Hari ini lagi-lagi aku mengalami kesialan, entah apa ini karma karena kemarin aku telah menyakiti dua gadis sekaligus. Sepedaku bocor tanpa sebab dan aku harus berjalan jauh untuk menemukan tukang tambal ban. Usai menambal sepeda, aku terpaksa mengayuh dengan kecepatan super. Namun, lagi-lagi kesialan melandaku. Aku terlambat masuk kelas.
“Tumben, kamu telat, Dit. Ada apa?” tanya Erwin.
“Banku bocor, Win. Tahu kenapa, tiba-tiba bocor saja,” jawabku lesu.
Erwin hanya terdiam sambil menatapku iba. Memang aku tampak lusuh hari ini, bajuku basah karena keringat, rambutku juga jadi lepek. Aku bener-bener berantakan hari ini.
“Eh ya, nanti aku izin gak ikut pelajaran Bahasa Indonesia, ada rapat OSIS, Dit.”
Aku mengangguk mengiyakan. Aku memang tahu kalau sahabatku satu itu aktif di organisasi.
“Terus kemarin gimana? Aku denger kamu sudah bilang kalau gak suka ke Melan?”
Aku terkejut dan menoleh cepat ke arah Erwin. Kenapa juga kabar tentang aku begitu cepat tersebar. Apa aku setenar itu di sekolah?
“Kok tahu, Win?”
“Melan yang cerita ke genk-nya. Masa kamu gak tahu. Dia itu cita-citanya jadi artis. Jadi segala sesuatu tentang kehidupannya langsung dia share ke publik. Aneh, ya.”
Aku hanya meringis sambil mengangguk. Aku sedikit bersyukur mendengar kabar ini. Dengan begitu Ranti tahu kalau antara aku dan Melan tidak ada apa-apa. Aku juga berharap dia tidak salah sangka dengan kejadian kemarin. Akh ... aku harap saja seperti itu.
Akhirnya aku mengikuti pelajaran hari ini dengan suka cita, hingga tiba saatnya pelajaran Bahasa Indonesia. Seperti biasa setiap pelajaran Bahasa Indonesia, kami diminta duduk sebangku cewek cowok. Entahlah, dapat aturan dari mana guru Bahasa Indonesiaku ini, yang pasti kadang membuat aku sebal karena harus duduk dengan gadis yang tidak aku suka. Namun, sepertinya itu tidak berlaku hari ini.
Aku sendiri tidak tahu mengapa hari ini banyak teman sekelasku yang tidak masuk, sehingga banyak bangku kosong ditambah lagi ada beberapa anak yang harus izin rapat OSIS seperti Ana, Erwin dan juga Arik.
Kali ini aku duduk sendiri di belakang, entah ke mana perginya Yanti pasanganku yang genit itu. Sepertinya dia juga tidak masuk sekolah hari ini. Ranti juga duduk sendiri di depanku karena Arik harus ikut rapat OSIS. Kami sudah mulai pelajaran saat tiba-tiba Bu Heni, guru Bahasa Indonesia memanggilku.
“Adit!! Coba kamu pindah duduk depan sama Ranti, biar Ibu lebih mudah mengawasinya,” ujar beliau.
Aku hanya diam dan hampir tak percaya dengan ucapan guru Bahasa Indonesiaku itu.
“Saya, Bu?” tanyaku mengulang perintahnya.
“Iya, di sini yang namanya Adit siapa lagi kalau bukan kamu.”
Aku nyengir kuda sambil menganggukkan kepala. Kemudian langsung berdiri sembari membawa buku dan alat tulisku lalu duduk di sebelah Ranti.
“Permisi, ya,” ucapku basa basi.
“Iya.” Ranti sudah menyilahkan aku duduk di tempat Ana.
Aku menyiapkan buku dan alat tulis di meja kembali. Kini aku fokus mendengarkan Bu Heni menerangkan di depan. Namun, kenapa juga mataku malah terus melirik ke gadis di sebelahku. Jantungku terus berdebar tak tentu dan kurasakan ritmenya semakin cepat dari biasanya.
Sesekali aku melihat Ranti lewat sudut mataku. Gadis itu tampak diam memperhatikan depan, tangannya sesekali mencatat sesuatu dengan bibir mungilnya yang bergerak menggemaskan. Sungguh, ini pemandangan paling indah dalam hidupku. Tanpa sadar aku mengulum senyum, aku juga sangat terhibur dengan aroma parfum bunganya. Biasanya aku tidak bisa menghirup sejelas ini, tapi saat aku di sisinya aku bisa menikmati aroma tubuhnya dengan sempurna.
“Dit!!!” Panggilan Ranti membuyarkan lamunanku.
Gadis manis di sebelahku ini sedang menoleh ke arahku, hal yang sama juga aku lakukan bahkan mataku terus lekat menatapnya. Dia terlihat risih dan buru-buru menundukkan kepala.
“Ada apa?” ucapku mencoba memecah keheningan kami.
“Eng ... gak papa. Aku hanya mau tanya yang baru diterangkan Bu Heni. Kamu catat?”
Aku tersenyum dan spontan menggelengkan kepala. Memang sedari tadi aku hanya sibuk memperhatikan Ranti, jadi tidak tahu apa yang sedang dijelaskan Bu Heni.
“Oh ... gitu. Aku pikir kamu catat tadi.” Ranti gegas memutar wajahnya dan kembali fokus ke depan.
Mataku masih mengawasinya dan mengulum senyum sendiri memperhatikan ekspresinya yang malu-malu.
“Tapi kalau kamu mau tanya tentang majas hiperbola tadi, aku tahu sedikit-sedikit,” lanjutku.
Ranti terkejut, mengernyitkan alis dan kembali menoleh ke arahku. Aku tersenyum kesenangan, tidak sia-sia semalam aku membaca buku pelajaranku. Kini dia kembali memberi aku perhatian.
“Berarti kamu tahu apa jawaban dari pertanyaan ini?” Ranti kini menunjuk ke sebuah soal di LKS Bahasa Indonesia.
Aku melihatnya, membaca sekilas kemudian mengangguk. Aku memang sudah mengerjakannya semalam. Sedikit sombong kali ini aku menunjukkan hasil jawabanku. Ranti membaca tulisanku sambil mengulum senyum. Aku yakin dia pasti mau memuji tulisanku seperti kapan hari lagi.
“Kenapa? Gak bisa baca tulisan dokter, ya?”
Ranti tersenyum lagi sambil mengangkat kepala dan melihat ke arahku. Lagi-lagi mata kami bertemu dan kenapa jantungku terus berdebar tak tentu.
“Tulisanmu bagus, bisa dibaca, kok. Gak seperti tulisan dokter.”
Tuh, kan bener tebakanku. Dia muji tulisanku lagi. Terang saja dong aku kesenangan, hatiku sudah berbunga-bunga tak karuan. Sesuatu yang paling indah itu memang dipuji oleh orang yang kita sukai.
“Baik, anak-anak kerjakan LKS hal 23 sampai 28. Setelah itu dikumpulkan, Ibu tunggu di ruang guru.” Bu Heni langsung memberi perintah mengakhiri penjelasannya.
Sontak seluruh penghuni kelasku sudah riuh berkomentar. Untung saja aku sudah mengerjakannya sebagian semalam, jadi rasanya tidak kesulitan untuk mengerjakan lanjutannya. Akhirnya aku mengerjakan sisanya, hal yang sama juga dilakukan Ranti.
Hanya saja kini aku benar-benar tidak bisa fokus. Gadis di sampingku ini begitu indah dan menyita banyak perhatianku. Mata dan benakku terus ingin melihat ke arahnya, tapi rasanya tidak mungkin jika aku terus menerus memperhatikannya. Hingga akhirnya semua jawabanku banyak yang salah.
Aku menghela napas panjang saat tahu kalau jawabanku salah. Tanpa menoleh aku meraih stipo yang tergeletak di sebelahku. Tidak kusangka di saat berbarengan, Ranti juga menggapainya. Alhasil tangan kami bertemu dan tanpa sengaja aku memegang tangannya. Ranti terkejut, mengangkat kepala dan bersamaan mata kami bertemu lagi.
Ada banyak getaran aneh dan rasa yang tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Sumpah, dia memang makhluk ciptaan Tuhan paling indah yang pernah aku lihat.
“Kamu duluan saja, Dit.” Suara Ranti membuyarkan lamunanku sembari menarik tangannya dari genggamanku. Aku sedikit malu kemudian gegas melepaskan tangan Ranti dan berganti mengambil stipo yang berada di dekatku.
Dengan gugup, aku menggunakannya lebih dulu. Tanganku sampai gemetar saking menahan getaran indah yang menyusuri seluruh hatiku. Aku bahkan masih bisa merasakan halus kulit tangannya. Sungguh kalau bisa gak akan aku cuci ini tangan. Apa seindah ini cinta? Cinta pada makhluk cantik yang diberi nama Ranti Adinda. Sungguh, aku suka kamu, Ranti.