Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pelukan Ibu Guru
MENU
About Us  

Pintu kamar rumah sakit terbuka perlahan. Seorang wanita muda melangkah masuk tanpa suara, berbalik, lalu menutup pintu dengan sepelan mungkin. Pakaiannya rapi, kemeja putih dengan celana panjang hitam, dan jas hitam dengan motif kulit macan di dalam, hanya terlihat sedikit di bagian lipatan. Rini, teman sekaligus rekan seperjuangan Lidia dalam usaha mendidik ratusan anak-anak. Tangan kirinya memegang setumpuk kertas dan buku, seperti kebanyakan orang di lingkungan kerja mereka berdua. Di ranjang, Lidia tersenyum tipis, walau sang wanita belum menghadapnya. 

Saat keduanya saling menatap, Rini tersenyum lembut, namun tersirat kesedihan di balik ketabahan yang dibuat-buat. 

Masih tanpa suara, ia duduk di sebuah kursi kecil di sebelah ranjang Lidia, menumpuk kertas-kertas itu di pangkuannya, dan membalik beberapa lembar kertas sebelum menarik sebuah amplop coklat dan diletakkan di atas tumpukan itu. 

'Anak-anak banyak yang terkena luka bakar, tapi hampir semuanya kembali ke sekolah.' Ujarnya, sebelum menarik nafas panjang dan menundukkan kepala. Sesaat kemudian, ia mengangkat kepala dan menatap Lidia dengan tatapan cemas. Sudah jelas ini kabar buruk, dan entah mengapa, setengahnya sudah melintas di benak Lidia. Kemungkinan yang tak akan pernah mau didengarnya, tapi terasa begitu masuk akal saat ini. 

Sambil menelan ludah, Rini menarik amplop di pangkuannya dan menyodorkannya kepada Lidia. Dengan tatapan waswas, dibukanya amplop itu, dan terpaksa langsung menggigit bibirnya saat membaca tulisan yang tercetak tebal di bagian atas kertas. 

'Aku keluar?' Tanya Rini dengan suara tertahan. Ia tahu, sahabatnya itu tak pernah mau menangis di depan siapapun, bahkan teman terdekatnya sekalipun. Sambil menutup mata, Lidia mengangguk pelan. Lima detik kemudian, pintu kamar kembali tertutup, menyisakan Lidia yang menatap selembar kertas itu dengan air mata yang masih di pelupuk matanya. 

Perlahan, ditariknya keluar seluruh kertas itu, memperlihatkan nama anak malang yang harus meregang nyawa di bawah runtuhan atap sekolah yang terbakar. 'Theus Rama Aditya.' Seketika, air mata Lidia berlinang dan jatuh membasahi bantal di bawah kepalanya. Terbayang sosok anak laki-laki kurus kering yang setiap harinya masuk sekolah dengan setengah berlari dan tas punggung yang nyaris setengah dari tingginya. Anak yang selalu duduk di sampingnya saat teman-temannya bermain, meminta pelukan hangat atau duduk di pangkuannya. 

Dulu, saat Theus kelas satu SD, Lidia pernah kewalahan menenangkan kelas mereka. Berkali-kali ia berusaha menarik perhatian mereka, dengan sapaan ramah ataupun dengan panggilan yang nyaris harus diteriakkan agar bisa menyaingi suara mereka, namun tetap saja murid-murid itu tak bergeming, dan asyik dalam pembicaraan dan permainan mereka sendiri-sendiri. Ketika akan mencoba memanggil mereka sekali lagi, suatu rasa sakit menyeruak, dan ia terdiam di depan kelas memegangi dadanya, tak bisa bernafas. Hampir lima menit ia di sana, sementara murid-murid terus berbicara, sampai satu persatu mereka menyadari ada sesuatu dan terdiam menonton gurunya, penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya. 

Memang tak ada apa-apa yang terjadi selanjutnya, dan kelas kembali berlanjut dengan kondisi yang sama persis dengan sebelumnya. Lidia juga tak pernah mengetahui apa yang saat itu terjadi pada dirinya, namun teringat jelas di benak Lidia apa yang terjadi saat bel istirahat berbunyi. Tentu saja, seluruh kelas kosong dalam sekejap dan murid-murid itu segera tersebar ke segala penjuru sekolah. Lidia terduduk di kursi guru dan memeriksa pekerjaan rumah mereka. 

'Bu, ibu tidak apa-apa?' tanya suara kecil yang berasal dari seorang anak laki-laki pemalu yang selalu duduk di ujung paling kiri, dua baris dari belakang. Lidia tersenyum sambil menggeleng. 'Ibu saya dulu pernah begitu bu.' ujarnya lagi. 'Setelah begitu, ibu tidur.' Lidia mengangguk, tetap tersenyum, tak mengerti maksud dari anak itu. Tiba-tiba, tanpa disangkanya, Theus mengulurkan kedua tangannya. Walau kaget, Lidia mengangkat anak itu ke pangkuannya, dan langsung saja si bocah melingkarkan tangan ke belakang lehernya. Lidia terdiam sambil memeluk anak laki-laki itu, sebelum melepaskannya setelah beberapa detik. Si anak dengan secepat kilat meluncur turun dari pangkuannya dan berlari keluar kelas sambil tersenyum lebar. Entah kenapa, Lidia melihatnya menghapus matanya sebelum berbelok di ujung lorong. Diam-diam, diintipnya label nama di meja tempat si bocah itu duduk. Theus. 

Lidia kembali melanjutkan membaca, dan saat di kolom keluarga, ia menahan napas. Di bagian keluarga dan kerabat, surat itu kosong, tak tersentuh tinta. Dan di bagian pendamping, terulis namanya, Lidia Prayana. Walau air mata tak terhenti, ia mengerutkan alisnya. Apa maksud dari ini?

Diambilnya lagi amplop coklat itu dari atas selimut, dan terlihat sebentuk kertas kecil di bawahnya. Dengan hati-hati, ditariknya kertas itu, yang ternyata adalah selembar kertas putih yang dilipat empat kali. Di depannya adalah tulisan Rini, 'Li, Theus ternyata anak yatim sejak dulu, beberapa bulan lalu ibunya meninggal karena serangan jantung. Guru yang paling dekat dengannya adalah kamu. Dia hidup di jalanan meneruskan usaha ibunya  berjualan koran. Ini surat terakhirnya, ditulis di rumah sakit sebelum infeksi.' Setelah menarik napas panjang, Lidia membuka lipatan kertas itu, dan terlihatnya coretan khas anak SD kelas 1 yang penuh warna, namun membentuk sebuah kalimat. 

'Aku mau ketemu bu Li. Bu Li cepat sembuh. Bu Li jangan tidur. Aku sayang Bu Lidia.' Spontan, Lidia mengangkat tangannya yang masih terbalut perban untuk menutup mulut, lupa bahwa rasa sakit akan langsung menusuk. Namun, tak dipedulikannya perih di tangannya, karena pedih terus mengiris di dalam dadanya. Entah berapa lama ia dalam posisi itu, sampai sebuah suara kecil terdengar. 

'Bu Li' Lidia membalik badan, tetapi sumber suara itu tak kelihatan. 

'Bu Lidia!' Suara itu semakin keras, sampai makhluk kecil setinggi lututnya berlari sekencang mobil balap dan langsung menerjangnya. Saat terjatuh ke belakang, Lidia mendekap anak itu erat-erat. Ia tersadar bahwa ia tak lagi berada di ranjang rumah sakit, tak lagi terbalut perban, dan juga tak memegang surat dari anak didiknya itu. Entah di mana dia, dan entah bagaimana ini terjadi, namun tak lagi penting hal-hal ini. Terasa rambut lebat Theus di bawah dagunya, dan kedua tangan kecil yang berusaha memeluknya kembali. 

Saat akan menunduk untuk menatap sang anak, pandangan Lidia terjatuh pada tempatnya terduduk. Di bawahnya bukan lantai, tidak keras, tidak juga lembut. Warnanya nyaris putih, namun terselip warna-warna lain dengan corak tak beraturan. Warna abu-abu yang tersamar bercampur dengan putih, sedikit corak hitam lebih ke dekatnya, dan sedikit campuran warna merah, hijau, kuning dan biru di sebentuk kotak kecil. Rasanya ia pernah melihat corak itu di suatu tempat, entah di mana. 

'Ibu lihat apa?' tanya Theus sambil berbalik, berusaha melihat ke arah pandangan gurunya. Lidia sesaat tersentak, lalu menggeleng sambil tersenyum, membalikkan Theus menghadap ke belakang dan kembali mendekapnya erat-erat. 

Sejenak, Lidia tersenyum. Pemandangan itu semakin jelas di bawahnya. Sebuah ranjang rumah sakit dan seorang wanita muda yang sekujur tubuhnya terbalut perban. Di selimutnya tergeletak sebuah amplop coklat dan tangannya menggengam selembar kertas berwarna-warni. Corak berwarna-warni yang terasa tak asing tadi memang pernah dilihatnya, dan belum lama sama sekali. Surat dari Theus. Si samping ranjang itu, sebuah mesin yang tak asing menunjukkan garis lurus melintang dari ujung ke ujung. Lidia menghela napas pelan. 

'Bu Li sudah sembuh? Kok bisa di sini?' Tanya suara kecil itu, kembali menarik perhatian gurunya. Lidia menatapnya sambil tersenyum lembut, namun menggeleng. Raut muka anak itu terlihat bingung, namun perhatiannya teralih ke sekitarnya. 

'Ini di mana bu?' Kali ini, Lidia tak lagi menatap wajah sang anak, melainkan menariknya ke pelukan hangat. Pelukan yang dimintanya saat sekolah dulu. Dulu. 

    

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hanya Untukku Seorang
1054      570     1     
Fan Fiction
Dong Hae - Han Ji bin “Coba saja kalo kau berani pergi dariku… you are mine…. Cintaku… hanya untukku seorang…,” Hyun soo - Siwon “I always love you… you are mine… hanya untukku seorang...”
Terserah
368      258     1     
Short Story
Dari Sahabat Menjadi...
532      368     4     
Short Story
Sebuah cerita persahabatan dua orang yang akhirnya menjadi cinta❤
Trick or Treat!
716      427     2     
Short Story
Malam Halloween ... saatnya untuk "Trick or Treat!"
Yang Tertinggal dari Rika
1621      912     10     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
Rain, Maple, dan Senja
967      588     3     
Short Story
Takdir mempertemukan Dean dengan Rain di bawah pohon maple dan indahnya langit senja. Takdir pula yang memisahkan mereka. Atau mungkin tidak?
Please stay in my tomorrows.
397      287     2     
Short Story
Apabila saya membeberkan semua tentang saya sebagai cerita pengantar tidur, apakah kamu masih ada di sini keesokan paginya?
Mengejar Cinta Amanda
2110      1163     0     
Romance
Amanda, gadis yang masih bersekolah di SMA Garuda yang merupakan anak dari seorang ayah yang berprofesi sebagai karyawan pabrik dan mempunyai ibu yang merupakan seorang penjual asinan buah. Semasa bersekolah memang kerap dibully oleh teman-teman yang tidak menyukai dirinya. Namun, Amanda mempunyai sahabat yang selalu membela dirinya yang bernama Lina. Selang beberapa lama, lalu kedatangan seora...
Conquistador
571      383     0     
Short Story
Their arrival unforeseen, the mark which they left is eternal. This is the recount of the world's end.
Efek Jangka Panjang
359      257     0     
Short Story
Keraguan melakukan sesuatu dan mengurung diri karena takut tersakiti, padahal masih ada kemungkinan lain yang pasti akan membuat hidupmu lebih berarti. Aku benar-benar harus berterimakasih pada pengarang cerita yang tidak henti menyadarkanku untuk mengambil tindakan dan berhenti berdiam diri, untuk menghadapi dan berhenti melarikan diri.