Read More >>"> KUROTAKE [SEGERA TERBIT] (Chapter 11 : Pemuda Penyuka Hujan & Percakapan Tentang Mimpi) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - KUROTAKE [SEGERA TERBIT]
MENU 0
About Us  

Jam pelajaran di kelas 10-1 sudah berakhir. Kebetulan hari itu hari Rabu, dan Chihaya mendapat giliran untuk melaksanakan piket membersihkan kelas bersama Kanade dan beberapa teman sekelasnya.

Begitu tugas piket selesai, Kanade pulang terlebih dahulu. Sementara Chihaya tinggal di kelas seorang diri. Di luar, hujan turun dengan deras. Ia tak bisa pulang karena lupa membawa payung, dan akhirnya memilih tetap di kelas menunggu hujan reda.

"Tumben sendirian saja, Haya-chan?"

Chihaya mengenali suara itu. Ia menoleh dan mendapati Mamoru berdiri di depan pintu kelasnya.

"Astaga, Senpai!" Chihaya kaget melihat keadaan kakak kelasnya. Jaket dan seragamnya sebagian basah terkena air hujan. Rambut dan wajahnya juga basah. Parahnya, Mamoru tidak mengenakan payung.

"Senpai basah kuyup! Apa yang sedang Senpai lakukan di situ? Ayo, masuk!"

Gadis berkacamata itu menarik tangan Mamoru, menyeretnya masuk ke dalam ruang kelas yang kosong. Ia kemudian membuka tasnya, merogoh-rogoh isi di dalamnya, hingga akhirnya menemukan sebuah handuk putih.

"Lap pakai ini, Senpai!"

"Eh, tidak usah, Haya-chan!" tolak Mamoru. Ia merasa tidak enak.

"Handuk ini bersih, kok! Kalau tidak dikeringkan, nanti Senpai masuk angin,lho!"

Mamoru akhirnya mengalah dan terpaksa menerima handuk itu. Ia pun membuka jaket abu-abunya, lalu meletakkannya di kursi Chihaya untuk dikeringkan sebentar. Pemuda itu lalu mengeringkan rambut,wajah, dan seragamnya.

"Terima kasih," ucap Mamoru.

"Mamoru-senpai belum pulang?" tanya Chihaya yang berjalan ke lemari peralatan.

Mamoru menggeleng, sambil masih mengeringkan wajah dan rambutnya. "Belum. Tadi aku mengerjakan tugas di perpustakaan dulu. Sudah selesai dan sudah kuserahkan ke guru,sih,"

Chihaya manggut-manggut. 

"Kamu habis piket, ya?" tanya Mamoru saat melihat Chihaya menutup pintu lemari peralatan setelah menaruh sapu.

"Iya," angguk Chihaya.

"Kamu belum pulang?"

Gadis berkacamata itu menjawab sambil tersenyum malu. "Aku... lupa bawa payung,Senpai,"

Mamoru melongo. Kebetulan ia juga lupa membawa payung, karena itulah tadi ia nekat menerobos hujan. Apakah ini kebetulan?

"Senpai sampai hujan-hujanan begitu, apa tidak apa-apa?"

"Hanya hujan ringan,kok. Aku sudah biasa,"

Chihaya menggelengkan kepala. Memang akhir-akhir ini hujan sering turun di Cibubur. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Mamoru suka bermain hujan seperti anak kecil.

"Sering hujan-hujanan tidak bagus juga, lho, Senpai. Seperti anak kecil saja. Nanti Senpai bisa sakit,"

"Iya, aku tahu," balas Mamoru. "Maaf, ya, karena tadi ada urusan di perpustakaan, jadi aku sedikit telat menjemputmu. Aku juga tidak membawa buku bahasa Jepang, jadi sepertinya hari ini kelas harus diliburkan,"

Chihaya menggeleng. "Yah...kebetulan aku juga lupa membawa bukunya. Hari ini di kelasku tidak ada pelajaran bahasa Jepang,"

"Ya, kurasa tidak ada salahnya libur satu hari," sahut Mamoru. "Kau tahu? Aku juga lupa bawa payung,"

"Eh, serius, Senpai?" tanya Chihaya.

"Kau keberatan kalau aku menumpang di kelasmu?"

Chihaya sekali lagi menggeleng. "Tidak masalah. Malah aku senang Senpai menemaniku di sini sampai hujan reda,"

"Oh ya, ngomong-ngomong...soal teman sekelasmu...Sachi, Yuji, dan Takeru, mereka tidak tahu soal kesepakatan kita,kan?" tanya Mamoru memastikan.

"Tenang saja, Senpai. Mereka tidak tahu apa-apa,"

Jawaban Chihaya membuat raut wajah Mamoru tenang. Ia duduk di kursi kosong yang berada tepat di depan Chihaya. Mereka berdua memandang rintik hujan yang turun di luar jendela.

"Selain senja, aku sangat menyukai hujan,"

Chihaya memiringkan kepala mendengar penuturan pemuda berambut ikal itu.

"Sejak kecil aku suka hujan. Setiap kali hujan turun, aku selalu keluar dari rumah untuk bermain hujan. Karena sudah terbiasa, aku tidak takut sakit," lanjutnya sambil melirik Chihaya. "Setiap kali melihat hujan, hatiku merasa sejuk dan tenang. Mama pernah bilang, saking sukanya aku dengan hujan, sejak kecil hingga sekarang aku tidak bisa tidur tanpa mendengar suara hujan. Malah sebelum tidur, aku harus menyetel nada suara hujan dari ponselku. Hahahaha,"

"Kalau ada petir, apa Senpai tidak takut?" tanya Chihaya.

"Tentu saja aku lari masuk ke rumah ketika petir menyambar," jawab Mamoru. "Siapa anak kecil yang tidak takut petir?"

Chihaya tertawa. 

"Sampai sekarang pun, aku masih menyukai hujan," ujar Mamoru. Kedua matanya melirik Chihaya. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi ia memilih diam, menikmati momen itu.

"Oh ya, ini," Mamoru mengembalikan handuk milik Chihaya. "Terima kasih,"

Chihaya mengangguk. 

"Oh ya, ngomong-ngomong kamu pernah membaca novel ini?" tanya Mamoru yang membuka tasnya dan mengeluarkan novel Bokutachi no Unmei karya Orihara Ran.

"Wah, Senpai punya novel ini?" kata Chihaya tidak percaya saat melihat novel yang dipegang Mamoru. "Aku tidak tahu kalau Senpai suka buku karya Orihara Ran,"

"Tidak juga,sih. Aku hanya iseng saja membelinya," jawab Mamoru.

"Aku pernah membaca karyanya yang lain, Aidoru no Sekai ni Yoroshiku," ungkap Chihaya.

Selama hujan turun dengan deras di luar kelas, Mamoru dan Chihaya akhirnya berbicara dan berdiskusi tentang novel. Pembicaraan mereka berlanjut ke topik mengenai karya sastra bertema Jepang dari penulis Indonesia. Mamoru sangat menggemari karya Orihara Ran, sementara Chihaya menyukai karya-karya Yoana Dianika,Winna Efendi, dan Ilana Tan.

"Senpai suka novel genre apa?" tanya Chihaya.

"Sebenarnya aku suka membaca semua genre. Tapi mungkin yang paling aku suka...romansa,"

"Heeeh?" Chihaya memiringkan kepala, heran. "Lho? Padahal Senpai pernah bilang tidak tertarik punya pacar atau hubungan romansa. Kok, malah membaca cerita romansa?"

"Tidak tertarik dengan romansa bukan berarti seseorang tidak punya keinginan untuk memiliki hubungan semacam itu, kan?"

Kedua mata Chihaya melebar. "Memang ada seseorang yang Senpai sukai?"

Mamoru menggeleng. 

"Atau jangan-jangan... Senpai membaca romansa untuk referensi adegan dan hal romantis saat pura-pura berakting menjadi 'pacar'-ku?"

 Kali ini Mamoru menunduk, tak bisa menyangkal. 

"Hah? Jadi benar?" Chihaya terkejut sambil menutup mulutnya. 

"Apa kamu...tidak suka?" tanya Mamoru pelan.

Chihaya tidak tahu bagaimana harus menanggapi kejujuran Mamoru. Selama bersama pemuda itu, sikapnya biasa saja, hampir tidak ada yang aneh. Mamoru pun memperlakukan Chihaya dengan baik. 

Sementara itu Mamoru mengalihkan tatapannya dari Chihaya. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia bingung. Entah hal apa yang membuatnya menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah hanya untuk membaca novel-novel romansa. Namun yang jelas, setiap kali memikirkan Chihaya, ia langsung mencari jawabannya dalam setiap novel yang dibacanya.

"Bukannya tidak suka, sih..." sahut Chihaya. "Tapi, kalau untuk urusan percintaan, bukannya Senpai punya banyak teman perempuan? Minimal, Senpai bisa bertanya ke Ouka-senpai, atau yang lainnya?"

Mamoru tertawa getir. "Ouka belum punya pengalaman soal hubungan romansa. Kalau Nozomi atau Akemi, aku tidak terlalu dekat dengan mereka. Nozomi juga lebih suka sibuk sendiri,"

"Jadi karena itu Senpai lebih memilih mencari jawaban sendiri di buku?"

Mamoru mengangguk. "Kamu tidak suka? Aku...sebenarnya hanya ingin mencoba mengetahui tentang perempuan. Tentang dirimu, dan memahamimu,"

Chihaya menelan ludah, namun ia berusaha tenang. "Ya... kalau Senpai ingin bertanya tentang apa yang kumau atau hal yang aku suka, bisa bertanya langsung lewat chat padaku, kan?"

"Ah, kau benar juga!" Mamoru baru sadar.

Kini giliran Chihaya tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Ia tak menyangka kalau Mamoru punya sisi konyol juga. Lucunya, Mamoru juga ikut tertawa. 

Hujan masih turun deras di luar.  Tanpa Mamoru sadari, ia menikmati waktu berduaan di kelas dengan gadis itu. Ia sadar kalau ia merasa nyaman saat bersama Chihaya. Tak peduli walau saat ini mereka berpura-pura menjadi sepasang kekasih.  

Berpura-pura. Entah kenapa, kalimat itu terdengar menyesakkan. Mamoru ingin lebih lama bersama Chihaya. Mendengar gadis itu bercerita tentang hari-harinya. Tertawa bersama seperti sebelumnya. Juga, belajar bahasa Jepang bersama seperti yang biasa mereka lakukan.

"Ah, sepertinya hujan mulai reda, ya," ucap Chihaya. 

"Hm?" Mamoru tersadar dari lamunannya. Ia lalu melihat hujan yang tadinya deras mulai menyisakan rintik-rintik kecil. "Ah, kau benar. Kau masih mau di sini, Haya-chan?"

"Senpai mau langsung pulang?"

"Sebenarnya...aku baru ingat kalau ada sesuatu yang harus kulakukan di ruang klub," jawab Mamoru. "Kau mau ikut? Di sana ada teh hangat, kalau kau mau,"

****

Mamoru dan Chihaya kini berada di ruang klub Kurotake. Tak lupa Mamoru membawa jaketnya yang sudah sedikit kering karena ia angin-anginkan sebentar di kelas Chihaya.

Pemuda berambut ikal itu berada di dapur ruang klub Kurotake. Ia membuatkan teh hangat untuk dirinya dan Chihaya. Sementara itu Chihaya menunggu di ruang aktivitas sambil membaca novel Hyouka karya Honobu Yonezawa.

"Omatase*,"

Chihaya menoleh, mendapati Mamoru menyodorkan segelas teh hangat padanya. Chihaya pun menerimanya.

"Terima kasih, Senpai,"

Mereka pun meminum teh. Setelah minum beberapa teguk, Chihaya menghela napas, disusul Mamoru. Perlahan, tubuh mereka pun terasa hangat.

Di ruang klub sepi, hanya ada mereka berdua. Hujan kembali turun.

Mamoru melirik jam tangannya. Sudah pukul empat sore lewat sepuluh menit.

"Kau mau membantuku sebentar?"

Chihaya menoleh. "Membantu apa, Senpai?"

"Menempelkan gambar manga karya para anggota beberapa minggu lalu di papan kosong itu," Mamoru menjawab seraya menunjukkan sebuah papan kayu yang masih kosong di dekat gambar-gambar karya para pengurus klub.

"Oh, tentu, Senpai,"

Chihaya menempelkan selotip pada setiap kertas gambar manga, lalu menyerahkannya pada Mamoru untuk ditempel. Sambil bekerja, ia melihat-lihat gambar karya para anggota dan pengurus klub. Semuanya digambar menggunakan pensil, tidak diwarnai.

Pandangan mata Chihaya tertuju pada Mamoru yang sedang menempelkan gambar karyanya sendiri.

"Senpai, apa Senpai keberatan jika aku bertanya?"

"Hm? Tanya apa?"

"Senpai belajar menggambar manga dari mana? Sejak kapan? Kok bisa sebagus itu?"

Mamoru melihat gambarnya, kemudian menoleh pada Chihaya dan menjawab.

"Aku belajar otodidak,dari Youtube. Belajar sejak kelas 10,sih,"

"Wah, hebat sekali," kata Chihaya kagum."Tapi gambar Mamoru-senpai sudah seperti gambar karya mangaka profesional,lho,"

Mamoru terkekeh. "Ah, kamu bisa saja. Aku masih belajar. Ngomong-ngomong, Haya-chan, kau punya mimpi ingin pergi ke Jepang,kan?"

Chihaya terkejut saat Mamoru tiba-tiba menanyakan tentang mimpinya.

"Waktu kegiatan hanami di taman sekolah itu, aku sempat mendengarmu membicarakan alasanmu bergabung di klub Kurotake dengan Nozomi dan yang lain," tutur Mamoru."Kudengar kau ingin mendalami bahasa dan budaya Jepang karena ingin pergi ke sana,"

Chihaya sedikit kaget, tapi ia mengangguk, membenarkan perkataan Mamoru.

"Iya, aku berkeinginan untuk tinggal di sana,"

Mamoru melebarkan mata saat Chihaya menceritakan tentang mimpi dan alasannya yang ingin pergi ke Jepang pada ketua klub Kurotake itu. Hal yang belum pernah ia ceritakan pada siapapun sebelumnya.

Jepang adalah negara yang memiliki arti tertentu untuk Chihaya. Shintaro Hamada, ayah Chihaya merupakan seorang dokter lulusan salah satu universitas ternama di sana. Ibunya, Amaya, juga merupakan seorang half atau blasteran Indonesia-Jepang. Beliau bekerja sebagai pengajar bahasa. Mereka bertemu pertama kali saat Shintaro mengambil program spesialis di kampus yang sama dengan Amaya di New York, Amerika Serikat. Begitu keduanya lulus, mereka kembali ke Jepang dan menikah.

Setahun setelah pernikahan kedua orangtuanya, saat mereka menetap di Tokyo, Chihaya pun lahir. Ia tinggal dan menghabiskan masa kecilnya di ibukota negara matahari terbit itu hingga usia enam tahun. Itulah alasan kenapa Chihaya sejak kecil bisa sedikit memahami bahasa Jepang dan menyukai budayanya. Saat usianya enam tahun, kedua orangtuanya membawa Chihaya pindah ke Indonesia dan menetap di kota Surabaya.

Chihaya berkeinginan ingin kembali ke Jepang saat sudah dewasa nanti. Ia ingin melanjutkan kuliah dan menetap di sana. Ada beberapa hal yang ia rindukan dari negara itu, seperti membuat boneka salju saat musim dingin, melihat bunga sakura mekar di musim semi, memakan onigiri*, dan menikmati kakigori* saat musim panas.

"Mimpimu luar biasa," puji Mamoru.

"Itu tidak seberapa, Senpai," kata Chihaya merendah.

"Tidak. Menurutku, mimpimu itu luar biasa...keren,"

Hati Chihaya menghangat, mendengar Mamoru memujinya dengan sungguh-sungguh.

"Ini pertama kalinya ada orang lain yang memuji mimpiku," kata Chihaya. "Dulu saat SD, ketika aku menceritakannya di depan kelas, teman-teman sekelas justru menganggap mimpiku konyol dan mustahil,"

"Haya-chan, kau jangan terlalu memikirkan apa kata orang lain. Kita buktikan saja kalau kita bisa meraih mimpi yang menurut mereka mustahil itu,"

Chihaya mengangguk. "Senpai benarKalau begitu, ini jadi rahasia Senpai dan aku,ya,"

"Ah, baiklah. Aku janji tak akan cerita pada orang lain," janji Mamoru.

Mamoru dan Chihaya kemudian melihat ke luar jendela ruang klub. Hujan sudah berhenti merintik. Begitu selesai menempelkan gambar yang terakhir, mereka kemudian mencuci gelas bekas minuman dan menaruhnya kembali di lemari dapur, lalu bergegas keluar dari ruang klub untuk pulang ke rumah.

"Haya-chan," panggil Mamoru setelah selesai mengunci pintu ruang klub Kurotake.

Chihaya menoleh.

"Mulai sekarang kamu jangan terlalu berlebihan dalam memikirkan segala hal," katanya. "Jangan terlalu memikirkan apa kata orang lain. Mulai sekarang, jadilah dirimu sendiri. Bersikaplah apa adanya. Lakukan hal yang kamu suka, selama itu baik. Apapun yang terjadi, aku akan mendukung impianmu. Jadi, jangan pernah menyerah, OK?"

Gadis berkepang itu terpana mendengar kata-kata Mamoru. Chihaya tak pernah mengira Mamoru akan berkata bahwa ia mendukung mimpinya. 

Kata-kata yang Mamoru ucapkan ada benarnya. Terlalu memikirkan perkataan orang lain justru akan merugikan diri sendiri.

Chihaya perlahan tersenyum. Ucapan kakak kelasnya itu berhasil mengembalikan semangat hidupnya.

" Aku akan berusaha. Terima kasih, Senpai," 

Mamoru tersenyum sambil menepuk pundak gadis itu.

****
Keterangan :

*Omatase  = maaf membuatmu menunggu lama (bahasa Jepang)

*onigiri = nasi kepal yang umumnya berbentuk segitiga, dengan isian daging ikan

*kakigori = es serut khas Jepang yang biasanya dimakan saat musim panas

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tumpuan Tanpa Tepi
8784      2852     0     
Romance
Ergantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengusik cita-cita Ergantha, memberikan harapan dan menarik ulur jiwa pubertas anak remaja yang sedang berapi-api. Ia diminta berperilaku layaknya s...
Me & Molla
520      301     2     
Short Story
Fan's Girl Fanatik. Itulah kesan yang melekat pada ku. Tak peduli dengan hal lainnya selain sang oppa. Tak peduli boss akan berkata apa, tak peduli orang marah padanya, dan satu lagi tak peduli meski kawan- kawannya melihatnya seperti orang tak waras. Yah biarkan saja orang bilang apa tentangku,
CATCH MY HEART
2583      980     2     
Humor
Warning! Cerita ini bisa menyebabkan kalian mesem-mesem bahkan ngakak so hard. Genre romance komedi yang bakal bikin kalian susah move on. Nikmati kekonyolan dan over percaya dirinya Cemcem. Jadilah bagian dari anggota cemcemisme! :v Cemcemisme semakin berjaya di ranah nusantara. Efek samping nyengir-nyengir dan susah move on dari cemcem, tanggung sendiri :v ---------------------------------...
AUNTUMN GARDENIA
131      115     1     
Romance
Tahun ini, dia tidak datang lagi. Apa yang sedang dia lakukan? Apa yang sedang dia pikirkan? Apakah dia sedang kesulitan? Sweater hangat berwarna coklat muda bermotif rusa putih yang Eliza Vjeshte kenakan tidak mampu menahan dinginnya sore hari ini. Dengan tampang putus asa ia mengeluarkan kamera polaroid yang ada di dalam tasnya, kemudian menaiki jembatan Triste di atas kolam ikan berukura...
ADIKKU YANG BERNAMA EVE, JADIKAN AKU SEBAGAI MATA KE DUAMU
164      124     2     
Fantasy
Anne dan Eve terlahir prematur, dia dikutuk oleh sepupu nya. sepupu Anne tidak suka Anne dan Eve menjadi putri dan penerus Kerajaan. Begitu juga paman dan bibinya. akankah Anne dan Eve bisa mengalahkan pengkhianat kerajaan? Siapa yang menikahi Anne dan Eve?
That Devil, I Love
3280      1349     0     
Romance
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Airin daripada dibenci oleh seseorang yang sangat dicintainya. Sembilan tahun lebih ia memendam rasa cinta, namun hanya dibalas dengan hinaan setiap harinya. Airin lelah, ia ingin melupakan cinta masalalunya. Seseorang yang tak disangka kemudian hadir dan menawarkan diri untuk membantu Airin melupakan cinta masa lalunya. Lalu apa yang akan dilakukan Airin ? B...
Last October
1761      674     2     
Romance
Kalau ada satu yang bisa mengobati rasa sakit hatiku, aku ingin kamu jadi satu-satunya. Aku akan menunggumu. Meski harus 1000 tahun sekali pun. -Akhira Meisa, 2010. :: Terbit setiap Senin ::
Dibawah Langit Senja
1451      871     6     
Romance
Senja memang seenaknya pergi meninggalkan langit. Tapi kadang senja lupa, bahwa masih ada malam dengan bintang dan bulannya yang bisa memberi ketenangan dan keindahan pada langit. Begitu pula kau, yang seenaknya pergi seolah bisa merubah segalanya, padahal masih ada orang lain yang bisa melakukannya lebih darimu. Hari ini, kisahku akan dimulai.
The Difference
8225      1808     2     
Romance
Diana, seseorang yang mempunyai nazar untuk berhijab setelah ada seseorang yang mengimami. Lantas siapakah yang akan mengimami Diana? Dion, pacar Diana yang sedang tinggal di Amerika. Davin, sahabat Diana yang selalu berasama Diana, namun berbeda agama.
Unknown
217      177     0     
Romance
Demi apapun, Zigga menyesal menceritakan itu. Sekarang jadinya harus ada manusia menyebalkan yang mengetahui rahasianya itu selain dia dan Tuhan. Bahkan Zigga malas sekali menyebutkan namanya. Dia, Maga!