PETUGAS cargo baru saja selesai meletakkan kardus terakhir ketika Pak Fauzan, Buk Nur, dan Ikal tiba di teras. Mereka keheranan dengan tumpukan kardus berlakban Bandara Hang Nadim tersusun di halaman rumah mereka.
"Kakak, kardus apa ini?"
Tubuh gadis itu bergetar bagai tersambar geledek di pagi yang cerah. Pelan, ia putar tubuhnya menghadap sang Ibunda.
“Kakak habis belanja?” Ikal bertanya dengan lugunya.
"Ini barang Kakak, Bu," jawabnya lamat-lamat.
"Kenapa barang-barang Kakak dikirim dari Batam?"
"Itu..."
"Isinya apa?" timpal Pak Fauzan.
"Buku dan ... baju Kakak, Yah."
"Baju? Buku?" ulang Buk Nur. Kali ini suara beliau naik satu oktaf.
Tika mati kutu. Belum selesai Tika berpikir, suara ibunya menginterupsi.
"Kakak ... bukannya cuti, kan?" tuduh Buk Nur. Bahkan petugas pengantar barang tadi masih di sana menunggu tanda tangan Tika di nota penerima.
Gelagapan Tika mencari jawaban. Belum keluar suaranya, Pak Fauzan menyambung.
"Kakak nggak akan balik ke Batam lagi, ya?" Meski pelan, pertanyaan Pak Fauzan membuat Tika tersudut.
“Kakak bakal tinggal di Jakarta lagi?” Ikal justru menyukai berita ini.
“Kurang lebih begitu, Dek," jelas Tika setengah memelas.
“Yesss!” Ikal tak menyembunyikan kegembiraannya, tidak peduli anggota keluarganya yang lain sudah berwajah keruh.
"Sebenarnya Kakak mau jelasin ke Ayah dan Ibu, tapi Kakak belum ketemu waktu yang pas. Maafin Kakak," cicit Tika menunduk. Ia tidak berani menatap kedua orang tuanya.
Terdengar hela napas lelah dari ayahnya. Tika semakin tenggelam dalam lautan perasan bersalah.
"Kak, jadi ini yang ingin Kakak bilang ke Ayah waktu di Bali itu?"
Tika mengangguk pelan.
"Ayah dan Ibu ingin mendengar penjelasan Kakak. Tapi pagi ini Ayah ada rapat, Ibu kamu juga harus buru-buru. Nanti malam kita bicara ya, Kak?" Ayahnya justru mengusap lembut kepala Tika yang menunduk. Suara tua itu tidak menyiratkan penghakiman, melainkan ajakan bicara dari hati ke hati. Mau tak mau, Tika bisa bernapas sedikit lega. Untuk sementara.
***
Malam hari di ruang kerja Pak Fauzan, Tika duduk di kursi kayu jati tua berhadapan dengan kedua orang tuanya ditemani secangkir teh melati hangat.
"Jadi Kak, Kakak beneran berhenti kerja?" tanya ayahnya.
"Iya, Yah," jawab Tika lirih.
"Bukannya Kakak senang kerja di perusahaan itu? Kata Kakak, Kakak enjoy banget kerja sebagai interpreter. Gajinya juga besar," sambung Pak Fauzan.
"Kontrak Kakak sudah habis, Yah. Jadi Kakak putuskan untuk enggak memperpanjang lagi."
"Kenapa, Kak? Karirnya bagus kan, di sana? Apa lagi kata Kakak lingkungan kerjanya sangat kondusif. Kakak pernah cerita punya teman yang sangat suportif di sana. Lalu kenapa Kakak putuskan untuk resign?" Giliran ibunya yang bertanya.
Kondusif sih, Bu, tapi hati aku nggak kondusif lagi.
"Kakak rencananya mau fokus besarin Andalusia, Bu. Kalau ada proyek terjemahin buku, kakak bisa kerjain dari rumah. Kan, nggak mesti masuk kantor kalau menerjemahkan buku. Yang menjalankan kantor ada Banyu di Batam"
Semoga Ayah dan Ibu bisa terima rencana aku, mohon Tika pada Tuhannya.
"Tapi Nak, kamu yakin dengan Andalusia? Berdiri sendiri di usia kamu sekarang bukan hal yang mudah. Atau kamu mau kerja sama Ibu aja?" Raut tegang telah menghilang, diganti dengan rona khawatir yang tercetak di wajah Buk Nur.
Kerja dengan ibunya berarti bekerja dengan koneksi orang dalam. Tika tidak dapat menerimanya. Bagi Tika, itu terasa sangat tidak benar.
"Tika yakin, Bu. Lagian tadi Banyu nelepon, ada proyek menerjemahkan buku cerita anak-anak dari Oxford Press dan satu novel best seller dari penulis Inggris. Lumayan tebal bukunya, Bu. Kakak dn Banyu juga sedang buat rencana buka cabang Andalusia di Jakarta untuk jasa terjemahan, kelas percakapan, dan interpreter di Jakarta," jawab Tika sambil tersenyum. "Kakak cuma butuh doa dan dukungan Ibu dan Ayah," pinta Tika tulus.
"Tika, Tika." Detik itu juga, Tika tahu bahwa Buk Nur akan mendukung keputusannya fokus pada Andalusia. "Anak Ibu udah besar ini, kan? Ibu cuma mendoakan Kakak sukses dengan apapun yang Kakak lakukan."
"Makasih, Bu." Tika mulai rileks sepenuhnya.
"Tapi Kakak nggak punya masalah dengan teman kantor di sana kan, Kak, makanya Kakak memutuskan berhenti? Ini bukan keputusan tiba-tiba kan, Kak?" selidik sang ayah.
Sepertinya ayahnya tidak mudah percaya dengan penjelasannya. Mungkin Pak Fauzan sudah sering berurusan dengan pegawainya yang minta mutasi atau resign tiba-tiba dengan berbagai alasan di kantornya.
"Enggak, Yah. Tika sudah memikirkan jauh hari sebelum resign, sejak enam bulan yang lalu."
Maafkan Tika, Yah. Tika belum bisa jujur sepenuhnya.
Makin lama air muka ayahnya melunak. Sepertinya beliau mulai percaya dengan jawaban anak sulungnya.
"Tika, Tika. Sejak kapan kamu jadi dewasa begini, Nak? Ayah pikir kamu masih gadis kecil 7 tahun yang masih butuh pendapat kami dalam mengambil keputusan. Ternyata Kakak benar-benar sudah dewasa." Wajah bangga Pak Fauzan tak dapat disembunyikan.
"Yah, Kakak udah 28 tahun, lho. Masa masih dianggap anak kecil? Trus Ikal gimana, dong? Jabang bayi?" Ayahnya terkekeh. Beliau menyeruput teh melati yang sudah mulai dingin.
"Ya, kalau Kakak sadar sudah 28, mana nih, calon mantunya? Katanya mau dikenalin ke Ayah sama Ibu. Dia yang temen kantor Kakak, kan?" tanya Buk Nur tanpa basa basi.
Mulai lagi deh percakapan paling sensitif ini.
Orang tuanya tahu Tika sedang dekat dengan seorang pria. Hanya nama dari pria itu informasi yang diketahui Buk Nur dan Pak Fauzan. Yang penting dia laki-laki baik. Karena pada saat itu, Tika sedang dalam proses mendapatkan keyakinan dan kepastian dari dia yang-namanya-tak-ingin-disebut lagi mengenai hubungan mereka. Ia ingin memastikan keseriusan dia, apakah dia ingin menjadi masa depan Tika atau masa depan orang lain. Dan ternyata masa depan itu tidak pernah ia dapatkan.
"Maaf Bu, Yah, Tika putus sama dia. Kami sudah tidak ada kecocokan lagi." Kalimat terakhir Tika ucapkan dengan gaya sok ngartis seperti dalam berita infotainment supaya suasana tidak tegang. Namun, Tika tahu usahanya untuk membuat suasana ceria hanya sia-sia di depan orang tuanya.
Terdengar helaan napas berat ayah dan ibu Tika. Ia telah membuat orang tuanya kecewa dua kali malam ini.
"Namanya juga belum jodoh, Kak. Yang sabar ya," sahut ayahnya kalem.
"Kalau begini caranya, Ibu harus turun tangan. Kakak harus nurut dengan calon dari Ibu."
"Tapi Bu–"
"Kak, Kakak ingat kan perjanjian kita?" sela Buk Nur. "Kali ini Kakak harus ikut aturan Ibu. Paham, ya, Kak?"
Ya Tuhan. Tika meringis seketika.
Isi perjanjiannya, Tika diberi kebebasan untuk memilih pasangan dan menikah dengan pilihannya. Namun, bila usianya memasuki tahun ke-28 dan belum juga menikah atau punya pacar, maka ibunya sendiri yang akan turun tangan mencarikan pasangan untuk Tika. Ironisnya, setelah ambang batas tercapai, malah dia telah mencampakkan dirinya.
Syalan memang tu lakik!
***
Malam semakin pekat ketika Tika duduk di balkon lantai dua. Hari telah berganti, tapi keinginan untuk tidur juga belum ada. Balkon itu masih bersambung dengan kamarnya yang kebetulan menghadap ke rumah tetangganya, Tante Helen.
Dulu sekali, ketika Tika masih SMP, dirinya sering menghabiskan malam bersama anak-anak Tamam dan Helen dari balkon kamar masing-masing. Kebetulan kamar Alisha juga berhadapan dengan kamarnya di lantai dua. Tak hanya Alisha, kadang Bintang dan Emil sering menemani Alisha agar Tika tak kesepian sendiri malam-malam.
Mereka mengobrol, bertukar makanan, melempar gumpalan kertas, bahkan bermain games sehingga sisa-sisa sampah bertebaran di halaman rumah masing-masing keesokan pagi. Tika kembali mengingat masa-masa itu, membuat sendu dan rindu memeluk dirinya yang kesepian malam ini.
Getaran telepon genggam Tika menghentikan lamunannya akan masa lalu. Nama Bintang Toedjoe tampil pada layar gawainya.
Eh, si Bintang Toedjoe nelpon.
"Bang Bin. Tumben ingat gue malam-malam. Kangen gue?" Demikian kalimat sapaan Tika.
"Kartika! Iya, gue kangen. Keingat lo terus. Puas lo?" Suara di ujung sana terkekeh pelan.
"Iya-iya, puas banget malah. Kenapa, Bang? Masih mumet tugas akhir, lo? Ada yang bisa gue bantu? Gue punya waktu lowong banyak banget ini."
"Eh, tumben lo lowong? Biasanya ngangkat telepon gue aja probabilitasnya keciiil banget."
"Ya gitu, deh. Kenapa belum tidur, Bang? Disertasi bikin lo jadi manusia nokturnal?"
Sebelum menjawab, Tika mendengar kekehan lagi dari Bintang.
"Lagi stuck aja. Trus gue ke inget lo waktu di rumah gue. Lo, Tik, nggak pernah update status, nggak pernah nongol di medsos, tiba-tiba muncul di Jakarta dan lo pakai hijab. Gue spechless sekaligus terharu. Gue udah mengucapkan selamat ke elo belum, sih?" Kini gantian Tika yang terkekeh mendengar Bintang yang bicara panjang lebar tentang dirinya.
"Bang, ngapain pakai selamat segala? Lagian ini kewajiban, Bang. Gue telat banget ini pakenya. Udah hampir kepala tiga. Nggak kayak Al, dari SMP udah pake hijab. Gue malu lah Bang, kalau diucapin selamat."
"Tika, Tika. Diapresiasi malah malu. I'm proud of you. Congrats, Tika. Nggak semua muslimah mau memilih pakai hijab. Tapi lo mau. Dan lo harus bangga sama diri lo. Tinggal usaha lo untuk istiqamah dan belajar mengikuti aturan yang sudah ditetapkan." Dalam diam, Tika menyesapi kalimat demi kalimat si Bintang Toedjoe. Sisi lain dalam dirinya merasa tenang.
"Terima kasih Bapak Dosen. Anyway, kenapa gue merasa semua keluarga lo tahu kalau gue udah berhijab?"
"Abang yang kasih tahu di grup. Dia excited banget tau, Tik."
Yep, tebakan gue benar.
"Hm, sudah kuduga." Suara terbahak-bahak menggema di speaker gawai. Tika harus menjauhkan gawai itu dari telinganya.
Setelah tawa Bintang mereda, ia melanjutkan, "Berapa hari lo di Jakarta, Tik?"
"Selama yang gue mau." Baru kali ini Tika merasa lega mengatakan yang sebenarnya mengenai statusnya.
"Maksud lo?"
"Gue resign. Sekarang stay di Jakarta. Kalau ada job kasih ke gue, ya," kata Tika santai.
"Serius lo? Tapi kenapa? Bukannya lo suka kerja jadi interpreter di sana?"
"Gue nggak memperpanjang kontrak. Nggak mau jadi budak korporat," jawab Tika berlagak sombong.
"Gaya lo, Tik. Tapi karena jadi budak korporat, tabungan lo bisa berdigit-digit, kan?" Lagi, Bintang terkekeh.
"Bisa ae lo, Bang. Bang, kasih gue jokes lo, dong. Gue kangen ketawa sampai nangis gegara lo."
"Easy. Kenapa air mata warnanya bening?"
Tika hening sebentar, berpikir mencari jawaban. Namun, ia tudak menemukannya. "Nyerah. Kenapa?"
"Soalnya kalau hijau namanya air matcha."
Tika terbahak-bahak sekitar satu menit. Dan benar saja, air mata menetes di sudut matanya.
"Jayus banget." Kini Tika terkekeh.
"Gue punya joke lagi."
"Apa?"
"Warna, warna apa yang nggak peduli dengan kita?"
“Warna apa, ya?” Tika berpikir beberapa detik. "Nggak tahu. Gue nyerah."
"Warna ... biru don't care." Tawa Tika tersembur lagi mendengar ketidakjelasan joke Bintang.
"Dongker Bang, dongker. Ok-ok. Gue nyerah sama tebak-tebakan lo. Lo terbaik pokoknya," kata Tika di sisa napas yang tersengal-sengal.
"Ya iya, lah. Cuma elo yang ketawa denger jokes receh gue di rumah."
"Hahaha. Terima kasih suhu. I really do appreciate it. You made my day. Akhirnya gue bisa tidur tenang."
"Gue juga terima kasih ke lo, karena menghilangkan kesuntukan gue."
"Sama-sama. Bener ya, dari dulu lo memang obat puyer paling manjur buat sakit kepala. Lo emang obat gue nomor wahid, Bang. Makasih Bintang Toedjoe." Tika tergelak lepas. Akhirnya, bebannya selama beberapa hari ini terasa terbang dari pundaknya. Ia merasa … ringan.
Bersambung