Dalam perjalanan malamnya hendak mencari kesenangan, tiba-tiba saja seorang pemuda bernama Alvin mendapatkan layangan selembaran brosur yang sama sekali tak ia ketahui akan asalnya. Saat itu, tanpa berpikir panjang, Alvin pun memutuskan untuk lekas membacanya dengan seksama.
Setelah membaca selembaran brosur itu secara keseluruhan, Alvin merasa, bahwa sebuah tempat yang tengah dipromosikan di dalam brosur itu, seakan jauh lebih menarik, daripada sebuah tempat yang ingin ia kunjungi pada malam ini juga, bersama dengan teman-teman barunya.
“Kayaknya ‘ni tempat lebih terjaga daripada club malam. Gue memang nggak tahu, ‘ni tempat bisa diklasifikasikan sebagai tempat apa, tapi vibes-nya, sesuai dengan apa yang udah gue baca, kayaknya nggak ada salahnya, buat gue kunjungi tempat ini. Daripada gue harus ngabisin waktu gue untuk yang pertama kalinya—berpesta ria di club malam itu, mendingan gue curhat-curhatan aja di tempat ini. Kesannya agak tabu, tapi meski untuk yang pertama kalinya juga, kayaknya hati gue memang udah lebih condong buat ngunjungi ‘ni tempat,” gumam Alvin, dengan turut menunjuk sebuah bangunan yang ada di dalam brosur itu—seakan merasa yakin.
Sesuai dengan apa yang telah Alvin gumamkan, ia yang baru pertama kalinya mendapat info mengenai tempat itu pun seakan telah menaruh hati terhadapnya. Ia tak tahu tempat itu merupakan tempat apa, tapi entah apa alasannya pula, hatinya jauh lebih condong ingin mengunjungi tempat itu, daripada harus memenuhi undangan dari teman-teman barunya.
Lantas sebab hal ini, hanya dalam hitungan detik setelahnya, Alvin pun memutuskan untuk segera bergegas, berbalik arah, dan kembali berjalan di temani dengan sepasang sepatu kesayangannya—mengikuti di mana lokasi denah tempat itu berada—yang juga telah tertera di dalam selembaran brosur yang sama.
***
Lima belas menit telah berlalu, kini Alvin pun telah berhasil melihat bentuk tempat bernuansa neon glitch itu—sesuai dengan tampilan serupa, dengan apa yang telah ia lihat pada selembaran yang tadi.
“Jadi itu tempatnya?” -gumam Alvin, terkesima- “baru kali ini gue lihat ‘ni tempat. Apa memang baru buka banget, atau gimana?” tambah Alvin dalam gumamnya.
Dengan masih memegang sebuah brosur arahan mengenai tempat itu, Alvin pun memilih semakin mendekati pintu masuk, dan seakan benar-benar merasa penasaran dengan tempat itu.
Hanya dalam beberapa saat, kini Alvin pun telah berada di dalam sana—menyaksikan kesan kesunyian yang sama sekali tak ia mengerti.
“Kenapa pas di lihat dari arah luar, kesannya kayak heboh habis, tapi di dalamnya malah sunyi kayak gini?” gumam Alvin—merasa heran.
Dalam beberapa detik setelah bergumam demikain, Alvin hanya menghabiskan waktunya melihat-lihat ke arah sekitar. Sungguh, ia sama sekali tak mengerti dengan ini semua. Hanya ada beberapa kubu sekatan tempat, yang masing-masingnya memiliki warna yang berbeda. Tak hanya memiliki warna yang berbeda, bahkan kadang kala, warna dari kubu-kubu semacam sekatan bilik itu pun berubah-ubah akan warnanya.
Ya, konsepnya memang sama dengan tampilan dari gedung depan—bernuansa neon dan sedikit bergaya glitch. Namun hanya saja, tempat itu benar-benar terlihat tak ada yang tengah menempatinya. Entah di mana para pelayan pengunjung pun, Alvin sama sekali belum bisa menemukannya.
“Permisi. Apa ada orang?” Masih dalam mode merasa penasaran, Alvin pun lekas menanyakan hal ini di dalam sana—tanpa adanya tumpuan wujud manusia yang bisa ia hampiri.
Deg!
Alvin merasa terkejut, di saat sorot lampu yang tadinya hanya mengarah ke arah beberapa sekatan bilik itu, kini malah menyorotinya.
“Selamat datang Tuan Muda. Ada yang bisa kami bantu?” Suara itu entah datang dari mana. Bahkan Alvin pun sama sekali tak tahu, di mana keberadaan wujud dari sang pemilik suara itu tengah berada. Lantas sebab hal ini, mata Alvin pun tampak membulat—masih merasa tabu.
“M-maksudnya? M-maaf, saya belum mengerti apa pun tentang tempat ini. Bisakah Anda menjelaskan sesuatu kepada saya?”
“Baiklah, pastinya kami akan selalu membantu. Sekarang, lihatlah ke arah kanan dari posisinya Tuan. Di sana telah ada satu portal pengetahuan yang telah kami buka. Tuan bisa baca banyak hal di dalam sana, lalu tetapkanlah pilihan Tuan. Tuan bisa memilih, kiranya bilik nomor berapa yang sesuai dengan apa yang Tuan inginkan.” Suara lembut ala perempuan itu terdengar cakap dan fasih.
Alvin tampak mengernyitkan alisnya dalam sekejap, ia masih merasa heran. Namun apa pun alasannya, ia harus tetap bisa membasmi apa pun itu mengenai rasa penasarannya.
“B-baiklah.” Menyudahi kernyitan di alisnya, Alvin pun lekas menoleh ke arah yang telah dikatakan, lalu dengan sekejap lekas melangkah, mendekati portal pengetahuan yang telah dimaksudkan oleh suara yang tadi.
Setelah sampai, Alvin pun dengan sigap membaca apa saja yang ada di sana. Di sana tertera jelas mengenai filosofi warna, fiosofi benda dan juga mengenai filosofi karakter dari beberapa gambaran tokoh.
Setelah berhasil dengan sepenuhnya—membaca keterangan tulisan bernuansa neon itu, Alvin pun telah memutuskan pilihannya.
Ia menekan pilihan warna hitam dan putih, turut memilih benda bernama sepatu, dan ikut memilih karakter berinisial U&Y (Yu and Way), yang ia baca memiliki karakter dengan dominan kepribadian yang sangat tertutup.
Setelah ia menekan masing-masing dari tombol yang telah tersedia, tepat di bawah pilihan-pilihannya yang tadi, muncullah tiga kombinasi warna neon glitch yang secara spontan mengelilingi tubuhnya Alvin.
Terlihat semacam kombinasi kekuatan super, tapi bukan demikian pula konteks jelas pada intinya.
“Baiklah, sesuai dengan kombinasi warna yang telah muncul, Tuan akan di tempatkan pada bilik nomor urut 30. Ikuti petunjuk arah dari kombinasi warna itu, dan Tuan bisa bercerita apa pun mengenai problematikanya Tuan, tanpa harus takut akan ada yang terbongkar.” Suara yang sama kembali terdengar.
Setelah mendengar hal ini, Alvin sempat terhenyak. Meskipun ia merasa yakin bahwa tempat ini akan mampu meneduhkan hatinya, tapi yang namanya belum mengetahui banyak hal tentang tempat ini, tentunya ada sedikit kesan keraguan di dalam hatinya. “Apa itu benar? Apa gue benaran bisa cerita apa pun di sini, tanpa adanya pengintaian. Apa identitas dan juga kisah-kisahnya gue nggak bakalan diusik oleh oknum-oknum yang jahil?” gumam Alvin—sedikit tanpa sengaja, memudarkan rasa yakinnya.
Mendeteksi Alvin yang hanya berdiam di tempat, suara itu pun kembali terdengar. “Kami tidak pernah memaksa siapa pun untuk mendatangi tempat ini. Semuanya tergantung atas kemauan dari setiap personal. Jika ada suatu masalah yang ingin pengunjung katakan, kami akan sedia terbuka dalam membantu. Kami akan dengan senang hati memberikan sedikit masukan, atau bahkan bantuan nyata, bila memang patut untuk dilakukan.”
Suara itu membuat Alvin meneguk salivanya. Benar saja, ia datang ke sini juga bukan karena paksaan, melainkan hanya sebatas dorongan dari hatinya. Sebab perkataan itu, Alvin yang sempat tertunduk pun kembali mendongkak. Kali ini, sedikit rasa ragunya yang tadinya sempat terbesit pun, telah kembali terkubur. “Baiklah. Saya akan mencobanya.” Lantas setelahnya, kini Alvin pun telah kembali melihat kombinasi dari ketiga warna pilihannya—kembali mengitarinya.