Aku tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya, tahu-tahu sebuah bantal tiba-tiba melayang ke arahku. Kenapa aku selalu menjadi korban dari lemparan yang tidak terduga? Dan targetnya selalu bagian kepala atau wajah. Sebelumnya aku hanya teringat satu momen yang serupa dengan situasiku saat ini, dimana Sonya sedang bermain gitar dan bernyanyi. Kala itu dia benar-benar terlihat ceria, tapi sebaliknya, sekarang dia tengah memandangku dengan jengkel.
“Kenapa senyum-senyum sendiri gitu? Jangan bikin gue takut deh.” katanya dengan kepala yang mulai bergerak mengitari seisi vila.
Jadi begitu? Mungkin aku bisa memanfaatkan rasa takut Sonya untuk mengajaknya kembali.
“Yaudah kalau gitu ikut kumpul lagi aja. Lo ngga bakal tau apa yang bakal terjadi kalau lo sendirian di sini,” ujarku dan spontan berlari ke arah dapur. Sementara Sonya berteriak memanggil namaku.
Air sudah matang, kopi milik Yogi juga sudah siap. Sonya juga sudah tidak ada di ruang tengah. Mungkinkah di kamarnya? Tidak. Kutemukan dia sudah duduk di antara geng perayu dan Tere, tapi terlalu jauh dengan Wine.
“Danu maaf gue telat,” kataku seraya berjalan melewatinya.
“Iya ngga apa-apa,” balas Danu dimana setelahnya dia duduk, karena Nina yang akan membacakan cerita.
Tidak heran jika wajah Danu berseri-seri, karena kali ini yang diutamakan baginya bukanlah cerita yang akan dibacakan, melainkan wajah Nina sendiri. Matanya akan terus menatap ke Nina dengan alasan tertentu pastinya.
Langkahku berhenti di belakang tiga sekawan.
“Eh, ada Ana. Bawa apa itu kalau boleh tau?” tanya Eca yang pertama kali sadar akan kehadiranku. Barulah dua orang lainnya, yaitu Yogi dan Randa menengok ke belakang.
“Kopi punya Yogi. Nih,” kataku sambil menyodorkan gelas ke wajah Yogi. Aromanya cukup menggiurkan. Menyebabkan Jonathan mendongak untuk melihat. Sempat pula kudengar dia bertanya pada Eca apa masih ada kopi lagi atau tidak.
“Oh, itu bukan buat gue,” tampik Yogi. Seketika aku mengernyit. “Buat Randa. Tadi ngga sengaja gue tumpahin kopinya, makanya gue mau buatin yang baru,” jelas Yogi sejelas-jelasnya.
Tiba-tiba saja sesosok tangan mengambil alih gelas yang masih kupegang. “Makasih,” ucapnya. Cukup satu kata. Tidak lagi membuatku heran. Seorang Randa memang pelit dengan kata-kata jika dia tidak terlalu niat untuk bicara.
Tanpa memberi respons apa pun lagi, aku berlanjut pergi. Kalau tahu kopi itu untuk Randa, aku tidak akan membuatkan. Kenapa juga Yogi tidak menjelaskan dari awal? Kelihatannya dia sengaja mengerjaiku atau bagaimana? Sudahlah. Salahku juga tidak bertanya lebih dulu.
“Sejak kapan mau buatin minum buat Randa?”
Dinda tertawa meledek saat aku kembali duduk di sampingnya. Dia kelihatan puas bisa meledekku lagi, sementara aku begitu malas meladeninya. Lebih baik aku menyimak Nina. Aku sudah cukup tertinggal.
Tapi ngga tau kenapa, lama-lama gue jadi ngerasa terhibur. Biasanya gue anggap dia orang yang ngga jelas. Apalagi setiap kali dia mulai nge-cengin orang. Rasanya ikut kesel padahal bukan gue yang di-cengin. Dan tanpa gue duga semua itu hilang. Berganti rasa seneng setiap kali ngeliat dia ataupun denger leluconnya.
“Eca.”
Dinda mengucap nama itu dengan pelan. “Dia kan kadang-kadang ngga jelas. Jangan-jangan dia udah jadian sama salah satu perempuan di sini dan malam ini si perempuan itu mau ngebongkar hubungan mereka. Beuh! Hebat kan pemikiran gue,” lanjutnya penuh kebanggaan.
“Masa sih? Tapi Eca jarang nge-cengin orang loh. Gitu-gitu bercandanya masih wajar. Kalau menurut gue sih anak kelas lain,” balasku menanggapi.
Bukan bermaksud ingin meremehkan. Jika dilihat dari kelakuannya, Eca memang masih seperti anak-anak. Aku hanya tidak percaya jika dia benar sudah memiliki pacar. Lihat saja sekarang dirinya sama sekali tidak mendengarkan apa yang dibacakan Nina. Dia justru bercanda seenaknya dengan Jonathan yang ada di sebelahnya. Reaksinya sama sekali tidak menandakan bahwa lelaki yang ada di dalam cerita kali ini adalah dirinya.
Mungkin dia tau kalau gue suka sama dia. Makanya mulai dari situ kita jadi sering chat. Sampai akhirnya di akhir kelas dua kita jadian. Itu juga masih sembunyi-sembunyi. Soalnya kalau temen-temennya tau pasti pada kaget.
“Kayaknya gue tau siapa nih,” ucap Tito tiba-tiba. Meruntuhkan semangat berpikirku.
“Bagi-bagi lah, Tit!” teriak Aldi sampai membangunkan Zaki.
“Heh, panggil nama gue jangan setengah-setengah begitu!” protes Zaki dengan wajah yang memerah. Paling tidak suka jika ada seseorang memanggilnya seperti itu.
Aldi tergelak. Entah karena melihat ekspresi Tito yang lucu setiap kali dia marah atau karena melihat Zaki yang terbangun dengan bentuk wajah yang tak keruan, tapi kupikir Aldi memang sengaja berteriak untuk membangunkan Zaki. Eca pun sampai mengacungkan ibu jari pada Aldi, sebagai bentuk penilaian kejailan yang dia buat.
“Nina, lanjutin aja,” ujar Danu begitu lembut.
“Jangan gitu dong, Danu. Joy cemburu nih.”
Bella langsung mengusap-usap rambut Joy yang benar-benar memberengut di sebelahnya. Joy memang perempuan yang imut. Pada dasarnya memang imut. Berbeda dengan dua orang lainnya yang keimutannya lebih banyak disengaja.
Kami berdua terus sembunyiin hubungan ini sampai akhirnya di waktu yang tepat perlahan demi perlahan kami ungkap. Reaksi orang yang tau bener-bener sesuai dugaan. Ngga ada yang percaya dan ngga ada yang nyangka kalau orang kayak dia bisa punya pacar. Sampai sekarang—
PRAK!
Tito mendadak menepuk tangannya. Menimbulkan suara nyaring yang cukup mengagetkan.
“Sialan lo, Tito!” pekik Dinda geram. Tempat sterofoam mi instan cup hampir saja melayang ke arah Tito kalau saja tidak segera kuambil paksa dari tangan Dinda.
Tito justru tertawa cengengesan. “Maaf, maaf. Gue cuma makin yakin sama jawaban gue.”
“Bisa ngga sih diem aja kalau udah tau? Kesel deh,” gerutu Adis dimana Eric menepuk-nepuk lembut kepala perempuannya itu.
“Bener! Sekali lagi lo norak begitu, awas.” Tinju milik Dinda terangkat di akhir kalimat. Menjadikan itu sebagai properti penutup kalimat yang tepat sekali.
Sebenernya gitu aja cerita gue. Meski kita berdua jurusannya beda, tapi tetep gue ngga ngerasa salah jurusan. Meski dia kayak orang yang ngga keurus, ya gue tetep anggep dia superhero, Capt. America, mungkin.
“Nah!” seruku pada diri sendiri. Jeff dan Dinda langsung mendekatkan telinga padaku. “Captain America kata kuncinya. Steve? Rogers?”
“Steven? Junior basket gue,” jelas Dinda memberi pendapat dengan nada yang tidak yakin. “Tapi masa adek kelas sih?”
“Kan harus seangkatan. Coba kalau nama aktornya.” Sebenarnya sudah sedikit muncul di dalam ingatanku, hanya saja aku tidak bisa menemukannya. “Robert Jr? Aduh gue ngga paling ngga tau tentang itu.”
“Chris Evans?” jawab Jeff.
Reflek kedua tanganku memegang kedua bahunya. Berniat mengucapkan terima kasih, tapi rasa panas seolah menjalar di sekujur tubuhku akibat terkena tatapan dari seseorang yang berada tak jauh dari posisiku. Kupikir aku memang sudah kelewat batas. Sebelumnya belum pernah sama sekali aku menyentuh Jeff. Lelaki asing ini juga terlihat bingung dengan reaksiku.
Danu sudah kembali pada posisinya. Mengatakan sesuatu pada Nina yang tidak terlalu terdengar. Mungkin ucapan terima kasih seperti yang dia lakukan ke orang-orang sebelumnya, tapi bisa juga lebih dari itu. Mereka berdua saling melempar senyum. Kutebak baik Danu maupun Nina sama-sama saling suka, tapi entah apa yang begitu kuat mengganjal niat mereka sehingga sampai sekarang tidak ada yang berani mengaku.
“Oke. Kelihatannya cerita kali ini simple dan happy ya?” ujar Danu yang baru merasakan ketenangan dalam memimpin acara.
“Bener banget,” kata Dino. Kali ini dia mengunyah keripik bersama Rangga.
“Tapi kayaknya abis ini bakal tegang lagi,” celetuk Jonathan. Mengundang tawa yang sarat akan ejekan.
Merasa tahu siapa yang sedang dibicarakan, aku langsung menoleh ke arah dimana Sonya dan Gerry berada. Mantan pasangan ini saling mengeluarkan raut wajah yang serupa. Namun, tidak sengaja pula mataku menangkap Wine. Melihatnya sekarang, seperti ada sesuatu yang berbeda. Dia tampak lebih tenang dibanding beberapa saat sebelumnya. Mungkinkah karena dia merasa sudah menang atas Tere, Sonya, juga Kevin? Tidak perlu ada yang disembunyikan dan ditakutkan lagi. Tidak tahu apa itu pertanda baik atau buruk. Asalkan jangan sampai saja Wine bertekad untuk membalikkan keadaan dengan memanfaatkan penilaian buruk kami terhadap mereka bertiga.