Aku meraup kasar wajahku dengan guyuran air yang mengalir. Entah mengapa hari ini aku tidak fokus dengan pelajaran. Apalagi sejak Ranti pindah duduk di depanku. Apa begini namanya orang jatuh cinta? Ya elah ... kenapa juga aku mau ketawa setiap mengatakan hal itu? Aku selalu menganggap ini hal yang lucu. Aku masih terlalu muda, kenapa juga malah mengenal cinta. Apa ini juga yang dinamakan cinta monyet?
Aku geli sendiri, menertawakan kekonyolanku. Baru kali ini aku merasa aneh dan penyebabnya adalah karena sesuatu yang tak terduga. Yaitu cinta ... monyet.
“Dit, lama banget kamu di toiletnya. Ngapain aja?” tanya Erwin begitu aku tiba di kelas.
“Iya, antri,” bohongku. Aku sengaja berkata seperti itu agar Erwin tidak menaruh curiga padaku. Padahal tadi banyak ngelamunnya dari pada antrinya.
Tiba-tiba Erwin bangkit dari duduknya seakan bersiap hendak pindah. Ia bahkan membawa beberapa bukunya. Tentu saja aku heran melihatnya.
“Kamu mau ke mana, Win?”
Erwin berdecak. “Makanya kalau ke toilet jangan lama-lama. Kamu gak tahu tadi ada pengumuman lagi. Kita disuruh duduk sebangku cewek cowok selama pelajaran Bahasa Indonesia.”
“HAH!!! Lagi?”
“Iya. Aku pindah di situ, duduk ama Nani.”
“Terus aku duduk ama siapa?” tanyaku sambil menunjuk hidung.
Erwin tertawa meringis sambil matanya melirik ke arah Yanti yang duduk di seberangku. Aku menoleh dan melihat Yanti, salah satu temanku yang paling genit di kelas sudah berdiri di sampingku.
“Hallo, Adit Sayang. Mulai hari ini selama pelajaran Bahasa Indonesia, kita duduk bareng, ya!!”
Busyet!!! Pakai manggil sayang segala, emang mau ngapain. Aku hanya mengangguk dengan lemas kemudian menyingkir sebentar agar Yanti duduk di tempat Erwin tadi.
Aku kembali duduk di tempatku dan mengedarkan pandangan ke segala arah. Aku hampir lupa kalau aku sudah tidak melihat Ranti duduk di depanku. Kira-kira dia duduk di mana? Aku celinggukan mencoba mencari sosoknya.
Sontak aku terperangah kaget saat melihat Ranti malah duduk dengan Arik dua bangku di depanku.
HAH!!! Kok bisa Arik duduk ama Ranti?? Lagian kok Ranti mau, kok gak duduk ama aku aja. Wah!!! Wah!! Gak bisa, nih. Pasti ada sekongkolan. Bukannya Andri yang biasanya duduk ama Arik dan mereka berdua memang sahabatan. Apa mungkin juga Andri yang mengaturnya? Sialan!!!
Akhirnya sepanjang pelajaran Bahasa Indonesia, aku hanya bisa diam dan lagi-lagi tidak fokus. Otakku malah sibuk berpikir apa yang sedang dibicarakan Ranti dan Arik. Kenapa juga mereka berdua hanya diam-diaman? Apa mereka sama-sama suka sehingga bersikap seperti malu-malu kucing begitu?
Waduh!!!! Kenapa juga pelajaran Bahasa Indonesia ini terasa lambat jalannya? Kenapa juga aku tadi pakai acara ke toilet? Kalau aku gak ke sana, aku pasti bisa mencegah Ranti duduk bareng Arik?
Lama-lama aku capek dengan hati dan pikiranku. Di usia yang masih dini, aku sudah berasumsi yang aneh-aneh. Sibuk memikirkan sebuah kondisi yang akan terjadi selanjutnya. Duh, kok bisa aku jadi seaneh ini. Aku sendiri gak ngerti. Bisa jadi juga gara-gara makhluk indah di kelasku bernama Ranti Adinda.
Pukul 3 sore saat jam pelajaran berakhir. Aku bernapas lega terbebas dari si Genit Yanti. Sepanjang perlajaran tadi kupingku terus berdengung karena sibuk mendengar ocehannya. Padahal burung murai di rumahku tidak cerewet seperti dia.
“Aku pulang dulu ya, Adit Sayang. Sampai bertemu lagi besok,” pamit Yanti.
“Iya, pulang yang jauh sana!!”
Aku bergidik geli tiap Yanti memanggilku ‘sayang’. Emang ada hubungan apa dia sampai manggil aku ‘sayang’. Geli bin risih dah pokoknya.
Aku bergegas memasukkan semua buku ke dalam tas kemudian melihat ke arah Ranti yang juga sibuk berkemas. Aku mempercepat gerakanku supaya aku tidak ketinggalan dia. Tiba-tiba dia berdiri, siap meninggalkan kelas, aku juga ikut berdiri siap menguntit. Entahlah aku tiba-tiba ingin jadi bayangannya kali ini.
Ranti sudah berpamitan kepada Ana dan berjalan gegas meninggalkan kelas. Aku juga siap ngeloyor pergi, tapi tiba-tiba ada yang menarik tas punggungku membuat aku berhenti di tempat. Aku merengut kesal dan menoleh ke belakang.
Ada Erwin dan Daniel, teman sekelasku yang sudah tertawa cengengesan.
“Apaan, sih?” protesku kesal.
“Kamu mau ke mana? Pulang? Kamu lupa kalau hari ini ada latihan futsal, Dit?”
Aku terdiam dan mengerjapkan mata berulang. Kenapa juga aku melupakan hal itu. Padahal ini adalah salah satu kebiasaanku dan juga hobbyku. Sekali lagi gara-gara makhluk indah ciptaan Tuhan itu, aku melupakan aktivitasku.
“Eh, iya. Aku inget, kok. Aku mau ke kantin dulu. Laper!!” Sekali lagi aku berbohong.
Dengan bergegas aku berlari keluar kelas, mataku sudah beredar mencoba mencari sosok cantik penghuni kelasku itu. Kemana dia? Kemana Ranti? Apa sudah pulang? Pulang sama siapa? Sama Arik lagi?
Kembali benakku yang berasumsi seenak sendiri dan kini malah menyulut rasa amarah yang aneh di dadaku. Sengaja aku berjalan menuju parkiran. Memang kebanyakan murid di sekolah ini menggunakan sepeda angin untuk berangkat dan pulang sekolah, termasuk aku dan Ranti.
Aku menghentikan langkah begitu tiba di parkiran. Suasana sedang riuh dan ramai sangat sulit rasanya menemukan makhluk cantik itu di sini. Aku menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Entah kenapa tiba-tiba aku pusing, mataku berkunang-kunang dan aku takut kalau tiba-tiba pingsan.
Aku membalikkan badan begitu cepat dan tak melihat kalau sudah menabrak sosok di depanku.
BRUK!!!
Tak ayal sosok di depanku terkejut dan semua buku yang sedang ia bawa berhamburan jatuh ke tanah.
“Eh, maaf. Aku gak lihat,” ucapku.
“Iya, gak papa, kok,” jawab sosok itu. Sontak aku terbelalak kaget, kenapa aku merasa mengenal suaranya. Pelan aku mendongakkan kepala dan melihat makhluk manis itu berdiri sangat dekat di depanku.
“Ranti!!” seruku lirih.
“Iya.” Sosok cantik itu tampak kebingungan melihatku dan dengan begonya aku hanya terdiam, bengong mengamatinya.
Kenapa juga jantungku malah ngajak marathon sekarang dan napasku tiba-tiba sesak. Sumpah, aku mau mati rasanya kalau tidak ada Erwin yang tiba-tiba menepuk bahuku.
“Dit!!! Buruan ditunggu anak-anak.”
Aku menoleh dan melihat Erwin sedang berdiri di depanku. Sementara Ranti sudah menunduk mengambil beberapa bukunya yang jatuh. Alih-alih menjawab teguran Erwin, aku malah ikut merunduk membantu Ranti mengambil bukunya.
“Maaf sekali lagi, ya. Aku gak lihat tadi,” ucapku berbasa-basi sambil menyerahkan buku Ranti.
Ranti tersenyum dan sumpah semut bakalan nyamperin begitu melihat senyumnya. Manis banget dan gak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
“Iya, gak papa, kok.”
Ranti menerima bukunya dan bergegas pergi meninggalkan aku. Aku hanya diam menatap kepergiannya. Kenapa juga aku merasa separuh jiwaku ikut melayang dibawa pergi olehnya? Apa cinta seindah dan seaneh ini bagi seorang anak laki-laki yang menginjak remaja? Sungguh dia memang sangat indah dan menjadi makhluk terindah di mataku.