TIKA komat kamit sekembalinya dari meminjam gunting. Dia berjalan lambat menuju taman mini yang hanya berukuran 3 x 3 meter itu.
Dia sudah terbiasa mendengar pujian senada setelah memutuskan berhijab beberapa bulan yang lalu. Terus, apa bedanya dengan pujian Emil tadi? Dia tidak harus menganggapnya spesial, kan? Harusnya dia bersikap biasa saja, kan? Tapi masalahnya, pujian tadi berasal dari Emil. Seorang pria beristri!
"Oh, Tuhan." Tika geleng-geleng kepala.
"Ingat, Tika. Lo udah imun dari perasaan cinta monyet lo ke dia sejak zaman sekolah dulu. Lagian, Bang Emil dari jaman gue bau kencur udah sering puji-puji gue. So, what's the deal, then?" Tika memperingati dirinya sendiri dengan keras.
Sejujurnya, pikirannya tadi sempat kosong setelah mendengar pujian Emil. Sialnya, hampir saja jantungnya berdebar.
Tika segera menata kembali apa-apa yang harus diletakkan pada tempatnya. Seperti, hati yang tidak boleh goyah akan pujian sederhana tadi, Emil adalah kakak sahabat kecilnya, Alisha, dan yang paling penting adalah, Emil telah beristri dan mempunyai dua orang anak. Semua itu menjadikan pujian Emil tidak berarti apa-apa baginya.
Kenapa dibuat ribet sih?
Tidak. Hal ini tidaklah ribet, repot, ruwet, bahkan pelik. Bagi Tika, tindakan preventif sangat diperlukan dalam kasus ini. Sebab, hal seperti ini seperti déjà vu.
Justru karena itulah Tika sangat mewanti-wanti dirinya agar hati-hati. Tidak akan ada kesalahan yang sama untuk kedua kali. Dia sudah bertekad untuk itu. Mulai saat ini dan seterusnya, ia akan memperisai dirinya dari segala bentuk alasan agar tidak ada kesempatan sekecil apapun yang akan merusak pelindung hatinya.
Rumput yang meninggi lebih prioritas saat ini untuk dipotong dibanding pujian Emil. Tika segera melancarkan serangan membabi buta dengan memotong rumput itu dengan sekuat tenaga. Mata pisau yang sudah diasah Emil ternyata mempermudah aksinya. Dengan cepat Tika menyelesaikan setengah lahan taman mini ini.
"Sekalian aja Tik, lo anggap rumput-rumput ini gulma yang membuat hidup lo galau. Habisi dan hilangkan hal-hal mengganggu dari hidup lo." Tika menyerang rumput-rumput malang itu membabi buta. "Dan gulma itu adalah seseorang yang udah tega khianatin lo. Dia yang tega ninggalin lo demi anak bos lo. Gue ini apalah, ye kan? Cuma ampas tebu yang setelah diperas terus dibuang. Tapi yang lebih menyakitkan dan menjijikkan lagi, gue wanita yang hanya dijadikan... AWWW!"
Cairan merah pekat mengalir dari jari telunjuk Tika dan menetes ke rumput bekas ia potong tadi. Saking paniknya, ia bahkan lupa melakukan pertolongan pertama agar darahnya berhenti.
Matanya mulai mengabur.
"Segitu ngenesnya nasib lo, Tik. Nggak hati, nggak jari, mudah banget lukanya," lirihnya bergetar. Ia mendaratkan pantatnya di rumput dan menundukkan kepalanya di antara kedua lutut. Antara ingin menyembunyikan kerapuhan dirinya dan menopang kepalanya yang mulai pusing. Oh, perutnya mulai mual.
Tiba-tiba tangan kirinya dicengkeram dengan kokoh oleh genggaman seseorang. Hangat menjalar di tangannya. Aroma rumput yang baru dipotong dan wangi taman bunga segera terdeteksi oleh indra penciumannya. Apakah ini bau rumput yang ia potong tadi? Tapi wanginya sangat menenangkan dan sangat harum. Baunya seakan dapat menetralkan kegundahan hatinya saat ini dan menjernihkan pikirannya yang mengabut.
"Tika. Kamu nggak apa-apa, Dek? Darahnya banyak ini. Ada kotak P3K di rumah?" Suara familiar itu terdengar panik di telinga Tika. Ia mendongakkan kepalanya ke arah sumber suara dengan sisa-sisa tenaga. Semakin dia berusaha tegar, semakin mual terasa. Apa karena terlalu banyak darah yang keluar tiba-tiba?
"Bang Emil?" Gadis itu merasakan ujung jarinya semakin ditekan. Saat menoleh ke tangannya, ternyata Emil sedang menekan lukanya agar darah berhenti mengalir.
"Kamu, Dek! Kan udah dibilang hati-hati pake guntingnya," dumel Emil. "Baru diasah, lho. Ikut Abang. Lukanya harus segera dicuci dan dialiri air mengalir."
Tika menggigit bibirnya dan menunduk. Sedapat mungkin menahan air mata yang sewaktu-waktu tumpah. Ia sedih entah karena dimarahi Emil, karena lukanya semakin perih, atau karena sesuatu yang lain yang tertahan di dada.
Tika menurut ketika Emil menarik dirinya menuju keran air dekat pagar. Gadis itu berjengit ketika air dingin mengaliri lukanya. Tanpa ia sadari, air matanya juga ikut mengalir semakin deras.
"Duh, kenapa darahnya nggak berhenti?"
Tika bergeming meski suara Emil terdengar khawatir. Kepalanya masih bersandar diantara kedua lututnya. Sedangkan tangan kanannya memeluk kedua kakinya.
"Tik? Tika? Kamu kenapa?" Emil menggoyangkan bahunya dengan tangannya yang bebas.
Awalnya Tika terisak lemah, makin lama isakannya berubah wujud menjadi tangis kencang.
"Tika..."
"Bang Emil."
"Kenapa?" tanya sedikit panik.
"Sakit, Bang. Pedih bangeeet."
"Iya, Abang tahu. Kita ke IGD sekarang."
Emil mungkin berpikir Tika kesakitan sangat di jarinya. Namun, hanya Tika yang tahu alasannya mengapa ia merintih dan menangis sedemikian rupa.
"Nggak bisa dibiarkan ini," kata Emil lirih. Emil mengambil sapu tangan dari kantong celananya membelitkan kain segi empat coklat yang sudah dilipat-lipat itu ke jari telunjuk yang luka.
***
Canggung. Sudah sepuluh menit di dalam mobil sejak dari rumah sakit dan mereka belum bicara dengan benar tentang kekacauan tadi sore. Untungnya, wangi vanila mobil Emil membuat Tika masih tetap waras.
"Minum Tika," perintah Emil ketika menyodorkan sebotol air mineral baru yang diambil dari jok belakang. Mobil Emil sedang berhenti di persimpangan lampu merah.
"Makasih, Bang." Tika baru sadar kalau dia sangat haus. Segera saja ia menenggak setengah isi botol 600 ml itu.
"Seminggu lagi ke rumah sakit ya, Dek. Buka jahit."
"Iya."
"Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi Abang."
"Iya." Tika melirik sekilas Emil saat mulai menjalankan mobil.
Gue mesti ngomong apa, nih? Malu. Sumpah.
Bunyi dering telpon memenuhi mobil. Terus terang Tika merasa lega tak lagi memikirkan mesti ngobrol apa untuk memecah sunyi.
Emil bicara pada ear buds di telinganya.
"Ya Mi?"
"..."
"Aku lagi di jalan ke rumah. Tadi ada keperluan mendadak. Kenapa Mi? Anak-anak pada rewel?"
"..."
"Ooh, syukurlah mereka anteng-anteng aja. Ya udah. Jalan ke sana nanti aku beliin mereka es krim sama ayam goreng. Makasih ya, Mi, udah jagain anak-anak."
"..."
"Iya. Baik, Mi," kata Emil lembut. Kemudian dengqb sopan Emil mengakhiri pembicaraan dengan seseorang yang dipanggil 'Mi' yang berada di suatu tempat.
Lagi, Tika melirik Emil yang sedang meletakkan earbuds-nya di laci dashboard. Tika memijit-mijit pergelangan tangannya gugup.
"Bang, tadinya udah mau pergi, ya?"
"Iya. Mau jemput anak-anak di rumah Mami, mertua Abang."
Ooh, mertuanya Bang Emil. Tika mengangguk-angguk.
"Kalau gitu aku minta maaf, gara-gara aku--"
Emil mengangkat tangannya menghentikan Tika. "Santai, Dek. Nggak apa-apa, kok. Lagian tadi kamunya teriak gitu, gimana Abang nggak cemas. Untung Abang belum sempat berangkat." Tika makin kikuk dan merasa bersalah.
"Tapi kenapa nggak bilang Abang mau jemput anak-anak? Aku kan bisa naik gojek pulangnya. Daripada anak-anak Abang nunggunya kemalaman." Suara Tika sudah memelas karena perasaan bersalah tadi.
Emil menggeleng sebelum menjawab. "Abang akan tetap antar pulang. Kamu nggak usah pikirin itu, Dek."
Tika tahu Emil sedang tersenyum ketika mengatakannya, walaupun ia sama sekali tidak berani menatap langsung si pemilik senyum pepsodent itu.
"Tapi aku jadi nggak enak, Bang Emil. Aku ngerepotin."
"Udah, Tika. Dibuat enak aja, lah. Kayak Abang orang lain aja. Kamu itu udah Abang anggap adik sendiri, seperti Bintang dan Alisha. Ingus kalian bertiga Abang yang lap, kok. Jadi nggak perlu merasa sungkan." Emil menepuk lembut ujung kepala Tika sambil terkekeh sendiri. Sedangkan Tika menahan malu dan membuang muka ke jendela kiri.
Sial. Doi ngungkit momen memalukan gue zaman bocil. Malu!
Suara azan magrib di radio berkumandang. Keduanya diam, seakan sedang menyimak dengan khidmat lantunan muazin. Mobil melaju dalam lalu lintas ramai lancar di tengah lautan kendaraan.
"Jadi," kata Emil setelah azan berhenti. Emil melirik Tika yang sedang terpaku menatap langit yang sudah mulai memekat hitam.
Satu-satunya orang di mobil menoleh ke kanan. "Hm?"
"Nangisnya kamu tadi sekalian untuk menangisi luka hati, nih?" Emil mengulum senyum.
Yang ditanya langsung bergerak gelisah. Sekonyong-konyong bola mata Tika membulat bagai bola ping pong. Alisnya naik setinggi-tingginya. Ia yakin, kalau masih ada cahaya ilahi di langit sana, wajahnya langsung kelihatan memerah.
Ayo gunakan kemampuan mengarang indah lo, Tika. Lagian, kenapa juga Bang Emil nyinggung soal hati? Dari mana dia tahu? Nebak-nebak berhadiah ini mah!
"Abang ngomong apa, sih? Jelas-jelas tadi itu aku nangisnya karena luka, Kak. Apa urusannya sama hati?" balas Tika membela diri, tapi dia sendiri mendengar keraguan dalam suaranya.
"Ooh, bukan karena patah hati, ya?" Emil sepertinya tidak mau mundur begitu saja.
"Ini jari aku korbannya. Gara-gara gunting Abang, nih. Tuajem banget, kayak lidah yang punya. Sampe butuh dua jahitan."
"Kok lidah Abang dibawa-bawa sih? Terus kenapa gunting Abang yang disalahkan? Salahkan yang menggunakan, lah. Pasti melamun gara-gara patah hati."
"Abang!" Tika sudah memutar badannya menghadap si sopir usil.
Duh, kalau nggak ingat umur Bapak-bapak kepala tiga beranak dua ini, udah gue samperin kepalanya pake tangan gue yang sehat.
"Kalau nggak gara-gara patah hati, nggak perlu sewot begitu lah, Dek. Kecuali alasannya memang benar. Matanya jangan melotot, entar keluar dari rongganya. Itu tangannya bisa santai nggak?" Emil menunjuk tangan kanan Tika yang sudah mengepal erat.
Mata Tika benar-benar melotot dan dadanya kembang kempis dengan cepat. Ia seperti cacing kepanasan melihat Emil yang bersidekap di dadanya dengan santai, duduk menyandar dengan senyum terkulum jenaka dan mata yang menyipit karena ikutan tersenyum juga.
Iiih. Nyebelin! Nyebelin! Awas ya, tunggu pembalasan gue. Tunggu. Kok rasanya tenang banget nih mobil? Seperti, berhenti?
Tika melihat ke luar jendela. Ternyata dia sudah sampai di depan rumahnya. Ia melihat rumahnya sudah terang benderang. Padahal tidak ada satu lampu pun yang ia hidupkan tadi sore.
"Lho, kenapa rumah lampunya nyala? Emang siapa yang datang? Ayah, Ibu, Ikal kan, lagi di Bali? Nggak ada yang punya kunci rumah selain gue dan keluarga gue, deh." Tanpa sadar Tika bicara pada dirinya sendiri. Emil pun mengikuti arah pandang Tika.
Bersambung