“Aduh! Gimana sih, Kak? Bangun elah, lo tuh pulang dari tempat kost bukannya main malah tidur, dasar kebo!”
"Hayu Kak nyeblak, katanya kangen seblak Mbak Uci. Di WhatsApp koar-koar kalau pulang harus jajan seblak Mbak Uci, jajan rujak Bu RT, sama jajan bakso Mang Kandek, lah ini apa? Seharian cuma berencana buat molor doang?”
Badan gadis yang sejak awal nyaman terlentang itu akhirnya terpisah dari kasur karena yang lebih muda 2 tahun darinya menarik kedua lengan yang semula memeluk bantal guling. Dengan mata masih terpejam, gadis itu mengintip atensi dua gadis yang mengganggunya dengan malas.
“Gue pusing banget, badan gue sakit semua ini, Sis. Kayaknya karena kemarin naik bus 2 jam kali ya? Gimana kalau kalian aja deh yang beli seblak, gue nitip ya. Seblak seafood yang super pedas sama tea jus satu yang rasa madu.”
“Nggak boleh, kita harus pergi sama-sama. Lagian apaan sih, lupain tea jus. Ya ampun sumpah Kak, ada ya anak kuliahan macem lo gini. Nggak sehat banget!”
Kalimat Siska ini benar-benar sesuatu. Hanya dalam hitungan detik yang lebih tua langsung membuka lebar kedua mata dan menatapnya tajam. Sedangkan Amel yang asik membuka-buka koleksi album EXO tidak peduli sama sekali, asik dengan dunianya sendiri.
“Tea jus tuh enak, gobs. Lagian ya, emang anak kuliahan nggak boleh jajan tea jus? Kenapa coba gue tanya?”
Siska membawa kedua lengannya untuk bersedekap. “Anak kuliahan kan uang sakunya banyak, bisalah buat beli starbucks tiap hari.”
“Heh, emang lo kira tiap hari minum kopi juga sehat? Lagian gue mau hemat, bentar lagi NCT comeback, wajib beli album nih gue.”
Saat itu Amel membalik badannya. “Kak Raya, ini beneran bias gue lo colong?” dia menunjuk poster Renjun di atas jejeran boneka dengan wajah masamnya. Raya kemudian menyengir kuda dan berjalan menghampirinya. “Hehehe.. ya nggak apa-apa dong, lagipula gue sama Renjun tuh berjodoh karena kita sama-sama lahir di bulan Maret dan tahun yang sama.”
Selanjutnya karena aksi Raya yang kelewat lebay, satu toyoran dari Siska mendarat di belakang kepala gadis itu. Berdosa banget adik yang satu itu, dia seperti lupa perbedaan umur di antara mereka berdua.
“Ish...," desis Raya.
"Biar lo sadar Kak, lo udah bangun dan ini bukan dunia mimpi. Sana buruan cuci muka, perut gue udah berontak minta seblak.”
Amel terkikik sendiri, mungkin bagi dia lucu melihat penampilan Raya yang sangat mirip singa itu. Bagaimana tidak, muka bantal, rambut singa, ditambah pukulan Siska, miris sekali. Tapi Raya tidak sakit hati, karena mereka berdua sudah seperti adik baginya. Di hidup Raya yang sepi karena terlahir sebagai anak tunggal, memiliki Siska dan Amel dalam hidupnya merupakan sebuah hadiah. Mereka berdua lebih dari sekedar sahabat, mereka adalah saudara bagi Raya.
Setelah mengumpulkan nyawa selama sepuluh detik terdiam tanpa kata, Raya terpaksa melangkah keluar dari dalam kamar meninggalkan mereka berdua.
“Iya, iya, tunggu bentar.”
“Amel tolong album gue dirapiin lagi, cinta!”
“Siska jangan buka-buka isi chat gue!”
***
Kaki Raya melangkah dengan malas, rasanya seluruh nyawa belum sepenuhnya terkumpul. Selain itu, keluar jam setengah 3 siang itu masih panas. Kalau saja dua kurcaci itu tidak mengganggu tidur siangnya, pasti Raya masih bermimpi indah, bertemu Renjun misalnya?
“Hai Sis, Mel, Kak Ray!” sapa Nita—dia seumuran dengan Amel, baru saja lulus dari Sekolah Menengah Pertama dan kayaknya sedang menikmati libur panjangnya setelah selesai mengurus ujian. Ketiganya bisa dilihat dari wajahnya, ekspresi cerah yang terpancar dari wajah Nita, yang pernah Raya dan Siska lihat dulu di wajah Amel.
“Hai...," Raya membalas dengan ceria.
“Mau pada ke mana kalian?” kini giliran Rena yang bertanya. Gadis berambut panjang itu tersenyum sangat lebar sambil melemparkan rambutnya yang hampir menyentuh pantatnya itu ke belakang punggung.
“Beli seblak,” jawab Amel.
“Uwah, ikut boleh? Kemarin atau kapan ya lupa, pokoknya pas lewat rumah kalian, nggak sengaja gue ngehirup aroma seblak. Enak banget sumpah, pada beli di mana sih?”
Rena menepuk bahu Nita di sebelahnya. “Ada niatan mau nanya dari kemarin, baru niat doang. Sekarang kita ikut boleh?”
“Hayu atuh boleh, kek sama siapa aja.”
Raya melirik Siska speechless, pasalnya dia ini biasanya suka diam sendiri saat bertemu Nita dan Rena. Jadi Raya seketika merasa senang, tidak berjumpa selama dua bulan dengan anak itu sepertinya banyak yang membuatnya berubah jadi makin dewasa.
Raya menyikut perut Siska pelan saat mereka lanjut berjalan menyusuri jalan setapak. Karena Raya dan Siska berjalan di belakang Rena, Nita, Amel, keduanya bisa saling berbisik tanpa takut diketahui.
Dulu ceritanya masa kecil mereka penuh dengan tawa dan kebahagiaan bersama. Kelimanya selalu bersama-sama setiap hari, di setiap kesempatan. Raya, Siska, Rena, Amel, Nita, dan Leli. Leli, gadis yang tidak ada bersama mereka saat ini, dia baru saja lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan. Kelimanya belum melihat Leli lagi akhir-akhir ini, terakhir kabar yang didengar katanya dia sedang sibuk mencari info-info lowongan pekerjaan.
“Kak Ray, lagi liburan?” pertanyaan Rena yang tiba-tiba itu sukses menyadarkan lamunan Raya. Kalau saja tangannya tidak menepuk bahu kanan gadis berusia dua puluh tahun itu, Raya pasti tidak akan sadar.
“Belum sih, tapi karena kondisi sekarang masih belum memungkinkan jadi belajarnya di rumah. Entah sampai kapan, jadi gue pulang deh.”
“Jenuh banget, sekarang lebih banyak tugas. Berasa tiap hari ujian deh kalau gini, serba online. Tiap hari bangun tidur apa-apa harus cek HP, kalau nggak ya ketinggalan info," gerutu Siska.
Nita tretawa dari balik warung seblak Mbak Uci, dia baru pertama kali datang ke tempat itu tapi sudah tidak canggung lagi dengan penjualnya. Nita dan Mbak Uci memang sedikit mirip, sama-sama humble orangnya. Kayaknya kalau si Nita buka warung seblak juga pelanggannya pasti banyak.
“Gue mah nggak ngurusin tugas, ngumpulin juga udah biasa lewat deadline. Lebih ke pemahamannya sih, percuma banget belajarnya kagak ada yang masuk otak.”
“Orang pinter beda ya mikirnya.”
Rena terkekeh sambil menepuk-nepuk paha Amel, mereka memang duduk bersebelahan, sedangkan Raya dan Siska ada di depan kedua gadis itu.
“Emang sampai kapan kalian belajarnya di rumah?” tanya Raya.
“Katanya cuma satu bulan ini aja," sahut Nita dari dalam sana.
Rena menggeleng cepat. “Mana ada, kata Bu Ana sih nyampe akhir semester ini.”
“What?” Raya praktis membulatkan kedua bola mata. Kalau di sini saja rumornya benar selama itu masa belajar online ini, pasti di kota juga sama.
Sementara saat ini Raya hanya bisa diam di tempat sambil menghela napas, selamat datang hari-hari melelahkan.
“Ah, nggak kebayang nilai gue anjlok sampai ke akar-akarnya.”
“Yang penting dah gue mah lulus aja udah bersyukur," ujar Siska.
Nita kembali menghampiri teman-temannya di salah satu meja dan duduk di sebelah Raya. Tatapannya mengarah pada Siska yang asik bermain ponsel. Tiba-tiba jiwa penasarannya menguar ke udara.
“Fokus banget. Eh jangan-jangan udah punya doi ya?”
“Banyak dia mah, fuck girl gitu anaknya," ledek Amel.
Siska menegakkan punggung bersiap untuk membalas kalimat sepupunya itu. “Kayak lo nggak aja, lagian gue bukannya mainin hati cowok, tapi lagi memilah dan memilih mana yang beneran tulus.”
“Mantaps, gan.” Raya mengacungkan satu ibu jari di depan wajah Siska, nyaris menyentuh hidungnya.
“Kerja aja dah yuk kita," seru Amel sambil merapikan rambut panjangnya.
“Kerja apaan? Di sini mana ada lowongan buat anak sekolahan?” jawab Siska.
“Bikin channel YouTube aja kuy, sekarang lagi banyak banget tahu yang bikin konten," itu kalimat Nita, dia berseru sangat lantang sambil mengangkat lengan kanannya ke udara.
“Uwah.. boleh juga, bro," sahut yang lain kompak.