Read More >>"> Desire Of The Star (DOTS - Chapter 2 : Hujan Untuk Kisah Yang Usai) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Desire Of The Star
MENU
About Us  

Hujan dan sosoknya adalah kenangan yang tidak lapuk dari ingatan. Hujan selalu mengingatkan aku padanya. Walau sudah tiga tahun berlalu namun sosoknya masih melekat kuat di pikiranku. Hujan kali ini begitu sepi, tidak ada lagi dia yang selalu meminta untuk hujan turun yang lebih lama. Dia adalah orang yang aku cintai tanpa kata. Namun baginya aku hanya seorang sahabat yang pelukannya paling hangat. Aku selalu ingin menikmati hujan dengannya. Menikmati hujan untuk membunuh waktu atau sekedar berlama – lama dengannya. Aku ingin waktu berjalan dengan lambat saat kita bersama. Menikmati semua tingkah aneh yang selalu ia tunjukan di hadapanku. Sejujurnya aku ingin kita lebih dari seorang sahabat, namun nyatanya sudah terlambat. 

***

 

Udara dingin menyelimuti tubuh yang enggan bangun dari tempat tidur. Lantunan Al- Qur’an terdengar begitu merdu dan syahdu dari Masjid dekat rumah. Suara khotbah terdengar dari TV di ruang tamu, ibu sengaja menaikkan volumenya agar semua orang di rumah terbangun. Memang sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga kami. Sepiring ubi goreng tepung dan teh panas sudah berjajar di meja makan serta satu gelas susu sudah ibu siapkan untuk Lita.

“Bintang….” Ibu memanggil dari ruang makan. Suaranya terdengar nyaring sampai kamarku yang berada di lantai dua. “Bintang…. Ibu tidak tanggung jawab ya kalau kamu telat.” Katanya lagi.

Aku paksakan untuk bangun dari tempat tidur, rasanya kasurku memiliki energi magnet yang cukup kencang. Membuatku enggan untuk bangun ditambah cuaca Kota Bandung yang malamnya di guyur hujan lumayan deras. Aku duduk di meja belajar alih – alih mengumpulkan nyawa sambil melihat jam. “Aman… Masih pukul setengah lima pagi.” Batinku. Setelah aku merasa nyawaku sudah terkumpul aku bersiap mandi lalu sholat subuh.

Hari itu ada ujian tes seleksi masuk perguruan tinggi. Aku menjatuhkan pilihanku pada Institut Seni Budaya, entah mengapa aku masih memilih Kota Bandung menjadi tempatku meraih cita – cita. Aku memilih masuk Fakultas Seni Rupa dan Design, rencananya aku ingin masuk Prodi Seni Rupa Murni untuk mengasah keahlianku dan mempelajari lebih dalam terkait seni lukis.

“Bintang, berangkat pukul berapa nak?” Tanya ibu melihatku menuruni anak tangga.

“Tes nya dimulai pukul delapan pagi bu.” Balasku sambil melihat makanan yang sudah disiapkan ibu. Menunya bertambah kali ini, ada nasi goreng dan telur mata sapi kesukaanku yang sudah ditata oleh ibu diatas meja makan. Aku, Lita serta ibu duduk di meja makan untuk sarapan. “Jangan lupa hubungi ayah untuk minta do’a.” Kata ibu. Seperti biasa ayah sedang bekerja di luar kota. 

Setelah sarapan aku melihat ke arah jam yang menunjukan pukul enam pagi, bergegas aku siap – siap dan mengecek semua perlengkapanku agar tidak ada yang tertinggal.

“Bu, aku pamit ya, do’akan semoga aku bisa mengerjakan semua tesnya dan lulus ya bu, nanti aku hubungi ayah jika sudah sampai.” Aku menyalami dan mencium tangan ibu.

“Semangat kak Bintang!!!” Lita adikku berteriak menyemangatiku. Aku menoleh dan tersenyum padanya.

Perjalanan dari rumahku menuju Institut Seni Budaya cukup jauh. Perjalanan ini memakan waktu satu setengah jam. Lebih baik terlalu pagi daripada telat pikirku, sebab lokasinya terletak di area yang cukup macet. 

Pagi itu masih cukup sepi. Beberapa kumpulan semak bergerak tertiup angin. Bunga – bunga berwarna merah dan putih ikut bergerak diterpa angin pagi dan saling menjatuhkan air embun. Terlihat sepasang kaki jenjang dengan rok berwarna mocca. Sepatunya berwana hitam. Sedangkan sepasang yang lain dibalut celana kain dengan kemeja polos dengan sepatu model sneakers berjalan memasuki ruang tes.

Aroma segar dedaunan ditambah lagi wangi bunga yang tercium seperti menyambut calon mahasiswa baru yang akan berjuang disini. 

“Halo, nak?” Suara lelaki itu menyambut dari balik ponselku.

“Halo ayah, ayah sekarang aku sudah berada di depan ruang tes. Aku minta do’a ayah supaya tesku berjalan lancar.” Kataku meminta do’a restu pada ayah.

“Iya Bintang, do’a ayah dan ibu selalu menyertai kamu. Fokus ya baca do’a sebelum mengerjakan soal.” Suara ayah terdengar menyemangati. Setelah itu aku memasuki ruang tes.

Tampilan ruangannya membuatku takjub, beberapa lukisan terpampang di sudut – sudut ruangan. Pahatan karya mahasiswanya dipajang memenuhi ambalan yang terpasang di sepanjang dinding ruangan itu. Seperti masuk galeri seni batinku. Beberapa calon mahasiswa saling berkenalan sesama teman di sampingnya. Di samping kiriku ada lelaki dengan rambut model cepak memakai kacamata dengan kemejanya yang dimasukan. Seingatku namanya Mahendra Adiputra, tapi ia bilang biasa dipanggil Gopal yang mana nama panggilannya cukup jauh dengan aslinya. Sedangkan di samping kananku seorang wanita memakai outer bercorak garis dengan rambutnya yang terurai. Namanya Clara Fionathasya, katanya panggil saja Aca. Namanya cantik, sama seperti orangnya.

Setelah selesai mengerjakan soal tes tulis, aku membereskan alat tulisku dan bergegas keluar ruangan disusul Gopal setelahku. Aku berdiri bersandar sambil menikmati pemandangan dari lantai atas memperhatikan beberapa calon mahasiswa berkeliaran sebab tahun ajaran baru belum dimulai jadi tidak begitu ramai kala itu.

“Mahesa…” Gopal memanggilku, dan aku menoleh padanya.

“Sehabis tes ini ada tes lain lagi tidak ya? Sudah dapat info belum?” Katanya bertanya padaku.

“Belum tau Pal, tapi tadi kata pengawasnya hanya tinggal menunggu intruksi selanjutnya sih.” Balasku pada Gopal.

 Rupanya Aca baru selesai mengerjakan soal, dan ia menghampiri aku dan Gopal. “Kita tunggu dimana ya? Pengawasnya bilang nanti tunggu intruksi selanjutnya.” Katanya pada kami berdua.

“Perutku laper nih! Haus juga. Bagaimana kita ke Kantin dulu?” Gopal mengajak aku dan Aca untuk pergi ke Kantin.

“Ayo, aku juga ingin beli minum.” Balasku. Lalu kami bertiga berjalan menuruni tangga dan menuju ke Kantin.

Kami duduk sejenak di Kantin yang saat itu tidak terlalu ramai sekedar untuk melepas kantuk dan haus.

“Kenapa kalian mau masuk kesini?” Tanya Aca mengawali percakapan kami siang itu.

“Kalau aku sih karena suka melukis dan ingin jadi seniman yang punya galeri seni sendiri.” Balasku pada Aca sambil menyeruput es teh yang aku pesan.

“Kalau aku yo karena nda masuk di Institut Seni Indonesia, jadi aku mau coba disini.” Ucap Gopal dengan logat medoknya itu. Gopal memang asli Yogyakarta. Ia menginap di Hotel dekat dengan tempat kami tes.

“Kalau kamu kenapa Ca?” Aku berbalik tanya padanya,

“Karena aku ingin jadi seniman juga!!! Hahaha.” Katanya sambil tertawa.

Siang itu kami mengobrol banyak hal sambil menunggu pengumuman selanjutnya.

 

***

Setelah tes selesai panitia memberi pengumuman bahwa kami sudah boleh pulang dan hanya tinggal menunggu kabar melalui e-mail katanya. Aku membereskan peralatanku dan memakai jaket sambil berpamitan dengan Gopal juga Aca. Tidak lupa kami bertukar nomor telepon agar bisa saling menghubungi.

“Pal, Ca… Aku duluan ya.” Aku berpamitan pada mereka berdua karena ingin pulang lebih awal sebab langit sudah terlihat gelap. Khawatir turun hujan sebab aku mengendarai motor saat itu.

“Lho, nda mau ngopi – ngopi dulu Sa?” Tanya Gopal

Next time ya Pal, langit sudah gelap. Aku khawatir hujan.” Balasku pada Gopal sambil menepuk pundaknya lalu meninggalkan Gopal juga Aca.

Benar saja, hujan datang lebih cepat dari dugaanku. Belum jauh aku meninggalkan tempat itu, hujan sudah turun begitu deras. Aku memutuskan untuk meneduh terlebih dahulu. Aku menuduh di sebuah Halte Bus yang saat itu tidak ada orang sama sekali. Aku duduk termenung memperhatikan hujan yang semakin lebat. 

Hujan ini mengingatkan aku pada Aceline. Kami senang sekali saat hujan turun, bahkan tidak jarang kami merapalkan do’a agar hujan turun lebih lama. Biasanya hujan seperti ini aku bersama Aceline, namun hujan kala sendiri saat ini begitu terasa sepinya.

Ketika hujan masih deras, aku dikagetkan dengan wanita yang datang dengan berlari kecil untuk meneduh. Ia berdiri di depan kananku sambil sibuk membereskan rambut yang basah terkena air hujan. Gerakannya membuatku diam terpaku mengingatkan aku pada sosok Aceline. Rambutnya panjang terurai dengan rok panjang selutut berwarna coklat serta payung yang tidak ia pakai tergantung di lengannya. Persis seperti Aceline.

Hatiku bergetar. Rasa penasaranku meningkat. Payungnya kenapa tidak dipakai?” Aku memberanikan diri bertanya pada wanita di depanku.

Ia menoleh. “Iya?” jawabnya. Ternyata bukan Aceline. Namun aku terdiam sejenak, terpaku sebab garis wajahnya mirip dengan Aceline. “Kenapa tadi?” Pertanyaannya membuyarkan lamunanku dan membuat lidahku kelu tiba - tiba

“Oh… e.. anu..” Seketika aku lupa dengan pertanyaanku. Ia masih menatapku membuatku semakin gugup.

“Hujannya deras ya.” Entah apa yang ada di pikiranku sehingga aku mengeluarkan kata – kata itu.

“Iya deras.” Balasnya sambil duduk disampingku.

“Kenapa payungnya tidak dipakai?” Aku menunjuk pada payung lipat yang tergantung di lengannya.

“Oh ini, hahaha” Katanya sambil tertawa. “Tadi hujannya turun deras dengan tiba – tiba, tidak sempat aku buka. Lalu yasudah tanggung.” Katanya. Persis seperti Acel, ia selalu berkata ‘tanggung’ saat kutanya mengapa hujan – hujanan. Aku terdiam.

Langit sudah mulai sedikit menampakan cahayanya. Hujan pun sudah mulai reda. Wanita itu kembali memakai tasnya dan berpamitan sambil terburu – buru.

“Aku duluan ya.” Katanya langsung meninggalkan aku. Tidak sempat aku bertanya namanya karena sosoknya yang mirip dengan Aceline cukup membuatku terdiam seperti patung.

Aku bergegas untuk pulang sebelum hujan turun kembali.

Sesampainya dirumah, aku langsung bersih -  bersih dan istirahat. Merebahkan badan di kasur setelah kehujanan adalah hal yang paling aku suka. Rasanya hangat dan membuatku relax.

Ingatanku langsung tertuju pada wanita yang aku temui di halte bus tadi. Mirip sekali dengan Aceline batinku. Aku menyesal tidak bertanya namanya, namun aku teringat pada tote bag bening yang ia pakai. Isinya sebuah pahatan kayu kecil dan satu set alat pahat yang tersusun rapih didalamnya. 

“Apa dia mahasiswa kesenian di tempat aku akan berkuliah?” Ucapku dalam hati.

***

Notes from author :

Hai readers!! Terimakasih sudah mampir di chapter 2. Semoga karyaku bisa kalian nikmati ya! Jangan lupa tinggalin like dan comment dalam setiap chapternya, agar penulisnya semakin semangat. Xixi

Kalau mau kenal boleh mampir ke Instagramku di @gheawllms dan tulisanku di @rajutanimaji

With love,

Ghea<3

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dei.frp

    Cant wait to the next chapter!!!

    Comment on chapter DOTS - Chapter 1 : Missing Aceline Kalea
Similar Tags
love like you
399      279     1     
Short Story
Gray Paper
489      263     2     
Short Story
Cinta pertama, cinta manis yang tak terlupakan. Tapi apa yang akan kamu lakukan jika cinta itu berlabuh pada orang yang tidak seharusnya? Akankah cinta itu kau simpan hingga ke liang lahat?
Hoping For More Good Days
433      290     7     
Short Story
Kelly Sharon adalah seorang gadis baik dan mandiri yang disukai oleh banyak orang. Ia adalah gadis yang tidak suka dengan masalah apapun, sehingga ia selalu kesulitan saat mengahadapinya. Tapi Yuka dan Varel berhasil mengubah hidup Sharon menjadi lebih baik dalam menghadapi segala rintangan.Jujur dan saling percaya, hanya itu kunci dari sebuah tali persahabatan..
Awal Akhir
649      403     0     
Short Story
Tentang pilihan, antara meninggalkan cinta selamanya, atau meninggalkan untuk kembali pada cinta.
Si Mungil I Love You
539      311     2     
Humor
Decha gadis mungil yang terlahir sebagai anak tunggal. Ia selalu bermain dengan kakak beradik, tetangganya-Kak Chaka dan Choki-yang memiliki dua perbedaan, pertama, usia Kak Chaka terpaut tujuh tahun dengan Decha, sementara Choki sebayanya; kedua, dari cara memperlakukan Decha, Kak Chaka sangat baik, sementara Choki, entah kenapa lelaki itu selalu menyebalkan. "Impianku sangat sederhana, ...
Today, I Come Back!
3220      1041     3     
Romance
Alice gadis lembut yang sebelumnya menutup hatinya karena disakiti oleh mantan kekasihnya Alex. Ia menganggap semua lelaki demikian sama tiada bedanya. Ia menganggap semua lelaki tak pernah peka dan merutuki kisah cintanya yang selalu tragis, ketika Alice berjuang sendiri untuk membalut lukanya, Robin datang dan membawa sejuta harapan baru kepada Alice. Namun, keduanya tidak berjalan mulus. Enam ...
CORAT-CORET MASA SMA
408      284     3     
Short Story
Masa SMA, masa paling bahagia! Tapi sayangnya tidak untuk selamanya. Masa depan sudah di depan mata, dan Adinda pun harus berpikir ulang mengenai cita-citanya.
Nonsens
450      331     3     
Short Story
\"bukan satu dua, tiga kali aku mencoba, tapi hasilnya nonsens. lagi dan lagi gadis itu kudekati, tetap saja ia tak menggubrisku, heh, hasilnya nonsens\".
Rain, Maple, dan Senja
877      519     3     
Short Story
Takdir mempertemukan Dean dengan Rain di bawah pohon maple dan indahnya langit senja. Takdir pula yang memisahkan mereka. Atau mungkin tidak?
The Journey is Love
556      382     1     
Romance
Cinta tak selalu berakhir indah, kadang kala tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Mencintai tak mesti memiliki, begitulah banyak orang mengungkapkan nya. Tapi, tidak bagiku rasa cinta ini terus mengejolak dalam dada. Perasaan ini tak mendukung keadaan ku saat ini, keadaan dimana ku harus melepaskan cincin emas ke dasar lautan biru di ujung laut sana.