Awal tahun ajaran baru sudah dimulai. Aku antusias mengikuti ospek yang diadakan sekolahku. Sekolahku kini cukup jauh dan aku harus menempuhnya dengan naik angkot. Inginnya aku berangkat dan pulang sambil mengendarai motor. Namun, motor di rumahku hanya dua. Satu dipakai papaku kerja dan satunya lagi, gantian dipakai kedua kakakku kuliah. Aku yang harus mengalah kali ini.
Hampir dua bulan berselang dan aku selalu naik angkot setiap berangkat dan pulang sekolah. Entah apa yang terjadi di hari ini. Aku sama sekali tidak meminta atau bermimpi aneh semalam. Aku juga tidak memperhatikan kalau angkot yang aku naiki selama ini selalu melewati depan sekolah Ranti.
Siang itu sepulang sekolah, aku sudah naik angkot. Kali ini angkot yang aku naiki sedikit sepi. Mungkin karena aku pulang sedikit terlambat tadi. Karena penumpang angkot tidak banyak, sopir angkot melajukan angkot dengan perlahan dan tiba-tiba berhenti tepat di depan sekolah Ranti.
Aku saat ini sedang asyik melihat keadaan di luar melalui jendela belakang angkot dan sama sekali tidak memperhatikan siapa yang baru saja naik ke dalam angkot. Lalu entah mengapa tiba-tiba aku mengubah perhatianku dan melihat ke sosok yang duduk di depanku.
Aku terkejut setengah mati saat mataku menatap gadis manis nan cantik di depanku. Aku tidak salah tebak, meski gaya rambutnya sudah berubah sedikit panjang dan wajahnya semakin putih bersih. Namun, aku yakin dialah gadis pujaan hatiku yang selalu aku rindukan selama ini.
“Ranti!!” desisku pelan.
Perlahan sosok di depanku mengangkat kepala dan seketika mata kami bertemu. Untuk seperkian detik mata kami beradu. Ini bagai dejavu saat aku pertama kali melihatnya dulu. Kami hanya diam tidak bertutur dan saling diam satu sama lain.
Ranti tidak menjawab panggilanku hanya menunduk bahkan melengos memalingkan wajah. Aku membisu dan bergeming di tempatku. Apa dia marah padaku? Sepertinya wajar kalau dia berbuat seperti itu. Aku yang tiba-tiba menghindar dan menghilang tanpa kabar. Lalu kini tiba-tiba bertemu tanpa sengaja.
Untung saja hanya tiga orang di dalam angkot itu. Aku, Ranti, seorang yang duduk di dekat pintu. Lalu ada seorang lagi duduk di sebelah sopir. Jadi sepertinya mereka tidak akan banyak bertanya dengan apa yang terjadi padaku dan Ranti.
“Baru pulang?” tanyaku kembali. Dari dulu, aku selalu tidak bisa hanya diam dalam waktu yang lama sementara di depanku ada gadis pujaanku.
Ranti tidak menjawab hanya menganggukkan kepala dan tidak melihat ke arahku. Aku tersenyum dan melirik sekilas wajahnya. Sumpah, kenapa gadis manis ini semakin cantik? Dia juga terlihat lebih dewasa dalam setelan putih abu-abu itu.
“Kamu gak les?” Aku kembali bertanya. Otakku sedari tadi terus berputar mencari bahan pertanyaan. Ada banyak waktu yang bisa aku lalui dengan Ranti kali ini dan aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
“Belum mulai.” Akhirnya Ranti menjawab pertanyaanku. Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala sementara mataku terus menatap ke arahnya.
Banyak kerinduan yang ingin sekali aku tuangkan padanya. Andai saja tidak ada orang, pasti akan kutarik gadis manis itu dalam pelukanku dan mendekapnya erat tanpa mau melepaskannya.
Namun, tiba-tiba tangan Ranti terulur ke atas menekan bel tanda turun. Aku menoleh dengan terkejut. Bukankah ini belum sampai rumahnya, mengapa dia turun di tengah jalan? Apa dia ingin menghindar dariku?
Tanpa pamit Ranti langsung turun meninggalkan aku seorang diri. Aku tidak bodoh dan tidak mau membuang kesempatan, aku ikutan turun. Usai membayar, aku mengejar Ranti. Tepat dugaanku kalau dia memang ingin menghindar dariku. Bahkan dia rela berjalan kaki menuju rumah yang jaraknya masih jauh.
“Ranti!! TUNGGU!!!” panggilku setengah berlari. Ranti tidak berhenti malah mempercepat jalannya. Untung saja tubuhku kini semakin tinggi, langkah kakiku juga semakin lebar sehingga aku bisa mencegat dan mencekal lengannya.
“Kamu menghindar dariku, Ranti?” tanyaku kemudian. Ranti terdiam hanya menatapku yang sibuk mengatur udara di dadaku.
“Menurutmu bagaimana? Siapa yang menghindar sebenarnya?”
Aku terdiam dan menundukkan kepala, perlahan aku lepas cekalan tanganku di lengannya. Ranti seakan tahu reaksiku.
“Kemana kamu selama ini? Kamu sengaja menghindar dariku, ‘kan? Memang aku salah apa, Dit? Kamu yang datang di hidupku, kamu juga yang membuat aku membuka hatiku lalu kamu tiba-tiba pergi tanpa sebab. Apa itu memang sifatmu?”
Perlahan aku mengangkat kepala, mataku sendu menatapnya. Ranti hanya diam membalas tatapanku.
“Maafkan aku, Ranti. Aku memang pengecut. Aku terlalu takut untuk mendekat ke arahmu saat aku berada di titik terendahku. Aku pria gagal dan tidak pantas bersanding denganmu.”
Ranti berdecak sambil mengibaskan tangannya ke udara.
“Aku sudah tahu mengenai nilai ujianmu itu. Aku juga sudah tahu tentang kamu yang tidak bisa sekolah di sekolah negeri favorit. Aku tahu semuanya, Dit. Yang aku sesalkan kenapa kamu malah pergi dariku dan sama sekali tidak memberitahuku. Aku malah mengetahui semuanya dari orang lain, dari Erwin. Lalu kamu anggap apa kedekatan kita selama ini?”
Lagi-lagi aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Jawabannya sangat kompleks dan apa mungkin Ranti mau mendengarnya satu persatu.
“Maafkan aku, Ranti. Aku ... aku minder berada di sampingmu. Aku tidak punya sesuatu yang bisa aku banggakan. Apa aku masih bisa berdiri dengan kepala tegak di sebelahmu? Aku malu, Ranti!!”
Ranti menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala berulang. Untung saja jalan tempat kami beradu mulut kali ini sedikit lenggang juga dinaungi banyak pohon rindang.
“Apa aku pernah menuntut sesuatu padamu, Dit? Apa aku juga memintamu untuk menjadi hebat? Tidak, bukan. Aku suka kamu apa adanya. Aku suka kamu yang pemalu, ceroboh dan juga pengecut. Aku suka semua yang ada padamu.”
Ranti terdiam menjeda kalimatnya dan menatapku dengan mata almondnya yang berbinar indah. Kemudian dia tersenyum masih dengan tatapan mata indahnya.
“Aku jatuh cinta padamu, Aditya Samuel. Pria pengecut yang menyebalkan.”
Aku langsung tertawa mendengarnya. Hal yang sama dilakukan juga oleh Ranti. Gadis pujaanku itu kembali tertawa dan sekali lagi aku lihat binar di mata almondnya itu.
“Jadi kamu mau pulang jalan kaki atau naik angkot?” tanyaku kemudian.
Ranti tersenyum sambil melihat ke arahku dengan sorot matanya. “Kamu mau temani aku jalan sampai rumah?”
Aku tersenyum sambil mengangguk. “Sampai ke ujung dunia juga boleh asal sama kamu.”
Ranti tertawa dan menggelengkan kepala. Aku ikut tertawa melihatnya.
“Lalu apa boleh kita lanjutkan kembali cerita kita saat SMP dulu?” Ranti mengulum senyum menatap ke arahku yang berdiri sejajar di depannya, perlahan Ranti menganggukkan kepala menyetujui ucapanku.
Lagi-lagi Tuhan memberi banyak kejutan untukku hari ini. Entah aku harus berterima kasih atau apa, yang pasti sejak hari ini. Aku mulai merajut cerita yang kumulai saat bersama Ranti dulu.