"Lagi-lagi lo ngasih gua buku kek gini bang, jelek."
Pagi itu acara televisi menyiarkan sebuah berita tentang seorang pelajar yang meninggal akibat bullying, ck dasar lemah.
Aku tidak menyangka apa yang dilakukan guru setelah tau seperti ini. Jelas saja mereka tidak akan berbuat apa-apa selain memberikan donasi sejumlah beras dan uang untuk memperingati kematian salah satu muridnya.
"Bilangnya sih nyesel tapi ga berbuat apa-apa"
"Memangnya apa yang kamu ingin mereka lakukan?" Kakakku bertanya dengan begitu sinis, aku tau dia memahami isi pikiranku tapi malah bertanya. Menyebalkan.
"Melakukan hal yang sama pada murid yang udah ngebuli sampai meninggal, oh ayolah, semua butuh keadilan"
Aku merasakan sofa yang bergerak dan kakakku duduk disebelahku dengan mata yang tertuju ke televisi. Mendengarkan dengan simak apa yang sedang diberitakan, meski aku sebenarnya ingin mengganti channelnya tapi yasudahlah.
"Apa itu akan membuat masalah membaik?"
Aku menoleh ke arah kakakku yang masih terfokus ke televisi, "Tentu saja iya, anak yang mati itu arwahnya pasti tenang"
"Lalu bagaimana dengan guru, murid lain, bahkan sekolahnya? Dengan kasus ini saja sekolah dan guru itu di cap buruk, bagaimana jika ditambah lagi dengan guru yang ikut membunuh?" ujar kakakku dengan nada kesalnya.
Itu yang terburuk. Kakakku adalah seorang polisi yang pada dasarnya mementingkan reputasi dibanding keadilan masyarakatnya. Terkadang polisi itu memandang sebelah harta, coba saja murid yang mati itu orang kaya. Bisa-bisa polisi akan langsung menuntut kematian serupa.
"Iya deh, gua yang salah kali ini"