“Apa kamu akan terus berdiam di sini, Dit? Gak jadi pulang?” ujar Ranti membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. “Aku sedang menggagumi makhluk indah ciptaan Tuhan. Apa kamu tidak ingin memberi waktu untukku sejenak?”
Ranti langsung tersenyum dan menundukkan kepala, kemudian sudah memutar tubuhnya kembali melangkah. Aku mengikuti dan berjalan beriringan di sampingnya.
“Kamu tambah jago gombal sekarang, Dit.” Ranti kembali bersuara. Aku hanya tersenyum sambil terus berjalan menjejerinya.
“Iya, pacarku yang mengajari.” Lagi-lagi Ranti tersenyum dan melirikku sekilas.
Kami terus berjalan di bawah pepohonan rimbun ini. Sesekali angin bertiup menggoyangkan daun dan membuat bunga-bunga akasia berwarna kuning itu berjatuhan. Aku tersenyum sambil menatap bunga-bunga yang berguguran itu. Ada beberapa helainya yang menempel di rambut Ranti, kemudian gadis itu sudah sibuk mengibaskannya.
Gerak gemulai dengan visual indahnya sungguh menawan hatiku, menghipnotis mataku untuk selalu melihat ke arahnya. Kenapa juga jadi seperti scene drama yang sering aku tonton. Aku melirik Ranti kembali, kulihat tangannya melenggang dengan bebas. Kemudian sengaja aku kikis jarak hingga punggung tanganku bersentuhan dengannya. Pelan aku genggam tangan mungil itu. Aku sudah pernah melakukannya dan sepertinya aku sudah terbiasa.
Namun, tidak bagi Ranti. Gadis manis itu terkejut kemudian melihat ke arahku. Aku hanya mengulum senyum pura-pura tidak melihatnya.
“Kamu keberatan aku gandeng?” tanyaku tanpa melihat ke arahnya.
Ranti tersenyum dan menggelengkan kepala. Aku kembali tersenyum dan merasakan kemenangan tersendiri. Kapan lagi aku bisa melakukan momen seromantis ini dengannya. Mungkin aku harus berterima kasih pada waktu kali ini.
Sayangnya alam kembali tidak bersahabat denganku. Cuaca yang tadinya cerah, tiba-tiba berubah menjadi mendung syahdu. Apalagi kali ini disertai angin. Aku menarik napas panjang sambil mengedarkan pandangan. Jarak kami ke jalan raya utama masih cukup jauh, kalau tiba-tiba turun hujan rasanya kami harus segera mencari tempat untuk berteduh.
Tepat saja dugaanku, belum selesai memindai keadaan. Serta merta rinai kecil air dari langit turun bersama hembusan angin. Aku segera menarik tangan Ranti untuk berlari.
“Ayo, kita berteduh!!” ajakku. Ya ... meski sesungguhnya aku tidak tahu harus berteduh di mana.
Perumahan elit ini, bangunan rumahnya tinggi besar dengan pagar yang menjulang bahkan tidak menyediakan tempat berteduh di depan pagarnya. Hingga akhirnya mataku melihat sebuah bangunan kecil tak berpenghuni, bentuknya seperti pos jaga. Dengan tembok mengeliling sepinggang orang dewasa. Aku segera mengajak Ranti singgah di tempat itu.
“Kamu gak papa?” tanyaku kemudian.
Ranti malah tertawa mendengar pertanyaanku. Aku sontak mengernyitkan alis sambil melihat ke arah Ranti dengan bingung.
“Kok tertawa, sih?” kesalku.
“Kamu lucu, Dit. Udah tahu aku basah kuyup, kamu malah tanya aku gak papa.”
Aku mengulum senyum malu-malu. Lagi-lagi aku membuat gadis pujaanku ini kesusahan. Aku menatapnya penuh penyesalan dan sepertinya dia melihat ekspresiku. Ranti gegas mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku.
“Aku basah kuyup, tapi aku suka, Dit. Aku gak pernah mandi hujan dan baru kali ini melakukannya.”
Aku sontak terbelalak kaget. Aku langsung khawatir saat dia berkata seperti itu. Lalu spontan tanganku terulur memegang dahinya. Ranti langsung terdiam menatapku dengan bingung.
“Kamu gak sakit? Nanti kalau habis hujan-hujan sakit, gimana?” tanyaku dengan panik.
Ranti kembali tersenyum dan meraih tanganku yang memegang keningnya. Ia sudah memegang tanganku kali ini.
“Aku minum obat nanti begitu sampai rumah, gak jadi sakit akhirnya.”
Aku langsung tersenyum mendengar ucapannya. Ternyata waktu telah mengubah gadis kecilku ini menjadi sangat dewasa dan bijaksana. Rasanya aku harus mengucap banyak syukur kepada Tuhan nanti malam.
Kami kini berdiri di bagian tengah bangunan tersebut. Bangunan itu sangat kecil hanya satu kali dua meter saja. Hujan kali ini sangat deras ditambah angin yang sangat riuh. Aku berulang kali mengubah posisi berdiriku agar angin tidak membawa air hujan dan mengenai Ranti. Aku takut gadis pujaanku itu jatuh sakit nantinya.
Namun, yang ada gadis manis di depanku ini malah tersenyum kesenangan saat angin menyapu wajahnya dengan buliran air. Kalau tidak tangannya sudah terjulur keluar menadah air hujan yang jatuh dari genteng. Aku mengulum senyum sambil menggelengkan kepala melihat ulahnya.
“Kamu seperti anak kecil, Ranti,” celetukku dengan gemas.
Ranti terkekeh sambil terus memainkan tangannya menadah air hujan dari genteng. Aku hanya diam memperhatikan. Seragam putih abunya basah kuyup, rambutnya juga bahkan wajah ayunya juga terkena buliran air di sana. Entah mengapa tampilan fisik gadis pujaanku kali ini begitu menggoda dan membuat aku tak bisa memalingkan mata.
Ranti kemudian tersenyum ke arahku, mungkin dia tahu kalau aku sedang memperhatikannya. Ranti bergeser mendekat lalu telapak tangannya yang basah terkena air hujan tiba-tiba ditempelkan ke dua pipiku. Aku sedikit terkejut saat menikmati rasa dingin melalui tangannya, bahkan Ranti malah tertawa melihat reaksiku.
“Gak dingin, Dit?” cicitnya. Aku tersenyum, menggelengkan kepala kemudian merengkuh pinggulnya mendekat ke arahku. Ranti sontak terdiam membisu melihat ulahku. Perlahan tangannya turun dan kini berhenti di bahuku.
“Kamu kedinginan?” tanyaku. Ranti tidak menjawab, tapi dari bibirnya yang biru dan wajahnya yang semakin putih. Jelas menunjukkan kalau dia sedang kedinginan kali ini.
Tanpa bertanya lagi aku langsung menarik Ranti masuk ke pelukanku. Kini bahkan tubuh kami berdiri sejajar saling berdekatan. Aroma bunga, parfum gadis pujaanku ini begitu dekat di hidungku kali ini. Ranti masih menunduk tak berani melihat ke arahku dengan kedua tangannya yang masih menempel di bahuku.
“Sudah cukup hangat?” Aku mencoba memecah keheningan. Hujan kali ini memang sangat deras. Bahkan jalanan yang tidak jauh dari tempat kami berada, tidak bisa kami lihat dengan jelas.
Tidak ada jawaban dari makhluk cantik di depanku ini. Dia hanya menunduk dan tak mau melihat ke arahku. Aku hanya mengulum senyum. Tubuhku yang lebih tinggi beberapa senti darinya memang memudahkan untuk melindunginya dari rasa dingin kali ini.
“Maafin aku, ya. Gara-gara aku, kita jadi terjebak di sini.” Aku kembali bersuara. Aku memang tidak suka berdiam-diaman dalam waktu lama.
Lagi, tidak ada jawaban dari Ranti hanya anggukkan kepala saja. Padahal aku berharap menatap wajah imutnya dengan mata almond yang sangat aku suka itu.
“Aku sayang kamu, Ranti. Aku berharap aku tidak akan mengecewakanmu. Mungkin sekarang aku belum bisa memberi kamu sesuatu yang berarti. Namun, aku janji tidak akan berhenti untuk berusaha.” Aku kembali bersuara. Entah mengapa aku merasa momen ini saat yang tepat untuk mengemukakan perasaanku.
Perlahan Ranti mengangkat kepala, mata kami bertemu dan ini saat yang aku tunggu. Aku tersenyum sambil mempererat pelukanku, membuat gadis pujaanku ini semakin tak berjarak denganku.
“Aku juga sayang kamu, Dit.” Malu-malu Ranti mengatakannya. Entah mengapa seketika aku melihat tomat ceri di pipi mulusnya.
Untuk beberapa saat kami hanya saling diam, bicara melalui mata dan ilmu kebatinan. Hingga tiba-tiba entah mendapat bisikan dari mana, perlahan wajahku mendekat ke arahnya. Bagai mendapat insting, dengan lembut aku sentuh sudut bibirnya dengan bibirku. Terlihat Ranti terkejut dengan ulahku, tapi dia tidak menolak. Aku teruskan mendaratkan bibirku di bibirnya lalu perlahan mengecup dengan hati-hati.
Ini adalah pertama kali bagiku dan pasti pertama kali juga bagi Ranti. Entah apa yang membuat aku si Pria dengan pemikiran konvesional nan kuno berani melakukan penyatuan saliva dengan fasih. Ini bertentangan dengan otakku, tapi sesuai dengan perasaan dan hatiku.
Untuk beberapa detik bahkan menit, kami saling memagut. Banyak rasa yang tertuang kali ini, rindu, cinta, sayang dan tak mau kehilangan. Apa dengan begini, artinya aku tidak akan melepaskan dia? Aku akan selamanya terikat dengannya begitu juga sebaliknya. Entahlah ... aku tak tahu.
Aku tidak tahu harfiah sebuah ciuman sesungguhnya. Namun, menurutku ini sangat sakral dan suci, hanya akan aku lakukan pada orang yang sangat aku cintai. Hanya kepada satu orang yang begitu berarti dalam hidupku. Lalu di kemudian hari nanti berharap dia akan menemaniku hingga ajalku tiba. Akh ... sebegitu berartikah arti penyatuan saliva kami kali ini bagiku. Sungguh ... aku hanya ingin bersama dia, Tuhan.