Suara derap kaki yang berlari itu terdengar di gang sempit siang ini. Cipratan dari genangan air yang mengotori bagian bawah celananya sama sekali tidak ia pedulikan, karena yang ia pedulikan saat ini adalah, bagaimana cara dirinya tidak tertangkat oleh dua polisi muda dari unit satreskrim Polres Jakarta Barat yang sedang mengejarnya di belakangnya. Pria tersebut adalah pelaku dari kasus perampokan beberapa rumah yang sedang ditinggal oleh penghuninya disebuah komplek perumahan.
Semakin dalam ketiganya memasuki gang yang seolah tak berujung itu, semakin melambat pula kecepatan lari mereka, bahkan saat ini ketiganya sama-sama sedang berjalan sambil mengatur napas mereka yang sama-sama memberat. Mereka sudah mulai lelah rupanya, terutama sang pelaku yang sepertinya akan jatuh tak sadarkan diri akibat kehabisan napas jika tetap berlari.
“Capek, Pak?” tanya Malvinus sambil melepas jaket yang dipakainya lalu menyampirkannya ke atas bahunya sendiri.
Tidak ada jawaban dari sang pelaku. Pria itu justru melambaikan tangannya, memberikan kode agar dua polisi itu menjauhinya.
“Nyerah aja pak, demi keselamatan bapak juga!” Kali ini Ragenta yang bersuara. Anggota termuda dari unit tersebut lalu berhenti melangkah, merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya yang bergetar singkat sebelumnya. Dengan serius laki-laki itu membaca pesan dari rekannya yang lain.
“Pak, Heru anak bapak sudah berhasil kami amankan.”
Informasi yang disampaikan oleh Genta, begitu orang-orang biasa menyapa Ragenta, akhirnya membuat pria itu berhenti berjalan dan tubuhnya ambruk ke atas tanah, terduduk sambil mengatur napasnya yang terasa berat itu. Putranya yang turut serta saat melakukan kejahatan itu ternyata sudah tertangkap, padahal sebelumnya ia berpesan agar sang anak jangan sampai tertangkap. Kesempatan emas tersebut jelas tidak disia-siakan oleh Malvin serta Genta yang segera menghampiri pria itu.
“Setelah ini saya traktir minuman,” ujar Malvin seraya mengeluarkan borgol dari saku belakang celananya dan siap untuk dipasangkan pada pergelangan tangan pria itu. “Pak Surya, Anda kami tangkap atas kasus perampokan rumah. Anda berhak untuk diam atau menyewa pengacara.”
Malvin membantu Surya yang kedua tangannya sudah terborgol untuk berdiri. Atensi pria tersebut lalu tertuju kepada Genta, yang saat ini sedang mengendus-endus seperti seekor anjing.
“Ngapain?”
“Nyium bau busuk, enggak?” tanya Genta masih tetap mengendus-endus dan berjalan mendekati aroma bau itu berasal.
Apa yang dikatakan Genta ternyata membuat Malvin, bahkan Surya sang pelaku ikut mengendus juga karena merasa penasaran.
“Enggak ada bau apa-apa,” ujar Malvin.
“Iya saya juga tidak mencium bau apa-apa,” setuju Surya dengan ucapan Malvin.
Genta berdecak karena kedua orang itu justru tidak mencium bau busuk tersebut. Padahal baunya ini cukup menyengat hingga menusuk hidungnya, tetapi kenapa dua orang itu sama sekali tidak menciumnya?
“Mungkin itu bau sampah yang sudah membusuk,” ungkap Surya yang direspons dengan gelengan kepala Genta, tanda laki-laki itu tidak setuju dengan pendapatnya.
“Atau bau mulut lu yang terlalu dekat dengan hidung,” tambah Malvin.
Genta memberikan tatapan tajam pada Malvin, yang menyunggingkan senyuman usil di wajahnya. “Mulutku selalu wangi ya, Bang,” protesnya. Ia lalu memilih berjalan mengikuti bau busuk tersebut berasal karena saat ini dirinya sungguh sangat penasaran dengan asal dari bau busuk tersebut.
“Gua balik ke mobil! Kalau ada apa-apa telefon aja,” teriak Malvin karena Genta sudah tidak terlihat lagi olehnya.
“Siap!”
***
“Genta ke mana? Kenapa lu cuman sendirian?”
Pertanyaan itu diajukan Robby, saat Malvinus telah kembali sambil menggiring Surya. Malvin tidak segera menjawab pertanyaan itu, ia membawa masuk sejenak Surya ke mobil, melepas satu borgol dari tangan pria itu, lalu menguncikannya pada pegangan yang ada pada mobil. Setelahnya ia keluar sambil menghela napas kuat-kuat.
“Jiwa anjing pelacaknya muncul,” jawab Malvin.
“Kali ini dia nyium bau apa?” Kali ini yang bertanya adalah Sagara, yang sedang asyik menikmati tahu bulat yang dibelinya beberapa waktu lalu.
“Bau busuk katanya.” Tangan Malvin mengambil plastik bening berisi tahu bulat dari tangan pemiliknya, lalu ia mengambil satu makanan tersebut dan langsung melahapnya. “Padahal gua enggak nyium apa-apa. Pak Surya juga sama,” tambahnya dengan mulut mengunyah tahu bulat.
Robby menghela napasnya pelan. Firasatnya mengatakan jika Genta pasti akan menemukan sesuatu yang mengejutkan, tambahan kasus lain selain kasus perampokan yang dilakukan Surya dan juga Heru yang berada di dalam mobil.
“Semoga aja bau busuk itu bukan mayat,” harap Robby.
“Ya, gua juga berharap begitu,” setuju Saga lalu kembali memakan tahu bulatnya.
***
Bau busuk yang mengganggu indra penciuman milik Genta itu semakin menusuk hidung laki-laki tersebut. Bahkan kini ia telah menutup hidungnya dengan kemeja yang dilepasnya dan hanya menyisakan kaos hitam polos. Rasa mual mulai menguasai perutnya, membuatnya menjadi tidak nyaman. Langkah kakinya lalu terhenti dan sebelah alisnya terangkat saat ia melihat sebuah kantong plastik besar berdiri seorang diri di depan rumah yang terlihat akan segera roboh dengan hanya sentuhan satu jari saja.
Genta mencurigai jika bau itu berasal dari kantong plastik tersebut. Selain itu, indra penciumannya kini mulai mengenali aroma bau apa yang diciumnya.
Itu bukanlah bau sampah yang sudah mulai membusuk.
Tetapi bau dari bangkai!
Segera saja Genta berlari kecil mendekati kantong tersebut walaupun bau busuknya semakin membuat dirinya ingin muntah. Tetapi rasa penasaran yang menjalar di hatinya itu berhasil menahannya untuk tidak muntah, setidaknya untuk sekarang ini. Sebelum tiba di dekat kantong plastik tersebut, ia mencari sesuatu yang bisa digunakannya untuk melindungi tangannya saat membuka plastik tersebut. Ia tidak mau membuat tangannya kotor serta tidak ingin meninggalkan sidik jari di sana.
“Harusnya aku tadi bawa sarung tangan,” gumamnya sambil tetap mencari benda yang bisa dipakainya.
Sebuah kantong kresek hitam kecil berhasil ia temukan. Cukup bersih dan segera ia pakai di sebelah tangannya, karena hanya ada satu saja di sana. Sambil menahan napasnya, Genta berjalan mendekati kantong besar tersebut. Tangannya yang sudah dilindungi plastik kecil tersebut mulai bergerak, mengoyakkan kantong tersebut dengan susah payah.
Tubuh Genta terjatuh saat ia berhasil menyobek kantong tersebut. Ia terkejut dengan apa yang dilihatnya.
Sesosok mayat dengan kedua matanya yang terbuka dan seolah menatapnya dengan nyalang. Tidak hanya itu, kondisi dari mayat tersebut juga sangat rusak.
Laki-laki berusia duapuluh sembilan tahun itu kembali berdiri dan berjalan terburu-buru menjauhi kantong tersebut. Rasa mualnya itu kini lebih terasa hingga pada akhirnya ia memuntahkan semua yang telah ia makan sebelumnya. Ia terbatuk dan mengelap mulutnya dengan kemejanya. Atensinya kembali menatap mayat tersebut dengan tatapan begitu ngeri. Ini kali pertama ia melihat mayat dalam kondisi membusuk seperti itu sepanjang enam tahun dirinya bekerja sebagai polisi.
Tangannya yang tidak tertutup plastik merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi Malvin, sesuai dengan permintaan pria itu sebelumnya.
“Bang, cepat ke sini dan hubungi tim forensik juga,” pinta Genta setelah panggilannya itu dijawab oleh Malvin.
Laki-laki itu beranjak pergi dari tempat tersebut, ia tidak ingin berlama-lama di sana, karena mayat tersebut seperti sedang menatapnya.
Sungguh sangat mengerikan.
***
Anggota forensik yang baru saja tiba di lokasi segera bergerak untuk mengidentifikasi mayat yang berhasil ditemukan Genta. Mereka merebahkan kantong plastik tersebut lalu membukanya, karena saat anggota unit satreskrim tiba di sana, mereka memilih untuk membiarkan sejenak posisi kantong tersebut. Saat ini Robby, Saga, dan Malvin yang baru datang bersama dengan forensik sedang memperhatikan dari jarak kejauhan karena tidak tahan dengan aroma busuk yang keluar dari mayat tersebut. Sementara Genta, laki-laki itu sudah berada di dalam mobil bersama dengan dua pelaku perampokan yang berhasil mereka amankan.
“Untung aja Pak Surya masuk ke gang ini,” ujar Malvin yang disetujui oleh Robby.
“Dan untungnya lagi yang ngejar Pak Surya itu Si Genta yang punya indra penciuman yang kuat,” tambah Saga. “Kalau aja Genta enggak punya indra penciuman yang kuat, mungkin keberadaan mayat itu baru ditemukan saat orang-orang dari tim pembangunan ulang daerah ini datang.”
“Padahal jarak dari Pak Surya ditangkap sampai ke sini cukup jauh,” celoteh Malvin. “Tapi anak itu bisa nyium baunya.”
“Yah… cuman kasian aja Genta pucet banget habis liat mayat.” Robby sedikit terkekeh saat mengingat wajah pucat Genta yang kembali ke mobil beberapa waktu lalu. Laki-laki itu sudah seperti kehilangan nyawanya.
“Pak!”
Seorang anggota forensik berlari kecil menghampiri ketiga polisi tersebut sambil membawa kamera di tangannya. Pria itu sepertinya berhasil menemukan sesuatu yang mungkin saja bisa membuat kasus ini bisa segera dipecahkan.
“Kenapa?” tanya Saga setelah pria dari forensik tersebut berada di depan mereka.
“Anda harus melihat ini,” ujarnya seraya menyerahkan kameranya yang segera diambil oleh Robby.
Kamera tersebut saat ini memperlihatkan sebuah hasil jepretan bagian tubuh mayat tersebut, yang berhasil membuat kedua mata dua dari tiga anggota satreskrim itu terbelalak. Atensi dari Robby dan juga Mavin kini tertuju pada Saga, yang terlihat marah setelah melihat foto yang menunjukkan sebuah sayatan berbentuk senyuman di paha korban.
“Mister Smile,” gumam Saga dengan kedua tangan terkepal kuat, “si brengsek itu kembali.”