Amara menatap adik kelasnya itu dan bertanya,” Ada apa?”
“Kakak dipanggil ke ruang TU,” ucap remaja dengan rambut terurai itu.
Amara hanya mengangguk, gadis itu segera berjalan menuju ruang TU. Ia pikir karena murid baru makanya di panggil.
Amara mengetuk pintu dan seorang wanita berbadan tambun dengan kacamata lebar menoleh. “Kamu Amara siswa baru?”
“Iya, Bu.” Amara melihat pria yang kini sedang duduk di depan seorang pria yang sepertinya sedang marah pada siswa itu.
Amara mendapatkan seragam sekolah baru, setelah urusan selesai ia keluar dari ruang guru dan bersamaan dengan pria yang tadi sedang dimarahi.
“Apa Lo lihat-lihat,” kata siswa itu dengan menatap tajam Amara.
Amara hanya diam dan kembali melanjutkan jalannya, tapi hal itu membuat pria yang tidak lain Arga itu merasa begitu kesal.
Selama ini tidak ada yang acuh pada dirinya, tapi melihat siswa baru itu begitu berani mengacuhkannya.
Arah mencekal tangan Amara membuat gadis itu berhenti dan membalikkan badan.” Ada apa, bukannya kita tidak saling kenal?”
“Lo itu hanya anak baru, jangan sok Lo!” kata Arga dengan tatapan tajam.
Amara tersenyum tipis, ia kembali melanjutkan jalannya. Hal itu membuat Arga marah dan melampiaskan dengan menendang tong sampah hingga isinya berserakan. “Cih, Lo belum tahu berhadapan dengan siapa.”
Arga kembali berjalan menuju ke kelasnya, pria itu melihat anak baru tadi duduk di bangku tempatnya duduk.
Siswa lain yang melihat kedatangan Arga langsung panik. Begitu juga dengan Salma. Gadis cupu itu langsung menarik Amara untuk duduk di sampingnya.
“Lo kenapa?” tanya Amara heran.
“Kursi yang lo tempati punya Arga,” bisik Salma.
Amara melihat sekitarnya, tidak lama Arga berjalan dan langsung duduk di kursi yang ditempatinya tadi.
Kini gadis itu paham, setelah hampir empat jam belajar. Akhirnya bel pulang berbunyi.
Semua murid berhamburan keluar dari kelas masing-masing. Begitu juga dengan Amara. Ia berjalan beriringan dengan Salma.
“Gue duluan, Amara.”
“Iya lo hati-hati,” balas Amara langsung diangguki oleh Salma.
Setelah mobil sahabatnya itu sudah tidak terlihat lagi, barulah Amara menuju parkiran motor. Namun, langkahnya terhenti saat melihat rombongan Arga dan cs duduk di motor kesayangannya.
“Awas gue mau ambil motor, “kata Amara.
Arga menatap dingin pada Amara, Pria itu memperhatikan motor yang kini sedang diduduki oleh Farhan.
“Ini motor lo?” tanya Farhan dengan tersenyum devil.
Amara menatap tiga pria di depannya, jujur ia sudah begitu malas untuk berdebat. Namun, tidak ada cara lain.
Amara mendorong Farhan hingga remaja itu jatuh, hal itu membuat semua yang berada di perkiraan begitu terkejut atas aksi dari anak baru.
“Lo!” seru Farhan menatap tajam pada Amara.
Amara hanya acuh dan segera mengendarai motornya, tapi lagi-lagi gadis itu harus menghentikan motornya karena ulah Arga.
“Apa?” Amara menatap Arga dengan tajam.
Arga terdiam, entah kenapa ada rasa takjub saat ada siswa yang menantangnya. Apa lagi Amara adalah siswa baru di sekolahnya.
Melihat Arga melepaskan stang motornya, Amara langsung melajukan motornya dengan mulut tidak berhenti merutuki teman satu kelasnya itu.
“Menarik,” kata Arga lirih.
Farhan dan ketiga temannya saling pandang, mereka yakin ada yang salah dari sahabatnya itu. Arga sosok yang dingin bahkan tidak pernah terlihat jalan dengan wanita.
“Lo nanti malam jadi ikut, Ga?” tanya Farhan.
“Jam berapa?” tanya Arga dengan berjalan menuju motor sportnya.
“Jam satu malam, satu lagi ada satu orang yang ikut bergabung malam ini,” kata Farhan.
Arga hanya mengangguk, pria itu segera melajukan motornya. Sedangkan ketiga sahabatnya segera mengikuti.
***
Tepat pukul tiga Amara sampai di kediaman sang Kakek, gadis itu segera turun dari motor kesayangannya.
Amara saat akan masuk rumah, gadis itu langsung menghentikan langkahnya saat mendengar suara mobil berhenti tidak jauh dari motornya.
“Kenapa jam segini sudah datang?” Amara bermonolog sendiri.
Shaka yang baru keluar dari mobil menoleh pada Amara, pria itu tanpa menyapa langsung menuju ke masjid.
Amara hanya menaikkan bahunya saat melihat pria itu acuh padanya, ia berpikir itu tidak penting. Saat masuk rumah ia tersenyum melihat neneknya sedang sibuk di dapur.
“Assalamualaikum, Nenekku yang seksi,” sapa Amara.
“ Waalaikumsalam. Dasar bocah edan,” sungut Rania mendengar ucapan cucunya.
Amara terkekeh, gadis itu langsung memeluk neneknya yang sedang membuat kue kering. Sedangkan Rendra melihat istri dan cucunya hanya tersenyum.
Rania hanya dengan Amara menjadi bar-bar, Cucunya itu begitu suka menggoda neneknya. Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Ia yakin Shaka sudah berada di masjid.
Rendar segera beranjak dari duduknya untuk menuju ke kamar, Rania melihat suaminya masuk kamar segera menyusul. Sedangkan Amara menuju ke kamar untuk berganti baju dengan kaos oversize dan hotpants sepaha. Ia keluar dari kamar dan langsung membuka kulkas. “Yah, es creamnya habis.”
Amara segera keluar rumah, gadis itu menuju minimarket depan rumah kakeknya. Saat sampai ia langsung mengambil es cream dua rasa. Kini gadis rambut panjang itu sedang mengantri.
“Semua 78.000 ,” kata kasir setelah menghitung belanjaan Amara berisi es krim saja.
Amara tersenyum, tapi senyum itu langsung hilang saat ia lupa tidak membawa uang. “Mbak bisa bayar nanti enggak, saya lupa membawa uang?”
“Kalau tidak ada uang jangan sok beli banyak!” kata kasir itu ketus.
Wajah Amara memerah karena malu, keributan terjadi dan beberapa pengunjung mencemooh gadis itu. Tidak jauh dari sana seorang pria mengenakan baju koko warna biru tua merasa penasaran akan keributan yang terjadi di meja kasir.
“Maaf, Bu. Ada apa ya?” tanya pria yang tidak lain Shaka.
Shaka selesai shalat ashar pergi ke minimarket karena merasa haus, tapi baru saja masuk sudah terdengar suara ribut.
“Itu Mas, ada anak beli es cream banyak, tapi lupa tidak membawa uang katanya,” jawab ibu-ibu itu.
Shaka mengangguk, pria itu menerobos kerumunan para pengunjung, mata pria itu membulat melihat siapa yang sedang menunduk di depan kasir.
“Asal kamu tahu barang yang sudah dihitung tidak bisa dikembalikan lagi,” kata Kasir itu dengan suara ketus.
“Apa saya boleh pulang dulu, rumah saya dekat, Kak?” tanya Amara dengan tatapan sendu.
“Kamu pikir ini minimarkets nenekmu!” seru kasir itu dengan menatap tajam pada Amara.
Shaka menarik napas panjang dan segera menghampiri Amara,” Sayang kamu di sini, apa sudah selesai beli es krimnya?”
Amara menoleh, “Ustaz.”
Shaka tersenyum menatap Amara dan bertanya, “Berapa semua belanjaan istri saya, Mbak?”
“78.0000, Mas,” jawab wanita itu langsung merubah raut wajahnya melihat betapa tampannya pria di depannya.
Amara menatap tidak percaya akan apa yang didengarnya barusan, Shaka bilang dirinya adalah istrinya. Gadis itu mengedikkan bahunya ngeri. Membayangkan saja belum pernah.
Shaka setelah selesai membayar segera menarik tangan Amara untuk keluar dari minimarket tersebut.
“Pak Ustaz kenapa tadi bilang begitu?” tanya Amara sambil duduk di kursi yang berada di depan minimarket bersama Shaka.
Shaka menoleh dan kembali lagi melihat mobil dan motor berlalu lalang di depannya, pria itu beranjak dari duduknya dan berkata, “Jangan lupa bada magrib kamu harus sudah berada di masjid untuk belajar mengaji.”
Amara memelototkan bola matanya, gadis itu masih begitu shock mendengar apa yang dikatakan Shaka barusan. Diperhatikannya pungung yang kian menjauh itu."Apa benar pria itu yang menjadi guru ngaji gue?"