“Kamu ngapain, Dit?” tanya Erwin pagi itu.
Memang sejak keluar dari parkiran tadi aku terus celinggukan sambil melihat ke arah kelas Ranti. Aku tidak menemukan sepedanya di tempat biasa, padahal hari ini sudah siang. Biasanya Ranti selalu berangkat lebih pagi dari aku. Apa mungkin dia tidak masuk sekolah hari ini?
“Eng ... gak. Aku tadi gak lihat sepeda Ranti di parkiran. Kamu lihat dia, gak?” ucapku bertanya.
Erwin tidak menjawab hanya mengendikkan bahu. Aku menghela napas panjang, kemudian gegas meletakkan tas dan berdiri mencoba mencari sosok Ranti lewat jendela kelasku.
Biasanya Ranti terlihat duduk di depan dan kali ini aku hanya melihat Yanti, temannya sedang duduk sendiri di sana. Apa mungkin dia sakit? Hanya itu yang sedang aku pikirkan.
Akhirnya aku putuskan untuk menanyakan ke dua teman Ranti saat istirahat nanti saja. Sepanjang hari ini aku benar-benar tidak bisa kosentrasi, padahal hari-hari mendekati ujian sudah dekat.
Bel waktu istirahat berbunyi, aku gegas ke kantin untuk mencari teman Ranti. Namun, kenapa juga sepasang teman akrab Ranti itu tidak terlihat di kantin. Apa mereka juga sedang mogok jajan kali ini? Aku mendengus kesal dan berjalan masuk kembali ke kelas. Hari ini aku ada ulangan biologi dan aku belum sempat belajar semalam. Itu sebabnya aku lebih memilih mengulang pelajaran biologi daripada harus menunggu kedua teman Ranti itu.
Bagiku tetap study yang nomor satu. Aku tidak mau membuat mamaku kecewa saja, itu prinsipku.
**
“INDY!!!” Setengah berlari aku mengejar teman Ranti bermata sipit dengan kuncir kudanya itu. Aku terpaksa memilih keluar kelas lebih dulu begitu bel tanda pulang sekolah berbunyi. Aku sudah tidak sabar menanyakan keberadaan Ranti hari ini.
Gadis bermata sipit dan kuncir kuda itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku.
“Ada apa?” Mata sipitnya semakin mengecil sambil melihat ke arahku. Aku tersenyum manis menatapnya.
“Ranti mana?” tanyaku to the point.
Sepertinya Indy sudah menebak pertanyaanku kali ini. “Ranti sakit, gak masuk.”
“HEH!!! Sakit? Sakit apa? Tumben banget dia sakit. Biasanya gak pernah sakit,” monologku.
Indy hanya menghela napas panjang lalu tanpa mempedulikan aku sudah mendorong sepedanya keluar gerbang. Aku bergegas mengejar sambil terburu mendorong sepedaku juga.
“Indy, tunggu!!!” seruku.
Sekali lagi Indy menghentikan langkahnya. Ia bahkan urung untuk mulai mengayuh sepeda dan malah melirik ke arahku.
“Ada apa lagi, sih?” Aku menelan saliva membuat jakunku naik turun. Memang suara Indy selalu ketus dan terlihat judes. Namun, meski begitu kata Ranti, Indy sangat baik padanya.
“Eng ... kamu gak ke rumahnya?” Aku bertanya dengan malu-malu.
Indy hanya diam sambil menatapku tak berkedip. Tentu saja aku risih melihat tatapan mata sipit itu yang menghunus tajam ke arahku.
“WOI!!! Aku tanya, kok malah bengong, sih.”
Indy terlihat gelagapan dan entah mengapa aku melihat rona merah bersemu di wajahnya. Ada apa dengan dia? Mengapa dia jadi tersipu malu seperti itu?
“Kamu mau ke sana?” Indy membalik pertanyaanku. Aku tidak menjawab hanya menganggukkan kepala mengiyakan pertanyaan.
“Emang kamu gak berani ke sana sendiri?” Indy kembali bertanya dan kini nada suaranya benar-benar menyebalkan untuk didengar.
“Aku berani, aku hanya gak tahu rumahnya.”
Indy mengulum senyum sambil berulang menganggukkan kepala. “Ya udah. Ayo, aku anterin!!”
Aku langsung tersenyum lebar mendengar ucapannya. Bahkan ingin rasanya meloncat saking senangnya. Namun, akan banyak mata yang melihatku dengan tatapan aneh nantinya. Akhirnya pulang sekolah hari ini aku sengaja bareng dengan Indy. Kami bersepeda beriringan melalui jalan yang sama biasa aku lalui dengan Ranti.
“Emang Ranti sakit apa?” Aku membuka obrolan di tengah perjalanan. Jujur aku tidak suka jika hanya berdiam diri saja.
“Gak tahu. Katanya sih cuman flu. Dia kalau kecapekan emang kayak gitu.”
Alisku mengernyit sambil melirik ke arah Indy. “Kecapekan? Emang dia banyak kegiatan di luar sekolah?”
Indy mengangguk. “Iya, dia kebanyakan les. Lesnya tuh full dari senin sampai jumat hanya hari sabtu minggu saja dia libur. Namun, itu pun selalu digunakan untuk acara keluarga.”
Aku hanya manggut-manggut mendengarkan. Memang aku tidak pernah tahu lebih detil tentang Ranti. Entah mengapa setiap bersama dia, aku selalu lupa menanyakan semua hal tentang dirinya. Aku terlalu asyik menikmati keindahan visualnya dan juga sibuk menata hatiku yang terus bergemuruh karenanya.
“Memang dia berapa bersaudara?” Lagi aku bertanya. Indy langsung spontan menoleh ke arahku dan melihat dengan tatapan bertanya.
“Kenapa juga kamu tidak bertanya sendiri padanya? Kok malah tanya aku, sih?”
Aku menghela napas panjang sambil menatap lurus ke depan. Andai saja Indy tahu kalau aku sibuk sendiri mengatur debaran di dadaku setiap bersamanya. Aku juga selalu melupakan hal-hal sepele seperti itu.
“Aku lupa.” Akhirnya aku memilih menjawab seperti itu saja daripada Indy melihat dengan tatapan menyelidik terus ke arahku.
Kini giliran Indy yang menarik napas sambil berulang menggelengkan kepala. Akhirnya Indy dengan baik menjelaskan kalau Ranti itu tiga bersaudara, dia anak tengah mempunyai kakak perempuan dan adik laki-laki. Ayah dan ibunya sedikit terpandang di kampungnya. Itu sebabnya Ranti tidak bisa bebas bermain seperti anak seusianya.
Dia juga punya jam malam yang wajib ditaati. Jujur, aku sedikit keder saat mendengar penjelasan Indy. Kenapa juga begitu sulit untuk mendapatkan pujaan hatiku? Tidak hanya tembok tinggi yang mengeliligi dirinya yang harus aku hadapi. Perijinan dari kedua orang tuanya juga sepertinya sulit ditembus. Belum lagi jadwal lesnya yang super padat.
Pantas saja aku tidak heran kalau dia sangat pintar dan selalu masuk lima besar di kelas. Aku menghembuskan napas berulang sambil terus mengayuh sepedaku. Hingga tiba-tiba Indy berhenti lebih dulu di sebuah rumah berpagar hitam. Aku ikut berhenti dan melihat ke arah Indy.
“Ini rumahnya?” tanyaku. Indy mengangguk kemudian tersenyum.
Aku menelan ludah sambil memperhatikan sekelilingnya. Kalau dilihat-lihat rumah Ranti yang paling bagus di sepanjang jalan ini. Apa mungkin ada jurang lagi yang membuat aku semakin sulit untuk mendekat ke arahnya. Aku terdiam, sementara jakunku terus naik turun dengan ritme teratur.
“Ayo, masuk!!” ajak Indy.
Aku mengangguk dan berjalan masuk ke dalam rumahnya. Ada mamanya Ranti yang menyambut. Kami sudah dipersilakan duduk di teras. Kemudian tak lama Ranti keluar. Dia sangat terkejut saat melihat kehadiranku.
“Adit!!” seru Ranti dengan mimik wajah terkejut.
“Adit nangis tadi nyariin kamu. Makanya terpaksa aku antar ke sini.” Indy malah bicara ngawur dan aku hanya memelotot melihat ke arah Indy. Padahal sepanjang perjalanan Indy selalu berkata ketus padaku kenapa juga kini ngajak bercanda.
Ranti langsung tersenyum mendengarnya. “Aku cuman flu aja, kok. Besok juga sudah sembuh.”
Padahal aku belum bertanya, tapi Ranti sudah bicara lebih dulu. Aku lebih banyak diam selama di sana. Lagi-lagi gadis manis pujaanku ini selalu tak bisa membuatku berkata apa-apa. Melihat dia dari dekat gini saja sudah senang setengah mati. Ternyata cinta itu sederhana, ya. Cukup berada di dekat orang yang kita suka sudah senang. Andai saja kutahu cinta begitu sederhana, pasti tidak akan kutolak rasa indah ini sejak dulu.