Aku mengerjapkan mata sambil menatap gadis ayu di depanku ini. Sekali lagi dia menunjukkan statusku di depan temannya tanpa malu. Padahal jelas aku bersekolah di tempat berbeda, bahkan akhir-akhir ini sekolahku terkenal dengan kenakalannya. Kenapa juga Ranti tidak malu.
“Oh ... jadi dia pacarmu. Pantes dari tadi kok ngelihatin aja. Aku sampai GR,” celetuk teman Ranti.
Aku hanya tersenyum, hal yang sama juga ditunjukkan Ranti. Tak lama Ranti menekan bel tanda turun dan aku juga ikut turun, meski ini masih jauh dari rumahku.
“Kok ikutan turun?” tanya Ranti.
Aku hanya tersenyum kemudian sudah berjalan bersebelahan dengannya. “Gak papa, pengen aja. Aku dari tadi mau ngobrol ama kamu, tapi temanmu ---“
Aku menjeda kalimatku saat melihat tawa Ranti. Lagi-lagi aku disuguhkan oleh keindahan visual dari pujaan hatiku ini. Tawa renyahnya dan mata almondnya yang menyipit adalah salah satu hal yang kusuka darinya saat tertawa.
“Maafin Lina, ya? Dia emang gitu kalau ngomong gak ada remnya.”
Aku hanya manggut-manggut sambil terus berjalan beriringan dengannya.
“Kamu mau nganter aku sampai rumah, Dit?” Ranti kembali bertanya.
“Emang gak boleh?” Ranti tersenyum lagi dan menggeleng.
“Enggak. Aku kasihan ama kamu aja. Habis ini harus balik ke sini lagi, terus naik angkot.”
Aku hanya tersenyum meringis. “Gak papa, gak tiap hari ini.”
Ranti hanya mengangguk sambil tersenyum kembali. Aku meliriknya sekilas. Sumpah dilihat dari posisi mana saja dia memang tetap cantik. Beruntung banget sih aku.
“Eh ya, besok sabtu malam minggu aku boleh main ke rumah, gak?” Aku memberanikan diri bertanya. Ya ... meskipun aku sedikit deg degan, takut kalau dia menolakku.
“Ehmm ... sebenarnya ... aku juga mau ngajak kamu, sih.”
Aku seketika terperangah kaget mendengar ucapannya. Kami sudah berhenti berjalan dan berdiri saling berhadapan kini.
“Mau ngajak ke mana?” Aku penasaran. Sumpah, baru kali ini Ranti mengajakku pergi. Lagi-lagi aku selalu kalah start olehnya. Dulu yang confess duluan dia, sekarang yang ngajakin pergi juga dia. Ya ... meskipun aku pernah ngajak bersepeda bareng dulu.
Ranti terdiam sesaat kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Ini. Aku mau mengajakmu ke sini.”
Aku menerima secarik kertas berbentuk stiker dengan aneka gambar dan logo tertera di sana. Aku membacanya sekilas kemudian melihat ke arah Ranti.
“Sekolahmu mau ngadain malam kesenian?” Ranti mengangguk.
“Iya. Kebetulan ada artis ibukotanya juga, itu sebabnya aku mau ngajak kamu datang. Kamu mau, ‘kan?”
Aku tersenyum kemudian melihat ke arah Ranti lagi. “Tentu. Aku mau banget. Acaranya sabtu depan, ya?”
Ranti mengangguk sambil tersenyum, aku melihat mata almondnya terus berbinar. Pasti dia juga sudah menantikan saat seperti ini. Lama banget aku tidak pergi bersamanya sejak kami SMA.
“Oke, sabtu depan aku jemput jam tujuh, ya?” janjiku. Ranti mengangguk dan lagi-lagi ada binar bertaburan bintang di mata almondnya. Sumpah, aku gak mau binar indah itu redup nantinya. Aku janji akan datang kali ini. Bukankah Kak Doni sudah memberi izin jika aku bisa memakai motornya.
Kami kembali melanjutkan perjalanan dengan langkah riang. Rasanya aku tidak sabar menunggu hari sabtu tiba. Aku pasti akan tampil sesempurna mungkin. Ini pertama kalinya aku akan menunjukkan diriku di depan teman-teman Ranti. Jadi aku tidak boleh gagal kali ini apalagi mengecewakannya.
**
Sabtu tiba, sejak sore aku sudah gelisah. Dua hari yang lalu aku sudah bilang ke Kak Doni kalau akan meminjam motornya. Kak Doni bilang mengiyakan, tapi motornya dia pakai dulu paginya. Kemungkinan siang sudah pulang. Namun, ini sudah pukul tiga sore dan dia juga belum datang. Aku menunggu dengan gelisah berharap kakakku itu tidak akan ingkar janji.
Setengah empat sore, aku mendengar suara motor mendekat. Aku pastikan kalau itu motor kakakku. Aku menghela napas panjang begitu melihat kakakku datang.
“Duh, sampai segitu nungguin motor. Sorry, Dit. Banyak kegiatan di kampus tadi,” ucap Kak Doni sambil menyerahkan kunci motor padaku.
“Iya, gak papa, Kak.” Aku tersenyum kegirangan, tapi langsung cemberut begitu melihat motor kakakku super duper kotornya.
“Kak, kok kotor banget, sih,” protesku.
Kak Doni meringis sambil menjawab, “Iya, aku lupa belum dicuci sebulan.”
Aku terbelalak kaget. Akhirnya tanpa banyak bicara, aku langsung ambil ember, selang, sabun dan mulai menyalakan air. Ini kencan perdanaku setelah SMA, masa iya motornya harus sekotor ini. Pokoknya hari ini harus sempurna dan aku tidak mau ada kesalahan sedikit pun. Dengan terpaksa, aku mencuci motor itu sampai kinclong.
Waktu menunjukkan pukul lima dan aku gegas mandi. Aku harus mempersiapkan diriku dengan sangat baik. Kupilih baju terbaik, kurapikan rambutku tak lupa kusemprotkan parfum milikku. Ya ... aku sudah punya parfum sendiri kali ini, tidak nebeng Kak Doni lagi.
“Ciee ... ganteng banget kamu, Dit. Beneran kamu jadi ngapel?” goda Kak Doni begitu aku keluar kamar.
Memang kali ini kedua orang tuaku tidak sedang di rumah, sedangkan Kakak pertamaku dan adikku sedang keluar sejak sore tadi. Hanya aku dan Kak Doni saja yang di rumah.
“Lah iyalah, masa gak jadi lagi.”
“Ya udah, hati-hati. Tadi bensinnya udah aku isi full, jadi kamu gak usah isi. Uangmu pakai buat jajan saja!!”
Seketika aku tersenyum lebar mendengar ucapan kakakku satu ini. Tumben banget dia pengertian dan baik padaku. Padahal dulu yang ada sukanya ngeledekin aku aja.
Pukul enam sore tepat aku keluar dari rumah. Aku sengaja berangkat lebih awal supaya tidak terlambat sampai di rumah Ranti. Ini malam minggu dan kondisi lalu lintas menuju rumahnya biasanya macet luar biasa.
Aku melajukan motor dengan kecepatan sedang. Memang kepadatan lalu lintas luar biasa kali ini. Malam minggu seperti ini memang banyak orang yang ingin menghabiskan waktunya di luar rumah. Aku terus melaju dengan hati-hati dan kini sambil sibuk membayangkan apa saja yang akan kulakukan bersama Ranti. Tak jarang juga aku mengulum senyum kesenangan.
Namun, entah mengapa tiba-tiba motorku berhenti mendadak. Aku terkejut, kemudian mencoba menyalakannya. Beruntung motor bisa nyala dan aku melaju lagi. Namun, kembali hal yang sama terjadi bahkan tidak sekali. Motor jalan beberapa meter lalu berhenti tiba-tiba begitu seterusnya hingga akhirnya berhenti total, tidak bisa dinyalakan.
Aku segera turun dan menepikan motorku. Aku awam banget dengan kendaraan roda dua ini. Memang aku sering melihat Kak Doni, tapi tetap saja aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya diam menatap motorku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Kenapa, Mas? Motornya mogok?” tanya seorang bapak yang berlalu di dekatku.
“Iya, Pak. Gak tahu kenapa. Di sini ada bengkel gak, Pak?”
“Ada, di seberang sana. Coba saja mungkin masih buka,” saran bapak tersebut.
Aku mengangguk kemudian berjalan menyebrang menuju tempat yang ditunjuk tadi. Sedikit lumayan jauh, sih. Namun, aku ternyata belum beruntung. Si Pemilik Bengkel baru saja pulang. Aku menghela napas panjang sambil celinggukan.
“Apa yang harus kulakukan kini?” gumamku. Aku melirik jam di tanganku sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Harusnya aku sudah tiba di rumah Ranti dan mengantarnya ke malam kesenian itu. Namun, kalau seperti ini bagaimana aku bisa ke sana.
“Cari bengkel, Mas?” tanya seseorang saat melihat aku kesusahan.
“Iya, Mas. Ada yang buka?” Aku sedikit senang saat pemuda itu memberi tahu ada bengkel yang buka. Namun, lagi-lagi tempatnya semakin jauh dari rumahku dan rumah Ranti. Aku tidak peduli, asal motorku bisa nyala dan aku bisa ke rumah Ranti, terlambat juga tidak masalah.
Aku berjalan dengan peluh bercucuran menuntun motor hingga sampai di bengkel yang dimaksud. Lagi-lagi keadaan tidak berpihak padaku. Bengkel itu tutup dan aku yang kecewa. Aku terdiam, duduk di pinggir trotoar sambil menyeka peluhku. Aku melirik jam di tanganku, sudah pukul setengah delapan malam.
Mungkin sebaiknya aku menghubungi Ranti sekarang supaya dia tidak gelisah menantiku. Untung saja aku tidak lupa membawa ponselku. Walau butut, tapi dia berfungsi baik di saat seperti ini. Namun, lagi-lagi ponselku juga tidak berpihak padaku. Aku lupa menchargernya karena keasyikan mencuci motor dan bersiap tadi sehingga dia mati total kali ini.
Aku menarik napas panjang sambil menatap langit malam kali ini. Berbarengan kemudian turun hujan rintik yang berlanjut dengan deras. Aku terdiam, tanganku mengepal dengan gigi-gigiku yang saling bergemelatuk menahan amarah.
“Kenapa alam tidak berpihak padaku?”