Saat bersinarnya mentari adalah hal yang sangat menggugah dirinya, untuk selalu berpikir akan suatu hal yang tak sejalan dengan apa yang ia rasakan, dan juga apa yang ia ingin ajukan, yakni suatu perasaan yang mencintai dibalik rasa keraguan, bagi seorang pemikir layaknya Zahra.
Ia hanya mampu melihat tatapan indah itu dari jauhnya jarak di antara mereka. Walau sekalipun ia tak mampu untuk terus-menerus melihatnya—meski sekalipun dari tatapan yang begitu menerawang.
Kata seakan tak mampu terucap oleh bibirnya, yang selalu berpedoman pada keadaan selanjutnya, yakni saat sirnanya status dalam suatu hubungan.
Meskipun ada banyak hal yang tengah ia simpan di dalam benaknya, tapi sejauh ini, tak sekalipun ada yang ia umbar—tak mengucapkan kata hatinya terhadap siapa pun, sekalipun itu terhadap salah seorang teman karibnya—Karina.
Ia seakan tak peduli akan perasaannya, yang begitu ingin membawanya pada seseorang yang spesial baginya, walau hatinya terus mencari jejak, akan seseorang yang rupawan baginya, dan terkesan begitu memiliki nyali, dalam menjalin suatu hubungan.
Ya, cinta hanyalah sebatas five letters, yang tak segan untuk ia alihkan dari pikiran dan hatinya, meski memang, terkadang beberapa kali terus menolak, akan hal yang tak sejalan.
Terkadang ia ingin melupakan, tapi orang yang telah ia kagumi itu, seakan terus hadir dalam mimpi dan bayangannya—walau hanya dengan sesaat. Ya, makna kata ‘Sesaat’ ini, memang sebagai bentuk usahanya, sebab benar saja, meskipun rasa itu terasa sangat kuat di hatinya, tapi di sisi lainnya, ia benar-benar seakan ingin menghentikan pikiran dan hatinya, untuk bisa selalu, tidak membayangkan apa yang sejatinya tidak pasti.
Ia tak ingin membuka mulut, jika ia merasakan suatu hal, yang baginya tak pantas untuk diketahui oleh banyak orang. Ya, lantas sebab inilah, ia sangat cocok menjadi teman yang pantas untuk menyimpan sejuta cerita dan rahasia, tanpa bisa diketahui oleh yang lainnya—selain dirinya, dan juga seseorang yang ingin berbagi kisah kehidupan mereka, kepadanya.
Ini bukanlah yang pertama kali baginya dalam mengagumi seseorang—layaknya remaja yang seusia dengannya. Namun kekuatan batin yang ia miliki, terus terarah pada suatu takdir yang sampai saat ini masih ia rasakan. Walau kini, ada seseorang yang lebih dekat jarak pertemuan itu dengannya.
Ya, benar adanya, jika takdir tak mampu diungkap, bila belum datang waktu yang tepat. Pandangan ke depan yang masih membayang, tapi terus terasa baginya. Perasaan itu hadir pada saat ia masih begitu belia dalam mengenal cinta. Walau saat ini ia sudah beranjak remaja, tapi perasaan yang telah hadir dulu kala, tetap ada bagaikan suatu impian yang ingin ia raih.
Sejujurnya, ia tak menginginkan pertemuan, bila mana mereka harus berpisah sejenak—dengan terkisah, dan terus bertanya akan kebenaran, terhadap suatu hal yang sejatinya hanya ia dengar, dari mulut orang-orang yang ia percaya.
***
Beberapa waktu yang lalu.
Kini masanya, ia memasuki sekolah barunya—pada bulan Juli ini. Tampaknya, ia begitu gugup, di saat ia melihat banyak orang, yang tengah memperhatikan raut wajahnya yang begitu anggun.
Diam adalah pilihannya pada saat itu. Hingga akhirnya, ada seseorang yang tak sungkan dalam menyapanya.
“Hai,” sapa seseorang itu, dalam senyuman.
“H-hai,” jawabnya dengan turut menampilkan senyuman.
“Mmm, boleh kenalan? ” tanya seseorang padanya.
“Boleh,” singkatnya.
“Namaku Karina. Nama kamu siapa?” ucap dan tanya seseorang itu—masih dalam keadaan tengah tersenyum.
“Nama aku Zahra.”
Saling mengenal adalah awal dari mereka, untuk saling berbagi dan melewatkan waktu bersama. Ya, semenjak inilah, mereka seakan tak pernah absen, untuk selalu siap siaga, saling mendukung dan saling melengkapi—menjalin hubungan persahabatan yang benar-benar erat.
“Mmm, kamu ... kamu punya teman yang dulunya satu sekolah?” tanya Karina.
“Nggak ada. Kayaknya, memang cuma aku yang sekolah di sini,” jawab Zahra.
“Mmm, gitu ....” Karina.
“Iya. Kalau kamu?”
“Ada sih, tapi nggak banyak. Mau aku kenalin, nggak?” Karina tampak benar-benar bersemangat dalam hal ini—dalam hal mengenal-mengenalkan—memperluas lingkup pertemanannya.
“Boleh.” Dengan senang hati, Zahra menerima tawaran itu darinya.
“Oke, nanti kalau ada waktu, aku bakalan kenalin kamu ke teman aku yang lainnya.”
***
Keesokan harinya. Sama halnya layak pada hari pertama mereka bertemu, kini mereka pun masih saling mengisi hari-hari mereka, dengan selalu bersama-sama.
“Za,” panggil Karina.
“Ya?”
“Hmm ... kamu lihat apaan? ” tanya Karina—isyarat tengah merayu-nya.
“L-lihat? M-maksudnya?” Setelah mendengar hal itu darinya, Zahra pun benar-benar tampak gugup.
“Iya. Aku nanya, kamu lihat apa di sana? Soalnya ‘ni ya, dari tadi aku perhatikan ... kayaknya kamu lagi lihat ... hkhmm ... lagi lihat seseorang, ya?” Karina berucap, dengan gaya berbisik padanya—masih dalam mode rayu-merayu. Kali ini, Karina benar-benar merasa tak percaya. Lantas sebab hal ini, ia tak punya cara lain, selain tetap merayu Zahra, agar Zahra pun lekas berkata jujur terhadapnya
“N-nggak, kok. A-aku nggak lagi lihat siapa-siapa,” bantah Zahra.
“Yakin?” tanya Karina yang masih belum bisa percaya.
“Y-yakinlah,” jawabnya dengan gugup.
“Hmm ... yakin nggak bohong? Yakin ... kalau kamu nggak lagi nutupin sesuatu dari aku?”
“I-iya, Rin. A-aku nggak bohong,” balas Zahra. Sebenarnya, untuk kali ini, Zahra memang benar-benar tengah menutupi suatu hal darinya. Namun apa bisa dikata, sepertinya untuk saat ini, memang bukanlah waktu yang tepat, untuk bisa bercerita banyak hal pada Karina—mengingat mereka pun belum begitu lama saling mengenal satu sama lainnya.
“Bohong itu nggak baik lho. Memangnya, kamu nggak takut dosa?” Karina seakan benar-benar kukuh ingin mengetahui, akan perkara tersebut. Namun meskipun demikian, Karina tetap saja menampilkan senyuman manisnya tentu saja—ikut tak ingin membuat Zahra merasa begitu terintimidasi akan dirinya.
Ya, memang begitulah Karina. Ia memang tergolong kepo-an, tapi tak menutup alasan, bahwa apa yang ingin ia ketahui, benar-benar memiliki alasan yang jelas.
Beberapa saat kemudian, sepasang mata yang sempat ia lihat pada saat-saat sebelumnya, seakan terasa pernah ia tatap dengan sangat dalam, serta perasaan yang muncul pun, seakan terasa pernah ia rasakan, pada sebelum-sebelumnya.
“Dia siapa? Kenapa kayaknya, ada sesuatu yang pernah terjadi di antara kami?” batin Zahra.
Mengingat bagaikan musuh baginya, karena ia harus mengalami sakit pada bagian kepala, ketika ia ingin membayangkan suatu hal yang pernah ada, tapi begitu sulit bisa ia temukan jejak kejelasan, atas ingatan-ingatan bayangannya itu.
“Agh ....” Suara rintihan pelan pun lekas terdengar, dalam beberapa saat setelahnya.
“K-kamu kenapa, Za?” tanya Karina, dengan tampak cukup panik.
Ya, benar saja, ternyata alasan Karina, berupaya mencari tahu akan apa yang tengah dilihat oleh Zahra itu tadinya, memang benar punya alasan yang berarti. Meskipun mereka baru-baru ini saling kenal, tapi sepertinya, Karina memang telah lama terkenal begitu peka akan yang lainnya.
Pandangan yang tadinya sempat Zahra fokuskan pada seseorang itu, ternyata memang benar berdampak, dan benar-benar ada sesuatu yang bukan main-main akan pengaruhnya.
Ya, bahkan sejak tadi, Karina memang telah menyiasati hal itu, dan inilah alasan utamanya, kenapa Karina seakan terkesan kepo, tadinya.
“Mmm, n-nggak, kok. Aku nggak apa-apa. Aku cuma pusing, sedikit.” Zahra.
Memang benar, bahwa ia tengah merasakan pusing, tapi sungguh, sebenarnya hal ini bukanlah hal yang sejatinya dapat diremehkan.
Ya, makna kata ‘Sedikit’ yang sempat Zahra katakan barusan, sebenarnya bukan begitu adanya. Sebab, jika ia telah merasakan sedikit rasa pusing saja, biasa itu akan terus menerus menghantuinya, terlebih di saat ia selalu saja memaksakan ingatannya—untuk bisa mengingat suatu hal, yang sejatinya belum bisa ia kuasai.
“Beneran nggak apa-apa?” tanya Karina kembali—benar-benar merasa, bahwa jawaban Zahra, tak sedemikian sederhananya. Ia masih merasa, bahwa memang ada suatu hal penting yang tengah Zahra sembunyikan darinya.
“I-iya, aku nggak apa-apa, kok. Kamu nggak perlu khawatir. InsyaAllah ke depannya, aku pasti baik-baik aja. Ini bukan hal yang serius. Biasanya, aku memang suka sedikit ngerasa pusing, kalau aku lama-lama berdiri, di bawah teriknya matahari.” Zahra kembali beralasan.
“Tapi ini benaran kan, ya? Kamu benaran nggak dalam masalah yang serius, kan?” Karina.
Dengan masih memegang bagian kepalanya, Zahra pun tampak mengangguk—sebagai isyarat jawaban dari pertanyaannya Karina. Tak hanya sebatas mengangguk, Zahra pun turut berupaya untuk bisa tersenyum indah, layak pada biasanya—meski rasa sakit itu masih tetap ia rasakan—belum ada progres membaik.
Melihat anggukan itu darinya, Karina hanya mampu menghela napas ringan—seakan menyerah untuk bisa mendapatkan jawaban yang sebenarnya. Kali ini, ia memang berhenti bertanya, tapi meskipun demikian, ia tetap tak menjauhkan jaraknya dengan Zahra—terus memegangi lengannya—berharap Zahra memang benar dalam keadaan yang baik-baik saja—tak ada hal yang benar-benar serius, sesuai dengan ucapannya Zahra, yang tadi.
Muncul fakta lainnya. Next up, Kak 🙏🏻🤍
Comment on chapter Chapter 10. Dea?