Beberapa saat setelahnya, Zahra pun mengajak Karina untuk segera memasuki kamarnya.
"Ini apa, Za?" Karina bertanya, setelah ia menemukan sebuah benda yang tergeletak di bawah sana—tepat di tepi bagian kanan dari pintu kamarnya Zahra.
Setelah mendengar hal itu darinya, Zahra pun lekas melihat ke arah Karina. Lalu kemudian, arah pandangnya pun ikut tertuju, ke arah di mana benda itu tengah berada. "Owh ... itu gantungan kunci," jawab Zahra, dengan sedikit terlihat sendu.
"Iya, aku juga tahu kalau ini gantungan kunci, tapi maksud aku ... di dalamnya ada apa? Unik soalnya." Lagi dan lagi, Karina kembali merasa penasaran, dan pastinya juga, ada alasan di balik rasa penasarannya itu—layak pada yang sebelumnya.
"Mmm, coba kamu buka aja." Seakan tak ingin menjelaskan lebih lanjut, lantas hanya kalimat inilah, yang lekas Zahra tuturkan, dalam merespons ucapannya.
"Aku buka, ya?" Karina.
"Iya. Buka aja." Zahra.
Setelah bertanya untuk yang kedua kalinya, dan tepat setelah Zahra mempersilahkannya, untuk yang kedua kalinya pula, maka Karina pun lekas membukanya.
Lalu saat ini, ia pun telah melihat adanya sebuah potret/foto di dalamnya. "Ini kamu, 'kan?" tanya Karina pada Zahra, dengan arah pandangnya yang masih terfokus lekat, ke arah benda pipih itu.
"Iya, itu aku," singkat Zahra.
"Mmm, oke," –setelah ia mendengar kalimat singkat itu darinya, sontak Karina pun kembali melihat ke arah Zahra. Kala itu, ia turut menyaksikan, bahwa hal ini seakan memang ada kaitannya, dengan apa yang tengah Zahra sembunyikan darinya.
Ingin rasanya Karina bertanya, siapa seseorang lainnya yang ada di dalam potret itu. Namun, tepat setelah ia kembali melihat ekspresi sendu itu darinya—belum lagi mengenai nada bicaranya Zahra yang terkesan sungkan tadinya. Kedua hal itu, seakan telah membuatnya urung untuk mau mempertanyakan hal tersebut padanya.
Ia merasa, sepertinya suatu hal yang tengah Zahra sembunyikan darinya, hal itu benar-benar terkesan sulit baginya. Layaknya suatu hal yang teramat sulit, untuk bisa dibagi ke personal yang lainnya. Semacam suatu hal yang benar-benar rahasia—menurut seorang Karina.
Lantas sebab hal ini, suasana di antara mereka pun lekas hening. Keduanya hanya terdiam, sampai waktunya di mana Zahra dengan spontan, melihat ke arah jari telunjuknya Karina—yang tengah tertuju ke arah objek yang lainnya, yang juga terdapat di dalam sebuah potret/foto yang masih sama.
Tanpa adanya sebuah pertanyaan yang terdengar dari mulutnya Karina, mengenai hal ini. Sontak dengan spontan, Zahra sendirilah yang lekas berucap, "Mmm, jujur ... jangan tanyakan siapa dia. Soalnya ... aku benar-benar nggak tahu siapa dia."
Setelah mendengar hal tersebut darinya, sontak Karina pun lekas mendongkak—melihat ke arahnya—merasa heran. "K-kamu, nggak tahu?"
"Iya. Aku nggak tahu siapa dia," ulang Zahra.
Suasana kembali hening sejenak. Zahra pun kembali tampak tertunduk—tak tahu apa harus menceritakan segalanya kepada Karina, atau harus tetap bungkam.
Melihat Zahra yang hanya terdiam, lantas apa pula yang bisa Karina lakukan? Mana mungkin rasanya, jika ia harus kembali memaksa, bukan?
Ya, terlebih lagi, setelah kejadian di mana ia melihat, bahwa Zahra sendiri terkesan sulit untuk bisa mengingat banyak hal. Bahkan yang anehnya, menurut Karina, Zahra sampai merasa pusing pada saat itu. Lantas setelah semua ini, Karina pun merasa, bahwa sahabat barunya itu, seakan memang tengah berupaya sebaik mungkin, untuk bisa mengingat sesuatu.
"Ada apa sebenarnya? Aku benar-benar nggak tahu, apa yang sebenarnya udah terjadi dengan Zahra. Di satu sisi, ada semacam hal yang seakan membuatnya diam ... nggak pengen cerita sama sekali, bahkan sekalipun itu ke aku, sahabatnya sendiri.
"Tapi di sisi lainnya, kenapa rasanya ... Zahra sendiri seakan kesulitan dalam mengingat sesuatu? Kenapa aku rasa, waktu itu, di saat yang katanya dia cuma 'Sedikit pusing' ... kayaknya dia memang lagi berusaha untuk mengingat sesuatu," batin Karina, sembari mengulang ingatannya—mengenai yang kemarin.
Setelah mengingat kejadian yang kemarin, Karina pun kembali melihat ke arah sebuah benda yang masih ada di tangannya. "Malik? ada hubungan apa, antara Zahra dengan Malik?" Batin Karina kembali—tepat setelah ia menemukan sedikit fakta yang sekiranya benar-benar tepat, dan terkesan masuk akal, antara kejadian yang kemarin itu, dengan sebuah gantungan kunci, yang kini masih saja ia pegang.
Setelah dua menit memutuskan untuk hening sejenak—memikirkan apa yang baiknya untuk ia beritahu atau tidak. selanjutnya Zahra pun kembali melihat ke arahnya.
"Mmm, sebenarnya dia yang udah jadi masalah utamanya." ucap Zahra setelah memutuskan. Ia mengucapkan kalimatnya ini, dalam volume nada suara yang jauh lebih minim, daripada yang sebelum-sebelumnya. Seakan tengah tercipta keraguan akan hal ini, tapi ada semacam dorongan pula, yang sulit untuk bisa ia jelaskan.
Ya, entah ada angin apa, tiba-tiba saja Zahra berucap demikian—seakan telah cukup siap berbagi kisahnya kepada yang lainnya. Meskipun selama ini, ia sama sekali tak pernah menceritakan hal tersebut, kepada siapa pun juga—terlebih Karina sendiri, ia memang bukanlah keluarganya.
"M-maksudnya?" setelah mendengar hal itu dari Zahra, tentu saja, sepenggal kalimatnya itu, sama sekali belum bisa Karina mengerti dengan sepenuhnya. Tentu saja pula, masih banyak pertanyaan lainnya, yang sejatinya ingin ia ajukan—agar ia mampu benar-benar mengerti, akan hal apa yang baru saja ia dengar ini dari Zahra.
"M-maksudnya ... mmm ... sebenarnya, nggak mudah untuk bisa ceritakan hal ini, tapi entah kenapa ... aku rasa ... aku udah punya tempat cerita yang tepat. Aku ngerasa, kalau keanehan di dalam hidup aku selama ini, akan benar-benar menemukan jawaban yang pasti, setelah aku ceritakan semuanya ke kamu.
"Jujur, aku juga nggak ngerti, kenapa semua ini bisa tiba-tiba aja terbesit. Kenapa tiba-tiba, aku merasa, kalau mungkin ada baiknya, untuk aku cerita ke orang yang aku percaya, soal semua ini." Belum hilang dari kesan raut wajah sendunya, Zahra yang tadinya sempat tertunduk pun, sontak kembali melihat ke arah Karina.
Setelah mendengar hal ini dari sahabat barunya itu, Karina pun lekas menggenggam tangannya Zahra—seolah telah mengerti, akan sebesar apa keraguan seorang Zahra, untuk bisa berbagi mengenai kisahnya, kepada orang lain.
Ya! Karina memang belum tahu banyak hal tentangnya, tapi sungguh, Karina memang tipikal pribadi yang peka, dan terkesan humble. Ya, dia memang tipikal teman dan sahabat yang paling cocok untuk seorang Zahra, yang merupakan seorang INTJ.
Dengan masih menggenggam tangannya Zahra, menggunakan tangan kanannya, Karina pun lekas berkata, "Cerita aja. Aku siap dengar apa pun itu, kok. Kalau misalnya permasalahan itu masih ada, dan masih perlu untuk diselesaikan sekarang juga, aku seratus persen siap bantu kamu. Kita bakalan cari solusinya bareng-bareng." Karina.
Karina mengatakan kalimat penyejuk hati ini, dengan turut melihat ke arah Zahra, yang masih kembali tertunduk kala itu, dan turut mengatakan segalanya itu, dalam balutan senyuman terbaik yang Karina punya.
Hati siapa yang tak akan tersentuh, setelah mendengar kalimat yang teramat positif ini darinya. Tentunya, siapa pun itu akan turut tersentuh dibuatnya.
Lalu setelahnya, tepat setelah Zahra mendengar segala ucapannya Karina sampai selesai, lantas ia pun turut membalas genggaman tangan itu darinya, seraya kembali melihat ke arahnya. "Makasih. Makasih untuk itu," ucap Zahra, dengan turut tersenyum tipis. Akhirnya, ia kembali bisa merasakan, memiliki seorang sahabat terbaik di dalam hidupnya.
Lalu berikutnya, Zahra pun bersedia menceritakan banyak hal pada Karina.
...
Dari beberapa hal yang telah Zahra ceritakan pada saat itu kepadanya, bagian inilah yang benar-benar tepat pada intinya. "Orang tua, kamu? Kamu juga lupa ... tentang orang tua kamu?" Heran Karina, setelah ia berhasil memahami banyak hal, dari beberapa rangkaian cerita tersebut, dari Zahra.
"Iya, waktu itu ... aku sempat lupa siapa nama aku. Terus pada akhirnya ... Ibu yang kasih tahu aku, kalau aku adalah anaknya yang bernama Zahra."
"Serius?" Karina semakin merasa terkejut, akan pengakuannya ini.
"Iya. Aku benar-benar serius."
Setelah mendengar hal tersebut darinya, Karina pun semakin mendekat—menatap lekat ke arah Zahra—seakan benar-benar menaruh rasa begitu peduli, terhadap apa yang telah Zahra alami tersebut. "Berarti ... kamu lagi amnesia, dong." Terka Karina—benar-benar merasa heran.
"Aku juga nggak tahu tentang kebenarannya, dan Ibu juga nggak pernah cerita soal kejanggalan ini. Tapi anehnya ... setiap aku pengen cari tahu tentang aku yang sebenarnya, Ibu selalu aja ngelarang dan seolah-olah, mau buat aku beralih, dari hal yang sempat aku ingat dengan selintas.
"Ibu selalu aja menceritakan banyak hal tentang masa kecil aku ... yang sebenarnya ... sama sekali nggak pernah aku ingat, atau bahkan sedikit pum, sama sekali nggak pernah terlintas di dalam ingatan aku."
"Ngelarang?" tanya Karina, semakin merasa heran.
"Iya."
"Selalu mengalihkan pembicaraan? Maksudnya itu?"
"Iya."
"Jadi ... selain terkesan ngelarang, terus setiap kamu mau cerita sesuatu ... yang sempat terlintas di dalam ingatannya kamu, ibu kamu selalu mengalihkan topik pembicaraan? Gitu?" Karina seakan benar-benar merasa tabu akan hal ini.
Ya, meskipun ia belum begitu mengenal Ibunya Zahra, tapi ia yakin seyakin-yakinnya, kalau Ibunya Zahra adalah sosok seorang ibu yang baik dan berhati lembut. Mana mungkin rasanya, jika ada seseorang yang terlihat sebaik dirinya, malah ingin menipu anak sepolos Zahra. Ya, itulah isi pikirannya Karina, untuk saat ini. Itulah mengapa, ia masih saja merasa tabu akan hal ini.
"Masa sih? Aku yakin banget lho, kalau Ibunya Zahra itu, adalah orang yang baik. Ya ... meskipun aku belum sering ketemu dengan dia, dan bahkan cuma dalam sekali sampai tiga kali doang, tapi kayaknya nggak mungkin deh, kalau Zahra itu diculik dari keluarga aslinya, terus mereka malah manfaatin keadaannya Zahra yang lagi amnesia.
"Tapi kalau dipikir-pikir, kayaknya Zahra juga nggak mungkin salah sangka. Dia bilang, kalau ibunya seolah ngelarang, maupun mengalihkan topik, 'kan? ... kok malah jadi aku yang puyeng, ya? Gimana kalau aku, yang lagi ada di posisinya Zahra? Benaran puyeng di atas rata-rata 'ni pastinya," batin Karina.
"Rin," panggil Zahra setelahnya—tepat di saat Karina masih disibukkan dengan alam pikirnya—ikut turut merasa pusing.
"I-iya?" Sekali mendengar panggilan itu, akhirnya Karina pun lekas sadar—tersadar dari lamunannya.
"Kamu ikutan pusing, ya?" Terka Zahra—setelah ia melihat ekspresinya Karina, yang memang benar, seakan memancarkan ekspresi kebingungan.
"Mmm, iya sih, aku memang agak bingung, tapi nggak apa. Bingungnya aku, bukan berarti nggak percaya dengan semua omongannya kamu. Cuma kayaknya, kalau kita belum ngelakuin sesuatu, pastinya hal ini masih terasa samar, dan sulit untuk kita bisa tahu, sebenarnya apa yang udah terjadi." Karina.
"Iya, itu benar. Sebenarnya aku juga sepemikiran sama kamu. Aku ngerasa, kalau kejanggalan ini, nggak akan pernah ada habisnya. Kalau kita nggak berusaha sebaik mungkin, untuk bisa memecahkan permasalahan ini, tapi ya itu ... gimana caranya, supaya bisa buat Ibu luluh? Gimana caranya, supaya aku diperbolehkan, untuk bisa buka beberapa benda yang ada di dalam rumah ini, sementara Ibu benar-benar nggak ngebolehin aku, untuk bisa buka semua hal itu, untuk bisa ngebuka lemari itu. Gimana caranya?" Zahra.
Zahra lekas kembali menceritakan poin yang lainnya, dan hal ini, benar-benar semakin membuat Karina memihak pada pikiran buruknya yang tadi—tentang penculikan dan sebagainya—menyangkut dan mengenai, siapa sebenarnya, yang kini telah Zahra anggap sebagai ibu kandungnya itu.
"M-maksudnya gimana? Maksudnya ... apa ada suatu benda yang kamu curigai. Seolah-olah ... kalau itu bisa sebagai bukti yang jelas, tentang siapa kamu yang sebenarnya? Gitu?" Tangkap Karina, mengenai penjelasannya Zahra yang tadi.
"Iya, benar. Sebenarnya, dari dulu itu ... aku pengen banget, ngebuka salah satu lemari yang ada di rumah ini, tapi sayangnya, lemari itu selalu terkunci rapat, dan setiap aku memperhatikan lemari itu, Ibu selalu aja bilang ... kalau lemari itu hanya lemari kosong yang nggak di pakai lagi.
"Jadi aku mikirnya gini, selain aku ngerasa kalau di dalam sana ada jawabannya—sebenarnya aku ini memang 'Zahra' yang Ibu maksud, atau bukan. Aku juga ngerasa ... di dalam sana itu memang ada sesuatu, tentang identitas aku yang asli. Dan yang anehnya, kalau aku memang anaknya Ibu, tentunya Ibu punya semua data-data yang jelas tentang aku.
"Terus, kalau Ibu memang udah punya data-data tentang anaknya, yaitu aku, di mana pun itu dia letakkan, entah itu memang ada di lemari itu atau bukan, kenapa Ibu harus capek-capek cerita? Kenapa Ibu nggak biarkan aku ngelihat bukti-bukti yang lain, yang mungkin aja memang ada di dalam lemari itu?" Tak hanya Karina, ternyata di dalam ruang pikirnya Zahra, juga ada terbesit akan rasa kecurigaan ini.
Namun, apakah semua kecurigaan itu, memang ada benarnya?
Entahlah, semuanya masih terasa abu-abu. Belum ada hal yang begitu jelas terbaca, tentang semua hal ini, dan juga tentang semua kecurigaan ini.
"Oh my god. Berarti selama ini, kamu benar-benar selalu gagal dong, untuk bisa cari tahu soal itu semua?" Karina.
"Iya, sampai sekarang aku juga masih bingung sama semua ini. Karena setiap aku melihat sesuatu yang menarik perhatian, rasanya 'tu pusing ... rada ingat tapi buram. Apalagi tentang cowok yang ada di dalam foto itu. Jujur, aku benar-benar bingung soal itu. Karena sebelum aku pindah ke kota ini, aku nggak pernah merasakan sesuatu yang kuat tentang cowok itu. Bahkan sekarang, perkara siapa dia yang sebenarnya, itu sampai kebawa mimpi." Zahra.
"M-mimpi?" Karina.
"Iya mimpi, tapi meskipun gitu, tetap aja wajahnya nggak jelas." Zahra.
"Duh, sayang banget. Jadi percuma dong." Karina.
"Nggak percuma juga sih, karena di dalam mimpi itu, lokasinya kayak ada di taman sekolah kita."
"Wah, apa jangan-jangan ... cowok itu ... dia memang sekolah di sekolahannya kita?" tanya Karina, semakin merasa tertarik akan hal ini.
"Kalau soal itu, soal di mana keberadaan dia yang sekarang, aku juga nggak tahu. Mimpi itu pun, cuma sebatas sampai di situ doang. Aku sempat interaksi sama dia di dalam mimpinya aku ... kami kayak sama-sama ngobrol, tapi yang anehnya, tetap aja semuanya nggak ada yang jelas. Nggak ada satu pun petunjuk, yang benar-benar jelas soal dia," jelas Zahra, dengan apa adanya.
"Mmm, oke. Selain itu ... selain tentang cowok itu ... mmm ... maaf 'ni ya, aku mau nanya sesuatu, tapi boleh, 'kan?" Karina tampak terkesan ragu, untuk bisa mempertanyakan apa, yang sebenarnya telah sedari tadi sangat ingin ia pertanyakan.
"Soal apa?" tanya Zahra.
"Soal Ibunya kamu. Mmm, bukannya aku bermaksud apa pun, dan sebenarnya ... aku juga benar-benar tertarik soal permasalahan cowok yang ada di foto itu, tapi 'ni ya ... kayaknya ada yang jauh lebih penting deh, selain dari cowok itu." Ucapan Karina kembali terhenti. Sungguh, ia seakan benar-benar merasa segan—jika harus terkesan begitu menuntut—menuduh Ibunya Zahra yang bukan-bukan.
Melihat raut wajah Karina yang tampak menanggung keraguan, sontak Zahra pun lekas menatap lekat ke arahnya—benar-benar merasa penasaran, kiranya apa tanggapan dari sahabat barunya itu mengenai permasalahan ini, dan juga mengenai ibunya, sampai-sampai ada kesan keraguan tersebut di dalam benaknya.
"Apa? Bilang aja, nggak apa-apa, kok," ucap Zahra—berupaya meyakinkannya, bahwa dia benar-benar open minded, terhadap hal ini.
Next, Kak ❤
Comment on chapter Chapter 10. Dea?