Read More >>"> Rumah (Sudah Terbit / Open PO) (Bab 14) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rumah (Sudah Terbit / Open PO)
MENU 0
About Us  

Orang bilang, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Sejak dulu, Langit percaya sekali dengan kata-kata itu. Tentu saja, membalik tempe gosong lebih baik daripada tidak dibalik. Mungkin efeknya hanya gosong di bagian tempenya. Tapi jika tidak dibalik, bisa-bisa dapurnya kebakaran. Tapi entah kenapa untuk saat ini, bahkan hanya untuk mengingatnya saja Langit tak suka.


Tidak ada yang ‘baik’ ketika terlambat. Tidak ada. Karena kenyataannya, kata ‘lebih baik terlambat’ tidak membuat Mama kembali. Apalagi fakta bahwa keterelambatannya itu membuat semuanya kacau. Mama berpulang sebelum dirinya bisa bertemu dengan Mama. berpulangnya Mama memang di luar kuasanya. Tapi, jika seandainya Langit tak ceroboh dan asal percaya dengan orang asing seperti pia -guk guk- berjas hitam itu, pasti saat ini Langit tak akan seberduka ini. Langit sedih Mama meninggal. Tapi yang lebih Langt sedihkan adalah fakta bahwa ia tak sempat melihat Mama bahkan di saat-saat terakhirnya. Atau bahkan sebelum Mama di istirahatkan.


Apa saja yang terjadi selama ia pergi? Pertanyaan berulang yang belum ia temukan jawabannya. Sejak mengetahui fakta bahwa Mama meninggal karena sakit, suara dalam kepala Langit semakin ramai. Mempertanyakan apakah selama ini mereka melewati hari-hari yang sulit? Apakah selama ini mereka kekurangan uang? Apakah selama ini Mama menderita karena sakitnya?


Apakah Bumi baik-baik saja?


Langit tak tau. Suara itu terus saja menggema di kepalanya tanpa memberi jawaban pasti atas semuanya. Mengudara, menyatu dengan kesunyian tak pasti yang seakan memenuhi ruangan gelap ini.
Ini salahnya. Tidak ada yang baik-baik saja walau terlambat. Suara berisik itu terus mengganggunya. Semakin kuat mengikat pergelangan tangan dan kakinya dengan beban berat yang disebut penyesalan. Semakin menenggelamkan dirinya ke dalam lubang penyesalan. Hanyut. Hancur. Lenyap. Bahkan untuk bercermin saja Langit tak berani.


Bisa-bisanya gue senyum di depan mereka yang mati-matian melawan sakit?


Dan berujung tangisan memilukan Langit yang bahkan angin pun tak bisa mendengarnya.


+++


Pagi ini, Fajar terbangun karena tidak merasakan sebuah cahaya menyilaukan matanya yang bahkan belum sempat ia buka. Sedikit menyipitkan matanya, Fajar sedikit bingung ketika melihat jendela kamarnya tertutup rapat begitupula dengan gorden biru yang memang seharusnya menutupinya. Padahal ia ingat benar semalam ia membiarkan jendelanya terbuka lebar. Jangan-jangan ada maling? Atau jangan-jangan Pak Udin tidak terima jika dia dituduh sebagai pencuri sarung Pak Danang? Terus malingnya nggak mau ada maling selain dia masuk ke sini makanya jendelanya ditutup? Namun tak berlangsung lama, keresahan yang tiba-tiba memenuhi kepalanya seketika menguap ketika ia ingat bahwa dulu, yang seperti ini sudah pernah terjadi. Jendela kamarnya terbuka ketika ia berniat scroll tiktok sebentar sambil rebahan tanpa sengaja tertidur tanpa sempat menutup jendelanya. Jendela kamarnya yang terbuka ditutup oleh Bintang yang kebetulan saat itu ingin meminjam laptop untuk tugasnya. Jadi untuk pagi ini pun, Fajar kira pasti Bintang yang menutup jendelanya semalam. Fajar lalu melirik ponselnya yang ada di lantai, sepertinya terjatuh saat ia tertidur. Anak itu meringis saat melihat ponselnya bahkan masih menampilkan video yang ia ingat sebelum tertidur semalam.


Pukul lima kurang ketika Fajar yang baru merasa lega karena menyadari kecerobohan-nya sendiri kembali dikejutkan dengan wajah seseorang di hadapannya ketika ia menoleh ke samping kiri. Jangan-jangan semalem beneran ada maling lagi? Terus gara-gara ngantuk berat, dia akhirnya tiduran sebentar di kasur? Fajar lalu mengucek matanya sebentar sebelum akhirnya mulai mengamati seseorang yang ada di depannya. Wajahnya tidak jelas, tertutup anak rambut. Dan lagi-lagi, keresahan di kepalanya menguap begitu saja ketika melihat ada beberapa barang yang berserakan di lantai kamarnya. Tas ransel cokelat, dan masker biru muda. Tak perlu tau bagaimana wajahnya, Fajar bahkan sudah tau siapa yang sedang tidur di kamarnya dan menutup rapat jendelanya. Di rumah ini, tidak ada yang punya jaket kulit berwarna cokelat selain Mas Bumi. Sepertinya Mas Bumi tidur di kamarnya setelah pulang kerja. Terlihat bagaimana Mas Bumi tertidur tanpa melepas jaketnya atau sekedar melepas kaus kakinya. Tapi kenapa Mas Bumi tidur di kamarnya? 


“Mas, subuh,” ucap Fajar sambil menggoyangkan sedikit lengan Mas Bumi yang langsung di respon lenguhan singkat dari Bumi. “Nanti.”


“Lo kalo sholat nanti namanya udah bukan subuh Mas, tapi dhuha,” ucap Fajar sambil mengganti pakaiannya. Wudhunya nanti saja sekalian di masjid. Bumi mengubah posisinya menjadi telentang, berusaha keras membuka matanya yang entah kenapa terasa sangat lengket. Mungkin karena ia baru tidur dua jam yang lalu? 


“Bangun, kalo nggak gara-gara lo laki nggak akan gue bangunin. Jangan-jangan lo datang bulan lagi?”


“Cangkemmu.”


Jawaban Bumi seketika membuat Fajar tertawa. Tapi sebenarnya, Fajar hanya me-nyuarakan isi hati kebanyakan orang. Kalau seandainya Fajar mengedit foto Bumi dengan rambut panjang, pasti orang-orang akan percaya. Wajah Mas Buminya ini memang lucu-lucu bagaimana begitu. Apalagi dengan sikapnya yang murah senyum dan ramah, namun terkesan tak mudah di dekati. Jangankan perempuan, laki-laki saja doyan sama yang modelan kayak Mas Bumi ini. Serius deh. Dulu Bumi pernah tiba-tiba menyodorkan ponselnya agar Fajar bilang untuk jangan mengganggu Bumi lagi. Fajar kira, mungkin itu panggilan dari wanita gila yang memang sukanya mengejar laki-laki idamannya. Tapi tak disangka-sangka, ternyata yang menelponnya adalah laki-laki boti di kampusnya. Membayangkannya saja sudah membuat Fajar geli, apalagi Bumi yang mengalaminya.


“Ndang bangun kalo gitu, subuh jangan lupa,” ucap Fajar sambil berlalu.


Bumi berdehem sebentar. Matanya melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Menghela napas panjang ketika mengingat bahwa dirinya baru tertidur satu jam yang lalu. Dengan berat, Bumi bangkit dari posisi tidurnya. Menatap tas ranselnya yang tergeletak di lantai kamar Fajar. 


Semalam Bintang mengirim pesan padanya bahwa Mas Langit yang mereka tunggu-tunggu kepulangannya kini sudah duduk bersama mereka di ruang tengah. Bintang juga mengirim foto Mas Langit yang sedang tersenyum sambil mendengarkan Guntur bercerita. Mas Langit terlihat sehat. Tidak ada yang berubah darinya. Tatapan matanya yang teduh ketika berhadapan dengan adik-adiknya. Senyumnya yang menjadi favorit seluruh orang di rumah -tak terkecuali dirinya. Yang berubah darinya hanya berat badannya yang menurun. Mas Langit terlihat lebih kurus dari terakhir ia melihatnya empat tahun yang lalu. Dengan kemeja flannel berwarna biru yang dipakai Mas Langit, Bumi seperti bisa mengira-ngira berapa angka Mas Langit kehilangan berat badannya.


Bumi senang Mas Langit kembali. Seharusnya setelah mendapat pesan itu, ia langsung pulang ke rumah, memeluk erat sosok yang ia rindukan selama empat tahun ini. Menceritakan semua sakitnya pada Mas Langit yang sudah lama tak ia lihat wajahnya. Seharusnya malam ini Bumi habiskan dengan segala cerita-cerita Mas Langit selama empat tahun ini dan bukannya malah pergi ke satu café ke café lainnya sepulang dari kerjanya. Beralan tak tentu arah. Berhenti di sebuah tempat untuk kemudian kembali berjalan ke tempat yang lainnya. Bahkan setelah tidak menemukan tempat singgah, Bumi bukannya pulang ke kamarnya dan tidur di ranjangnya, ia malah masuk ke kamar Fajar dan tidur disana. Seperti ada sakit tak kasat mata yang ia rasakan di dadanya. Seharusnya ia senang Mas Langit pulang. Namun seakan-akan ada seseorang yang berteriak di telinganya bahwa ia lelah. Seperti ada rasa kesal dan kecewa yang ia tidak tau dari mana asalnya. Mas Langit adalah kakaknya dan ia sudah lama mengenal Mas Langitnya. Dia bukan orang yang suka mengingkari janjinya atau berbohong agar dimaklumi alasannya. Bumi tau, tapi suara-suara yang semakin keras di kepalanya seakan memberikan perintah untuk menghindari Mas Langit. Seakan ada rasa iri karena Mas Langit yang datang setelah badai sedangkan ia belum berdamai. Bumi seakan belum siap, namun tidak tau karena apa dan sampai kapan.


Kosong. Seperti ada yang kosong padahal sedari awal Bumi tau, hilangnya Mas Langitlah yang membuatnya kosong. Tapi kenapa ketika Mas Langit datang, rasa kosong itu semakin parah? Kenapa lukanya seperti kembali basah?


“Ini lo duduk kayak gini sejak gue pergi pasti? Gue jadi curiga lo bener-bener datang bulan,” ucap Fajar sambil menutup pintu dan berjalan menuju lemarinya. Anak itu baru kembali dari masjid. Baru saja Bumi mau melayangkan pertanyaan ‘kok cepet?’ yang kemudian ia ganti dengan helaan napas saat ingat bahwa sejak ia bangkit dari posisi tidurnya, yang ia lakukan hanya melamun. Tapi masa’ sih selama itu?


 “Jal, ngomongo maneh,  tak ambung kowe,” jawab Bumi sambil bangkit dari duduk-nya, menanggalkan jaket dan kaus kakinya untuk ia tata di kursi meja belajar Fajar.


“Boti anjir!”


“Guyon blok,” sahut Bumi sambil memungut tasnya lalu ia letakkan di atas meja belajar Fajar. Si nomor dua itu lalu mulai berjalan keluar kamar Fajar, meninggalkan tuan kamar yang kini menatapnya sambil tertawa kecil. Tujuan Bumi hanya satu hari ini. Turun, wudhu, memasak sarapan, lalu tidur seharian. Bukan di kamarnya. Tapi di kamar Fajar. Bumi sendiri sebenarnya tidak tau apa alasannya. Entah kenapa fakta bahwa ia dan Mas Langit berbagi kamar adalah salah satu dari banyaknya fakta yang tidak bisa ia terima. Padahal ia masih ingat sekali, sewaktu Bara baru lahir, Bumi sendiri yang menangis meminta satu kamar dengan Mas Langit sebab merasa bahwa kasih sayang Mama dan Bapak sudah berpindah kepada adik barunya.

 
Langkahnya terhenti tepat di depan anak tangga pertama ketika melihat seseorang  membelakanginya di dapur. Bumi kenal benar siapa pemilik punggung lebar itu. Padahal Bumi belum bertemu dengannya sejak semalam, tapi Bumi tau benar, Mas Langitlah yang sedang memasak di dapur saat ini. Bumi memutar otak. Merutuki Pak Sutopo (tukang bangunan) yang hanya membangun satu kamar mandi di rumah ini. Helaan napas panjang terdengar setelah Bumi menyadari waktunya tidak banyak sebab waktu subuh memang hanya sebentar. Kakinya kembali ia langkahkan menuruni anak tangga, berjalan menuju dapur untuk kemudian masuk ke dalam kamar mandi di dekat lemari piring. 


“Bumi? Mau kemana?”


Bumi menghentikan langkahnya. Ia tau bukan tidak mungkin Mas Langit tidak tau kemana ia pergi karena jelas-jelas ia sudah berada tepat di depan kamar mandi. Bahkan kakinya sudah menginjak permukaan keset depan pintu kamar mandi. “Kamar mandi Mas.” Memangnya Bumi punya pilihan apalagi selain menjawab pertanyaannya?


“Oh… semalem pulang jam berapa?” suara Mas Langit kembali terdengar sebelum Bumi mengangkat kakinya.

“Jam tiga.”


“Malem banget, kamu-“


“Mas.”


Mas Langit segera menghentikan perkataannya yang belum selesai ia ucapkan. Tatapan mata itu, Bumi benci setengah mati. Tatapan yang Bumi tidak bisa menangkap apa maksudnya. Antara bingung, kecewa, sedih, kesal. Semuanya menyatu. Ini membuatnya merasa bersalah. Ini membuat suara di kepalanya yang awalnya mulai mereda kembali ramai. Tapi Bumi tidak punya pilihan lagi. Selain karena waktu subuh sudah mau habis, Bumi juga sebetulnya belum siap bertemu Mas Langit.


“Mau wudhu, Bumi belum sholat shubuh.” Kira-kira begitulah yang Bumi ucapkan sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar mandi sebelum Mas Langit menganggukkan kepalanya. 


Senyap. Hanya terdengar suara gemericik air dari kamar mandi. Langit sendiri masih berada di posisinya. Berdiri diam berhadapan dengan pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Ramai sekali kepalanya pagi ini. Ada banyak pertanyaan tentang mengapa Bumi bahkan tidak mau menatap matanya bahkan hanya untuk satu menit. Jangan-jangan, Bumi kesal padanya? Atau jangan-jangan Bumi tidak suka kepulangannya ke rumah? Dan pertanyaan-pertanyaan negative lainnya yang semakin membuat Langit membisu karena semua jawabannya memang ada padanya. Karena sejak awal, Langitlah yang memulai segalanya. Si sulung itu segera menepis pertanyaan buruk tentang Buminya yang Langit sendiri tau bagaimana dia. Bumi hanya sedang lelah. Bumi baru pulang dari kerja. Bumi kan mau sholat. Dan yang lainnya.

Walau sejujurnya, itu tidak cukup kuat untuk membuatnya merasa lebih baik.


“Mas, gosong.”


Suara yang terdengar dari sebelah kanannya membuatnya sedikit terlonjak. Langit yang terkejut seketika menolehkan kepalanya, menemukan Gala dengan seragam lengkapnya sedang membalik ikan yang ada di atas penggorengan.


“Eh iya, lo aja deh yang lanjutin,” ucap Langit sambil berjalan menuju dispenser, mengambil segelas air untuk ia bawa ke meja makan. “Tau gitu gue pura-pura nggak tau aja tadi,” celetuk Gala sambil mengangkat ikan yang semula di atas penggorengan dan memasukkan ikan yang ada di baskom.

Langit membalas tertawa. Gala ini memang sejak dulu begini. Mungkin ia akan mengoceh panjang lebar, tapi hasil kerjanya bagus sekali. Seperti pagi ini. Gala terus mengoceh panjang lebar yang dibalas anggukan oleh Langit yang sejujurnya tidak mendengar benar ocehannya. Yang penting sekarang, Gala mengoceh sambil melanjut-kan menggoreng ikan yang seharusnya adalah pekerjaannya. Besok-besok jika Gala sudah bekerja, Langit berencana akan membocorkan rahasia ampuh bekerja sama tanpa banyak cekcok dengan Gala. Yap, benar sekali. Kuncinya hanya satu. Pura-pura tuli saja.


“Baunya enak bener, pasti yang masak Mas Langit,” ucap Guntur sambil berjalan enteng menuju kulkas untuk mengambil air dingin yang segera dicegah oleh Bintang yang dengan sigap menarik kerah baju Guntur untuk ia tarik menuju meja makan.


“Heh, beldek, lo ga liat ini gue lagi ngapain?” protes Gala yang seakan-akan tidak terlihat di mata Guntur. Namun, baru saja Gala menutup mulutnya, Langit yang sedang duduk di meja makan langsung menyahut. “Oh, ya jelas toh, siapa dulu?” 


“Pantesan baunya enak banget, Mas Langit ternyata yang masak,” dilanjutkan oleh Bintang yang baru duduk di meja makan. Dan kembali dilanjutkan oleh Guntur, “kita tuh sering loh sebenernya makan ikan goreng, tapi kayaknya nggak pernah sewangi ini. apa gara-gara Mas Langit yang goreng ya?”


“Ini gue transparan apa gimana nih?” ucap Gala kesal yang dibalas gelak tawa seisi ruangan. Anak itu lalu mengangkat ikan yang ada di penggorengan dan mulai membawa sebaskom ikan goreng ke atas meja makan. Dengan wajah sekucel kaus sangsang Guntur yang terjemur di halaman rumah, Gala duduk di meja makan, bergabung dengan mereka yang semakin kencang menggoda si nomor lima itu.


“Bara mana?” tanya Langit setelah menyadari ketidakberadaan Bara sejak pagi tadi. 


“Molor dong pastinya,” jawab Bintang sambil nyemilin ikan goreng diikuti anggukan oleh Guntur. 


“Kok masih molor?”


“Justru karena itu kita lega Mas, soalnya kalo Mas Bara bangun jam segini, pasti semalem dia habis baca berita ramalan hari kiamat di internet.” Guntur menutup mulutnya, menahan tawa. Ingatannya melayang kepada kejadian beberapa minggu yang lalu. Ah, tidak hanya beberapa minggu yang lalu, Bara memang sering seperti ini. Saat itu sedang ramai-ramainya yang katanya kiamat tahun 2021. Di saat mereka sedang enak-enaknya sarapan, tiba-tiba Bara turun dengan cepat, lalu mulai meminta maaf kepada seluruh penghuni rumah sambil menangis. “Mau kiamat,” katanya. Dulu juga pernah kejadian seperti itu. Saat dikabarkan pada tahun 2012 akan ada kiamat, Bara juga melakukan hal yang sama. Malah waktu itu tangisnya lebih kencang.


“Terus Fajar mana?” puas tertawa, Langit kembali bertanya tentang keberadaan Fajar yang hanya ia temui di masjid tadi subuh. Bintang belum menjawab, begitupula dengan Guntur. Namun suara serak Fajar sudah menyapa telinga mereka yang ada di meja makan.


“Ngapa Mas? Ngefans lo ama gue? Aduh, padahal gue belum jadi seleb, tapi lo udah ngefans aja sama gue,” ucap Fajar sambil menyugar rambutnya kebelakang. Hari ini temanya hitam. Terlihat dari kaus hitam bertuliskan ‘beatbox’ (yang pastinya pinjam punya Bara) dan celana pendek hitam yang melekat di tubuhnya. Pakaian santai itu sedikit banyak membuat iri Gala-Guntur-Bintang yang pagi ini masih saja memakai seragam sekolahnya. 
Fajar duduk di kursi kosong di antara Gala dan Guntur. Jantungnya berdegup kencang menyadari bahwa pagi ini, ia duduk di meja makan bersama Mas Langit yang sudah lama tidak ia dengar bagaimana kabarnya. Mengingat bagaimana ia menghindari Mas Langit ketika ia baru pulang semalam, Fajar sedikit merasa bersalah. Anak itu sejujurnya tidak tau apa yang ia rasakan saat ini. Ia tau Mas Langit tak mungkin sengaja menghilang. Tapi selama ia tidak tau apa alasan Mas Langit melakukan itu, ada sedikit perasaan berat di hatinya untuk menerima Mas Langit kembali. Mungkin karena sejak dulu, yang ia lihat adalah betapa Mas Bumi berjuang mati-matian demi menghidupi Mama dan saudara-saudaranya. Betapa Mas Bumi berjuang melawan egonya dan menekan keinginannya. Mas Bumi yang sudah mengubur mimpinya demi mimpi adik-adiknya. Mas Bumi yang selalu berusaha menyembuhkan luka adik-adiknya padahal ia sendiri sedang berantakan. Melihat Mas Langit yang datang setelah keadaan membaik, bahkan tanpa menyaksikan Mas Buminya yang sudah sekarat, entah kenapa Fajar merasa sedikit tidak terima.


“Nasi nasi,” ucap Gala sambil bangkit dari duduknya untuk mengambil nasi yang baru matang. 


Beberapa menit terlewati tanpa adanya pembicaraan. Meja makan memang tempat yang paling ramai, namun dengan catatan, mereka menyelesaikan terlebih dahulu makan mereka. Paling-paling yang sudah mengoceh duluan adalah Guntur. Kebiasaannya sejak dulu adalah ngobrol panjang lebar dengan mulut penuh nasi. 


“Eh, tau nggak sih?” Tuh, kan?
Bintang dan Gala memberi isyarat dengan dagunya sementara Fajar hanya merespon dengan deheman. ‘Eh tau nggak sih’ adalah kata kunci paling mujarab yang sering digunakan orang-orang untuk menarik perhatian yang lainnya. Dan Guntur adalah salah satu pengguna aktif kata kunci itu. “Pak Udin katanya mulai dicurigai tau!”


“Eh buset, masih pagi udah dapet gossip aja lo. Kok bisa?” Guntur mencibir sesaat mendengar respon Gala yang lagaknya kayak sok nggak mau tau, padahal ya kepo.


“Gue denger tadi pas ngambil seragam di depen, ibu-ibu pada ngegosip di warung Bu Sukiyah. Katanya warga-warga tuh sebenernya agak sus gitu sama Pak Udin. Masa iya tiba-tiba bilang kalo sarung Pak Danang hilang padahal emang kalo malem sarungnya Pak Danang sering di masukin ke dalem.” Guntur menjelaskan dengan nada puas tiada tara. Ya jelas dong, kan semalam Guntur yang mengajukan alibi seperti itu. “Kan gue bilang apa? Dibilangin kok Mas, Pak Udin itu sus!”
“Yaelah lo tau itu juga gara-gara lo dengerin kita ngomong, berarti kan lo cuma ngambil kesimpulan doang.”


“Ya nggak bisa gitu dong Mas-“


“Loh, Bumi?”


Semua perhatian kini tertuju kepada Bumi yang menghentikan langkahnya. Dia menoleh, menatap datar pemilik suara yang baru saja memanggilnya. Pakaian rapinya membuat semua orang sudah tau kemana arah pergi Bumi. Ditambah tas ransel yang kini tercangklong apik di punggungnya seakan memperjelas bahwa Bumi akan pergi seperti biasa.


“Mau berangkat kerja? Lo baru pulang loh,” tanya Mas Langit bingung. Sejak sepuluh bulan terakhir, Bumi memang sudah terbiasa melakukan ini dan semua orang tau itu. Ia akan tetap berangkat kerja walaupun ia baru kembali beberapa jam yang lalu. Tapi mungkin untuk pagi ini sedikit berbeda. Karena biasanya Mas Bumi mereka selalu berangkat tanpa sepengetahuan mereka yang di rumah.


Bumi mengangguk, menjawab pertanyaan Mas Langit sedangkan Mas Langit sendiri masih terlihat kebingungan sekaligus khawatir.

“Nggak pa-pa toh? Nggak capek?-“ bahkan Langit belum menyelesaikan ucapannya ketika Bumi segera menjawab dengan gelengan tegas. Membungkam mulut Mas Langitnya yang belum juga berniat untuk melepaskan adiknya. Mas Langit dan Bumi masih terlibat kontak mata ketika yang lainnya memutuskan untuk menikmati sarapan mereka tanpa suara. Mereka sudah hidup bersama Mas Bumi mereka selama empat tahun setelah kepergian Bapak dan mereka tahu benar bagaimana keras kepalanya Mas Bumi mereka. 


“Nggak sarapan dulu?” dan Mas Langit mereka–yang seharusnya lebih tau betapa keras kepalanya Mas Bumi–tetap bersikeras.


Bumi menggeleng. “Nggak makan aja.” Ia kembali melangkahkan kakinya–sekali lagi sebelum Mas Langit sempat membuka mulutnya–meninggalkan dapur. Namun tepat setelah ia mengambil helmnya, Bumi menghentikan langkahnya. “Bintang, nanti jam sepuluh gue jemput, hari ini jadwalnya control,” ucap Bumi yang dijawab anggukan oleh Bintang yang tidak dilihat oleh Bumi. Bumi tak perlu melihat jawaban Bintang karena adiknya tidak akan menolaknya.
Meja makan masih sepi. Adik-adiknya kembali melahap sarapan mereka tanpa berniat membuka suara. Yang tadi itu bukan sebuah perdebatan atau pertengkaran hebat, tapi entah kenapa setelah Bumi pergi, atmosfir disini menjadi lebih dingin dari biasanya. Begitupun Mas Langit. Padahal matahari bersinar terik sekali yang artinya diluar sana pasti panas sekali. Tapi entah kenapa, menatap punggung Bumi yang sudah tak lagi terlihat membuat Mas Langit merasa menggigil. 


Menyandarkan punggungnya, Langit merasa tidak memiliki nafsu barang sedikitpun walau hanya untuk mengambil sesuap nasi di depannya. Di kepalanya saat ini berputar tentang adiknya. Melihat Bumi yang menatapnya datar barusan, sejujurnya itu sedikit membuat hatinya sakit. Sejak kecil, mereka selalu bersama.

Dibandng dengan yang lainnya, Langit memang lebih dekat dengan Bumi. Mungkin karena jarak mereka yang hanya satu tahun sedangkan waktu itu hanya ada mereka. Dan fakta bahwa mereka dekat adalah sesuatu yang membuatnya tidak terbiasa melihat tatapan dingin dari Bumi. 


Tidak melihat Bumi ketika ia baru datang sudah cukup membuatnya bingung. Lalu fakta bahwa Mama meninggal sebelum ia pulang, lalu jawaban tidak bersahabat Bumi padanya tadi subuh. Sejujurnya itu sudah cukup membuatnya merasa sadar bahwa kedatangannya tidaklah di harapkan bagi beberapa orang. Atau kehadirannya bukan di waktu yang tepat. Langit bukannya tidak mau mengakuinya. Langit hanya percaya bahwa Bumi tidak akan melakukan itu padanya. Ia pikir, Bumi pasti ada pekerjaan penting saja semalam, makanya tidak bisa pulang cepat. Lalu Bumi pasti sudah terlalu lelah untuk bisa berjalan ke kamarnya, makanya ia lebih memilih tidur di kamar Fajar yang letaknya tepat di depan tangga. Dan pagi tadi, Bumi hanya sedang lelah saja karena baru pulang, nanti pasti Bumi mau  bicara dengannya.


Karena Bumi adalah adiknya, tidak mungkin dia membencinya.


+++


Hari-hari berlalu dengan cepat. Namun keadaan tak juga membaik. 
Langit memutar-mutar permukaan cangkir kopinya di atas meja makan. Sendirian. Ini sudah pukul sebelas malam, dan semua orang pastinya sudah terbuai dengan bunga tidur-nya. Semuanya, kecuali dirinya dan seseorang yang ia tunggu kepulangannya. 


Sudah lima hari sejak kedatangannya kemari, Bumi belum juga mengajaknya bicara atau sekedar menyapanya. Dan selama itulah Langit tidak pernah bosan melakukan hal seperti duduk di meja makan dengan secangkir kopi hanya untuk menunggu Bumi pulang. Kalau boleh jujur, sebenarnya ada sedikit rasa kesal karena Bumi yang tidak juga mau menyebutkan bagian mana yang salah darinya. Ia dibiarkan tersiksa setiap malam dengan memikirkan apa yang salah darinya. Kalau memang kesalahannya adalah tidak memberi kabar selama empat tahun silam, maka Langit juga tidak sengaja melakukan itu. Ponselnya jatuh saat ia digrebek polisi dan ia tidak tau bahwa selama ini, ponselnya dibawa juga oleh polisi-polisi itu. ia sudah melakukan banyak cara agar bisa memberi kabar walau hanya sepatah kata. Setidaknya mereka tau Langit masih hidup dan baik-baik saja.
Tapi dibandingkan rasa kesalnya, Langit lebih sering merutuki kebodohannya dalam mempercayai semua orang di sana. Ia merutuki kebodohannya dalam memandang dunia. Ia terlalu naïf. Ia selalu merutuki dirinya yang karena kebodohannya, membuat keadaan semakin rumit disini. Ia tau, dengan perginya ia, Bumi pasti kesusahan disini. Apalagi mengurus Mama yang sakit. Terkadang memang ada masa dimana Langit merasa bahwa ini bukan kesalahnnya, namun disisi lain, ia terus tersiksa dengan kenyataan bahwa ada banyak masa sulit disini karena ketidakhadirannya.


Si sulung mendongak, melihat jam dinding yang kini menunjukkan angka 12.30. dan Bumi belum pulang. Langit mengantuk, tapi ia lebih takut kehilangan adiknya daripada kehilangan waktu tidurnya. 


Suara debuman pintu yang tertutup membuat tubuhnya seketika bangkit dari posisi duduknya. Dilihatnya wajah lelah Bumi yang sudah tidak karu-karuan. Wajah lelah itu seakan meminta tolong padanya untuk dilepaskan segala bebannya. Matanya terlihat sangat letih dengan keadaan yang tidak pernah bisa mudah padanya. 


“Bumi.”


Bumi terdiam. Langkahnya terhenti, namun kepalanya seakan tidak berniat untuk menatap Mas Langitnya.
Cukup lama keadaan hening berlangsung. Langit tidak tau bagaimana harus berkata apa sampai akhrinya Bumi yang sudah berdiri terlalu lama kembali melangkahkan kakinya menaiki satu-persatu anak tangga. Memasuki kamar Fajar dan bukannya kamar mereka berdua. 
Bukan hal yang baru, tapi sukses membuat Langit menangis karenanya.


+++


“Apaan sih?!”


Fajar sedang damai dalam tidurnya seketika menggeliat brutal ketika seseorang tiba-tiba masuk ke kamarnya dan mendorongnya ke tepi ranjang. Dengan perasaan bingung campur kesal, Fajar lalu bangun sambil mencoba membuka matanya. Bersusah payah melihat wajah seseorang yang ada di sampingnya. Pertama kali yang ia lihat setelah berhasil membuka matanya yang lengket abis adalah tubuh laki-laki dengan jaket kulit berwarna cokelat dan celana jeans hitam. Tangan kanannya lalu mengusap kasar matanya ketika pandangannya kembali memburam, hanya untuk menemukan kaus kaki dan tas yang berserakan di lantai kamarnya. Dengan cepat, Fajar menoleh kembali ke arah oknum yang sedang rebahan di kasurnya. Wajah Lelah Mas Bumi -yang Fajar tidak tau apakah dia sudah tidur atau belum- membuat Fajar mengurungkan niatnya untuk menjadi siluman macan tutul.

Setelah helaan nafas panjang, si nomor empat itu kembali membaringkan tubuhnya di samping Mas Bumi. Dilihat dari kaus kaki dan tas yang berantakan, dan juga jaket kulit yang masih dipakai alih-alih mengenakan piyama, Fajar yakin bahwa Mas Bumi pasti baru pulang dari kerja. 


“Gue belum tidur.”


“Gue nggak nanya.”


“Emang gue lagi jawab pertanyaan?”
Sialan. Fajar mendengus. Laki-laki itu lalu memutar badannya menghadap ke arah yang berlainan dari Bumi. Memeluk lebih erat gulingnya sambil berusaha kembali menjemput bunga tidurnya. Tapi sepertinya Bumi memang benar-benar belum tidur. Terbukti dari lengannya yang terus-terusan menyenggol punggung Fajar yang tinggal hitungan detik saja sudah terlelap.


“Apaan sih Mas?” gerutu Fajar tanpa menggerakkan badannya sedikitpun. Matanya masih terpejam dan gulingnya masih setia berada di dekapannya. Selanjutnya berdecak mendengar jawaban Mas Buminya. “Gue belum tidur.”


“Gue mau tidur,” jawab Fajar sekenanya. Rasa kantuk yang melandanya benar-benar luar biasa sampai-sampai setelah meyelesaikan kalimatnya, ia kembali tertidur. Dan Bumi tentu tidak membiarkan itu terjadi.

Di tempatnya, Bumi terus saja menyenggol punggung adiknya yang sudah terlelap beberapa menit yang lalu. Sebenarnya Fajar tidak masalah. Toh, Fajar tidak kerasa. Tapi ketika gulingnya yang sedaritadi ada di dekapannya terjatuh ke lantai bersamaan dengan Bumi yang masih terus menyenggol punggungnya, Fajar pikir, tidak masalah berubah menjadi macan tutul sekarang.


“Lo apa-apaan sih Mas?”


“Gue belum tidur.”


“Ya terus gue harus apa? Ngadain konser metal biar lo nggak kesepian gitu? Atau buka warkop dua puluh empat jam biar lo ada temen begadang gitu?” Fajar yang sudah terduduk di atas ranjangnya kini menatap sengit Mas Buminya yang kini malah menatapnya datar. 


“Gue cuma ngomong,” ucap Bumi sambil menatap datar adiknya.

Sementara Fajar, anak itu sudah memijat pangkal hidungnya. Setelah menghela nafas Panjang, Fajar kembali membaringkan tubuhnya di samping Bumi alih-alih melanjutkan pertengkaran kecil mereka. Ia terlalu mengantuk untuk sekedar menjawab ucapan ngelantur Bumi. “Lo mending tidur deh, besok kan lo berangkat pagi-pagi banget.”


Kali ini, Bumi hanya diam saja. Tidak menjawab ucapan Fajar, tidak juga melanjutkan kegiatan menyenggol punggung Fajar. Kali ini ia benar-benar diam. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Berbeda lagi dengan Fajar. Matanya masih terpejam, tapi anak itu sebenarnya masih terjaga. Entah karena terlanjur bangun karena gulingnya yang jatuh atau apa, tapi yang jelas, rasa kantuk yang sedari-tadi menyerangnya tiba-tiba lenyap begitu saja.

Di tempatnya, Fajar dan Bumi sama-sama memikirkan banyak hal dalam diam. Menikmati ramai suara kepala mereka masing-masing. Hening masih mengisi jeda di antara mereka sampai suara serak Fajar mengisi ruang lengang itu.


“Mas Langit nungguin lo pulang.” 


“Iya, gue tau.”


Hening lagi. Fajar mengangguk samar sebagai balasan yang entah Bumi lihat atau tidak. Kepalanya terasa berat sekali. Ada banyak pertanyaan yang mengganjal di pikirannya. Sampai-sampai, Fajar merasa ia bisa mati penasaran jika terus-terusan begini. Sesekali si nomor empat itu melirik kakaknya yang ada di sampingnya. Seperti yang ia katakan, Bumi belum tidur, dan Fajar tau itu. Yang Fajar tidak tau adalah, Bumi yang juga ramai suara kepalanya. Mungkin apa yang ia pikirkan sama seperti Fajar. Atau mungkin berbeda. 


Tak tahan dengan pertanyaan yang semakin membuat kepalanya pusing, Fajar dengan hati-hati mulai membuka pembicaraan malam itu. Walau sempat bingung bagaimana cara menanyakannya, tapi Fajar pikir itu lebih baik daripada mati penasaran.


“Menurut lo, Mas Langit sengaja apa nggak?”


Ah, pertanyaan itu lagi. Entah berapa kali otak Bumi memutar pertanyaan yang sama. Dan entah berapa kali ia mencoba untuk menepis pertanyaan tidak masuk akal yang terus-menerus muncul di pikirannya. Bumi juga tidak tau apa yang terjadi padanya. Sejak Guntur mengirim pesan bahwa Mas Langit akhirnya pulang setelah empat tahun lamanya hilang, perasaan Bumi menjadi tak karuan. Antara senang dan kesal. Ia memang seharusnya senang karena Mas Langit, kakak tertuanya pada akhirnya pulang dan usahanya selama ini untuk mencarinya tidak sia-sia. Bumi senang, tapi entah kenapa perasaan ambigu itu lebih mendominasi daripada perasaan senang yang sepatutnya ia rasakan saat ini. Perasaan ambigu itu juga yang mendorongnya untuk bermalam di kamar Fajar daripada pergi beristirahat di kamarnya yang juga kamar Mas Langit.


“Kenapa tiba-tiba nanyanya kayak gitu?” tanya Bumi. 


“Ya… nggak pa-pa.”


“Jangan kayak gitu, Mas Langit juga bukan sengaja ngga ngasih kabar.”

Sekali lagi. Bahkan setelah Mama meninggal, Bumi masih berbohong tentang Mas Langit. Untuk kali ini, ia tidak hanya berbohong pada lawan bicaranya, tapi juga untuk dirnya sendiri. Bohong jika ia tidak merasa kecewa. Tapi karena ia sendiri tidak mengerti apa yang membuatnya merasa kecewa, Bumi pikir, ia tidak berhak menghadirkan rasa kecewa itu. Biarlah ia pendam kecewa-nya sendiri.


“Tapi Mas, kalo boleh jujur, gue… sedikit kecewa.”


Bumi tidak menjawab. Si nomor dua itu memilih diam untuk mendengarkan lebih jelas apa yang ingin adiknya sampaikan. “Gue lihat gimana lo yang sampe lembur-lemburan dan kadang nggak pulang cuma buat ngangkat ekonomi keluarga. Gue juga lihat gimana susahnya lo bagi waktu buat Mama, adik-adik sama kerjaan lo. Apalagi lo masih sekolah.”


“Gue seneng Mas Langit pulang, tapi ada sedikit perasaan nggak terima pas gue keinget lo yang udah berjuang mati-matian ngelawan keadaan. Ada perasaan sedikit nggak terima pas gue lihat Mas Langit pulang pas semuanya udah mulai membaik. Mas Langit pulang pas semuanya udah reda, Mas Langit nggak ikut berjuang atau seenggaknya nyaksi-kan gimana capeknya lo selama ini.”


Bumi terdiam. Kali ini bukan karena ingin mendengarkan lebih jelas lagi ucapan adiknya, tapi karena Bumi tidak tau harus mengatakan apa. Si nomor dua itu bahkan tidak punya satu katapun untuk ia katakan untuk membalas ucapannya. Karena ia juga merasakannya. Rasa kecewa yang tidak beralasan. Tapi ia tau, itu tidak bisa menjadi alasan mengapa ia harus membenci kedatangan Mas Langit. Mas Langit punya cerita, hanya soal waktu saja sampai Bumi tau apa alasannya.


“Jangan gara-gara lo bela gue lo jadi nggak suka sama kakak lo sendiri.”

Bumi masih berada di posisinya ketika Fajar bangkit untuk menatap wajah sendu kakaknya. “Gue tau perasaan lo. Gue paham lo cuma nggak terima sama kenyataan kalo Mas Langit nggak ikut berperang bareng kita. Tapi Mas Langit juga punya alasan kenapa dia nggak kasih kabar sama kita.”


“Dan alasannya? Emang lo tau apa alasannya?” Bumi kembali membisu mendengar pertanyaan Fajar. “Lo kebiasaan banget Mas. Asal ngalah aja padahal nggak tau alasannya apa.” Dan sekali lagi, Bumi kembali membisu mendengar penuturan adiknya. 


Jika ditanya, apa yang membuatnya sebegitu kerasnya untuk mengalah pada Mas Langit yang ia bilang ‘punya alasan’ sehingga ia tak punya hak untuk marah pada Mas Langit, Bumi juga tidak tau. Bumi tidak pernah tau kenapa ia terus-terusan menganggap Mas Langit tidak mungkin sengaja padahal ia sendiri belum mendengar secara langsung bagaimana ceritanya. Bumi hanya yakin bahwa Mas Langit bukan orang jahat. Mas Langit itu kakaknya, yang sejak dulu tumbuh bersamanya. Ia kenal benar bagaimana kakaknya itu. dan hanya berbekal keyakinan seperti itu saja sudah cukup membuatnya mengalah pada Mas Langit-nya. Walau sebenarnya ia sendiri juga ragu. Tapi jika itu berkaitan dengan dirinya yang terlalu banyak mendapat porsi lelah, biarkan hanya dia saja yang mengatasinya. Kalau bisa biar dia sendiri saja yang merasakannya. Karena sejak awal, masalahnya memang ada padanya, bukan pada Mas Langit. 


“Itu urusan gue Jar. Kalo alasan lo kecewa sama Mas Langit yang nggak ngasih kabar itu karena lo nggak tega sama gue, gue minta sekarang lo berhenti.”


“Tapi kenapa Mas? Lo selalu keras sama diri lo sendiri. Tau nggak mau dibantu siapa-siapa padahal lo tau sendiri lo itu sebenernya butuh bantuan. Gue tau lo bukannya nggak percaya sama kita tentang apa yang lo rasain. Lo cuma nggak mau ngelibatin kita lebih jauh lagi, iya kan? Dan sekarang gue paham bener apa yang lo rasain dan gue mau bantu lo seenggaknya buat dengerin apa yang lo simpen selama ini di kepala lo. Dan lagi-lagi lo nggak mau dibantu.” Fajar menyandarkan kepalanya, napasnya memburu. Ia kesal setengah mati. Menghadapi seseorang seperti Bumi ini memang membutuhkan banyak energy hanya untuk meyakinkan bahwa tidak apa-apa sesekali mengeluh. Karena dunia memang terkadang tidak seperti yang kita inginkan. 


Hening mengisi jeda di antara mereka berdua. Bumi yang tidak tau harus merespon apa dan Fajar yang masih diam di tempatnya. Perdebatan ini hanya seputar Mas Langit yang pulang dan rasa kecewa yang tidak beralasan. Namun ucapan Fajar tadi cukup membuat Bumi tertohok. Tepat pada sasaran, karena sejak awal memang begitulah tujuan Bumi. Tidak melibatkan orang lain pada masalahnya, padahal orang-orang juga berhak tau tentang keadaannya.


“Jangan gitu Jar. Biarin itu urusan gue sama Mas Langit,” ucap Bumi pelan. Sebab tidak ada lagi yang bisa ia katakan. Karena membantah ucapan Fajar juga percuma. Apa yang mau dibantah jika memang itu benar adanya?


“Lo ngomong kayak gitu padahal lo sendiri juga diemin Mas Langit, Mas.”
Bumi menghela napasnya. Kembali menikmati sakit di dadanya ketika Fajar kembali melayangkan ucapan yang tepat pada sasarannya. 
“Gue juga berusaha Jar.”


+++


“Assalamu’alaikum!”


“Yo! Wa’alaikum salam! Jangan lupa cilok Pak Sumali ye Tur!”


“Asal duitnya diganti!”


Fajar mencibir ketika si bungsu itu sekonyong-konyong menjulurkan lidahnya sebelum mengayuh sepedanya. Pagi ini, katanya Guntur akan ada kegiatan kerja bakti sekaligus bazar di sekolahnya. sedangkan Bintang dan Gala termasuk salah satu panitianya. Kira-kira sudah terhitung tiga tahun sejak Fajar lulus dari sekolah itu. Mendengar ada bazar di sekolah lamanya, Fajar sedikit ingin nostalgia dengan meminta Guntur membelikannya jajanan di sekolah mereka. Termasuk cilok Pak Sumali.


Si nomor empat itu meregangkan ototnya. Rumah ini selalu sepi ketika jam sudah menunjukkan angka delapan. Bintang, Guntur dan Gala sekolah. Mas Bumi pasti sudah berangkat kerja. Mas Bara kalo nggak masih molor ya pasti sudah berangkat kuliah. Tinggal ia dan Mas Langit di rumah ini. Mas Langit sendiri sejak menyelesaikan sarapannya, kakak sulungnya itu kembali masuk ke dalam kamarnya. Jika tebakannya benar, pasti sekarang ia sedang tidur karena semalam ia menunggu Mas Bumi pulang dari kerjanya.


Pekerjaan rumah sudah beres. Ia sudah sarapan. Kartun Spongebob sudah lama selesai. Ia sudah tidak punya tanggungan pekerjaan apapun karena ia hanya tinggal mendaftarkan wisuda. Entah kenapa ia jadi sedikit bingung dengan dirinya sendiri. Saat banyak pekerjaan mengeluh, ketika tidak punya pekerjaan juga mengeluh. Bingung kan? Sama.


Fajar berdiri cukup lama di depan pintu rumah yang ia buka lebar-lebar agar lantai yang barusan dipel Guntur cepat kering. Setelah berpikir cukup lama, Fajar memutuskan untuk pergi ke halaman rumah untuk menyiram tanaman tugas prakarya Guntur.

Namun langkahnya terhenti ketika melihat tumbuhan itu rupanya sudah basah karena hujan semalam. Sekarang ia benar-benar seperti pengangguran banyak acara. Dengan langkah gontai, Fajar lalu duduk di teras rumah. Tangannya merogoh saku celananya, mencari ponsel yang menjadi satu-satunya alternative yang bisa membunuh wabah gabut yang melanda.


Cah…” Fajar mendengus kesal ketika melihat notifikasi chat dari Guntur. Pak Sumali sudah tidak jualan katanya. Padahal moodbooster paling ampuh bagi Fajar selain uang adalah cilok Pak Sumali.

“Jar, sendirian aja?”


Fajar segera mendongak, mendapati Mas Langit dengan kaus biru dongker dan celana training berwarna senada berdiri di sampingnya. Wangi lemon segera menyapa indra penciuman Fajar ketika Mas Langit mulai menempatkan dirinya duduk di samping Fajar. Rambutnya basah, Fajar kira Mas Langit pasti baru selesai mandi. “Oh, ho’oh,” Fajar baru ingat belum nejawab pertanyaan Mas Langit barusan.


“Udah sarapan?”


“Udah tadi, bareng yang lain. Lo udah?” tanya Fajar. Sebab seingat Fajar, Mas Langit tidak ikut sarapan tadi pagi. Makanya Fajar bertanya. Mas Langit menggeleng, nanti saja katanya.

Setelah itu, tidak ada pembicaraan apapun di antara mereka. Mas Langit sibuk mengeringkan rambutnya dan Fajar masih sibuk mencari pengganti cilok Pak Sumali. Namun dibalik kesunyian yang ada, sebenarnya kepala mereka sibuk memikirkan apa yang harus mereka ucapkan untuk membunuh rasa canggung di antara mereka.


“Lo udah di rumah Mas, gimana rasanya pulang setelah sekian lama jauh dari rumah?” tanya Fajar. Mas Langit menghela napas panjang. Seperti ada banyak kalimat yang ingin ia keluarkan dari mulutnya. “Gue nggak nyangka bisa pulang.”


“Gue seneng, tapi gue juga sedih,” lanjut Mas Langit yang membuat Fajar menoleh heran. Mas Langit terkekeh sebentar ketika si nomor empat itu bertanya kenapa. “Gue seneng bisa pulang. Gue seneng bisa ketemu kalian lagi setelah gue pikir nggak akan bisa lagi pulang. Tapi gue juga sedih, ternyata dengan gue pergi, kalian lebih kesusahan daripada sebelum gue pergi. Apalagi Bumi,” jelas Mas Langit.

Fajar mengiyakan dalam hati. Ia termasuk saksi betapa Mas Bumi berjuang mati-matian demi menyekolahkan adik-adiknya dan mengangkat ekonomi keluarga. Walau masih ada sedikit rasa kecewa, Fajar kembali teringat dengan perkataan Mas Bumi bahwa Mas Langit juga pasti punya kisah.


“Gue melewatkan banyak hal di rumah ini. Gue nggak tau gimana susahnya kalian selama ini. Makanya pas Bumi ngehindarin gue, sebisa mungkin gue nggak marah sama dia. Karena kalo gue ada di posisi Bumi juga pasti kayak gitu.”


Hening sebentar. Memberi kesempatan bagi keduanya untuk merasakan sesal dan sesak di dada masing-masing. 


“Gue juga sejujurnya kecewa Mas.”


Mas Langit tidak menjawab. Tidak juga bertanya. Si sulung masih tetap pada posisi-nya. Menatap kosong ke arah gelas-gelas plastic di samping tumbuhan jambu yang berisi kecambah milik Guntur. Mencoba merasakan lebih dalam sesak yang ada di dadanya. Ada banyak rasa sesal yang seakan menyekiknya tiap malam. Rasa sesal yang ia tidak tau bagaimana cara menebusnya. Bagaimana cara membunuhnya. Karena akar permasalahannya ada padanya. Ada pada dirinya yang menghilang selama empat tahun meninggalkan adik-adiknya. meninggalkan Mama. 


“Gue kecewa sama lo yang ngingkari janji lo sendiri. Janji katanya mau sering-sering ngabari. Janji sering-sering pulang. Nyatanya di minggu pertama aja lo udah nggak bisa kita hubungi,” ucap Fajar setelah menghela napas berat. “Kita selalu nunggu Mas pulang. Kita selalu yakin Mas bakal pulang. Mungkin Mas sibuk banget sampe nggak sempet ngabarin. Mungkin hapenya Mas Langit jatuh di jalan. Mungkin begini, mungkin begitu. Sampe pada titik dimana kita udah ngerelain Mas Langit.”


Fajar mengambil napas dalam. Bersiap untuk mengungkapkan bagian paling menyesakkan. “Tapi Mas Bumi enggak Mas. Hampir satu minggu sekali Mas Bumi keliling Jakarta cuma buat nyari Mas Langit. Setiap malem Mas Bumi selalu nelpon Mas Langit.”


Langit masih diam. Dalam kepalanya berputar bagaimana susahnya Bumi menjalani hari-harinya selama tidak ada dia. Bagaimana susahnya mengatur waktunya untuk bekerja dan sekolah. Bagaimana lelahnya ia bolak-balik Surabaya-Jakarta sepulang kerja. Bagaimana putus asanya Bumi ketika panggilan darinya tidak kunjung mendapat jawaban. Bagaimana bisa Bumi bertahan selama ini? 


“Mas Bumi udah terlalu banyak mengalah Mas. Mas Bumi nggak baik-baik aja. Mas Bumi nggak pernah mau jujur tentang keadaan dirinya. Bahkan pas gue bilang kalo gue kecewa sama lo, Mas Bumi bilang kalo lo pasti punya kisah, pasti punya alasan. Padahal gue yakin dia sendiri pasti juga sama kecewanya kayak gue. Atau malah lebih kecewa daripada gue.” Langit tau.Sejak kecil Bumi memang begitu. Langit masih ingat bagaimana Bumi tersenyum ketika mereka berdua terjatuh dari sepeda. Bumi bilang ia baik-baik saja, padahal jelas sekali lututnya berdarah banyak. Bukannya meminta tolong lukanya diobati, Bumi justru meminta Langit dulu yang diobati. Bumi memang begitu. Suka berbohong dengan keadaannya dan suka mengalah bahkan untuk yang menjadi haknya. 

“Lo tau kenapa di ruang tamu cuma ada foto wisuda lo? Padahal kalo dihitung-hitung, harusnya sudah ada foto wisuda Mas Bumi jadi sarjana disitu,” tanya Fajar. Langit diam. Tidak sanggup bahkan hanya untuk menggeleng menjawab pertanyaan Fajar.

“Karena Mas Bumi udah nggak sekolah Mas. Mas Bumi keluar kampus sejak tahun kedua lo nggak pulang.”


Langit menyandarkan kepalanya di ranjang. Menatap kosong ranjang Bumi yang selalu rapi di depannya. Sudah berapa hari ya Bumi tidak tidur di kamarnya? Lima hari? Satu minggu? Ya, memangnya siapa yang mau tidur dengan sumber sakit hatinya? Langit menghela napas panjang, masih memperhatikan ranjang Bumi dengan sprei kuning kotak-kotak. Kembali bertanya-tanya, seberapa sering Bumi menangisi keadaan? Seberapa sering Bumi mengeluh dalam diam? Seberapa sering Bumi menyalahkan dirinya? Setiap malam kah? Atau malah, tidak pernah?

Kacau. Semuanya kacau. Padahal niat awal ia merantau adalah agar bisa membantu Mama menyekolahkan adiknya. Agar adik-adiknya tetap bisa melanjutkan pendidikan walau Bapak suda tidak ada. Jangankan mengirim uang, yang ada Langit hanya menjadi beban bagi keluarganya. Sejak awal seharusnya Langit mendengarkan Mama. Seharusnya Langit bekerja saja disini. Setidaknya walau Langit kesusahan, ia tidak menjadi beban bagi yang lainnya. Setidaknya jika memang Bumi bekerja, ia tidak akan bekerja sekeras ini.


Suara notifikasi dari ponselnya yang baru ia nyalakan menarik sedikit atensinya. Ponselnya baru ia nyalakan setelah satu minggu ia titipkan di Pak Imam untuk diperbaiki. Ada banyak panggilan tak terjawab terpampang di layar kuncinya. Nama Bumi berada paling atas dengan 40.000 lebih panggilan tak terjawab, ratusan pesan belum dibaca dan satu pesan suara.
Tangannya bergetar menyentuh ponselnya yang dingin. Malam ini tidak hujan, berita di televisi bilang untuk beberapa bulan ke depan, daerah Surabaya akan lebih panas dari sebelumnya. Kipas angin di kamar adik-adiknya pasti sudah menyala dengan volume paling tinggi. Malam ini panas, tapi melihat notifikasi pesan suara dari Bumi satu tahun yang lalu, entah kenapa Langit merasa menggigil. 


Mas Langit apa kabar? Orang-orang nyariin Mas.”


“Mas udah pulang Bumi, Bumi kapan mau nyapa Mas?” sahut Langit pelan. Harapan Bumi agar dijawab pesan suaranya rupanya didengar oleh yang maha kuasa. Langit yang ia harap pulang kini sudah duduk bersandar berhadapan dengan ranjangnya. Telinga Langit terbuka lebar, hatinya ia lapangkan agar siap mendengar keluh kesah yang selama ini terpendam.

Tentang Mama yang hanya ingin Langit pulang. Tentang Fajar yang mau berhenti sekolah. Tentang Bintang yang sakit parah. Pesan suara itu bertele-tele. Namun mendengarnya, perlahan Langit paham betapa kecewanya Bumi padanya. Betapa lelahnya Bumi selama ia tidak ada. Adik kecilnya itu harus menggantinkan tiga peran untuk adik-adiknya, yang bahkan untuk membayangkannya saja Langit tidak bisa. 


Bumi udah capek banget Mas…”


Langit memeluk erat kedua lututnya. Tak ingin lagi menghalau air mata yang mendesak untuk keluar dari tempatnya. Langit menangis. Menangisi beban berat adiknya selama lima tahun ini. Menangisi Mama yang pulang sebelum sempat melihatnya datang. Menangisi adik-adiknya yang bertahan dengan keadaan yang serba susah. Menangisi dirinya yang menjadi beban tanpa ia sadar. Tidak pantas ia mengeluh, sebab keluhnya tak lebih berarti ketimbang keluh Bumi yang selama ini tertahan.
Malam ini hujan. Entah bagaimana caranya. Padahal seingat Langit berita menyiarkan bahwa kota Surabaya akan mengalami panas lebih dari biasanya. Tapi malam ini hujan. Seakan ikut menemani Langit yang kini meringkuk di lantai yang dingin dengan air mata yang tidak ada habisnya. Seakan menutupi rintihan Langit yang terdengar menyakit-kan. Seakan ikut menangisi beban berat seorang Bumi yang malang. Menemani Langit yang kini mulai menutup matanya. Bahkan Tuhan pun berbaik hati membuat Langit tertidur setelah tangis kerasnya.


+++


Bumi menghentikan langkahnya sesaat setelah menggantungkan kunci motornya di atas etalase sepatu. Sebenarnya café hari ini tidak begitu ramai. Kantor pos juga tidak seramai biasanya. Sebenarnya Bumi bisa pulang lebih depat malam ini, sekitar lima jam yang lalu. Tapi entah apa yang mendorongnya untuk tetap duduk di ujung café kopi kenangan sambil memandang ramai jalan raya. Tidak ada yang ia lakukan. Hanya diam sambil sesekali memikirkan sesuatu yang hinggap di kepalanya. Netranya menemukan seseorang sedang berdiri di depan dispenser, mengambil segelas air. 


Si nomor dua kembali melangkahkan kakinya menuju dapur untuk kemudian mulai menaiki anak tangga. Namun belum sempat satu langkah kakinya di tangga, suara rendah Mas Langit menghentikan kakinya.


“Maaf, Bumi.”


Bumi menoleh, mendapati Mas Langit yang kini menatapnya sendu. Air dalam gelas yang diisinya barusan belum sempat ia teguk sedikitpun sejak netranya menangkap langkah Bumi yang mendekat. Seingat Langit, tujuannya untuk turun ke dapur adalah karena rasa haus yang sampai membuatnya terbangun. Namun dalam keadaan seperti ini, rasa hausnya tiba-tiba hilang entah kemana.


Sedangkan Bumi. Di tempat ia berpijak, si nomor dua yang baru saja pulang setelah seharian penuh mencari kesibukan menatap kakak sulungnya dengan perasaan tak karuan. Entah bingung. Entah lega. Dalam diam ia bertanya, mengapa harus Mas Langit yang minta maaf? Walau dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ada sedikit rasa lega ketika tau bawa rasa kecewa yang ia pendam sudah tercium aromanya.


“Maaf buat apa Mas?”


“Maaf karena nggak ngasih kabar selama bertahun-tahun.” Mas Langit sedikit menunduk. Tak lagi menatap Bumi yang terdiam dengan penuh perasaan yang entah apa artinya di balik ceruk matanya yang dingin.


“Lo boleh marah sama gue Bumi, karena emang gue pantes dapetin itu,” lanjut Mas Langit. Bumi mengernyit, tidak terima. Jika memang ia marah, lalu apa artinya perjuangan-nya selama ini bolak-balik Surabaya-Jakarta? Jika memang ia marah, lalu apa artinya empat puluh ribu panggilan tidak terjawab darinya? Sejatinya, Bumi tidak pernah marah. Bumi hanya kecewa. Hanya perlu sedikit waktu saja agar ia kembali mereda.


“Gue nggak marah Mas. Toh, Mas juga bukan sengaja nggak ngabarin kita.”
“Enggak Bumi. Seandainya gue nggak ceroboh, keadaan pasti nggak serumit ini. Seandainya gue nggak langsung menyerah sama keadaan, seandainya gue nyari cara lain-“


“Kalaupun ada cara lain Mas, Mas pasti udah ngelakuin itu.”


Mas Langit terdiam, terpaku menatap adik kecilnya yang entah sejak kapan sudah tubuh sedewasa ini. Ia yang telat menyadarinya, atau memang adiknya ini sudah dewasa? Melihat bagaimana perbedaan Bumi yang dulu sangat kurus dan kecil, kini tumbuh menjadi seorang dengan bahu yang kokoh dan kaki yang kuat berdiri sendiri. Bumi yang dulu menangisi kartun kudanil yang sudah tamat serialnya, kini bahkan tak terlihat setetes air matanya. 


“Gue nggak marah Mas. Gue nggak berhak marah sebab Mas Langit pasti punya kisah.”


Bagaimana bisa Bumi yakin sekali bahwa Langit sudah mengusahakan yang terbaik? Bagaimana Bumi bisa seyakin itu pada Langit yang sudah lama mengkhianatinya? Padahal belum tentu Langit benar-benar punya kisah. Bisa saja Langit yang berbohong, bisa saja Langit hanya malas memberi kabar. Bisa saja Langit terlalu sibuk sampai tak punya waktu hanya untuk membaca pesan-pesan mereka? Walau pada kenyataannya, lantai dingin penjara dan kepulan asap rokok polisi-lah yang selama ini menjadi saksi bisu rindu yang tak tersampaikan.


“Nggak Bumi. Lo harus marah sama gue,” ucap Mas Langit. Si sulung itu lalu meletak-kan gelas berisi air yang belum ia minum di atas meja makan. Tangan kanannya ganti menggenggam pergelangan tangan Bumi untuk ia angkat tepat di depan wajahnya. “Pukul gue Bumi. Pukul sampai lo ngerasa sakit di dada lo lenyap nggak bersisa,” ucap Mas Langit yang dibalas gelengan dari lawan bicaranya. Bumi menggeleng tegas sebab tak mungkin ia memukul kakaknya sendiri.


“Nggak Mas.”


“Marah Bumi, lo nggak bisa terus-terusan nahan kecewa kayak gini.”


“Udahlah Mas, lagian lo pasti punya alasan.”


“Alasan apa?”


Bumi terdiam. Ramai suara kepalanya bertanya-tanya. Alasan apa? Jika Bumi sendiri saja tidak tau apa alasan yang Mas Langit punya, mengapa ia begitu yakin?


“Lo harus marah Bumi. Lampiasin semuanya. Gue udah nelantarin kalian tanpa kabar. Lo jadi harus putus sekolah buat kerja. Lo jadi harus kerja keras buat nyekolahin adik-adik sama nopang ekonomi keluarga. Lo jadi harus sibuk ngerawat Mama. Lo sering lembur, kadang-kadang nggak pulang. Lo jadi sering bolak-balik gara-gara nyari gue.”

Bumi menunduk. Menghalau air matanya sebab ocehan Mas Langit seakan berputar di kepalanya, memenuhi telinganya, yang sialnya semuanya benar. Lima tahun lamanya Bumi memendam semuanya sendirian. Tak pernah ia biarkan adik-adiknya mendengar keluhnya walau hanya sepatah kata. Ia selalu berlagak seolah ia baik-baik saja. Ia selalu berpura-pura tak apa-apa ketika ia datang ke kampus bukan untuk belajar, melainkan mengajukan surat undur diri. Ia selalu berpikir mungkin lelahnya ini hanya sementara, sebentar lagi juga ia terbiasa. Ia selalu berpikir begitu, tapi nyatanya lelah yang tak pernah terlampiaskan itu semakin menjadi luka yang kini tak tau bagaimana cara mengobatinya.


“Gara-gara gue, Mama jadi sakit parah Bumi. Kalo seandainya gue nggak pergi ngerantau, kalo seandainya gue nurutin Mama, pasti Mama masih ada sampai sekarang.”


Bumi kecewa. Namun untuk menyesali sesuatu yang bahkan tidak bisa kembali, Bumi tidak setuju. Karena itu tidak berguna. Sesuatu yang sudah mati tidak akan bisa hidup kembali walau kita menangis sampai air mata kering. Tak akan bisa kembali walau sesal muali menghancurkan kita. Karena yang sudah pergi memang seharusnya direlakan.


Bumi lalu mengangkat kepalan tangannya. Lalu dengan cepat mengayunkannya tepat di depan wajah Mas Langit. Entahlah. Kejadiannya begitu cepat sampai yang Bumi lihat saat ini hanyalah Mas Langit yang sudah terduduk bersandar di lemari kaca sebab pukulan darinya. Pukulannya cukup kuat, terlihat dari bagaimana ujung bibir Mas Langit yang kini berdarah. Tangan Bumi masih mengepal. Pukulan yang tadi adalah untuk segala kecewanya. Untuk marahnya. Untuk janji yang diingkari. Dan untuk ucapan Mas Langit bahwa meninggalnya Mama adalah karenanya. Bukan senang Bumi melakukannya, isak tangis pun terdengar perlahan.


Mas Langit bangkit, kembali berdiri menyejajarkan dirinya dengan Bumi. “Lagi Bumi, sampe lo lega.” Bagaimana bisa lega? Satu pukulan saja terasa berkali-kali menyakitkan bagi Bumi. Tidak ada yang lega dengan cara seperti itu. Mas Langitnya terluka. Begitupula batin Bumi saat melihatnya.


Bumi menatap Langit dengan mata basah. Bergantian menatap mata Mas Langit dan bibirnya yang terluka. Suara Mas Langit kembali terdengar, entah kenapa menjadi begitu bergema di telinganya. Dengan bergetar, tangannya kembali terangkat, begitupun Langit yang kini memejamkan matanya. Menyiapkan dirinya untuk pukulan yang lebih keras lagi. Namun, bukan pukulan yang Langit rasakan, melainkan sebuah pelukan dari Bumi. Pelukan dingin, sebab tangan dan wajah Bumi dingin. Dan ketika Mas Langit membuka matanya, yang ia lihat adalah Bumi yang kini menangis di pelukannya. Bumi dengan segala beban di bahunya. Bumi yang selalu berdiri tegak dengan kedua kakinya. Bumi yang selalu menyimpan semuanya sendirian. Kini seakan-akan tak punya kekuatan bahkan untuk sekedar menopang tubuhnya.


Mas Langit bergetar. Ia menggigil. Perlahan membalas pelukan Bumi yang kini terisak pelan. Tanpa sepatah katapun. Tanpa mengatakan apapun. Jika pukulan tadi adalah untuk kecewanya, maka pelukan ini adalah untuk lelahnya selama ini. Lelah yang tak bisa ia bagi dengan siapapun. Lelah yang akhirnya tumpah setelah bertahun-tahun disimpan rapat.


“Lo nggak harus jadi yang paling kuat Bumi.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Black Heart
1166      664     0     
Action
Cinta? Omong kosong! Rosita. Hatinya telah menghitam karena tragedi di masa kecil. Rasa empati menguap lalu lenyap ditelan kegelapan. Hobinya menulis. Tapi bukan sekadar menulis. Dia terobsesi dengan true story. Menciptakan karakter dan alur cerita di kehidupan nyata.
A.P.I (A Perfect Imaginer)
129      110     1     
Fantasy
Seorang pelajar biasa dan pemalas, Robert, diharuskan melakukan petualangan diluar nalarnya ketika seseorang datang ke kamarnya dan mengatakan dia adalah penduduk Dunia Antarklan yang menjemput Robert untuk kembali ke dunia asli Robert. Misi penjemputan ini bersamaan dengan rencana Si Jubah Hitam, sang penguasa Klan Kegelapan, yang akan mencuri sebuah bongkahan dari Klan Api.
Ketos pilihan
594      397     0     
Romance
Pemilihan ketua osis adalah hal yang biasa dan wajar dilakukan setiap satu tahun sekali. Yang tidak wajar adalah ketika Aura berada diantara dua calon ketua osis yang beresiko menghancurkan hatinya karena rahasia dibaliknya. Ini kisah Aura, Alden dan Cena yang mencalonkan ketua osis. Namun, hanya satu pemenangnya. Siapa dia?
Edelweiss: The One That Stays
1685      727     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
Teman Hidup
5333      2204     1     
Romance
Dhisti harus bersaing dengan saudara tirinya, Laras, untuk mendapatkan hati Damian, si pemilik kafe A Latte. Dhisti tahu kesempatannya sangat kecil apalagi Damian sangat mencintai Laras. Dhisti tidak menyerah karena ia selalu bertemu Damian di kafe. Dhisti percaya kalau cinta yang menjadi miliknya tidak akan ke mana. Seiring waktu berjalan, rasa cinta Damian bertambah besar pada Laras walau wan...
Premium
Dunia Tanpa Gadget
10003      2758     32     
True Story
Muridmurid SMA 2 atau biasa disebut SMADA menjunjung tinggi toleransi meskipun mereka terdiri dari suku agama dan ras yang berbedabeda Perselisihan di antara mereka tidak pernah dipicu oleh perbedaan suku agama dan ras tetapi lebih kepada kepentingan dan perasaan pribadi Mereka tidak pernah melecehkan teman mereka dari golongan minoritas Bersama mereka menjalani hidup masa remaja mereka dengan ko...
Daybreak
3420      1589     1     
Romance
Najwa adalah gadis yang menyukai game, khususnya game MOBA 5vs5 yang sedang ramai dimainkan oleh remaja pada umumnya. Melalui game itu, Najwa menemukan kehidupannya, suka dan duka. Dan Najwa mengetahui sebuah kebenaran bahwa selalu ada kebohongan di balik kalimat "Tidak apa-apa" - 2023 VenatorNox
A Freedom
117      101     1     
Inspirational
Kebebasan adalah hal yang diinginkan setiap orang. Bebas dalam menentukan pilihan pun dalam menjalani kehidupan. Namun sayang kebebasan itu begitu sulit bagi Bestari. Seolah mendapat karma dari dosa sang Ayah dia harus memikul beban yang tak semestinya dia pikul. Mampukah Bestari mendapatkan kebebasan hidup seperti yang diinginkannya?
Adiksi
6326      2106     2     
Inspirational
Tolong ... Siapa pun, tolong aku ... nafsu ini terlalu besar, tangan ini terlalu gatal untuk mencari, dan mata ini tidak bisa menutup karena ingin melihat. Jika saja aku tidak pernah masuk ke dalam perangkap setan ini, mungkin hidupku akan jauh lebih bahagia. Aku menyesal ... Aku menyesal ... Izinkan aku untuk sembuh. Niatku besar, tetapi mengapa ... mengapa nafsu ini juga sama besarnya!...
Orange Haze
400      282     0     
Mystery
Raksa begitu membenci Senja. Namun, sebuah perjanjian tak tertulis menghubungkan keduanya. Semua bermula di hutan pinus saat menjelang petang. Saat itu hujan. Terdengar gelakan tawa saat riak air berhasil membasahi jas hujan keduanya. Raksa menutup mata, berharap bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. "Mata itu, bukan milik kamu."