sejak tadi. “Pak, bisa lebih cepat lagi.” Ucap Rara.
“Saya gak berani neng, soalnya sedang hujan apa lagi jalanan di sini banyak yang berlubang.”
“Rara sabar, jangan membahayakan keselamatan kamu.” Tegur Nabila.
Rara terdiam, entalah pikiran nya hanya tertuju pada ayah dan dua adik nya yang berada di rumah. “Ya Allah, apa yang terjadi di rumah? Semoga mereka baik-baik saja, mengapa aku merasa hujan ini membawa duka.” Lirih Rara dalam hati nya.
30 menit kemudian mereka baru memasuki daerah rumah Rara, disana masih ada beberapa warga, tim pemadam kebakaran, dan polisi juga.
Deghh…
Rara begitu syok melihat rumah nya sudah hangus terbakar api, pijakan kaki Rara seketika melemas melihat bangunan rumah nya tak tersisa.
“A-yah…” Ucap Rara terbta-bata dengan isakan pelan.
Rara langsung berlari menerobos masuk ke dalam tapi langsung di cegah oleh piak kepolisan. “Mohon maaf nona, anda tidak boleh masuk karena kami…”
Belum sempat polisi melanjutkan ucapan nya Rara langsung menyerkah nya. “Di-mana adik-adik saya dan juga ayah saya pak??”
“Me-reka pasti baik-baik aja kan?!” sambung Rara sambil terisak.
Nabila juga begitu tidak menyangka jika rumah Rara mengalami kebakaran. Nabila segera memeluk sahabat nya yang sudah menangis, Nabila berusaha untuk menguatkan sahabat nya agar tetap kuat menghadapi hal ini.
“Semua korban di larikan ke rumah sakit nona.”
“Rumah sakit mana pak?” tanya Nabila.
“Rumah Sakit Cahaya Permata.”
Rara sudah tak sanggup mengatkan apa pun lagi, ia begitu takut kehilangan keluarga nya. Bahkan kondisi Rara mendadak drop karena saking kaget nya dengan kejadian di depan mata nya.
“Ra, mereka pasti baik-baik aja kita pergi ke rumah sakit sekarang.” Ucap Nabila sambil membangunkan Rara yang terduduk lemas di atas tanah.
Hujan masih berlangsung namun rintian air nya tidak sederas tadi, “Ayah, Fisha, Liza kalian pasti selamat kan? Maafkan kakak karena meninggalkan kalian di rumah hikss…” isak tangis Rara dalam hati nya.
Rara memang diam namun air mta nya telah menjadi saksi bisu perwakilan betapa hancurnya hati nya saat ini. Rara segera bangun dan pergi ke rumah sakit Bersama Nabila, selama perjalanan tak hentinya Rara berdo’a kepada sang maha pencipta agar menyelamatkan keluarga nya.
Ya Allah,,, gmesin deh, pdhl kondisi rara blum pulih, gmna klo udh pulih tu😊
Comment on chapter Bab 21- Panggilan Baru