"Gue mau lo berusaha berhenti peduli sama Fazri. Tolong perhatian aja sama gue, jangan sama dia. Bisa, kan, Sis? Bisa, kan, lo nggak perlu berhubungan lagi sama dia?"
Siska teringat kalimat Reza pada malam sabtu kemarin. Jadi dia akan membuktikan ucapannya, bahwa dia bukan seorang playgirl yang berani menggantungkan perasaan dua laki-laki sekaligus.
Gadis itu sudah matang dengan keputusannya untuk memilih Reza. Siska tidak pernah merasakan perasaan nyaman yang menyenangkan saat bersama Fazri, hanya ada kecanggungan di antara mereka. Karena itu Siska memilih melepaskan Fazri dan meluruskan kesalahpahaman hatinya sendiri.
"Siska." Suara panggilan Fazri membuat Siska menoleh. Laki-laki itu melepaskan masker hitamnya dan mengambil tempat duduk di sebelah kanan Siska. Ngomong-ngomong, mereka lagi ada di taman kota.
"Kenapa ketemunya di sini? nggak lapar?"
Siska menggeleng pelan. "Nggak, lo lapar? mau nyari makan?"
"Nggak usah, lo nggak lapar berarti gue juga nggak."
"Apaan sih, Zri? kalau mau cari makan ya hayu."
"Nggak, nggak apa-apa beneran. Lo kayaknya ada mau ngomongin sesuatu, kan?"
Siska bingung sebenarnya, dia harus mulai dari mana agar ucapannya sebisa mungkin tidak melukai Fazri terlalu dalam. "Gue mau berterima kasih dulu sebelumnya."
"Buat apa?" tanya Fazri lembut. Suaranya sangat lembut, semakin membuat Siska tidak tega mengutarakan niatnya. Ya Tuhan, cowok itu sangat baik. Siska terus merapalkan harapannya semoga Fazri dipertemukan dengan gadis baik hati.
"Buat semua kebaikan lo sama gue. Lo udah jadi orang yang selalu bantu gue, support gue, tahan sama kebobrokan gue, dan semuanya. Terima kasih Fazri sudah mau kenal sama gue."
Mendadak Fazri merasa ada yang menimpa dadanya. Sesak. Dia tidak ingin menduga bahwa Siska akan mencampakkannya hari itu. Fazri terus menyangkal setiap pikirannya yang terus mengarah ke sana.
"Siska—"
"Dan maaf, gue nggak bisa jadi yang terbaik buat lo. Gue bukan orang yang baik Zri, gue jahat. Gue nggak bisa mempertahankan semua ini. Maaf, Zri."
"Sis, lo bahagia sama cowok itu?" tanya Fazri.
Siska mengangguk, sementara kedua matanya sudah berair. Ia merasa sudah berhasil menancapkan sebilah pedang di hati laki-laki itu, rasanya sangat menyakitkan. "Maaf, Zri. Gue emang keterlaluan sama lo."
"Gue tanya, lo bahagia nggak sama dia?"
"Dia baik, perhatian, gue suka."
"Lo nggak bahagia sama gue, nggak apa-apa Sis. Bagi gue yang penting kebahagiaan lo kok, selalu." Fazri meraih kedua telapak tangan Siska dan menggenggamnya erat, seolah setelah hari itu dia tidak bisa melakukan hal itu lagi. Fazri sedih, hatinya sakit, tapi dia tidak ingin menangis. Dia ingin bahagia untuk kebahagiaan Siska.
"Setelah ini lo harus cari orang yang sayang tulus sama lo ya, Zri. Lo berhak bahagia, jangan terus-terusan ngejebak perasaan lo sama gue. You deserve better than me, Zri."
"I won't, my heart always choice you, Sis. Tapi gue nggak bisa paksa, lo berhak memilih kebahagiaan lo. Maaf ya udah nahan lo selama ini, lo harus bahagia selalu."
Siska mengangguk-angguk, tidak perduli meski air matanya terus meluruh melewati kedua pipinya. "Boleh gue peluk lo buat yang terakhir kali?"
Siska tidak membalas apa-apa. Tetapi kedua lengannya sudah bergerak untuk mengalungi leher Fazri. Cowok itu membalas pelukan Siska dengan erat, menumpukan dagunya di atas bahu Siska. Saat itu Fazri menangis, dia memejamkan mata berusaha menahan isakannya.
"Gue udah sayang sama lo, susah buat cari yang lain. Gue juga nggak butuh yang lain, nggak butuh yang baik, nggak butuh yang cantik, nggak butuh yang sempurna, karena bahagia gue cuma lo. Sayangnya gue cuma ke lo, Sis."
"It's okay, lo pergi dari gue. Tapi yang terpenting lo harus tahu kalau gue masih tetap di dekat lo. Kalau seandainya lo nggak bahagia sama dia, lo boleh kembali lagi sama gue. Jujur gue butuh lo banget."
Saat itu Siska merasa menjadi orang paling jahat di dunia karena telah berhasil melukai perasaan orang sebaik Fazri.