Loading...
Logo TinLit
Read Story - Inisial J (500 Tahun Lagi Kita Bertemu) (Sudah Terbit / Open PO)
MENU
About Us  

“Kemarin sore, ketika Ayah menerima telpon dari orang asing itu, Ayah langsung kaget,” ucap Ayah mengawali ceritanya pagi itu. “Maaf, Na. Ayah tidak bisa menyambutmu pulang karena urusan maha gawat itu.”

“Tidak masalah, Ayah. Lalu urusan seperti apakah itu?” tanya Nana mulai penasaran.

“Ketika Ayah menemui orang ini di sebuah kafe, dia terlihat seperti orang yang berbahaya. Dia berpakaian serba gelap, dan memiliki tato di sekujur tubuhnya.”

“Apakah dia orang asia dengan mata sipit, seperti orang Jepang?” sela Nana.

“Tidak. Justru sebaliknya, dia terlihat seperti bule. Kenapa kamu berpikir dia orang Jepang?”

“Oh tidak, Ayah. Hanya saja aku pernah mengenal ciri-ciri orang yang seperti Ayah sebutkan tadi. Itu tidak penting. Silakan dilanjut ceritanya, Ayah!”

“Jadi, ternyata pria itu bermaksud baik untuk menyelamatkan Ayah dan karir Ayah di pemerintahan. Pria itu mengatakan bahwa dokumen yang baru saja Ayah tanda tangani minggu lalu, berpotensi sebagai transaksi sebuah tindakan korupsi.”

“Astaghfirullah, Ayah!” Ibu sangat kaget.

“Ayah juga sama kagetnya, Bu. Karena Ayah hampir melakukan kesalahan yang sama. Hanya saja kali ini Ayah melakukannya tanpa sadar dan bukan atas keinginan Ayah sendiri, Bu.”

“Lalu dari mana pria itu mengetahuinya, Ayah?” tanya Nana.

“Dari mana dia mengetahuinya tidak penting, Na. Parahnya, korupsi ini telah direncanakan oleh para atasan Ayah. Jika saja dokumen ini lolos, merekalah yang akan menikmati hasilnya, sedangkan Ayah akan dikambing hitamkan dan mendekam di penjara.” Ayah kemudian menarik nafas panjang. “Lebih herannya lagi, pria itu memegang dokumen yang telah Ayah tanda tangani itu. Ketika dokumen itu disodorkan oleh para atasan Ayah, dokumen itu memang terlihat mencurigakan dengan bahasa yang bertele-tele. Namun para atasan Ayah berhasil meyakinkan Ayah bahwa itu hanya dokumen laporan biasa dan meminta Ayah untuk segera menandatanganinya. Lalu pria itu menunjukkan letak dimana potensi tindakan korupsinya beserta dokumen-dokumen tambahan yang dibawanya sebagai bukti pendukung. Ayah merasa sangat bodoh sekali karena gampang terperdaya,” sesalnya.

“Lalu bagaimana dengan para atasan di tempat kerja Ayah?” tanya ibu.

“Pria itu bilang bahwa dia akan mengurus segalanya, termasuk para atasan Ayah yang brengsek itu. Ayah tidak perlu khawatir. Karir Ayah masih aman.”

“Apakah Ayah pernah bertanya pada pria itu apa motifnya menyelamatkan Ayah?”

“Nah, itu dia, Na! Ini bagian yang paling mengejutkannya. Pria itu bekerja untuk Jonathan dan atas perintah Jonathan lah yang mendasari motif pria itu. Ayah pernah mendengar bahwa Jonathan memang punya hubungan baik dengan beberapa politikus atau orang-orang dalam pemerintahan. Relasinya luas.”

Dada Nana tiba-tiba terasa sesak setelah mendengar cerita ayahnya. Jo kembali menyelamatkan keluarganya, khususnya Ayah. Beban mentalnya kini semakin berat. Kini, dia bingung apa yang akan dia katakan di hadapan Jo ketika nanti mereka bertemu.

“Sekarang, sudah sampai mana hubunganmu dengan Jonathan?” tanya Ayah kepada Nana yang terlihat sedang bengong.

“Sekarang Jo sedang berada di Qatar. Jika dia sudah kembali, aku akan mengajaknya bicara,” ucap Nana sambil berusaha mengendalikan diri.

“Bagus, bagus! Sampaikan rasa terima kasih Ayah padanya. Jangan sampai kita terlihat bagai kacang yang lupa kulit. Ayah ingin kamu bisa mengambil hati Jonathan. Jadilah anak yang berbakti!”

Dadanya semakin sesak mendengar kata-kata ayahnya. Ibu yang sedari tadi memperhatikan ekspresi putrinya, berusaha untuk memeluk dan menenangkan kondisi Nana. Nana merenungkan kembali semua keputusan yang telah dia bulatkan terhadap diri Jo dan juga dirinya.

“Ayah, Ibu, aku ingin keluar sebentar mencari udara segar,” ucap Nana.

“Kalau kamu mau, kamu bisa pakai sepeda lipat ayahmu di garasi.”

“Terima kasih, Ibu!”

Nana menggowes pedal sepedanya kuat-kuat. Dia tidak punya tujuan jelas kemana dia pergi seakan sedang disetir oleh angin liar yang membawanya kemana pun. Setelah setengah jam bersepeda dan telah terkuras staminanya, dia berhenti di atas sebuah jembatan. Meski jembatan ini bentuknya telah berubah karena telah direnovasi dan diperkuat, Nana masih ingat tentang jembatan ini. Jembatan ini adalah tempat dulu dia dan Jo sewaktu anak-anak merencanakan sebuah hal yang tanpa mereka ketahui akan menjadi sebuah bencana bagi hubungan mereka berdua. Nana mengingat bagaimana ketika dia melompat, Jo juga ikut melompat, lalu merencanakan sebuah kebohongan. Perasaan Nana campur aduk di atas jembatan itu ketika mengenang masa kecilnya dengan Jo.

Lalu dia kembali menggowes sepedanya. Ada satu tempat lagi yang ingin dia kunjungi. Dia mencoba mengingat-ingat kembali letak sungai tempat biasa dulu mereka bermain. Seingat Nana, sungai yang dulu tempatnya bermain bersama teman-temannya sewaktu kecil terletak sebelah utara atau tepatnya di belakang kebun Mang Abu kurang lebih 200 meter jauhnya.

Nana mengikuti ingatannya yang abu-abu menuju rumah Mang Abu dan kebunnya. Sayangnya, di tempat yang dikira Nana sebagai rumah Mang Abu, sekarang telah berdiri sebuah pabrik. Entah pabrik apa.

Nana melihat sebuah jalan setapak kecil di samping tembok pabrik yang menjulang tinggi itu. Dituntunnya sepeda itu menyusuri jalan setapak yang Nana yakini menuju sungai tempat dulu mereka biasa bermain. Rumput ilalang yang tumbuh subur dan berbagai tanaman liar merintangi perjalanannya. Dulu, rumput dan tanaman sekitar daerah sini selalu tertata rapi dan sedap dipandang. Mang Abu selalu merawat rumput dan tanaman sekitar kebunnya secara telaten.

Sungai yang dicari oleh Nana telah ketemu. Namun kondisinya telah sangat berubah. Sungai itu tidak lagi berair jernih seperti dulu ketika dia dan teman-temannya sering bermain air di dalamnya. Sungai itu telah berubah warna menjadi hitam dengan sampah yang hampir memenuhi badan sungai di setiap sisinya. Selain warnanya hitam, airnya juga berbau karena limbah pabrik. Nana tidak tahan berlama-lama di sana dan segera kembali menyusuri jalan setapak tadi.

Nana memang jarang sekali pulang untuk mengunjungi rumah orang tuanya. Dan ketika dia pulang, dia hanya menghabiskan waktu bersantai bersama orang tuanya saja di rumah, khususnya ibu. Kampung tempat dia tinggal sewaktu kecil telah banyak mengalami perubahan sehingga banyak hal yang telah terjadi di kampungnya.

Digowesnya kembali sepeda itu sampai ia berhenti pada sebuah tempat. Nana yakin bahwa tempat ini dulu adalah bekas tempat tinggal Jo dan keluarganya. Bahkan rumah di seberangnya itu juga adalah bekas rumah Jeki. Rumah-rumah itu telah berganti bentuk dan juga pemiliknya.

Setelah puas bersepeda mengelilingi kampung, Nana segera kembali ke rumah orang tuanya. Kalut kemalut hatinya berusaha ditutupi di depan orang tuanya. Ibunya mengerti apa yang sedang dihadapi oleh putrinya. Sedangkan ayahnya adalah orang yang sangat tidak peka. Seharian ini ayahnya terlihat bahagia dan senyum-senyum saja.

“Sampaikan salam dan rasa terima kasih Ayah kepada Jonathan kalau dia sudah pulang,” ucap ayahnya ketika Nana akan pamit sore itu untuk kembali ke tempat tinggalnya. Nana hanya bisa mengangguk saja mendengar permintaan ayahnya. Sedangkan Ibu memeluknya begitu erat ketika mereka akan berpisah.

 

***

 

            Sebagai kompensasi karena sudah mau menggantikan shift Nana, maka dokter Rudi menagih janji tentang makan bersama mie ayam legendaris. Janji makan mie ayam legendaris itu pun diselingi dengan jogging terlebih dahulu bersama di sekitar Senayan. Mau tidak mau Nana harus mengikuti ajakan dokter Rudi.

“Tuh lihat!” ucap dokter Rudi, “padahal kedai mie ayam ini baru buka jam 10 pagi, tapi jam 9.50 saja sudah 17 orang yang ngantri.”

“Tempatnya juga luas, saya pikir kita akan dapat tempat begitu sudah buka, apalagi tempat ini terdiri 2 lantai.”

“Kalau pelanggan biasa seperti kita hanya akan makan di lantai dasar jika ada meja yang kosong, lantai 2 hanya bagi para pelanggan istimewa.”

“Benarkah, dokter Rudi? Malam itu saya makan berdua dengan Pak Rano di lantai 2 kok!”

“Kamu pernah makan di lantai 2? Begitu ya, mungkin Pak Rano adalah pelanggan istimewa di kedai ini.”

“Mungkin saja. Pak Rano tahu tempat-tempat kuliner enak di Jakarta. Mungkin dia memang pelanggan istimewa.”

“Hmmm… bisakah kamu memanggilku hanya Rudi saja, tanpa embel-embel dokter jika di luar kerjaan. Bukankah kita sudah begitu akrab?”

“Oh begitu, baiklah jika dokter Rudi, eh maksudku jika Rudi tidak mempermasalahkannya.”

“Tentu saja tidak. Bagaimana jika aku memanggilmu Nana saja, seperti dokter Maya ataupun teman-teman dekatmu memanggil namamu?”

“Tidak masalah. Asalkan jangan terlalu sering.”

“Kenapa?” dokter Rudi dibuat penasaran.

“Takut habis, he he he.”

“Bisa aja kamu, Na. Ha ha ha.”

“Eh, itu kedainya sudah buka! Ayo kita bersiap-siap rebutan bangku, Rudi!” ajak Nana.

“Rebutan bangku? Ha ha ha, kaya anak SD baru masuk sekolah aja.”

“Ha ha ha betul sekali. Kalo kita dapat tempat dekat dengan tukang masaknya, mungkin bumbunya paling enak.”

“Kalau begitu, kita harus berdiri di belakang tukang masaknya, dua mangkok pertama mie ayam itu harus langsung kita begal.”

“Setuju! Sayangnya kita tidak membawa pisau bedah untuk menakut-nakuti mereka, Rudi.”

“Pisau bedah tidak akan mempan melawan centong sayur, Nana. Senjata yang paling ampuh, ya senyumanmu itu. Aku jamin mas-mas yang masaknya langsung luluh padamu.”

Dokter Rudi mulai menggombal hingga Nana tersipu mendengarnya. Hati dokter Rudi gembira sekali dengan tingkah Nana yang lucu itu. Bukan hanya Nana langsung kerasan memanggilnya Rudi, tapi dia juga pandai berkelakar.

“Mmmm, dari kuahnya saja sudah sangat enak,” ucap Nana begitu dia menyeruput kuah mia ayam legendaris itu.

“Kamu harus coba sambalnya, kamu tahu kenapa tidak ada saos di meja?” tanya dokter Rudi. Nana hanya menggelengkan kepala.

“Karena sambal dan saosnya sudah dicampur menjadi satu. Kamu lihat bagian yang bertekstur lembut ini adalah saos, sedangkan yang sedikit kasar dan mengandung biji cabai adalah sambalnya. Aku pikir ini adalah bumbu rahasianya.”

“Kamu benar, Rudi. Lihat, orang-orang menuangkan sambalnya begitu kalap.”

Mereka berdua menyantap mie ayam itu dengan begitu nikmat. Dokter Rudi selalu curi-curi pandang ke arah Nana. Apalagi wajah Nana yang kemerah-merahan karena kepedesan itu terlihat begitu menggemaskan.

Selesai menikmati mie ayam itu mereka berdua langsung pergi karena masih banyak yang antri. Dokter Rudi berniat mengajak Nana untuk melakukan kegiatan lainnya karena dirasa hari masih siang. Sayangnya, ketika baru keluar dari kedai mie ayam, Pak Rano terlihat sedang menunggu mereka. Nana kaget dengan kehadiran Pak Rano, terlebih lagi dengan dokter Rudi.

“Loh, kok Pak Rano bisa tahu saya ada di sini? Ada apa, Pak?” tanya Nana begitu penasaran.

“Anu, itu, Bu, eee Pak Jonathan sudah kembali dan meminta saya untuk menjemput Bu dokter,” jawab Pak Rano sebisanya.

“Oh gitu, mendadak sekali. Saya memang ada hal penting yang ingin dibicarakan dengannya.”

“Siapa Jonathan?” tanya dokter Rudi.

“Itu… nanti kapan-kapan aku ceritakan, Rudi. Aku punya urusan penting dengan orang ini. Maaf sepertinya sampai di sini saja. Terima kasih untuk traktirannya ya!”

“Ok, sampai jumpa. Hati-hati di jalan!” ucap dokter Rudi.

“Hati-hati? Tentu saja saya selalu hati-hati,” kata Pak Rano dengan sinis sambil memandang tajam ke arah dokter Rudi.

Mendengar komentar Pak Rano yang tidak menyenangkan, dokter Rudi begitu marah dan tersinggung dalam hatinya. Apalagi cara Pak Rano memandangnya. Begitu sinis dan penuh kebencian. Ingin sekali dokter Rudi menghajar pria tua itu, namun nyalinya selalu ciut ketika berhadapan dengan Pak Rano.

Nana langsung menundukkan kepala dan terlihat begitu serius merenungkan kata-kata yang akan diucapkannya kepada Jo. Ekspresi seriusnya ini tertangkap oleh kaca spion dalam mobil yang memantul ke mata Pak Rano.

“Mau marah-marah sama Pak Jonathan ya, Bu?” tanya Pak Rano.

“Ahh, Pak Rano sok tahu,” jawab Nana.

“Kalau mau marah-marah sama Pak Jonathan, nanti biar saya bantuin.”

“Memang Pak Rano berani ngelawan Jo?”

“Ya, enggak sih. Saya cuman bantuin do’a aja semoga Pak Jonathan diberi kesabaran yang lapang.”

Suasana resah dan serius yang menyelimuti Nana tiba-tiba mereda karena candaan khas Pak Rano. Pria tua satu ini memang benar-benar pintar mencairkan suasana.

“Ngomong-ngomong, Pak. Bagaimana caranya agar menjadi pelanggan istimewa di kedai mie ayam legendaris itu?” tanya Nana tiba-tiba mengalihkan topik.

“Ha ha ha ha, tadi makan di lantai bawah ya, Bu,” ucap Pak Rano sambil menertawainya. “Wah, kalau itu mesti tanya ke adiknya Pak Jonathan, yaitu Mas Robby!”

“Bobby kali, bukannya Robby,” ucap Nana mengkoreksi.

“Eh iya bener. Mas Bobby.”

“Memang kenapa, Pak?”

“Yang saya tahu, kedai mie ayam itu investor utamanya adalah Mas Bobby. Mas Bobby memang suka berinvestasi ke UMKM yang menurutnya potensial.”

“Oh gitu!”

Mobil yang dibawa Pak Rano telah parkir di sebuah coffee shop. Ternyata tempatnya tidak jauh dari kedai mie ayam legendaris itu. Hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 20 menit.

“Silakan, Bu. Pak Jonathan ada di lantai 2,” ucap Pak Rano ketika mereka sudah berada di dalam coffee shop itu.

Jo sedang duduk sambil menyesap kopi hitamnya. Ketika Nana muncul dan mendekatinya dia langsung berdiri.

“Berapa lama waktu yang kamu punya?” todong Nana tiba-tiba ketika dia berhadapan dengan Jo.

“Maksudnya?” Jo heran dengan pertanyaan Nana yang cenderung marah.

“Berapa lama waktu yang kamu punya sebelum kamu tiba-tiba pergi karena urusan pekerjaan?”

“Seharian. Saya punya waktu seharian ini. Jika ada yang ingin Anda tanyakan lagi, silakan!”

“Dari mana kamu tahu tentang keberadaanku tadi?”

“Semenjak pagi. Saya sudah hampir sampai di depan rumah Anda. Tapi, saya lihat Anda sedang pergi bersama pria lain. Lalu saya mengurungkan niat untuk mengajak Anda pergi pagi tadi.”

Nana terperanjat dengan keterangan yang disampaikan oleh Jo. Jo melihatnya pergi bersama dokter Rudi.

“Jo, pria itu…,”

“Tidak penting,” potong Jo. “Sepertinya bukan urusan saya dengan siapapun Anda pergi.”

Keduanya saling duduk berhadapan. Jo memandangi wajah Nana yang sedikit berkeringat itu. Sedangkan Nana terlihat sedang menyusun kalimat demi kalimat untuk diungkapkan kepada Jo.

“Kenapa kamu tidak pernah menjawab telponku?” tanya Nana.

“Tunggu sebentar,” kata Jo sambil meraba-raba kantong kemejanya. Dikeluarkannya sebuah handphone jadul merk Nokia, lalu dia menelpon seseorang.

“Sepertinya smartphone saya tertinggal di mobil. Tolong ambilkan ya! Dan sekalian bawa minuman segar kemari,” perintah Jo kepada orang yang sedang ditelponnya.

“Kamu masih memakai handphone jadul? Kenapa?” tanya Nana heran dengan handphone jadul Jo.

“Lebih tahan lama.”

“Kamu juga tidak memiliki media sosial?”

“Tidak. Terlalu berisik.”

Inilah hal yang tidak disukai Nana dari Jo yang tidak banyak bicara dan hanya bicara pendek dan seperlunya saja.

Lalu seorang pria datang menghampiri mereka dan memberikan sebuah smartphone kepada Jo, dan juga memberikan sebuah minuman segar kepada Nana.

“Silakan!” kata pria itu ramah.

“Terima kasih,” balas Nana.

Jo terlihat sedang menyalakan smartphone tersebut.

“Jadi selama ini kamu punya 2 ponsel dan nomor di smartphone itu tidak pernah kamu angkat?”

“Kadang-kadang. Hanya saja smartphone ini terlalu berisik dan mengganggu.”

“Jadi, aku juga berisik dan mengganggu menurutmu, begitu?”

Jo tersentak dengan pertanyaan Nana dan langsung menaruh smartphonenya itu ke dalam kantongnya. Ditatapnya wajah Nana begitu serius dan dalam. Keduanya terdiam hingga suasana menjadi terasa kembali canggung.

“Jo,” ucap Nana memecah keheningan. “Aku berterima kasih untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluargaku, bahkan kamu telah menyelamatkan ayahku dari kesalahan yanng sama.”

“Ayah Anda bodoh dan ceroboh,” potong Jo.

“Benar!” Nana tidak membantah ucapan Jo. “Aku juga berterima kasih karena kamu telah mengirim Pak Rano untuk mengantar jemputku, walau bagiku itu berlebihan, aku anggap itu sebagai niat baik darimu.”

Jo menyimak kata-kata Nana dengan sungguh-sungguh. Sepertinya akan ada hal penting lain yang ingin disampaikannya.

“Jo,” ucap Nana sedikit ragu. “Aku merasa kamu tidak memiliki keseriusan atau niat apa pun terhadap diriku. Kamu tidak terbuka tentang perasaanmu. Kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu. Kamu tidak menunjukkan sebuah ekspresi kesungguhan.” Nana menahan nafasnya sebentar sebelum sebuah kalimat muncul dari mulutnya. “Aku khawatir semua ini tidak berhasil.”

“Anda benar. Ini tidak berhasil.”

Kini Nana yang terkejut dengan perkataan Jo yang secepat itu menyimpulkan perkataan dan perasaannnya.

“Saya memang tidak memiliki perasaan apapun terhadap Anda selain sebagai seorang sahabat lama. Kita hanya menjalani sebuah niatan yang disepakati oleh kedua orang tua kita. Jika Anda tidak menginginkannya, jangan dipaksa. Saya juga tidak suka memaksakan kehendak atas apa yang menjadi hak Anda sebagai manusia. Begitukan mau Anda?”

“Jo,”

“Saya akan berbicara kepada ibu saya dan juga orang tua Anda untuk memberi mereka pengertian.”

“Ayahku pasti akan merasa begitu kecewa karena dia telah berutang begitu banyak padamu.”

“Janganlah berbicara tentang utang apapun, Nadia. Saya tidak suka membahasnya. Saya ataupun ibu saya tidak pernah menagih utang apapun kepada siapapun, biarkan dari kesadaran mereka saja.”

“Tapi, Jo. Itu bukan jumlah uang yang sedikit.”

Jo terdiam mendengar ucapan Nana. Hanya saja tajam matanya menatap Nana menandakan keseriusan tentang ucapannya barusan. Jika ada hal yang baru dipahami oleh Nana tentang diri Jo, maka itu adalah tentang caranya berkomunikasi dengan kedua matanya. Matanya lebih dapat berbicara ketimbang mulut Jo sendiri. Maka dari itu Nana pun tidak ingin lagi membahas tentang utang keluarganya di hadapan Jo.

“Kalau begitu, mari kita sepakat bahwa upaya perjodohan di antara kita tidak berhasil, begitu kan?” tanya Jo.

“Baiklah,” balas Nana, “aku sepakat!” lanjutnya dengan suara lirih dan hilang semangat.

“Tapi kita masih bisa berteman baik sebagai sahabat lama kan?”

Nana kaget dengan permintaan Jo ini. Apalagi pertanyaan ini diungkapkannya dengan nada suara yang ramah. Seakan-akan semua konflik dan drama di antara mereka telah menguap begitu saja.

“Tentu, tentu saja, Jo,” kata Nana mulai kembali girang.

“Terima kasih, Nadia,” balas Jo. “Apakah Anda sedang terburu-buru?” tanyanya.

“Tidak. Ini hari liburku.”

“Karena hari ini kita bertemu sebagai seorang sahabat, bagaimana kalau kita habiskan hari ini untuk berbincang-bincang sebagai sahabat lama?”

“Oke, tidak masalah buatku. Apa yang ingin kita perbincangkan?”

“Bagaimana dengan kabarmu? Aku beberapa kali menjumpai dokter Bran di rumah sakit itu, kenapa aku tidak pernah melihatmu?”

Jo mulai menggunakan kata aku-kamu sebagai pengganti saya-anda. Perubahan drastis ini disadari oleh Nana dan berusaha menghargainya sebagai niat tulus Jo untuk menjalin kembali persahabatan di antara mereka. Nana benar-benar girang mendengarnya.

“Ohh itu, aku baru bekerja di sana selama 6 bulan. Lagi pula, apakah kamu akan menyadari bahwa aku bekerja di sana jika kita tidak pernah bertemu sebelumnya?”

“Benar. Aku mungkin tidak akan mengenalimu walaupun kita berpapasan setiap hari.”

“Benar, kan? Bahkan aku menebak-nebak yang mana Bobby dan kamu waktu kita pertama kali bertemu di rumah ibumu,” kata Nana dengan nada suara begitu riang seakan-akan bebannya benar-benar sudah hilang. “Lalu kamu tinggal di mana selama ini, Jo?” tanyanya.

“Di manapun. Aku tidak memiliki rumah tetap selain rumah dinas dari kantorku. Mungkin hanya rumah ibuku satu-satunya tempat yang ku sebut rumah.”

“Oh begitu. Aku dengar kamu bersekolah di SMA Budaya Luhur itu melalui jalur prestasi. Bukankah itu SMA terkenal yang dijuluki SMA Super Star?”

“Benar. Aku cukup pandai bermain bola dan mereka menawariku untuk masuk ke SMA itu.”

“Ohh ya, aku dengar untuk masuk sekolah itu sangatlah sulit. Hanya anak-anak jenius atau anak orang kaya saja yang bisa diterima. Bukankah artinya kamu jenius, Jo?”

“Mungkin. SMA Budaya Luhur baru dapat julukan SMA Super Star di angkatanku. Seseorang di angkatankulah yang memulai semuanya itu. Usaha untuk dapat diterima di SMA Budaya Luhur setara dengan keuntungannya.”

“Kabarnya lulusan SMA itu selalu melahirkan orang-orang yang sukses. Setelah melihatmu, sekarang aku mempercayainya.”

“Sekolah itu memberikan beasiswa ke perguruan tinggi tidak hanya di dalam negeri, tapi juga ke seluruh dunia bagi setiap siswanya yang ingin melanjutkan pendidikan. Tidak hanya pendidikan, sekolah itu juga membantu karir bagi lulusan mereka yang berbakat di bidang non akademik.”

“Benar. Sekolah itu juga terkenal sebagai agency idol yang melahirkan banyak idol-idol populer di negeri ini. Lalu, apa yang kamu pilih setelah lulus dari SMA itu?”

“Aku mengambil beasiswa ke Jepang, kuliah bisnis dan manajemen.”

“Oh hebat. Pantas saja kamu fasih berbahasa Jepang. Tapi kenapa kamu tidak memilih karir sebagai pemain bola? Bukankah kamu bilang, sekolah itu menerimamu karena kamu jago bermain bola?”

“Karir pemain bola itu pendek. Di rentang usia 35-40 tahun kebanyakan dari mereka sudah kesulitan untuk bersaing dengan mereka yang lebih muda, yang lebih prima.”

“Sepertinya pilihanmu tepat,” puji Nana.

“Lalu bagaimana denganmu, Nadia? Kenapa kamu memilih menjadi dokter?”

“Karena ayahku,” ucap Nana, “ayahku ingin aku berkarir di dunia kesehatan atau minimal berkarir sebagai PNS seperti dirinya.”

“Lalu, bagaimana dengan pilihanmu sendiri?”

“Aku tidak keberatan. Walaupun saat di pesantren aku sempat berpikir untuk menjadi seorang pengajar.”

“Maksudmu seorang guru atau ustadzah?”

“Betul, wah kamu bisa membaca pikiranku dengan tepat, Jo.”

“Kenapa tidak kamu kejar impianmu itu?”

“Menjadi seorang ustadzah bukanlah impian utamaku, Jo. Lebih tepatnya, aku hanya ingin menjadi seorang yang berguna dan bermanfaat di masyarakat. Awalnya aku tidak yakin bisa masuk ke fakultas kedokteran dan menjadi seorang dokter. Namun ayahku begitu keras kepala, akhirnya aku berusaha untuk mewujudkannya. Namun, bagiku seorang dokter juga memiliki manfaat yang sama bagi masyarakat.”

“Tepatnya manfaat bagi rumah sakit tempatmu bekerja, bukan masyarakat. Apalagi rumah sakit itu terkenal karena pasiennya adalah kalangan atas.”

“Ucapanmu itu sinis dan jahat sekali, Jo. Ayahlah yang memintaku untuk melamar pada rumah sakit itu jika aku tidak ingin menjadi seorang PNS.”

“Ya karena gaji rumah sakit itu sangat besar. Tapi kamu benar, ucapanku memang sinis dan jahat. Maaf, Nadia.”

Meski ucapan Jo begitu blak-blakan, namun Nana justru tersenyum menyaksikan keterusterangan seorang Jo.

“Sejujurnya, Jo. Aku ingin buka praktek dan membangun sebuah klinik di desa tempat kakek dan nenekku tinggal. Aku melihat masyarakat di sana sangat membutuhkan fasilitas kesehatan. Kamu bayangkan, dari 7 desa namun hanya ada satu puskesmas saja.”

“Lalu?”

“Ayahku tidak mengijinkannya. Ayahku memang keras kepala.”

“Mungkin begitulah cara ayahmu mengungkapkan kasih sayangnya.”

“Menurutmu begitu?”

“Kamu adalah anak perempuan satu-satunya, wajar jika dia begitu memperhatikan kehidupanmu.”

“Kamu benar, Jo.”

Nana menyeruput minuman dingin yang disediakan untuknya. Perbincangannya dengan Jo kali ini terasa begitu cair walau ekspresi wajah Jo masih tetap dingin. Setidaknya Jo sudah mau mengobrol panjang lebar dengannya.

“Aku dengar Emma juga berkuliah di Jepang, apa kamu tidak khawatir padanya?”

“Tidak. Emma tinggal bersama keluarga angkatku di Jepang.”

“Keluarga angkat?”

“Ya. Selama aku di Jepang, aku tinggal bersama keluarga Maeda. Aku bersahabat dekat dengan putra tunggal sekaligus pemimpin klan mereka, Maeda William. Lalu mereka menjadikanku anak angkat. Begitupun dengan Emma.”

“Itukah alasan tuan Morizaki dan dokter Bran memanggilmu Jotaro?”

“Mungkin iya. Jotaro hanyalah singkatan dari nama panjangku, JOnaThAn ROcky (JOTARO).”

“Ohh begitu. Ahhh… bocah yang dulu bisa ku gendong dengan satu tangan itu sekarang sudah tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik. Aku begitu pangling melihatnya, begitu juga Bobby.” Nana menggali kembali kenangannya tentang sosok Emma dan Bobby ketika mereka masih balita. “Aku dengar Bobby menjadi pengusaha dan menggeluti bisnis kuliner.”

“Benar. Awalnya Bobby hanya ingin membuatkan sebuah restoran untuk Ibu. Tapi dia malah keterusan. Termasuk coffee shop ini adalah bagian dari bisnisnya.”

“Harusnya bagus dong. Lalu bagaimana denganmu sendiri, bisnis macam apa yang sebenarnya kamu kerjakan? Apa yang kamu lakukan di Qatar beberapa minggu lalu?”

“Aku berbisnis di bidang jasa, seperti jasa logistik, jasa hiburan dan juga keamanan. Minggu kemarin aku di Qatar sedang mengurus perijinan impor mobil-mobil mewah rekan bisnisku.”

“Wah keren! kamu tahu, Jo, aku baru ingat, Mimi meneruskan kuliahnya dan juga bekerja di Jepang.”

“Ya, dia adalah senior Emma dari kampus yang sama. Aku pernah bertemu dengannya di Osaka.”

“Benarkah? Ahhh aku iri sekali dengan kalian. Aku tidak pernah lagi bertemu dengannya dan hanya berhubungan via media sosial saja.”

“Wahyu juga sekolah di SMA yang sama denganku, setelah lulus dia menerima beasiswa ke Singapura, dia juga seorang dokter sepertimu.”

“Ya betul. Kini dia bekerja di sebuah rumah sakit yang sama denganku cabang Bandung. Aku pernah bertemu dengannya ketika magang disana.”

Nana begitu menikmati berbicara dengan Jo. Nana seperti menemukan kembali sosok Jo, sahabat lamanya itu. Suasana coffee shop pun perlahan mulai ramai. Orang-orang mulai berdatangan dan mengisi tempat-tempat yang tersedia.

“Kamu sepertinya tidak suka keramaian, Jo?” tanya Nana begitu melihat ke arah Jo yang mulai terlihat sedikit gelisah.

“Hmmm… mungkin,” jawab Jo tidak sepenuhnya setuju.

“Kamu ingin pindah tempat?”

“Kamu masih ingin menghabiskan waktu bersamaku, Nadia?”

“Dengan kesibukanmu itu, mungkin kita akan bertemu lagi sekitar… mungkin 500 tahun ke depan. Jadi, kenapa tidak. He he he,” jawab Nana gembira.

“Apa kamu punya rekomendasi tempat lainnya?”

“Hmmm, sebentar, biar ku cari di google.” Nana mengetikkan jarinya di atas layar smartphonenya. “Inilah gunanya smartphone Jo kalau kamu sering memakainya,” kata Nana ketika dia sedang mengetik.

“Smartphoneku mereknya Rano Kusumo. Jika ingin pergi ke suatu tempat atau makan enak, aku hanya tinggal bilang padanya.”

“Benar, dia adalah smartphone berjalan dengan fitur komedi. Aku akan merindukan Pak Rano nantinya.”

“Kamu masih bisa menggunakan jasa Pak Rano jika membutuhkannya, bukankah itu maumu, seperti yang Pak Rano bilang padaku.”

“Tidak perlu, Jo.”

“Tidak, aku sungguh-sungguh, telpon saja Pak Rano jika kamu butuh kendaraan. Aku tidak ingin kejadian tempo hari dengan supir taksi online itu terulang kembali pada sahabatku,” kata Jo memaksa.

Nana begitu gembira dengan permintaan Jo yang memaksa itu. Bukan karena dia masih bisa bertemu dengan pak Rano yang jenaka. Tapi karena Jo benar-benar menganggapnya sebagai seorang sahabat.

“Baiklah, terima kasih, Jo. Hei, bagaimana kalau kita bermain bowling? Aku selalu ingin mencobanya. Tempatnya tidak begitu jauh dari sini, hanya sekitar 200 meter. Seingatku kamu selalu unggul dalam pelajaran olahraga sewaktu SD.”

“Baiklah, tidak masalah. Kalau begitu kita jalan kaki saja. Aku butuh pemanasan dan juga sudah lama tidak berolahraga.”

“Benarkah? Tapi sepertinya kamu menjaga kesehatan dan kebugaran tubuhmu dengan baik.”

“Itu karena dokterku sangat cerewet dan menakutkan.”

“Benarkah? siapa?”

“Dokter Bran.”

“Benar, ha ha ha! Aku selalu merasa ngeri jika membayangkan sedang dimarahi oleh dokter Bran.”

Arena bowling yang dikunjungi oleh Nana dan Jo terlihat masih sepi pengunjung. Hanya beberapa orang saja yang sedang bermain. Setelah mengganti sepatu mereka dengan sepatu khusus bermain bowling, Nana segera mengambil bola bowling pertama.

“Apakah kamu pernah bermain bowling sebelumnya, Jo?” tanya Nana.

“Tidak.”

“Ah kamu pasti bohong.”

Nana langsung menggelindingkan bola bowling tersebut dengan gaya yang dia pelajari secara otodidak di internet. Sayang sekali lemparan bolanya sedikit miring dan hanya mengenai 2 pin yang paling kiri.

Sebelum gilirannya melempar, Jo sempat memfokuskan pandangannya pada beberapa orang yang terlebih dahulu sedang bermain bowling. Hanya saja gerakan orang-orang yang sedang diperhatikannya jelek semua. Jo pun tidak bisa belajar apa pun dari mereka. Mereka berdua bermain bowling sebisanya saja tanpa mengindahkan aturan mainnya.

“Kenapa, Jo? Ayo lempar bolanya!” kata Nana membuyarkan konsentrasi Jo.

Jo memang tidak pernah bermain bowling dan minim pengetahuan tentangnya. Lalu dia memutuskan untuk melempar bola bowling dengan gaya yang sama seperti Nana barusan. Lemparan Jo lebih baik dari Nana dan mampu merobohkan 4 pin bowling.

“Apakah itu yang dinamakan strike?” tanya Jo.

“Tentu saja tidak, Jo. Kamu harus bisa merobohkan semua pinnya dalam satu lemparan pertama, baru di sebut strike,” jelas Nana.

“Oh begitu.”

Lemparan kedua Nana lebih buruk dari yang pertama. Bola bowling yang menggelinding itu tidak mampu merobohkan satu pin pun. Dia pun terlihat geram.

“Kamu serius sekali bermain bowling,” ucap Jo.

“Dari dulu aku ingin sekali mencoba olahraga bowling. Hanya saja aku tidak pernah punya teman yang berminat untuk mencobanya.”

Jo hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan Nana. Lalu dia melempar untuk kedua kalinya begitu jarinya sudah masuk ke lubang bola bowling. Lemparan Jo mengalami perbaikan dan semakin bagus. Dia hanya menyisakan 2 pin bowling yang masih berdiri.

“Sudah ku duga, kamu pasti selalu berbakat dalam semua olahraga. Mungkin jika kamu menggulung lengan panjang kemejamu, lemparanmu akan lebih bagus,” saran Nana.

Jo hanya terdiam tanpa ekspresi seperti biasanya walaupun Nana sedang memujinya. Lalu suasana di arena bowling sontak ramai begitu ada seorang pria yang baru bergabung dengan sekelompak orang yang sedang bermain tidak jauh dari tempat Jo dan Nana.

“Wiiih, akhirnya lo dateng juga,” kata seseorang kepada pria yang baru datang itu.

“Nah mumpung ada atlit bowling nasional, ajarin kita dong!”

“Ajarin ajarin doang, tapi gak becus becus,” ucap pria yang dipanggil atlit bowling nasional itu.

Jo segera memfokuskan pandangannya kepada pria itu. Dia tidak memperhatikan saat giliran Nana melempar bola bowling itu. Jo benar-benar memusatkan perhatiannya pada setiap inchi gerakan tubuh pria itu.

“Jo,” panggil Nana, “Jo, giliran kamu melempar. Lagi lihatin apa sih?”

“Tunggu sebentar, Nadia!”

Jo memperhatikan bagaimana cara pria itu melempar bola bowling dan berhasil merobohkan semua pin yang berdiri. Mereka pun bersorak-sorai ketika melihat semua pin roboh.

“O begitu caranya,” gumam Jo. Lalu dia melemparkan bola bowling di tangannya sama persis dengan gerakan pria yang baru dilihatnya. Semua pin pun berhasil dirobohkan oleh Jo melalui lemparan bolanya.

“Wah hebat! Apakah kamu bisa mempelajari gerakan pria itu hanya dengan sekali lihat saja, Jo?” tanya Nana terkagum-kagum.

“Kamu menyadarinya ya. Begitulah!” jawab Jo.

“Bisa kamu ajari aku, Jo,” pinta Nana.

“Bisa. Hanya saja untuk bisa melempar sebagus itu butuh bakat besar.”

“Jadi maksudmu aku tidak berbakat. Dasar sombong, hmmppfff,” dengus Nana kesal. Nana pun melempar bola bowlingnya dengan asal-asalan. Namun kali ini lemparan Nana berhasil menyisakan 3 pin bowling yang masih berdiri.

“Lihat itu! Aku juga punya bakat.”

Jo tidak menanggapi omongan Nana. Ketika giliran Jo melempar, pria itu pun melempar berbarengan dengan waktu yang sama. Nana yang berdiri di belakang Jo terkejut karena gerakan mereka berdua sama persis. Mereka berdua pun berhasil merobohkan semua pin tanpa sisa.

“Bro!” teriak pria itu ke arah Jo. “Lemparan lo bagus juga. Pernah ikut kompetisi di mana aja?” pria itu menyadari gerakan melempar Jo yang bagus dan akurat.

“Tidak pernah. Saya baru bermain bowling sekali ini,” jawab Jo datar.

“Ah jangan bo’ong lah! Mana mungkin sekali maen langsung jago, kecuali lu emang titisan dewa bowling.”

Jo tidak menanggapi omongan pria itu. Dia tidak tertarik sama sekali.

“Kita tandinglah!” ajak pria itu memaksa. “Kita taruhan 5 juta gimana?”

“Kita tambahin dah 10 juta, jadi 15 jutaan, gimana?”  kata teman-teman dari pria itu.

“Saya punya lebih dari pada itu. Saya tidak butuh uang kalian,” ucap Jo sambil melemparkan bola bowling dan langsung berhasil merobohkan semua pin tanpa sisa. Lemparan Jo yang sempurna itu benar-benar membuat mendidih darah pria yang dipanggil atlit bowling nasional itu.

“Gimana kalo kita taruhan pake perek yang lo bawa aja?” pria itu mulai memprovokasi Jo dengan menggunakan Nana.

“Heh, hati-hati ya kalo ngomong,” bentak Nana murka.

Jo pun menghela dan menghembuskan panjang nafasnya sambil menengadahkan kepala. Sedangkan pria itu mulai tersenyum karena mengira Jo akan marah dan menerima tantangannya.

“Ayo kita pergi, Nadia!” ajak Jo. Nana pun menuruti ajakan Jo karena suasana sudah mulai tidak menyenangkan.

“Ciah, cemen lo! Baju doang item-item, ternyata banci!” teriak pria itu ketika Jo dan Nana yang mulai menjauh.

“Woy banci!” teriak teman-temannya.

Jo tidak terpancing dengan ucapan mereka dan tetap berlalu begitu saja. Nana pun segera masuk mobil dimana Pak Rano sudah menunggu.

“Waduh, Jo, kita masih memakai sepatu bowling dan lupa untuk mengembalikannya.”

“Kalau begitu lepas sepatumu, biar aku yang mengembalikannya.”

Nana pun melepas sepatu bowlingnya dan memberikannya pada Jo. Ketika Jo kembali untuk mengembalikan sepatu, mereka masih di sana asyik bermain bowling.

“Eh liat! Si Banci balik lagi. Ketinggalan apa? Lipstick? Bedak? Atau dildo?” ejek salah satunya kepada Jo.

Jo melihat sekeliling arena bowling yang masih sepi dan hanya ada mereka beserta staff arena bowling saja. Jo pun berjalan mendekati mereka. Melihat Jo mendekat, mereka merasa terancam dan langsung saja mengambil inisiatif untuk menyerang Jo duluan.

Baku hantam tidak terhindarkan. Namun pertarungan berlangsung cepat. Mereka yang awalnya berjumlah 5 orang, dalam waktu kurang dari 2 menit hanya menyisakan 2 orang saja yang masih berdiri karena 3 orang pertama telah merasakan pukulan keras Jo hingga tumbang. Seorang maju dan langsung berusaha melayangkan tendangan kaki kanannya kepada Jo. Jo menghindar dengan mudah dan langsung membalas dengan menendang kaki kiri pria itu dengan kaki kanannya. Sontak pria itu roboh. Jo tidak memberi jeda dan langsung menginjak dada pria itu hingga sesak nafas.

Tinggal 1 orang tersisa, yaitu pria yang dipanggil dengan atlit bowling nasional. Jo sengaja menyisakan dia untuk yang terakhir. Melihat teman-temannya tumbang dalam waktu yang relatif singkat, pria itu mulai ketakutan. Dia celingukan untuk mencari celah melarikan diri dari amukan Jo. Sebelum dia mengambil ancang-ancang untuk lari, tangan kiri Jo telah terlebih dahulu mencengkeram lehernya. Dibantingnya tubuh pria itu hingga membentur lantai arena bowling yang terbuat dari bahan vinil yang keras. Pria itu mengalami syok berat dan kesulitan untuk bangkit. Jo meraih dua buah bola bowling dengan kedua tangannya lalu kembali menghampiri pria itu. Diinjaknya kedua tangan pria itu dengan kaki Jo hingga membentuk posisi merentang.

“Jadi lo adalah atlit bowling nasional?” tanya Jo sambil merentangkan kedua tangannya yang masih memegang bola bowling yang masing-masing beratnya sekitar 16 pon. “Kita lihat bagaimana karir lo sebagai atlit bowling nasional dengan jari jemari yang pecah.”

“Tolong! Jangan! Ampun!” rengek pria itu.

Dalam urusan ini, Jo tidak memiliki belas kasihan kepada lawannya. Jo menatap kosong dengan ekspresi yang dingin kepada lawannya.

Kraaakkk!!! Kedua bola bowling itu jatuh tepat mengenai jari jemari pria itu lalu disusul dengan erangan penuh kesakitan.

“Arrgghhh! Arrggghhh! Arrgggghhhh!!!”

Jo pergi meninggalkan mereka semua untuk mengambil sepatunya dan juga sepatu Nana.

“Halo, Morizaki!” ucap Jo ditelpon. “Aku telah melakukan kekacauan, tolong segera bereskan, alamatnya segera ku kirim,” perintah Jo kepada Morizaki dengan bahasa Jepang.

“Jangan biarkan mereka keluar dari sini dan jangan berkata apa pun sampai teman saya datang dan mempertanggung jawabkan semuanya,” kata Jo kepada staff arena bowling yang ketakutan itu ketika dia mengambil sepatu milik Nana. Staff yang ketakutan itu hanya mengangguk-anggukkan kepala saja.

“Maaf lama, Nadia. Tiba-tiba aku ingin ke toilet. Ini sepatumu!” ucap Jo ketika dia kembali ke dalam mobil.

“Tidak apa-apa, Jo!”

“Saya ingin mengajakmu makan malam, hanya saja ada urusan mendadak dengan dokter Bran.”

“Kamu ingin mengajakku makan malam? Bagaimana jika lain waktu saja?” Nana sedikit terkejut dengan ajakan makan malam Jo walau tidak jadi.

“Benar. Lain waktu saja, 500 tahun dari sekarang.”

“Ha ha ha benar sekali, Jo. Pastilah kita akan bertemu 500 tahun lagi.”

Meski diucapkan dengan ekspresi datar dan dingin, tapi kalimat 500 tahun itu terdengar sangat lucu bagi Nana walaupun Jo tidak tampak tersenyum sedikitpun.

Pak Rano segera tancap gas melajukan mobilnya membelah jalanan Jakarta. Perjalanan pulang ke tempat tinggal Nana hanya membutuhkan waktu satu jam. Jo mengantar Nana sampai ke depan pintu tempat tinggalnya.

“Nadia,” ucap Jo lembut, “jika… suatu hari nanti kamu menikah, maukah kamu mengundangku?”

Nana sontak kaget dengan permintaan Jo. Dia tersipu sekaligus luluh.

“Tentu saja, Jo. Kamu adalah sahabatku. Aku akan mengundangmu, tapi dengan satu syarat.” Jo hanya terdiam tanpa berniat untuk bertanya kepada Nana syarat apa yang diajukannya. Akhirnya Nana sendirilah yang bilang, “Aku akan mengundangmu ke pernikahanku, asalkan kamu mengangkat telpon dariku. Karena kamu adalah 5 orang pertama yang akan ku undang langsung jika aku menikah nanti.”

“Baiklah, terima kasih, Nadia,” kata Jo. “Apa lagu kesukaanmu?”

Pertanyaan Jo tentang lagu kesukaan ini terasa begitu random dan tiba-tiba bagi Nana.

“Lagu? Kenapa kamu ingin tahu lagu kesukaanku?” tanya Nana penasaran.

“Jawab saja!” kata Jo sambil merogoh smartphone dari kantongnya.

“Hmmm… lagu ya, aku suka lagu dari band Muse, judulnya Unintended.”

Mendengar jawaban Nana, Jo langsung mengetikkan jari-jarinya pada layar smartphone. Nana semakin heran dengan tingkah Jo.

“Baiklah, tolong kamu misscall nomor di smartphoneku ini,” perintah Jo.

Nana menuruti perintah Jo. Lagu Unintended-Muse pun terdengar dari smartphone Jo. Selama hampir 4 menit mereka tidak saling berbicara dan mencoba mendengarkan lagu itu.

“Lagu yang bagus,” puji Jo, “sayangnya terdengar jelek sebagai nada dering. Baiklah, aku akan mencoba mengingat lagu ini sebagai nada dering andai kamu menelponku.”

“Terima kasih untuk hari ini, Jo.”

“Ya, sampai jumpa, Nadia.”

“Wassalamuallaikum.”

Jo tidak menjawab salam dari Nana dan langsung balik badan.

“Bu dokter!” teriak Pak Rano dari balik kemudi, “jangan sungkan telpon saya!” katanya sambil tangan kanannya memeragakan posisi menelpon. Nana hanya tersenyum dan mengangkat ibu jarinya ke arah Pak Rano.

Ditatapnya mobil hitam itu hingga benar-benar menghilang dari mata Nana. Setelah puas, Nana segera masuk kamarnya untuk mandi. Kini badannya terasa segar, Nana membaringkan tubuhnya di ranjang.

Hatinya terasa lega sekali saat dia menatap langit-langit kamarnya. Kini, hubungannya dengan Jo sudah jelas. Keduanya bagai tidak lagi terbebani dengan perjodohan yang diusulkan oleh kedua orang tua mereka.

Meski Jo masih bersikap dingin dan tanpa ekspresi. Nana menyadari bahwa Jo bersikap lebih bersahabat saat mereka setuju untuk tidak melanjutkan perjodohan mereka. Tidak ada lagi rasa canggung di antara mereka. Jo terasa begitu menyenangkan bagi Nana sebagai seorang sahabat.

Rona bahagia terpancar dari wajah Nana ketika dia menghabiskan waktu bersama Jo. Jika saja bukan karena urusan Jo dengan dokter Bran, mugkin saat ini mereka sedang makan malam sambil bernostalgia tentang masa kecil mereka. Nana tidak yakin akan bertemu lagi dengan Jo dalam waktu dekat. Mungkin 500 tahun lagi, ya 500 tahun lagi seperti yang mereka sepakati.

“Dasar konyol! Dasar, Jojon!” gumam Nana ketika mengingat kata 500 tahun sambil senyum-senyum sendiri.

 

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dia yang Terlewatkan
371      251     1     
Short Story
Ini tentang dia dan rasanya yang terlewat begitu saja. Tentang masa lalunya. Dan, dia adalah Haura.
Looking for J ( L) O ( V )( E) B
2173      889     5     
Romance
Ketika Takdir membawamu kembali pada Cinta yang lalu, pada cinta pertamamu, yang sangat kau harapkan sebelumnya tapi disaat yang bersamaan pula, kamu merasa waktu pertemuan itu tidak tepat buatmu. Kamu merasa masih banyak hal yang perlu diperbaiki dari dirimu. Sementara Dia,orang yang kamu harapkan, telah jauh lebih baik di depanmu, apakah kamu harus merasa bahagia atau tidak, akan Takdir yang da...
Waktu Awan dan Rembulan
5336      2644     17     
Romance
WADR
Cinta untuk Yasmine
2063      902     17     
Romance
Yasmine sama sekali tidak menyangka kehidupannya akan jungkir balik dalam waktu setengah jam. Ia yang seharusnya menjadi saksi pernikahan sang kakak justru berakhir menjadi mempelai perempuan. Itu semua terjadi karena Elea memilih untuk kabur di hari bahagianya bersama Adam. Impian membangun rumah tangga penuh cinta pun harus kandas. Laki-laki yang seharusnya menjadi kakak ipar, kini telah sah...
Ksatria Dunia Hitam
669      470     1     
Short Story
Dia yang ditemui bersimbah darah adalah seorang ksatria dunia hitam yang kebetulan dicintainya
Dunia Saga
5024      1334     0     
True Story
There is nothing like the innocence of first love. This work dedicated for people who likes pure, sweet, innocent, true love story.
Pupus
411      271     1     
Short Story
Jika saja bisa, aku tak akan meletakkan hati padamu. Yang pada akhirnya, memupus semua harapku.
My Idol Party
1464      728     2     
Romance
Serayu ingin sekali jadi pemain gim profesional meskipun terhalang restu ibunya. Menurut ibunya, perempuan tidak akan menjadi apa-apa kalau hanya bisa main gim. Oleh karena itu, Serayu berusaha membuktikan kepada ibunya, bahwa cita-citanya bisa berati sesuatu. Dalam perjalanannya, cobaan selalu datang silih berganti, termasuk ujian soal perasaan kepada laki-laki misterius yang muncul di dalam...
Inspektur Cokelat: Perkara Remaja
321      223     1     
Short Story
Elliora Renata, seorang putri dari salah satu keluarga ternama di Indonesia, hal itu tak menjamin kebahagiaannya. Terlahir dengan kondisi albinis dan iris mata merah tajam, banyak orang menjauhinya karena kehadirannya disinyalir membawa petaka. Kehidupan monoton tanpa ada rasa kasih sayang menjadikannya kehilangan gairah bersosialisasinya sampai akhirnya...serangkaian kejadian tak menyenangkan...
Maroon Ribbon
496      356     1     
Short Story
Ribbon. Not as beautiful as it looks. The ribbon were tied so tight by scars and tears till it can\'t breathe. It walking towards the street to never ending circle.