Irish tidak bisa membohongi dirinya. Dia bahagia setelah bertemu dengan Aksara kembali. Pria itu tersimpan dengan rapi di arsip hatinya. Perasaan bahagia tidak bisa dia elakkan begitu saja. Bagaimana pun itu adalah pertemuan pertama mereka setelah sepuluh tahun berlalu. Kehadiran Aksara mampu membuat nyawa Irish kembali. Setelah sekian lama dia mematikan hidupnya, berjuang tanpa merasakan apa-apa, kali ini kehidupannya seperti kembali dari kematian. Jika Tuhan memang ingin mengabulkan impiannya untuk bersama dengan Aksara, Irish harap Tuhan melancarkan segalanya.
“Gilak dia masih jago aja bikin hati gue deg-degan.” Irish menaikkan kakinya ke tembok dan membayangkan kejadian tadi.
Selama perjalanan menuju kos-kosan Irish, Aksara mulai banyak berbicara. Pria yang jelas-jelas berhati dingin dan jarang mengajaknya bicara itu kali ini berusaha sangat keras untuk mencairkan suasana.
“Semarang nggak semacet Jakarta ya?” Aksara melirik Irish di kursi penumpang.
“Lumayan sih.” Irish menganggukan kepalanya. Beberapa kali dia pernah ke Jakarta untuk melakukan meet and greet buku terbarunya. Dia juga beberapa kali menjadi pembiacara di acara seminar sebuah universitas di Jakarta. Jakarta bukanlah sesuatu yang baru untuknya.
“Aku suka bukumu yang berjudul Until We’re Die. Aku kira seorang pria memang seharusnya memperlakukan pasangannya dengan baik.”
“Sudah seharusnya, namanya juga pasangan.” Irish menjadi tidak nyaman. Entah mengapa dia tidak suka membicarakan bukunya apalagi bersama dengan pria yang setelah sepuluh tahun berlalu tidak dia temui.
“Maaf kalau tidak membuatmu nyaman. Tapi sungguh aku ingin mengapresiasi bukumu. Aku menyukai karyamu yang satu itu. Bahkan aku datang ke acara meet and greet-mu di Jakarta.”
Kali ini Irish terkejut mendengarnya. Perempuan itu bahkan menoleh untuk memastikan apa yang diucapkan oleh Aksara benar adanya. “Kapan?”
“Saat aku berada di mall, aku melihatmu. Melihatmu setelah sekian lama kita tidak bertemu. Awalnya aku hanya penasaran dengan apa yang kau lakukan. Tapi setelah itu aku menjadi lebih penasaran. Haha.”
“Hah.” Irish tertawa kecil. Dia suka topik ini. Dia ingin tahu lebih lanjut kenapa Aksara menjadi lebih penasaran tentang dirinya. Pria itu harus memberikan Irish penjelasan. Irish sangat suka mendengarkan orang bercerita tentang dirinya. “Penasaran yang kayak gimana?”
Aksara tersenyum lebar. Pria itu akhirnya dapat membuat Irish rileks. “Tentu saja penasaran dengan apa yang kamu tulis. Awalnya aku tidak tertarik sama sekali denga buku. Apalagi membaca bukanlah kebiasaanku. Tapi apa yang kamu jelaskan, bagaimana kamu membuat karya itu, sampai bagaimana kamu berjuang untuk menjadi seorang penulis, itu menarik perhatianku. Aku tanpa sadar membeli bukumu.”
“Lalu, apa kau menyukainya?” ucap Irish yang tanpa sadar mengikuti ragam bahasa Aksara.
Aksara menatap Irish. Mata berwarna hitam itu terlihat bercahaya. Ternyata buku memang selalu menjadi alasan terbaik untuk menarik perhatian Irish. Tidak salah jika dia berusaha mati-matian membaca buku selama ini.
“Bukankah aku sudah bilang? Aku sangattt menyukainya.” Irish tersenyum. Bibir itu melengkung dengan lebar. Sejalan dengan jantung Aksara yang mulai bermekaran memompa aliran darah. “Tapi sayangnya aku tidak bisa meminta tanda tanganmu waktu itu.”
“Kenapa? Kenapa kamu nggak menemuiku?” Aksara semakin berdebar ketika Irish memanggilnya dengan kata “kamu”. Sebagai orang yang hidup lama di Jakarta, panggilan formal itu terasa sangat spesial.
“Karena aku harus kembali bekerja.” Aksara memanfaatkan lampu merah untuk menyentuh hidung mancung Irish karena perempuan itu tiba-tiba cemberut dengan jawabannya.
“Memang apa yang diharapkan dari orang yang gila kerja.” Irish berubah menyenderkan kepalanya ke jendela mobil. Dia tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya.
“Kan pada akhirnya kita ketemu juga.”
“Lama. Lama bangettt sampai hampir lupa.”
“Emang kamu bisa lupain aku?”
Irish menepuk wajah Aksara. “Udah lampu merah tuh.”
“Haha. Oke. Tapi kenapa nggak dijawab, Rish? Bener kan kamu nggak bisa lupain aku?”
“Kata siapa? Orang aku udah pernah pacaran.”
“Tapi gagal kan? Siapa tahu emang nggak sesuai jodohnya.”
“Bukan gagal. Emang nggak cocok aja.”
“Emang bukan jodohnya.”
“Enggak!” Irish tidak mau kalah. Dia tidak terima jika Aksara yang menjadi jodohnya. Bagaimana pun Aksara sudah banyak membuatnya sakit hati.
“Kan emang cuma aku yang bisa jadi jodoh kamu.”
“Apaan sih, ngarang lo!” Irish memukul bahu Aksara dengan keras. Entah mengapa dia menjadi malu.
“Omaigatt Aksara!!! Gue bisa gila kalau gini.” Irish menatap langit-langit kamarnya. Dia tidak bisa melupakan kejadian di mobil itu. Apalagi Aksara juga mengajaknya untuk makan di restoran seafood.
***
Aksara ternyata tahu bahwa dirinya menyukai makanan laut. Pria itu bahkan memesankan beberapa jenis olahan menu cumi-cumi. Irish tidak bisa menolak makanan mewah itu. Dia bahkan hanya bisa diam dan memakan cumi-cumi secara bergantian. Sedangkan Aksara sesekali memakan makanannya, kebanyakan pria itu justru menatap Irish. Irish yang makan sambil menggoyangkan kepalanya terlihat lucu. Aksara pernah melihat video perempuan yang senang dengan makanannya melakukan hal yang sama. Tapi dia tidak menyangka Irish juga punya sisi imut seperti itu.
Tanpa sadar, Aksara memanfaatkan momen itu dengan baik. Dia lebih tertarik untuk mengamati Irish yang makan cumi-cumi daripada memakan hewan laut itu sendiri. Dia tanpa sadar kecewa dengan dirinya. Seharusnya dia datang dari lama. Seharusnya dia tidak menyakiti perempuan itu terlalu dalam. Seharusnya dan seharusnya menjadi penyesalan yang dalam.
“Rish, aku bahagia lihat kamu kayak gini,” ucap Aksara dalam hatinya.
Aksara menatap wajahnya di cermin. Sudah lama dia tidak memperhatikan penampilannya. Wajahnya ditumbuhi jambang kecil dan kumis yang cukup tebal. Hanya dengan melihat kumisnya, jantung Aksara kembali berdebar. Dia tidak tahu keberanian dari mana ketika dia mencium bibir merah muda di depannya tadi. Efek bertemu dengan Irish ternyata luar biasa.
“Rish, gue bisa gila kalau kayak gini," kata Aksara dengan dramatis.
Aksara mengambil krim untuk mencukur rambut dan mengoleskannya ke sekitar dagu. Dia akan menghapus rambut-rambut halus di area itu sesuai dengan perintah Irish. Cinta memang berhasil mengubah segalanya. Padahal sebelumnya Aksara merasa sedikit keren dengan rambut-rambut itu. Baginya rambut itu membuat dirinya terlihat lebih dewasa. Tapi jika Irish lebih suka melihatnya tanpa kumis, Aksara bisa dengan mudah menghapusnya. Itu bukan masalah yang besar. Yang terpenting baginya dia harus bisa meyakinkan Irish untuk menjadi istrinya. Harus! karena jika tidak bersama Irish, tidak ada pernikahan baginya.